Data buku kumpulan puisi
Judul : Mimpi dan
Kelam Jiwa, kumpulan puisi dwibahasa,
Jilid VII Seri Puisi
Jerman
Penulis : Georg Trakl
Terjemahan Indonesia
oleh: Agus R. Sarjono dan Berthold Damshäuser
Cetakan : I, September
2012
Penerbit : KOMODO
BOOKS, Depok.
Penerbitan buku ini
dibantu dengan dana dari Goethe-Institut Jakarta.
Tebal : vi + 136
halaman (41 puisi)
ISBN : 978-602-9137-26-2
Gambar sampul : Arif
Bachtiar
Rancang Sampul :
Tugas Suprianto
Visualisasi isi :
Tim Komodo Books
Pengantar : Berthold
Damshäuser
Sepilihan puisi Georg Trakl dalam Mimpi dan Kelam Jiwa
Muramlah lagu hujan musim semi malam hari,
Di bawah awan: gerimis kuntum pir yang jingga,
Sulapan jiwa, nyanyian dan keedanan malam.
Malaikat menyala berlesatan dari si mata wafat.
(nb. puisi tanpa judul)
Dekatnya Maut
(Nähe des Todes)
O senja yang melangkah ke muram dusun masa kanak.
Kolam di bawah pepohonan
Kian sarat oleh ratap sampar sang kemurungan.
O hutan yang lirih tundukkan mata coklatnya,
Saat ungu hari-hari girang dia yang kesepian
Berguguran dari tangannya yang tinggal rangka.
O dekatnya maut. Mari kita berdoa.
Malam ini, di bantal hangat, kuning oleh dupa,
Terurai lengan rapuh mereka yang kasmaran.
Grodek
Di senja hari, hutan-hutan musim gugur,
Dataran kencana, dan danau-danau biru
Bermentari kian muram, menggema
Oleh maut senjata. Malam mendekap
Prajurit sekarat dan ratap liar
Mulut mereka yang patah.
Namun, di rumput lembah berhimpun senyap
Merah gemawan – tumpahan
darah, kesejukan
Bulan— tempat dewa
murka berdiam;
Segala jalan bermuara di kebusukan hitam.
Di bawah kencana reranting malam dan gemintang,
Bayang adik perempuan melenggang lintasi bisu hutan
Bertakzim pada ruh pahlawan, pada kepala berdarah mereka;
Dan gelap serunai musim gugur mengalun lirih di
alang-alang.
O duka yang kian jumawa! Wahai, altar-altar kebesian.
Nyala panas sang ruh, anak-cucu yang tak lahir,
Berkobar oleh nestapa.
Grodek : Nama kota di Polandia tempat terjadi pertempuran
antara Austria dengan Rusia pada tahun 1941. Trakl sempat menyaksikannya
sebagai juru rawat.
De Profundis
Ada ladang kering, diguyur hujan hitam.
Ada pohon ranggas, berdiri sunyi.
Ada desis angin, kitari gubuk lengang.
Alangkah pilu ini malam.
Jauh dari desa,
Si gadis piatu lembut siangi bulir kerontang.
Matanya membulat keemasan, memamah dalam senja,
Dan rahimnya merindukan mempelai surgawi.
Di jalan pulang,
Penggembala temukan tubuh elok itu,
Telah membusuk di semak berduri.
Aku bayang, jauh dari dusun-dusun kelam.
Kebisuan Tuhan
Telah kureguk dari perigi di hutan.
Di dahiku menjelma dingin logam,
Laba-laba mencari jantungku.
Adalah cahaya, di mulutku memadam.
Malam itu kutemukan diri di huma,
masai oleh sampah dan debu gemintang.
Di semak-semak pohon kemiri,
Malaikat kekristalan kembali menggema.
De Profundis: Bahasa Latin, artinya “dari kedalaman”.
Awal dari sebuah mazmur terkenal (“dari kedalaman kupanggili namamu, o Tuhan”)
yang sering dibacakan atau dinyanyikan dalam upacara penguburan Katolik.
Senyap para mendiang mencintai taman tua,
Perempuan gila yang dulu menghuni kamar-kamar biru,
Di petang hari, sosok senyapnya hadir di jendela.
Namun, dulu ia tutup tirai lusuh –
Suara kelereng bangkitkan kenangan masa kanak.
Di malam hari, kita temukan bulan hitam di hutan.
Di biru cermin, kini sonata merdu berbunyi.
Pelukan-pelukan panjang dan hangat.
Senyum si gila melintas di bibit si sekarat.
Kepada Si Pemuda Elis
(An den Knaben Elis)
Elis, jika amsel memanggil di rimba gelap,
Tibalah keruntuhanmu.
Bibirmu mereguk kesejukan perigi biru.
Jika dahimu lirih berdarah, tinggalkan
Dongeng legenda purbakala
Dan isyarat gelap burung-burung di angkasa.
Namun, kau melangkah lembut ke lubuk malam
Yang rimbun oleh anggur ungu,
Dan kian gemilang kau ayunkan lengan dalam biru.
Semak berduri bersenandung
Di tempat matamu membulan.
O, engkau mati, Elis, betapa lama silam.
Tubuhmu setangkai bunga bakung,
Ke dalamnya biarawan celupkan jemari lilinnya.
Goa hitamlah kebisuan kita.
Kadang, dari goa itu keluar hewan lembut
mengatupkan perlahan kelopaknya yang berat.
Pelipismu ditetesi embun hitam,
Emas penghabisan dari runtuhan gemintang.
Elis: Nama pemuda yang muncul dalam berbagai puisi Trakl.
Menurut para peneliti Perpuisian Trakl, nama ini berkaitan dengan buruh tambang
Swedia bernama Elis Frobom yang hidup pada abad ke-17. Konon, Elis Frobom
mengalami kecelakaan di Tambang pada hari pernikahannya dan meninggal.
Jenazahnya baru ditemukan puluhan tahun kemudian dalam keadaan utuh
(terkonservasi), jenazah seorang Pemuda belia; sedangkan mempelainya telah
menjadi perempuan tua.
Amsel: Burung pengicau, kecil berbulu hitam (Turdus
merula).
Lagu Kaspar Hauser
(Kaspar Hauser Lied)
Untuk Bessie Loos
Sungguh dicintainya mentari jingga turuni bukit,
Jalan setapak di hutan, nyanyian gagak,
Juga riang kehijauan.
Takzim ia menghuni bayang pohonan,
Murnilah wajahnya.
Tuhan sabdakan lembut nyala pada kalbunya:
O manusia!
Senyap langkahnya temukan kota di senja hari;
Gelap ratapan dari mulutnya:
Aku ingin jadi penunggang kuda.
Namun, ia dibuntuti belukar dan hewan,
Rumah dan tamansenja manusia putih
Dan pembunuhnya mengintai.
Kepada Mereka yang Membisu
(An die Verstummten)
O, kesintingan kota besar, saat senja
Pohonan cacat menjulang di tembok hitam,
Saat ruh kejahatan mengintip dari topeng keperakan;
Cahaya bercambuk magnet mengusir malam membatu.
O, dentang lonceng malam yang terbenam.
Pelacur, dalam gigil es, melahirkan bayi mati.
Geram murka Tuhan cambuki dahi si kerasukan,
Sampar ungu, lapar yang remukkan mata hijau.
O, kencana, keji tawanya.
Namun, di gelap goa, bisu manusia berdarah diam-diam,
Memahat kepala penyelamat dari keras logam-logam.
Kalbu
(Das Herz)
Memutih sudah kalbu liar di tepian hutan;
O muram ngeri
Sang maut, saat kencana
Sekarat di awan kelabu.
Petang November.
Di depan bugil gapura rumah jagal
Muncul segerombol perempuan melarat;
Ke dalam tiap keranjang
Berjatuhan jeroan dan daging busuk;
Makanan terkutuk!
Merpati biru senja hari
Tak mempersembahkan islah.
Gelap lengking serunai
Mengguncang basah daun kencana
Pohonan elm,
Bendera koyak
Berasap oleh darah
Hingga dalam liar kemurungan
Seorang lelaki menyimaknya.
Wahai! Zaman-zaman membesi
Terkubur di sana, di kirmizi senjahari.
Dari lorong muram
Melangkah tubuh kencana
Sang pemudi
Diiringi bulan-bulan pasi,
Para pendamping ratu di musim gugur,
Cemara hitam runtuh
Dalam badai malam,
Benteng curam.
O, kalbu,
Berkilau ke sejuk menyalju.
Di Timur
(Im Osten)
Gelap murka rakyat
Bagai orgel liar badai salju,
Banjir ungu pertempuran,
Bintang yang daunnya dilucuti.
Dengan alis patah dan lengan perak
Malam melambai pada para prajurit sekarat.
Di bayang pohon musim gugur
Merintihlah ruh mereka yang terbantai.
Rimba berduri mengepung kota.
Dari tangga-tangga berdarah
Bulan memburu perempuan resah
Serigala buas mendobrak gapura
Detik-detik Kenestapaan
(Stunde des Grams)
Kehitaman, langkah di taman musim gugur
Membuntuti bulan benderang,
Dan malam perkasa rebah di gigil tembok.
O, detik-detik berduri kenestapaan.
Keperakan, kandil si sunyi berkelipan di kamarsenja,
Sirna perlahan, saat pikirkan sesuatu yang gelap,
Dan kepala kebatuan ia bungkukkan ke sesuatu yang fana,
Mabuk anggur dan nada merdu malam.
Senantiasa telinga menyimak
Ratap lirih amsel di semak.
Detik gelap doa rosario.
Siapakah kau
Seruling sunyi, dahi
Yang dalam gigi terbungkuk pada zaman gulita.
Helian
Pada detik-detik sunyi sang ruh
Alangkah indah melangkah di cahaya mentari
Menyusur tembok kuning musim panas.
Di rerumputan, langkah mendesir lembut; namun selalu
Putra dewa Pan terlelap di marmer kelabu.
Di beranda, senja hari, kita mabuk anggur kirmizi.
Persik membara merah di dedaunan;
Merdu sonata, riang tawa.
Alangkah indah senyapnya malam.
Di hamparan gelap
Kita bersua gembala dan putih gemintang.
Saat musim gugur tiba
Keberjagaan hadir di hutan.
Tenang sudah, kita susuri tembok-tembok merah,
Dan mata bulat mengamati burung di angkasa.
Di senja hari, air putih meresap ke perabuan.
Di ranting kerontang langit berpesta.
Di tangannya yang suci petani membawa anggur dan roti,
Dan damailah bebuahan meranum di bilik bermentari.
Alangkah tegas wajah-wajah si mati tersayang.
Namun jiwa kan gembira dalam adil tatapan.
Alangkah dahsyat kebisuan taman binasa
Saat biarawan memasang daunan sebagai mahkota,
Saat nafasnya mereguk dingin kencana.
Tangan-tangan meraba usia perairan biru,
Atau pipi putih saudarinya di dingin malam.
Lembut dan serasi, lelangkah menyusuri kamar ramah,
Tempat desau pohon maple dan sunyi,
Tempat murai mungkin masih bernyanyi.
Eloklah manusia, menjelma dalam gulita,
Saat dengan takjub ia gerakkan badan,
Saat matanya mengerling senyap di ungu rongga.
Pada doa sore, si asing tersesat di hitam remuk November,
Di bawah reranting rapuh, menyusur tembok berlumur kusta,
Tempat abang suci dulu melangkah,
Tenggelam dalam denting merdu kegilaannya.
Alangkah sunyi tamatnya angin malam.
Sekarat, kepala melunglai di gelap zaitun.
Runtuhnya trah, alangkah mengguncangkan.
Saat itulah mata si pemandang mengisi diri
Dengan kencana gemintangnya sendiri.
Di senja hari, terbenam sebuah genta yang tak lagi
berbunyi,
Tembok-tembok hitam di kota beruntuhan,
Dan si prajurit mati mengajak berdoa.
Menjelma malaikat pucat, sang putra
Memasuki rumah leluhurnya yang hampa.
Semua saudari menyambangi lelaki renta.
Sekembalinya dari kembara penuh duka, saat malam
Mereka ditemukan si penidur di bawah pilar rumah.
Alangkah lengket rambut mereka oleh cacing dan tinja,
Saat kaki keperakannya memijak itu semua,
Saat mereka, mati sudah, keluar dari kamar-kamar hampa.
Wahai, mazmur-mazmur dalam bara hujan tengah malam,
Saat buruh tani mendera mata lembut dengan ilalang,
Saat buah-buah kekanakan pohonan murbei
Merunduk takjub di atas kosong kuburan.
Bulan-bulan pucat menggelinding sunyi
Di ranjang demam si pemuda,
Sebelum ia menyusul bisu musim salju.
Suatu takdir mulia termangu di arus sungai Kidron
Tempat pohon cedar, makhluk lunak itu,
Mekar di bawah alis biru sang ayah
Tempat gembala mengasuh dombanya di padang.
Juga ada jerit dalam kelelapan,
Saat malaikat angkuh datangi manusia di hutan,
Saat daging sang Santo meleleh di panggangan membara.
Anggur ungu rambati dangau-dangau,
Risik rerumpun gandum kuning,
Senandung lebah, kelepak bangau.
Di senja hari, yang dibangkitkan bertemu di jalan
berbatu.
Di air hitam orang-orang kusta memantul;
Atau mereka, dalam ratap, bukai jubah berlumur tinja
Ke balsam angin yang bertiup dari bukit merah jambu.
Gadis petani merayau di lorong malam,
Ingin berjumpa gembala pengasih.
Merdu nyanyi malam minggu membahana di dangau.
Biar jadi lagu kenang bagi si pemuda,
Kegilaan, putih keing, kematian, bahkan
Bagi busuk jasadnya yang membelalak biru.
Alangkah pilu kembalinya kemelekan ini.
Tangga-tangga kegilaan di kamar-kamar hitam,
Bayang leluhur di bawah pintu terbuka,
Saat jiwa Helian berkaca di cermin merah jambu
Saat dari darinya meleleh kusta dan salju.
Telah padam gemintang di dinding
Juga sosok-sosok putih sang cahaya.
Dari permadani bangkit belulang kuburan,
Juga kebisuan salib-salib yang runtuh di bukit,
Juga manis dupa dalam ungu angin malam.
Wahai mata remuk di mulut-mulut hitam,
Saat sang cucu dalam lembut kelam jiwa,
Sendiri, renungi akhir yang lebih gulita,
Saat dewa senyap anugerahi biru kelopak mata.
Helian:
sosok lelaki fiktif. Menurut beberapa peneliti, terinspirasi judul kumpulan
puisi penyair Perancis berjudul Pauvre Lelian (Lelian Malang) serta sosok
Helios (dewa matahari dalam mitologi Yunani) yang menjadi tema dalam puisi Der
Mensch (Sang Manusia) karya Friedrich Holderlin. Kemungkinan lain, Helian
merupakan semacam gabungan antara “Helios” dan “Heiland”, kata Jerman yang berarti
“penyembuh” atau “Penyelamat” dan digunakan sebagai pengganti nama Yesus
Kristus.
Pan:
Dewa Hutan dan para gembala dalam mitologi Yunani
Kidron:
nama sungai dan lembah dekat Yerusalem yang banyak disebut dalam Bibel, kitab
suci Nasrani.
Mentari
(Die Sonne)
Setiap hari bukit dilanda mentari.
Indahlah hutan, hewan-hewan gelap,
Dan manusia; pemburu atau gembala.
Di kolam hijau, kemerahan, ikan naik ke permukaan.
Di bawah bulat langit
Di sampan biru, nelayan mengapung sunyi.
Anggur dan gandum meranum perlahan.
Saat dengan tentram, hari pamit berehat
Tersedia lah: yang baik, juga yang jahat.
Saat malam tiba,
Pengembara lirih membuka berat kelopak;
Dari ngarai muram mentari pun menyeruak.
Mimpi dan Kelam Jiwa
(Traum und Umnachtung)
Saat petang tiba, ayah disergap renta; di muram kamar wajah
ibu membatu, dan si pemuda menyandang beban terkutuknya
trah yang menyimpang. Kadang ia terkenang masa kanaknya
yang sarat penyakit, kengerian, dan kegelapan, juga permainan
rahasia di taman bintang; kadang terkenang saat ia memberi
makan tikus-tikus got di remang halaman. Dari cermin biru
muncul sosok pucat adik perempuannya, dan seperti mati ia
jatuh ke kegelapan. Di tengah malam mulutnya rekah bagai buah
merah, dan bintang-bintang gemerlap di atas senyap dukanya.
Mimpi-mimpinya memenuhi rumah tua leluhur. Di petang hari,
ia gemar berjalan-jalan di kuburan yang terlantar, atau di remang
kamar mayat memandangi jenazah, bintik-bintik hijau
kebusukan di tangan elok mereka. Di gapura biara, ia minta
sepotong roti, dan dikejutkan bayang seekor kuda hitam yang
meloncat keluar dari kegelapan. Saat berbaring di sejuk ranjang,
ia dilanda isak tak terkatakan. Namun, tak seorangpun datang
mengusap dahinya. Saat musim gugur tiba, bagai syaman ia
melangkah di padang rumput menguning. O, detik-detik
kegirangan yang liar, saat-saat petang di sungai hijau, detik-detik
perburuan. O, jiwa senyap yang senandungkan lagu alang-alang
kerontang; kesalehan berkobar. Senyap dan dalam ia menatap
mata katak, gigil tangannya meraba dingin batuan purba, dan ia
menyeru legenda keramat perigi biru. O, ikan-ikan perak dan
buah-buah yang jatuh dari cacat pohonan. Alun langkahnya
memenuhi dia dengan keangkuhan dan kemuakan atas manusia.
Di jalan pulang, ia temukan kastil tak berpenghuni. Dewa-dewa
yang runtuh menjulang di taman, dilamun duka senjahari. Namun
serasa: di sinilah aku pernah hidup pada tahun-tahun yang
terlupakan. Paduan orgel memenuhinya dengan gigil Tuhan.
Namun, ia habiskan waktunya dalam gelap doa, berdusta, dan
mencuri. Dan ia, seekor serigala menyala, sembunyikan diri dari
wajah putih ibunya. O, detik ini, saat dengan mulut membantu ia
rebah di taman bintang, saat bayang pembunuh merasukinya.
Dengan dahi ungu ia melangkah ke rawa-rawa, dan murka Tuhan
mendera bahu-bahu logamnya; o, pohonan birch dalam badai,
hewan gelap melata yang menjauh dari kelam jiwa jalan
setapaknya. Kebencian membakar hatinya, juga nafsu birahi,
saat di taman musim panas itu ia nodai si anak senyap, saat pada
cemerlang wajah anak itu ia kenali kelam jiwa wajahnya sendiri.
Ah, di jendela senja itu, saat dari bebungaan ungu muncul
kerangka mengerikan: maut. Wahai, menara-menara dan
lelonceng; bebayang malam pun jatuh membatu di atasnya.
Tak ada yang mencintainya.
Kepalanya membakar dusta
dan maksiat di remang kamar. Gemerisik gaun perempuan
membuatnya sekaku pilar, dan tiba-tiba di pintu berdiri sosok
malam ibunya. Di ubun-ubunnya bangkit bayang sang kejahatan.
Wahai, malam dan gemintang. Di petang hari, ia mengembara di
kaki gunung bersama si cacat; di puncak bersalju terbaring kilau
kaki gunung bersama si cacat; di puncak bersalju terbaring kilau
jingga sang senja, dan hatinya lirih berdentang di rembang
petang. Berat, cemara membadai rebah di atas mereka, dan dari
hutan muncul pemburu merah. Saat malam tiba, hatinya
berderai patah, dan kegelapan menghantam dahinya. Di bawah
kerontang pohon eik, ia mencekik seekor kucing liar dengan
gigil tangannya. Di kanannya, sambil meratap, muncul sosok
putih malaikat, dan bayang si cacat memanjang dalam gelap.
Namun, ia mengambil batu dan menyambiti si cacat hingga lari
terisak. Dan sambil mengeluh, pudarlah wajah lembut sang
malaikat dalam bayang pohonan. Lama ia berdiri di ladang
kerontang sambil takjub memandangi gemintang kencana.
Diburu kelelawar, ia terbirit ke dalam kegelapan. Dengan wajah
terengah ia masuki rumah setengah runtuh. Di halamannya, ia,
hewan liar, meneguk air biru dari perigi hingga menggigil
kedinginan. Dalam demam, ia duduk di tangga besi, berang pada
Tuhan, meminta mati. O, wajah kengerian kelabu, saat bulat
matanya mendongak ke leher merpati yang terpotong. Melintas
lewat tangga-tangga asing, ia jumpai seorang gadis Yahudi,
menjemba rambutnya yang hitam, menerkam mulutnya.
Sesuatu yang memusuhinya terus membuntuti lewat gang-gang
muram, dan telinganya pecah oleh desing logam. Di tembok-
tembok musim gugur, ia yang kini jadi pembantu pendeta, dalam
senyap membuntuti si pastor membisu, dan di bawah pohonan
kering ia mabukkan diri dengan wangi ungu jubahnya. O, cakram
mentari yang runtuh. Siksaan manis memakani dagingnya. Di
halaman rumah yang terbengkalai, ia didatangi sosoknya sendiri:
berdarah dan sarat kotoran. Kian dalam ia cintai karya-karya
mulia sang batu; menara yang dengan seringai nerakawi
sepanjang malam menyerbu biru langit bintang; dan kubur sejuk
tempat tersimpan kalbu berkobar sang manusia. Ah, dosa tak
terpermanai yang mengabarkan itu. Tapi, saat ia mengangankan
hal-hal membara sambil menuruni sungai musim gugur di bawah
pohonan tandus, ia didatangi iblis menyala bermantel
sederhana: adik perempuannya. Saat ia terbangun, pudarlah
bintang-gemintang di atas kepala mereka berdua.
O trah terkutuk. Ketika di
kamar-kamar ternoda segala
nasib menjadi rampung, maka dengan langkah busuk, maut pun
bakal memasuki rumah. O, andai di luar ada musim semi dan
burung elok bernyanyi di tunas pohonan. Namun, hijau yang
sejumput itu mengering pada jendela kaum kelam, dan kalbu-
kalbu berdarah masih juga mengangankan kejahatan. O, remang
jalan setapak musim semi yang disusuri si pengangan. Dengan
lebih adil dinikmatinya pagar tumbuhan yang berbunga, benih
tanaman petani, burung bernyanyi, makhluk Tuhan yang merdu
itu; juga lonceng malam dan persaudaraan indah umat manusia.
Agar ia lupa akan nasibnya, juga sengat berduri itu. Sungai bakal
bebas menghijau, tempat kakinya melangkah keperakan, dan
pohon yang sanggup bertutur akan mendesau di kelam jiwa
kepalanya. Maka, diangkatnya ular itu dengan ringkih tangannya,
dan kalbunya meleleh dalam kobar isakan. Mulialah senyap
hutan, kegelapan menghijau, dan hewan-hewan berlumut
terburai beterbangan saat malam tiba. O gigil itu, saat segala
sesuatu menyadari dosanya lantas menyusuri jalan setapak
berduri. Maka, di semak berduri ia temukan sosok putih anak
yang mendarahi mantel mempelainya. Namun, ia berdiri bisu
penuh duka di hadapannya, terkubur dalam rambut besinya
sendiri. O malaikat-malaikat gemilang yang diporandakan ungu
Angin malam. Bermalam-malam ia berdiam dalam goa kristal,
dan kusta tumbuh keperakan di dahinya. Ia, bayang, turuni jalan
setapak di bawah gemintang musim gugur. Salju turun, kegelapan
biru memenuhi rumahnya. Suara ayah, suara orang buta, garau
menyeru sang kengerian. Ah, sosok terbungkuk para
perempuan. Di tangan kaku, bebuahan dan perkakas berkecai
sirna dari trah yang cemas. Seekor serigala mencabik anak
sulung, adik-adik perempuan melarikan diri ke lelaki-lelaki
renta di taman-taman gelap. Ia, syaman kelam jiwa, bermadah
tentang mereka di reruntuh tembok, dan suaranya ditelan badai
Tuhan. O, berahi sang maut. Wahai, anak-anak dari trah gelap.
Bunga-bunga keji sang darah berkilau keperakan di kening si
syaman, dan dingin bulan berkilau di matanya yang patah. O,
kaum kelam; o, kaum durjana.
Dalamlah kelelapan di
racun-racun gelap, sarat
gemintang dan putih wajah batu ibunya. Pahitlah maut, juga
makanan para pendosa; di coklat reranting pohonan, wajah-
warna tanah berkecai dalam seringai. Namun, ia bernyanyi lirih
dalam bayang hijau murbei, saat mendusin dari mimpi keji.
Malaikat jingga, sahabat manis, menghampirinya, hingga ia,
hewan liar yang lembut, terlena lelap ke dalam malam; ia pun
melihat wajah bintang sang kesucian. Keemasan, bunga matahari
terkulai di pagar taman kala musim panas tiba. O, sibuknya lebah,
dedaun hijau pohonan; kilat dan guruh melintas. Bunga candu
pun memekar keperakan, hijau kelopaknya menyimpan
kemalaman mimpi bintang kami. O, senyapnya rumah, saat ayah
melangkah ke dalam gelap. Bebuahan mematang ungu di
pepohonan, dan tukang kebun menyibukkan kasar tangannya; o
pertanda keji di cerlang mentari. Namun, di senja hari, dengan
langkah Kristal di sepanjang padang rumput tepian hutan,
bayang si mati pun tiba di tengah lingkaran duka keluarganya.
Bisu, mereka berhimpun di meja. Sekarat, mereka memotong
roti dengan tangan lilinnya, roti yang berdarah itu. Ah, mata
batu si adik perempuan, saat pada jamuan itu kesintingannya
muncul pada dahi kelam si abang, saat roti membatu di tangan
nestapa ibu mereka. O kaum yang busuk sudah, saat mereka
membisu dengan lidah perak neraka. Lampu-lampu pun padam
di sejuk kamar, dan orang-orang nestapa itu saling memandang
dari topeng-topeng ungu. Hujan mengguyur semalaman,
menyegarkan tanah. Di belantara berduri, si gelap menyusuri
jalan setapak di ladang kerontang, nyanyian burung, dan
kesenyapan merdu reranting hijau, agar tiba di kedamaian.
Wahai, desa-desa dan tangga-tangga berlumut, panorama yang
membara. Namun, bagai belulang, langkahnya bergoyang di atas
ular-ular yang lelap di tepi hutan, dan telinganya senantiasa
menyimak lengking ganas burung nasar. Kehampaan membatu
ditemuinya di senja hari, pengiring jenazah ke rumah gelap
ayahnya. Awan ungu mengitari kepalanya, hingga dengan bisu
ia menyerbu darah dan wajahnya sendiri, wajah membulan, lalu
jatuh membatu ke kehampaan, saat dalam cermin retak muncul
pemuda sekarat: adik perempuannya. Malam pun memangsa trah
durjana.
Tentang Georg Trakl
Tak ada biodata Georg Trakl di buku ini. Yang ada malah
biodata Editor/Penerjemah di halaman 136. Biografi Trakl dibocorkan dari
pengantar Berthold Damshäuser yang berjudul Perpuisian Georg Trakl:
Keindahan yang Lahir dari Trauma (hlm. 1-22). Berikut ringkasannya: Trakl
lahir pada 3 Februari 1887 di Salzburg, Austria. Anak keempat. Ia lahir dari
golongan borjuis yang cukup kaya. Ibunya pecandu opium yang suka menyendiri dan
kurang memperhatikan anak-anak karena sibuk sebagai pengumpul barang antik. Trakl
cukup pandai bermain piano dan mengagumi komponis Chopin, Liszt, dan Wagner. Ia
banyak membaca karya sastra, termasuk novel-novel Karl May. Usia 13 tahun mulai
menulis puisi. Tahun 1902 mulai bereksperimen dengan narkoba. Trakl memilih
pendidikan formal di bidang farmasi. Ia sempat melamar untuk bekerja di
pemerintahan Hindia-Belanda agar dikirim ke Indonesia (mungkin saya akan ke
Borneo) sebagai apoteker. Tetapi rencana itu tak terwujud. Tahun 1905 ia
bekerja di sebuah apotik di Salzburg. Sejak 1904 ia bergabung dengan kelompok
sastrawan Apolla di Salzburg. Pada 1913 krisis jiwanya memuncak. Ia dilanda
berbagai fobia. Kumpulan puisinya Gedichte (sajak-sajak) terbit tahun
193, disusul Sebastian im Traum (Sebastian dalam Mimpi) yang terbit
posthumous tahun 1915.
Dalam
perang dunia Pertama yang meletus bulan Agustus 1914, ia kemudian direkrut oleh
tentara kekaisaran Austria sebagai juru rawat kemiliteran dan dikirim ke medan
perang di Ukraina. Dekat kota Grodek, ia terlibat dalam pertempuran hebat
antara Austria dan Rusia. Ia diberi tugas mengurus seratus prajurit yang cedera
berat. Selama dua hari dua malam ia menghadapi mereka yang menderita, menangis,
sekarat tanpa fasilitas yang memadai. Ia juga menyaksikan puluhan penduduk
setempat yang dianggap berpihak ke Rusia digantung di pohon-pohon dekat tenda
rumah sakit darurat dan mayatnya dibiarkan bergantungan di situ. Melihat adegan
itu, Trakl jatuh pingsan dan patah semangat. Atasannya khawatir ia akan bunuh
diri dan mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Di situlah, Trakl, yang selalu
membawa narkoba, meninggal dunia akibat kelebihan dosis kokain. Kemungkinan
besar ia memang membunuh diri. Seorang penyair yang menderita, seorang penyair
yang jenius menutup usia pada umur 27 tahun. (hlm 10-11).
Catatan Lain
Trakl semasa hidupnya
menghasilkan sekitar 100 puisi yang matang, belum termasuk yang ditulis sebelum
1909 yang tidak dianggapnya sebagai karya yang berhasil. (hlm. 12). Setelah
pengantar panjang oleh Berthold Damshäuser, di halaman 23 ada puisi Agus R.
Sarjono yang berjudul Trakl, ditulis di Bonn, Januari 2011.
Jika kita membuka buku,
maka puisi asli berbahasa Jerman akan bersanding dengan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia. Jika puisi berbahasa Jerman di halaman sebelah kiri atawa halaman
genap, maka puisi terjemahan di sebelah kanan atawa halaman ganjil. Sehingga
dengan akal-akalan saya, posting puisi yang tampil di sini juga menyertakan
judul asli dalam bahasa Jerman, meski di buku tidak begitu. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar