Sabtu, 01 Juli 2017

Marhalim Zaini: GAZAL HAMZAH




Data buku kumpulan puisi

Judul : Gazal Hamzah
Penulis : Marhalim Zaini
Penerbit : Ganding Pustaka, Yogyakarta.
Cetakan : I, 2016
Tebal : viii + 88 halaman (33 puisi)
ISBN : 978-602-74578-4-3
Atak sampul & perwajahan isi : Raedu Basha
Lukisan : Khalil Zuhdi

Beberapa pilihan puisi Marhalim Zaini dalam Gazal Hamzah

asam kandis
(garcinia xanthochymus)

            tapi dalam pantun, kita tetap hidup, sebagai tubuh yang
berkerabat. rasa lapar kita, jadi pohon abadi yang tak bertanah
asal. dan di atas segala yang lembab jualah kita tegak, sebagai
manggis atau sebagai gelugur, sebagai rasa manis atau buah yang
gugur. kelak, yang kau iris tipis-tipis di atas piring kayu, adalah
rasa malu kita pada tuhan, rasa malu kita pada matahari—yang
mengering-hitamkan irisan tubuhmu, irisan tubuhku. padahal
tak pernah kita menduga, hidup akan jauh dikenang, dalam rasa
lapar. di pucuk lidah orang-orang yang hanya singgah, sebagai
perantau. meski di pangkal lidah, kita hanya getah yang kelat,
namun di perut, kita masam yang lekat. pun ketika disepah,
segala warna yang kita punya—jingga pucat, kuning pekat, hijau
muda, hijau tua—mengekalkan rindu masam dalam geletar
debar rasa lapar. hingga kelak, tak lagi kausebut aku barbar.
hingga, tak lagi kau bertanya, mana yang lebih kekal, rasa pedas
lada, atau hitam arang daging panggang.



gazal hamzah

            : apabila buih pecah
            kembalilah kepada air

tapi tersakat di barus
            perahuku, kekasih

di hulu maghrib
            saat syair para mahbub
            meraung bergemaung
            di surau-surau kampung
                        memanggilmu
                        anak dagang
                        memanggilku
                        anak hilang

ujung dayung itu
            senja yang kalah
            cinta yang patah

sebab tuhan tak singgah
            di galangan hamzah
sebab tak bertanah
            segala yang tumpah
            sebagai darah sejarah

            aku mau jadi rumah
            bagi almarhum puisi
            atau yang bakal mati
            dari ayat-ayat kitabmu

biar orang dhaif ini
            yang memeram birahi
            berkali-kali mengaji
            api sunyi
                        negeri fansuri

tajam tikam kalammu
            di urat jerit-pingkauku
            adalah perang perantau
            beradu rindu
di ujung perahu
            berbaku beting
            di tanjung pilu

kau dan aku tahu
            ada bau anggur
meruap dari kitab
dari tikar bekas sujud
orang dhaif
                        yang birahi
            pada arus anak sungai
            yang membawa mimpi

maka ke laut
            temui gelombang
            sebagai kekasih
sebagai tubuh arus
            yang setia
            mengalirkan puisi
ke akar-akar rawa
            yang menjalar
            ke tubuh jiwa
                        kata-kata

maka jika tersakat
            perahuku, kekasih
            di hulu sungai
            atau di lipatan kitab
            kota-kota khalwat
akan kupecah buih
            ayat-ayat air
            sebagai perahu syair
            yang berlayar
            ke segala muara
segala yang belum kau
            beri nama, beri jeda
            pada riwayat selat,
            tempat aku kerap
            tersesat, kerap
            tak sempat
            membuang umpat,
            puih!


lanun laut      

kau merampok sayap rumah orang laut, tuan
hingga ikan-ikan merayau mencari tuhan

tiap petang ada saja yang patah dayung
tiap lengang ada saja yang cari untung

matahari kian renta dalam lubang jala senja
matamu tak berlampau dan silau pada cahaya

siapa yang memikul kayu kapal karam itu
siapa pula yang menikam-nikam batu-batu

pergilah jauh ke ceruk sunyi tubuhmu
aku sedang menakik luka masa lalu

demam seluruh kampung disuntik waktu
sampai terlupa mengaji kitab rindu


rotan jernang
(dragon’s blood)

ia hanya tahu, suatu hari,
ia akan menjelma jadi pohon dracaena,
di hutan hitam belakang rumah.
rasanya, ia tak tahan lagi,
tubuhnya dipaku di tiang-tiang sembahyang,
jadi penyebat anak-anak yang tak pandai
mengaji alif-ba-ta,
dijual dibeli di pasar raja-raja,
ditenggak para penyair yang tergagap
kehilangan kuasa kata.

konon,
kemenyan merah yang dibakar di bawah dapur,
saat magrib menabuh bedug di surau-surau,
yang terus memanggil-manggil tuhan
di mata kapak orang kampung,
adalah permaisuri surga yang akan jadi bini.
tapi sejak lama, ia telah tahu, itu orang bunian
yang tak berumah di surga, tak bertanah di bumi,
tak mungkin ia pagut asap, seperti ia memagut
remang senja yang lindap.

pernah,
bagai lepas urat nadinya
dari akar-akar tanah,
saat tak dapat ia ucap alif-lam-mim
di depan madrasah,
tempat ia pernah terhimpit berhari-hari
di halaman-halaman kitab suci.
saat itu, yang terdengar oleh daun-daunnya,
adalah gaung hutan, meraung panjang,
bunyi semak yang disibak-sibak,
dan batang-batang getah tua
yang ditetak-tetak.

            suara tuhankah itu?
            al-faaatihah…

ia hanya tahu,
hari-hari akan lepas dari tubuhnya,
seperti kulit yang terkelupas dari dagingnya.
tak pernah ia membenci tukang kayu,
seperti ia membenci tukang tebang.
ia berani bersumpah, atas nama matahari,
yang telah melahirkannya,
bahwa di seluruh dataran rendah,
orang-orang menguliti seluruh hikayat,
seluruh riwayat, dari ujung ke pangkal,
sebagaimana mereka membuang
—dengan rasa benci—duri-duri dari batang.

dan, suatu hari, ia tak lagi ingin tahu,
di mana harus mengucap assalamualaikum,
ketika tubuhnya terpanggang,
melelehkan resin merah ke tanah,
bagai melelehkan darah
ke merah darah.


lesung kayu

                        “kalau pedas pada kita
                        tak kan manis pada orang”

hujan jantan
di musim yang rentan,
dialah si sulung yang berkabung
berkali-kali, bertalu-talu,
menumbuk biji batu-batu
di palung lesung kayu.
ah, cinta, katanya
demikian pejal
serupa sekarat
menggeliat serupa ajal.

ada yang musykil
pada petang yang gigil
seseorang bertanjak seludang
berkacak pinggang
melenggang ke gelanggang.
            hoi, jangan seperti pohon pisang
            buah masak batang ditebang.
tapi ia, hanya si lajang tua
bukan si jebat pendurhaka.
keris telah lama ia tanam
seperti menanam sebuah dendam.

di lapuk jenjang
ia memilih biji-biji kopi
bagai memisah serpih hari-hari.
ada yang demikian bersebati
sepat yang lekat di lubang lesung
mungkin mimpi yang mati
atau sisa sebuah kisah
hampir merupa sejarah
yang belum menemu usai,
menemu lerai pada kusut
pada sengkarut rindu
atau petaka zaman lalu.
ia memilih bisu
merasai cinta bagai bumbu
atau reremah yang disepah
di lantai kayu, di dinding bambu.
            untuk apa pantun itu?
ia hanya ragu
bahwa ada biji-biji batu
yang masih malu bertemu kayu
bertemu ujung pada ujung
bertemu cium pada kulum
pada yang tak patut disebut
sebagai pagut, sebagai laut
yang kadang tenang,
kadang bergelombang.

jauh di batas hujan
seorang perempuan hilang ingatan.
alu yang patah ia genggam
ia sayang bagai ladang.
            waktu akan lenyap, cintaku
            tapi bukan kita, bukan kita.
dan sesaat, ia dengar sunyi
terbantun beruntun di bawah kaki,
di ujung-ujung jari, menari-nari,
seperti juga keram, yang teramat kebas,
tak berasa, tak tau entah di dunia apa,
sampai ia lupa, bahwa ada airmata
yang tumpah di lesung kayu
jadi butiran-butiran batu.

tengoklah,
hujan mulai rentan
dalam sarung si sulung.
ada cinta yang berkabung
di palung lesung,
menumbuk musim jantan
yang demikian pejal,
demikian liat, serupa ajal.

Pekanbaru, 2005


kalam batu
: raja ali haji

di sepanjang beting, sepanjang petang
ia berjalan pincang, memikul kalam
dan ingatan yang kian padam
seperti tongkang menuju karam.

aku mengenalmu, ali haji,
seorang datok yang suka berkabar
tentang hikayat kapal-kapal besar
yang bersandar di tepi bandar.
akan datang pada kita, katamu
derita masa silam serupa lada hitam
pedasnya pahit, menggigit sakit.
aku tahu, orang tua selalu begitu
gemetar pada denyar hantu waktu
pada isyarat-isyarat yang berkejaran
di jarum jam, ke ufuk sebuah zaman,
ke kegelapan, ke kematian.
            untuk apa senapang itu, tuan?

orang putih telah lama pergi
sehabis merayau pulau-pulau
memamah rempah-rempah.
di sarungmu, sisa abu mesiu
membercak seperti darah beku.
alahmak, gadis portugis itukah
yang berjalan kaki ke muaratakus
mengejar bau kemenyanmu,
bau batu-batu candi melayu.
aku ragu, sejarah itu jadi peluru
menembus-balik hatimu
yang rawan candu rindu.
            dari tumasik aku bertanya,
            semenanjung ini, siapa punya?

sekejap saja, mata kita leka
ribuan bedil mengintip istana
dan dikau, tersebab cuai
pernah tersadai di tiang balai
mengutip gurindam yang terburai.
dan di melaka aku tersedu
sebuah perahu disumpah
jadi batu.
            sebuah negeri yang kandas, katamu.

lalu dari titik dawatmu anak-anak bangkit
bermata sipit, memanggilmu baba pailit.
hidup selalu tumbuh dari rasa sakit, bukan?
dan kau menciumi ubun-ubun mereka
seperti menciumi benih-benih gambir
yang kaucintai sekaligus kaubenci.
            nak, jangan jatuh bagai tapai
            di lantai ia bersepai
            tapi jatuhlah bagai biji
            di tanah ia akan menjadi.

menjadi sungai-sungai bercabang
menghala ke lingga, ke bintan,
ke pangkal-pangkal malam,
ke surau-surau sunyi,
ke bilik-bilik puisi.
dan jika sampai di sini
mataku bagai jaring pukat
membacamu tak sudah-sudah
meski gapaiku tak dapat-dapat.

            alahmak, gadis portugis itukah
            yang berdiri tengadah
            menunggu bayang-bayang matahari
            meredup di tanjung puteri

seperti petang, ia berjalan pincang
memikul ingatan yang kian tak tajam
menuju cahaya kalam yang tak kunjung padam.


senja melaka

rerempah tumpah, enam ratus tahun pedas senja dicecap lidah kota-kota.
di mana lepuhmu, ke sekujur sungai kubaca namamu sebagai bebatu yang
bisu. bisikan itu, angin sangit yang satu-satu luruh, adalah yang jatuh dari
kelopak pertempuran, sesuatu yang terseret jauh, seperti tak luput dari ingatan.

ia gemetar. barut waktu, sisa bercak di tembok bandar, seraut bayangan
yang berdiam di tikungan, melagukan sejarah yang tumbuh di kaki-kaki
pendatang, di bawah terompah pedagang yang menjejakkan lengang.
aku mengemis gerimis terakhir di genangan, di samping remang,
menunggu burung-burung merimbun di detak jam, berebut dahan,
mempertahankan yang kelak hilang dijemput malam.

yang berdahan, di tubuh melayu tak berbaju, enam ratus tahun pedas senja
dicecap lidah melaka. lepuhmu bergambar ribuan keris, si tanjak yang
direntang sepanjang dinding museum, menggurat tahun-tahun saling bersilat.
aku menambang daun-daun timah, di pelataran rumah tuah, dari pepohonan
senja merah saga, lalu meracik lada, mewariskan bintan pada dunia, pada
suku laut yang menjeling dari rimbun daun tebu, dari kejauhan masa lalu.

dari sini semua bermula, katamu. aku memeluk tiang-tiang layar, kapal
yang membatu. keberangkatan hanya kata akhir dari perjalanan, kataku.
di hari yang kosong, genggaman berlepasan, yang karam adalah jam. ada
ragam dendam, dendang pelaut saat senggang, merepih di daun sirih, di lipatan
daun tembakau, di tepak rindu yang terserak. ia masih gemetar, burung-burung
hitam merimbun di detak jantungnya, berebut jam, mempertahankan senja
yang kelak hilang dijemput malam.


moluska

aku akan memanggilmu moluska, saat pasang naik,
dan lutut kita mulai menggigil di akar-akar bakau

yang menjuntai dari dalam lumpur rawa-rawa,
adalah binatang yang berbiak dalam kelamin kita

aku hendak bersembunyi saja di cangkangmu,
dalam rahim garam, begitu kau menjelma anak sungai

berkelok ke pedalaman jauh, ke dataran histosol,
tempat lahir ikan-ikan bunian berkepala naga

maka kita adalah sepasang ketam yang tak subur,
berpagut di tanah endapan di daun-daun yang tak terurai

dalam iklim basah ini, kita membunuh anak-anak kita
dengan membiarkannya bermain hujan, pada petang

yang tak lagi ada azan, tak lagi berjumpa yang tawar
pada asin, yang jantan pada betina, yang timur ditikam utara

angin yang kelak kita warisi dari cara kita bersenggama
berdesau-desau bagai muson dari arah laut, tersesat di selat

di ayat-ayat yang pernah kita rapat, ketika dewa atau tuhan
bercakap-cakap dalam kepala kita yang kosong, entah

apa yang membuat kita percaya, pada yang hampa
dalam hati kita, padahal seribu kilometer dari sini,

siklus hidup-mati seperti rekah bibirmu yang memucat
pada tiap hitungan jam, memerah kembali oleh matahari

padam kembali oleh hitam, begitu malam diam-diam
bersijingkat naik dari bawah rumah, merasuk ke sumsum

ke tulang lunak yang tumbuh dari masa kecil orang siak
orang yang suka minum air sungai berwarna coklat

maka jepitlah aku, moluska, dengan tangan-tanganmu
yang tajam, dengan rasa sakit yang dulu, ketika berdebum

kau dalam gulungan ombak bono, tanpa pemandu, di celah
pesisir timur, memanggil-manggil orang kampar

yang terdampar rupanya hatiku jua, dan hatimu pingsan
dalam kapal-kapal besar yang meninggalkan bandar

berlayar membawa rempah, lada dan timah, ke cina,
ke eropa, kepada tuan voc yang kerap membuang ludah

dan memanggilmu bovenlander, di depan para budak
yang memikul lada tigaratus bahar di atas pundak,

pedasnya membuat seluruh orang sumatera tersedak,
yang terbahak-bahak orang Batavia di hulu singkarak

maka jepitlah aku, moluska, sekali lagi di ujung musim
ketika pasang naik dari abad enambelas ke ujung kelamin

kau aku kelak, di semenanjung ini, tinggal menunggu
para pendatang dari rantau, membawa abu kitab-kitab

dalam tepak, dalam sirih yang dikunyah para datu,
disepah di atas pelaminan, disepah ke mukamu-mukaku,

sebab kawin mawin ini adalah bertukar hulu pada hilir
bertukar garam pada gula, beras pada gandum, besi

pada kayu, rempah pada meriam, yang tak semata habis erang
di atas ranjang, tak pula habis silsilah pada garis keturunan

tapi perang, tapi dagang, adalah tuhan juga, yang disembah
pada tiang-tiang harga di pasar, di laut yang tak berpagar

maka kukayuh saja kau, moluska, seperti menunggang
gelombang, agar tawar-menawar ini dapat kugoyang

kogoyang-goyang, sampai segala yang bernama pedang
bersarung di pantaimu, di lembab lembah gua pusakamu

dijepit capit kuasamu, sampai segala yang bersembunyi
di bawah dadamu, dalam cengkeraman sepuluh kakimu,

menjelma kerajaan baru, rumah kau-aku menyemai benih
anak-anak yang tak lagi takut bermain hujan, pada petang

yang pandai mengumandangkan azan, pandai mencecap
asin di air tawar, pandai menjadi pejantan bagi betina

pandai menakar angin utara yang berdesau-desau di timur
yang menikam-nikam selat dengan ayat-ayat yang sakat

di sungai indragiri, ketika emas melambung ke langit india,
dan masa depan bagai pasir hanyut ke negara tetangga

maka kujual saja kau, moluska, izinkan aku menukarmu
dengan uang logam dari cina, agar tak lagi dapat kupanggil

kau moluska, saat tengah malam, dan lututku menggigil
sendiri di atas bubung rumah, di bawah langit yang berlubang

dan yang menjuntai dari dalam lumpur rawa-rawa itu,
adalah sunyi yang berbiak dalam kelamin puisi-puisiku.


siklus sakai

pagi:
yang berkejaran di kakimu,
adalah anak-anak ikan
            pembawa matahari

dan sirip yang mulai tumbuh,
menjalar di tubuh pantaimu
            adalah anak-anak laut
            penjinak gelombang

mereka tak berani bercerita
            tentang pulang
            tak berani bertanya
            tentang tanah asal

            rumah-rumah kami
perahu rumpang, tuan

siang:
dan kau berdendang, seperti burung
yang kadang rindu pada sarang

tapi di sini, kami melukis waktu di batu,
menulis jarak pada bayangan siang

dan kami tunduk pada tanah, katamu
pulau kerap hanyut, bergeser ke tengah
            menjauh dari tepi

maka tak elok melambai terlalu lama.
tak ada sesiapa di tengah samudera,
            hanya kita, hanya kita

petang:
petang itu,
            yang berdoa dari arah laut
            adalah anak-anak angin

mereka mendengar,
            seperti ada yang gusar
            berpusaran di bawah kaki

siapakah yang berlari
dalam bumi?

yang takut pada getaran, bukan mereka,
tapi tiang-tiang rumah
yang kerap demam
ditikam malam

senja:
bahwa air, kerap bertandang
            saat senja datang, adalah tamu
            yang santun,
mengucap salam tampak muka
            beranjak surut saat memunggung

            meski kadang,
            ada yang tak tahan menanggung
            rindu, hendak berpagut
            dengan laut

maka merantaulah,
            si malin bukan lagi anak lelaki
            yang terus dikutuk ibu
                        terus dipeluk batu
tapi, kepergian adalah sumpah
            yang harus ditebus

malam:
tak ada yang menduga,
            yang pergi malam itu adalah
            rasa bahagia, yang diam-diam
            datang malam itu adalah
            rasa duka

            siapakah yang tertidur?

Bukan tuhan,
            tapi rasa kantuk yang nyelinap
            dalam sarung itu adalah kesedihan
            yang bertahun tak terpejam, adalah
            kemiskinan yang berabad tak terlelap

            tapi, wahai, sakai
            adakah yang benar-benar tidur?


sampan kayu

akhirnya, senja itu juga yang jongkok,
yang perlahan menyusun sampan-sampan,
menghitungnya sebagai barisan sunyi
yang lelah, yang rebah,
ditangkap diikat di akar-akar
di kayu-kayu kaki-kaki rumah,
dan cahaya kikis, sekejap lagi habis
direguk malam yang mengerang
di badanmu, di sarungku;
sangkar segala burung yang bangkit
terbang ke hitam langit,
ke hitam waktu.

kapan ia lahir, tuan?
bulan mandul, dan kematian
duduk-duduk memancing ikan
di setiap sudut pantai.
aku datang dan selalu terkenang
muasal pasir, dan siul sumbang
dari mancung bibirmu yang membuat
cekung pipimu, saat kucium berulang
biji-biji kopi mentah di lidahmu,
saat tak perlu kausebut lagi
tentang pahitnya kerinduan,
saat semua gurat lekat di daun-daun
tempat pernah kautuliskan luka kata-kata
tempat pulang segala yang tiba.

tapi inilah sungai
kubiarkan mimpi mengalir
mengembara di lekuk-lekuk pulau
sampai ke ceruk yang paling risau.
maka lepaslah ruang dari badan
sepi yang telanjang
serupa dingin karang
mendiamkan jam.
dan tiba-tiba malam begumam:
“untuk siapa hitam dikekalkan?”

setelah itu, kita rebah
serupa sampan-sampan kayu yang lelah.


Tentang Marhalim Zaini
SPN. Marhalim Zaini, S.Sn, M.A., lahir di desa Teluk Pambang, Bengkalis, Riau, 15 Januari 1976.  Lulus dari jurusan Teater Institut Seni Indonesia, Yogyakarta dan Pascasarjana Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada. Mengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau dan dosen luar biasa di FKIP Universitas Islam Riau. Menetap di Pekanbaru, Riau. Bukunya: Segantang Bintang Sepasang Bulan (Puisi, 2003), Di Bawah Payung Tragedi (Drama, 2003), Langgam Negeri Puisi (Puisi, 2004), Tubuh Teater (Esai, 2004), Getah Bunga Rimba (Novel, 2006), Hikayat Kampung Mati (Novel, 2007), Amuk Tun Teja (Cerpen, 2007), Megalomania (Novel, 2008), Pangeran Terubuk (Drama, 2008), Tun Amoy (Novel, 2009), Saya Bisa Menjadi Penulis (kumpulan kolom, 2011), Sastra Riau dalam Risau Sejarah (Esai, 2013), Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (Puisi, 2013), Cerita-cerita Jenaka Yong Dollah, Orientasi Kelisanan dalam Proses Penciptaan dan Resistensi Budaya Orang Melayu (kajian ilmiah, 2015).


Catatan Lain
Halaman persembahan buku ini berbunyi: kepada sumatera, laut,/melayu, dan tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar