Data buku kumpulan puisi
Judul :
Gazal Hamzah
Penulis : Marhalim
Zaini
Penerbit :
Ganding Pustaka, Yogyakarta.
Cetakan :
I, 2016
Tebal :
viii + 88 halaman (33 puisi)
ISBN :
978-602-74578-4-3
Atak
sampul & perwajahan isi : Raedu Basha
Lukisan :
Khalil Zuhdi
Beberapa pilihan puisi Marhalim Zaini
dalam Gazal Hamzah
asam kandis
(garcinia xanthochymus)
tapi
dalam pantun, kita tetap hidup, sebagai tubuh yang
berkerabat. rasa lapar kita, jadi pohon abadi yang tak
bertanah
asal. dan di atas segala yang lembab jualah kita tegak,
sebagai
manggis atau sebagai gelugur, sebagai rasa manis atau
buah yang
gugur. kelak, yang kau iris tipis-tipis di atas piring
kayu, adalah
rasa malu kita pada tuhan, rasa malu kita pada
matahari—yang
mengering-hitamkan irisan tubuhmu, irisan tubuhku.
padahal
tak pernah kita menduga, hidup akan jauh dikenang, dalam
rasa
lapar. di pucuk lidah orang-orang yang hanya singgah,
sebagai
perantau. meski di pangkal lidah, kita hanya getah yang
kelat,
namun di perut, kita masam yang lekat. pun ketika
disepah,
segala warna yang kita punya—jingga pucat, kuning pekat,
hijau
muda, hijau tua—mengekalkan rindu masam dalam geletar
debar rasa lapar. hingga kelak, tak lagi kausebut aku
barbar.
hingga, tak lagi kau bertanya, mana yang lebih kekal,
rasa pedas
lada, atau hitam arang daging panggang.
gazal hamzah
:
apabila buih pecah
kembalilah
kepada air
tapi tersakat di barus
perahuku,
kekasih
di hulu maghrib
saat
syair para mahbub
meraung
bergemaung
di surau-surau
kampung
memanggilmu
anak
dagang
memanggilku
anak
hilang
ujung dayung itu
senja
yang kalah
cinta
yang patah
sebab tuhan tak singgah
di
galangan hamzah
sebab tak bertanah
segala
yang tumpah
sebagai
darah sejarah
aku
mau jadi rumah
bagi
almarhum puisi
atau
yang bakal mati
dari
ayat-ayat kitabmu
biar orang dhaif ini
yang
memeram birahi
berkali-kali
mengaji
api
sunyi
negeri
fansuri
tajam tikam kalammu
di urat
jerit-pingkauku
adalah
perang perantau
beradu
rindu
di ujung perahu
berbaku
beting
di
tanjung pilu
kau dan aku tahu
ada bau
anggur
meruap dari kitab
dari tikar bekas sujud
orang dhaif
yang
birahi
pada
arus anak sungai
yang
membawa mimpi
maka ke laut
temui
gelombang
sebagai
kekasih
sebagai tubuh arus
yang
setia
mengalirkan
puisi
ke akar-akar rawa
yang
menjalar
ke tubuh
jiwa
kata-kata
maka jika tersakat
perahuku,
kekasih
di hulu
sungai
atau di
lipatan kitab
kota-kota
khalwat
akan kupecah buih
ayat-ayat
air
sebagai
perahu syair
yang berlayar
ke
segala muara
segala yang belum kau
beri
nama, beri jeda
pada
riwayat selat,
tempat
aku kerap
tersesat,
kerap
tak
sempat
membuang
umpat,
puih!
lanun laut
kau merampok sayap rumah orang laut, tuan
hingga ikan-ikan merayau mencari tuhan
tiap petang ada saja yang patah dayung
tiap lengang ada saja yang cari untung
matahari kian renta dalam lubang jala senja
matamu tak berlampau dan silau pada cahaya
siapa yang memikul kayu kapal karam itu
siapa pula yang menikam-nikam batu-batu
pergilah jauh ke ceruk sunyi tubuhmu
aku sedang menakik luka masa lalu
demam seluruh kampung disuntik waktu
sampai terlupa mengaji kitab rindu
rotan jernang
(dragon’s blood)
ia hanya tahu, suatu hari,
ia akan menjelma jadi pohon dracaena,
di hutan hitam belakang rumah.
rasanya, ia tak tahan lagi,
tubuhnya dipaku di tiang-tiang sembahyang,
jadi penyebat anak-anak yang tak pandai
mengaji alif-ba-ta,
dijual dibeli di pasar raja-raja,
ditenggak para penyair yang tergagap
kehilangan kuasa kata.
konon,
kemenyan merah yang dibakar di bawah dapur,
saat magrib menabuh bedug di surau-surau,
yang terus memanggil-manggil tuhan
di mata kapak orang kampung,
adalah permaisuri surga yang akan jadi bini.
tapi sejak lama, ia telah tahu, itu orang bunian
yang tak berumah di surga, tak bertanah di bumi,
tak mungkin ia pagut asap, seperti ia memagut
remang senja yang lindap.
pernah,
bagai lepas urat nadinya
dari akar-akar tanah,
saat tak dapat ia ucap alif-lam-mim
di depan madrasah,
tempat ia pernah terhimpit berhari-hari
di halaman-halaman kitab suci.
saat itu, yang terdengar oleh daun-daunnya,
adalah gaung hutan, meraung panjang,
bunyi semak yang disibak-sibak,
dan batang-batang getah tua
yang ditetak-tetak.
suara
tuhankah itu?
al-faaatihah…
ia hanya tahu,
hari-hari akan lepas dari tubuhnya,
seperti kulit yang terkelupas dari dagingnya.
tak pernah ia membenci tukang kayu,
seperti ia membenci tukang tebang.
ia berani bersumpah, atas nama matahari,
yang telah melahirkannya,
bahwa di seluruh dataran rendah,
orang-orang menguliti seluruh hikayat,
seluruh riwayat, dari ujung ke pangkal,
sebagaimana mereka membuang
—dengan rasa benci—duri-duri dari batang.
dan, suatu hari, ia tak lagi ingin tahu,
di mana harus mengucap assalamualaikum,
ketika tubuhnya terpanggang,
melelehkan resin merah ke tanah,
bagai melelehkan darah
ke merah darah.
lesung kayu
“kalau
pedas pada kita
tak
kan manis pada orang”
hujan jantan
di musim yang rentan,
dialah si sulung yang berkabung
berkali-kali, bertalu-talu,
menumbuk biji batu-batu
di palung lesung kayu.
ah, cinta, katanya
demikian pejal
serupa sekarat
menggeliat serupa ajal.
ada yang musykil
pada petang yang gigil
seseorang bertanjak seludang
berkacak pinggang
melenggang ke gelanggang.
hoi,
jangan seperti pohon pisang
buah
masak batang ditebang.
tapi ia, hanya si lajang tua
bukan si jebat pendurhaka.
keris telah lama ia tanam
seperti menanam sebuah dendam.
di lapuk jenjang
ia memilih biji-biji kopi
bagai memisah serpih hari-hari.
ada yang demikian bersebati
sepat yang lekat di lubang lesung
mungkin mimpi yang mati
atau sisa sebuah kisah
hampir merupa sejarah
yang belum menemu usai,
menemu lerai pada kusut
pada sengkarut rindu
atau petaka zaman lalu.
ia memilih bisu
merasai cinta bagai bumbu
atau reremah yang disepah
di lantai kayu, di dinding bambu.
untuk
apa pantun itu?
ia hanya ragu
bahwa ada biji-biji batu
yang masih malu bertemu kayu
bertemu ujung pada ujung
bertemu cium pada kulum
pada yang tak patut disebut
sebagai pagut, sebagai laut
yang kadang tenang,
kadang bergelombang.
jauh di batas hujan
seorang perempuan hilang ingatan.
alu yang patah ia genggam
ia sayang bagai ladang.
waktu
akan lenyap, cintaku
tapi
bukan kita, bukan kita.
dan sesaat, ia dengar sunyi
terbantun beruntun di bawah kaki,
di ujung-ujung jari, menari-nari,
seperti juga keram, yang teramat kebas,
tak berasa, tak tau entah di dunia apa,
sampai ia lupa, bahwa ada airmata
yang tumpah di lesung kayu
jadi butiran-butiran batu.
tengoklah,
hujan mulai rentan
dalam sarung si sulung.
ada cinta yang berkabung
di palung lesung,
menumbuk musim jantan
yang demikian pejal,
demikian liat, serupa ajal.
Pekanbaru, 2005
kalam batu
: raja ali haji
di sepanjang beting, sepanjang petang
ia berjalan pincang, memikul kalam
dan ingatan yang kian padam
seperti tongkang menuju karam.
aku mengenalmu, ali haji,
seorang datok yang suka berkabar
tentang hikayat kapal-kapal besar
yang bersandar di tepi bandar.
akan datang pada kita, katamu
derita masa silam serupa lada hitam
pedasnya pahit, menggigit sakit.
aku tahu, orang tua selalu begitu
gemetar pada denyar hantu waktu
pada isyarat-isyarat yang berkejaran
di jarum jam, ke ufuk sebuah zaman,
ke kegelapan, ke kematian.
untuk
apa senapang itu, tuan?
orang putih telah lama pergi
sehabis merayau pulau-pulau
memamah rempah-rempah.
di sarungmu, sisa abu mesiu
membercak seperti darah beku.
alahmak, gadis portugis itukah
yang berjalan kaki ke muaratakus
yang berjalan kaki ke muaratakus
mengejar
bau kemenyanmu,
bau
batu-batu candi melayu.
aku ragu, sejarah itu jadi peluru
menembus-balik hatimu
yang rawan candu rindu.
dari
tumasik aku bertanya,
semenanjung
ini, siapa punya?
sekejap saja, mata kita leka
ribuan bedil mengintip istana
dan dikau, tersebab cuai
pernah tersadai di tiang balai
mengutip gurindam yang terburai.
dan di melaka aku tersedu
sebuah perahu disumpah
jadi batu.
sebuah
negeri yang kandas, katamu.
lalu dari titik dawatmu anak-anak bangkit
bermata sipit, memanggilmu baba pailit.
hidup selalu tumbuh dari rasa sakit, bukan?
dan kau menciumi ubun-ubun mereka
seperti menciumi benih-benih gambir
yang kaucintai sekaligus kaubenci.
nak,
jangan jatuh bagai tapai
di
lantai ia bersepai
tapi
jatuhlah bagai biji
di tanah
ia akan menjadi.
menjadi sungai-sungai bercabang
menghala ke lingga, ke bintan,
ke pangkal-pangkal malam,
ke surau-surau sunyi,
ke bilik-bilik puisi.
dan jika sampai di sini
mataku bagai jaring pukat
membacamu tak sudah-sudah
meski gapaiku tak dapat-dapat.
alahmak,
gadis portugis itukah
yang berdiri tengadah
menunggu
bayang-bayang matahari
meredup
di tanjung puteri
seperti petang, ia berjalan pincang
memikul ingatan yang kian tak tajam
menuju cahaya kalam yang tak kunjung padam.
senja melaka
rerempah tumpah, enam ratus tahun pedas senja dicecap
lidah kota-kota.
di mana lepuhmu, ke sekujur sungai kubaca namamu sebagai
bebatu yang
bisu. bisikan itu, angin sangit yang satu-satu luruh,
adalah yang jatuh dari
kelopak pertempuran, sesuatu yang terseret jauh, seperti
tak luput dari ingatan.
ia gemetar. barut waktu, sisa bercak di tembok bandar,
seraut bayangan
yang berdiam di tikungan, melagukan sejarah yang tumbuh
di kaki-kaki
pendatang, di bawah terompah pedagang yang menjejakkan
lengang.
aku mengemis gerimis terakhir di genangan, di samping
remang,
menunggu burung-burung merimbun di detak jam, berebut
dahan,
mempertahankan yang kelak hilang dijemput malam.
yang berdahan, di tubuh melayu tak berbaju, enam ratus
tahun pedas senja
dicecap lidah melaka. lepuhmu bergambar ribuan keris, si
tanjak yang
direntang sepanjang dinding museum, menggurat tahun-tahun
saling bersilat.
aku menambang daun-daun timah, di pelataran rumah tuah,
dari pepohonan
senja merah saga, lalu meracik lada, mewariskan bintan
pada dunia, pada
suku laut yang menjeling dari rimbun daun tebu, dari
kejauhan masa lalu.
dari sini semua bermula,
katamu. aku memeluk tiang-tiang layar, kapal
yang membatu. keberangkatan hanya kata akhir dari
perjalanan, kataku.
di hari yang kosong, genggaman berlepasan, yang karam
adalah jam. ada
ragam dendam, dendang pelaut saat senggang, merepih di
daun sirih, di lipatan
daun tembakau, di tepak rindu yang terserak. ia masih
gemetar, burung-burung
hitam merimbun di detak jantungnya, berebut jam,
mempertahankan senja
yang kelak hilang dijemput malam.
moluska
aku akan memanggilmu moluska, saat pasang naik,
dan lutut kita mulai menggigil di akar-akar bakau
yang menjuntai dari dalam lumpur rawa-rawa,
adalah binatang yang berbiak dalam kelamin kita
aku hendak bersembunyi saja di cangkangmu,
dalam rahim garam, begitu kau menjelma anak sungai
berkelok ke pedalaman jauh, ke dataran histosol,
tempat lahir ikan-ikan bunian berkepala naga
maka kita adalah sepasang ketam yang tak subur,
berpagut di tanah endapan di daun-daun yang tak terurai
dalam iklim basah ini, kita membunuh anak-anak kita
dengan membiarkannya bermain hujan, pada petang
yang tak lagi ada azan, tak lagi berjumpa yang tawar
pada asin, yang jantan pada betina, yang timur ditikam
utara
angin yang kelak kita warisi dari cara kita bersenggama
berdesau-desau bagai muson dari arah laut, tersesat di
selat
di ayat-ayat yang pernah kita rapat, ketika dewa atau
tuhan
bercakap-cakap dalam kepala kita yang kosong, entah
apa yang membuat kita percaya, pada yang hampa
dalam hati kita, padahal seribu kilometer dari sini,
siklus hidup-mati seperti rekah bibirmu yang memucat
pada tiap hitungan jam, memerah kembali oleh matahari
padam kembali oleh hitam, begitu malam diam-diam
bersijingkat naik dari bawah rumah, merasuk ke sumsum
ke tulang lunak yang tumbuh dari masa kecil orang siak
orang yang suka minum air sungai berwarna coklat
maka jepitlah aku, moluska, dengan tangan-tanganmu
yang tajam, dengan rasa sakit yang dulu, ketika berdebum
kau dalam gulungan ombak bono, tanpa pemandu, di celah
pesisir timur, memanggil-manggil orang kampar
yang terdampar rupanya hatiku jua, dan hatimu pingsan
dalam kapal-kapal besar yang meninggalkan bandar
berlayar membawa rempah, lada dan timah, ke cina,
ke eropa, kepada tuan voc yang kerap membuang ludah
dan memanggilmu bovenlander, di depan para budak
yang memikul lada tigaratus bahar di atas pundak,
pedasnya membuat seluruh orang sumatera tersedak,
yang terbahak-bahak orang Batavia di hulu singkarak
maka jepitlah aku, moluska, sekali lagi di ujung musim
ketika pasang naik dari abad enambelas ke ujung kelamin
kau aku kelak, di semenanjung ini, tinggal menunggu
para pendatang dari rantau, membawa abu kitab-kitab
dalam tepak, dalam sirih yang dikunyah para datu,
disepah di atas pelaminan, disepah ke mukamu-mukaku,
sebab kawin mawin ini adalah bertukar hulu pada hilir
bertukar garam pada gula, beras pada gandum, besi
pada kayu, rempah pada meriam, yang tak semata habis
erang
di atas ranjang, tak pula habis silsilah pada garis
keturunan
tapi perang, tapi dagang, adalah tuhan juga, yang
disembah
pada tiang-tiang harga di pasar, di laut yang tak
berpagar
maka kukayuh saja kau, moluska, seperti menunggang
gelombang, agar tawar-menawar ini dapat kugoyang
kogoyang-goyang, sampai segala yang bernama pedang
bersarung di pantaimu, di lembab lembah gua pusakamu
dijepit capit kuasamu, sampai segala yang bersembunyi
di bawah dadamu, dalam cengkeraman sepuluh kakimu,
menjelma kerajaan baru, rumah kau-aku menyemai benih
anak-anak yang tak lagi takut bermain hujan, pada petang
yang pandai mengumandangkan azan, pandai mencecap
asin di air tawar, pandai menjadi pejantan bagi betina
pandai menakar angin utara yang berdesau-desau di timur
yang menikam-nikam selat dengan ayat-ayat yang sakat
di sungai indragiri, ketika emas melambung ke langit
india,
dan masa depan bagai pasir hanyut ke negara tetangga
maka kujual saja kau, moluska, izinkan aku menukarmu
dengan uang logam dari cina, agar tak lagi dapat
kupanggil
kau moluska, saat tengah malam, dan lututku menggigil
sendiri di atas bubung rumah, di bawah langit yang
berlubang
dan yang menjuntai dari dalam lumpur rawa-rawa itu,
adalah sunyi yang berbiak dalam kelamin puisi-puisiku.
siklus sakai
pagi:
yang berkejaran di kakimu,
adalah anak-anak ikan
pembawa
matahari
dan sirip yang mulai tumbuh,
menjalar di tubuh pantaimu
adalah
anak-anak laut
penjinak
gelombang
mereka tak berani bercerita
tentang
pulang
tak
berani bertanya
tentang
tanah asal
rumah-rumah
kami
perahu rumpang, tuan
siang:
dan kau berdendang, seperti burung
yang kadang rindu pada sarang
tapi di sini, kami melukis waktu di batu,
menulis jarak pada bayangan siang
dan kami tunduk pada tanah, katamu
pulau kerap hanyut, bergeser ke tengah
menjauh
dari tepi
maka tak elok melambai terlalu lama.
tak ada sesiapa di tengah samudera,
hanya
kita, hanya kita
petang:
petang itu,
yang
berdoa dari arah laut
adalah
anak-anak angin
mereka mendengar,
seperti
ada yang gusar
berpusaran
di bawah kaki
siapakah yang berlari
dalam bumi?
yang takut pada getaran, bukan mereka,
tapi tiang-tiang rumah
yang kerap demam
ditikam malam
senja:
bahwa air, kerap bertandang
saat
senja datang, adalah tamu
yang
santun,
mengucap salam tampak muka
beranjak
surut saat memunggung
meski
kadang,
ada yang
tak tahan menanggung
rindu,
hendak berpagut
dengan
laut
maka merantaulah,
si malin
bukan lagi anak lelaki
yang
terus dikutuk ibu
terus
dipeluk batu
tapi, kepergian adalah sumpah
yang
harus ditebus
malam:
tak ada yang menduga,
yang
pergi malam itu adalah
rasa
bahagia, yang diam-diam
datang
malam itu adalah
rasa
duka
siapakah
yang tertidur?
Bukan tuhan,
tapi
rasa kantuk yang nyelinap
dalam
sarung itu adalah kesedihan
yang
bertahun tak terpejam, adalah
kemiskinan
yang berabad tak terlelap
tapi,
wahai, sakai
adakah
yang benar-benar tidur?
sampan kayu
akhirnya, senja itu juga yang jongkok,
yang perlahan menyusun sampan-sampan,
menghitungnya sebagai barisan sunyi
yang lelah, yang rebah,
ditangkap diikat di akar-akar
di kayu-kayu kaki-kaki rumah,
dan cahaya kikis, sekejap lagi habis
direguk malam yang mengerang
di badanmu, di sarungku;
sangkar segala burung yang bangkit
terbang ke hitam langit,
ke hitam waktu.
kapan ia lahir, tuan?
bulan mandul, dan kematian
duduk-duduk memancing ikan
di setiap sudut pantai.
aku datang dan selalu terkenang
muasal pasir, dan siul sumbang
dari mancung bibirmu yang membuat
cekung pipimu, saat kucium berulang
biji-biji kopi mentah di lidahmu,
saat tak perlu kausebut lagi
tentang pahitnya kerinduan,
saat semua gurat lekat di daun-daun
tempat pernah kautuliskan luka kata-kata
tempat pulang segala yang tiba.
tapi inilah sungai
kubiarkan mimpi mengalir
mengembara di lekuk-lekuk pulau
sampai ke ceruk yang paling risau.
maka lepaslah ruang dari badan
sepi yang telanjang
serupa dingin karang
mendiamkan jam.
dan tiba-tiba malam begumam:
“untuk siapa hitam dikekalkan?”
setelah itu, kita rebah
serupa sampan-sampan kayu yang lelah.
Tentang Marhalim Zaini
SPN. Marhalim Zaini, S.Sn, M.A., lahir
di desa Teluk Pambang, Bengkalis, Riau, 15 Januari 1976. Lulus dari jurusan Teater Institut Seni
Indonesia, Yogyakarta dan Pascasarjana Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
Mengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau dan dosen luar biasa di FKIP
Universitas Islam Riau. Menetap di Pekanbaru, Riau. Bukunya: Segantang
Bintang Sepasang Bulan (Puisi, 2003), Di Bawah Payung Tragedi
(Drama, 2003), Langgam Negeri Puisi (Puisi, 2004), Tubuh Teater
(Esai, 2004), Getah Bunga Rimba (Novel, 2006), Hikayat Kampung Mati
(Novel, 2007), Amuk Tun Teja (Cerpen, 2007), Megalomania (Novel,
2008), Pangeran Terubuk (Drama, 2008), Tun Amoy (Novel, 2009), Saya
Bisa Menjadi Penulis (kumpulan kolom, 2011), Sastra Riau dalam Risau
Sejarah (Esai, 2013), Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (Puisi, 2013), Cerita-cerita
Jenaka Yong Dollah, Orientasi Kelisanan dalam Proses Penciptaan dan Resistensi
Budaya Orang Melayu (kajian ilmiah, 2015).
Catatan Lain
Halaman persembahan buku ini berbunyi: kepada sumatera,
laut,/melayu, dan tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar