Kamis, 19 Oktober 2023

Rusdi Zaki dan H.U. Mardi Luhung: PARA MAMBANG DI KOTA TERKUTUK

 
 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Para Mambang di Kota Terkutuk
Penulis: Rusdi Zaki, H.U. Mardi Luhung
Penerbit: Dewan Kesenian Surabaya, Surabaya.
Cetakan: I, 2000
Tebal: 34 halaman (17 puisi, 2 esai)
Gambar Sampul: Saiful Hadjar
Desain Sampul dan Layout: Bengkel Press
Diterbitkan untuk Acara Forum Sastra Dewan Kesenian Surabaya, 26 September 2000
Esai: H.U. Mardi Luhung (Rusdi Memasukkan Jangkrik ke Kupingku) dan
Rusdi Zaki (Soal Suka dan “Suka-suka”)
 
Sepilihan puisi Rusdi Zaki dalam Para Mambang di Kota Terkutuk
 
PERTARUNGAN BARU DIMULAI
 
aku berdiri di ujung tahun ribuan
matahari terbit berwarna metalik
biasnya semburat di kain rentang
gaun para perancang mode abad lalu
 
ini abad baru! Ini milenium baru!
aku masih terkapar di dalam perut titanic
di dasar laut peradaban. Beku!
 
orang-orang berkulit pastel
melepas burung logam ke ruang angkasa
mematuki satelit dan kembang plastik
menjaring bumi sebagai onde-onde
 
aku melipat kertas menjadi kupu-kupu
mainan anakku di tengah padang waktu
 
merencanakan ziarah ke galaksi
orang-orang ketemu alien
menggambar alam semesta dengan laptop
dengan sebilah tuts insert berkali-kali
 
pertarungan baru dimulai
melucuti ikon keserakahan
kefakiran dan kenisbian
dalam monitor tak bertepi
 
temanggungan-sepanda/ 30/12/1999
 
 
JAZZ UNTUK SEORANG PENYAIR
 
Suara Louis Amstrong mengerang liar
Di bar, lewat bibir dower penyanyi baru
Kulitnya mengkilat ditimba lampu strobo
Lampu spot dan kerlap-kerlip jaketnya
“Hello Dolly…”
 
(Lantas suara trompet dari elekton mengiris-iris nyeri)
 
Para penyair pun membaca puisinya dengan irama blues
Sebuah bintang jatuh ke tengah jantung refrein
“Kau punya duit?” sapamu
 
Pejabat kota, bankir, ulama, dokter,
Pengacara, wartawan, mahasiswa,
Manggut-manggut memuji-muji bunga,
Angin, cemara, seperti dalam puisi
 
Seorang perempuan tertawa kering
Jemarinya yang menjepit rokok putih
Menutupi mulut. Malu
 
(Di ujung kampung seekor anjing terkaing-kaing)
 
“Aku minta maaf,” kata kau
Para penyair terus saja menulis puisi
Di atas Boeing 747 melintasi Atlantik
Padang ilalang melambai-lambai
 
Pikiranku melompat-lompat
Dari anyir bir dan asin masam tequilla
Lewat bibir dower penyanyi baru beracapella
Pada coda “Persetan kau pembual!”
 
Aku tulis puisi
Di ruang seminar sibernetik keniscayaan
Tak seorang pun mau mengerti
 
 
SEPASANG JANGKRIK MENDEKAM DALAM KUPING
 
Sepasang jangkrik melompat dalam kuping kanan
lantas seekor lagi melompat ke kuping kiri
Mungkin mereka sepasang jangkrik kelaparan
 
Sepasang jangkrik mendekam dalam kuping
Suaranya menggema dalam gendang telinga
krik, krik, krik…
Sepasang jangkrik mendekam dalam kuping
suaranya menggangu tidur siang dan malam
krik, krik, krik…
 
Semua kepala merasa pening
karena tak ada suara lain
kecuali krik, krik, krik…
Sampai semua pekerjaan berantakan
Mendengar suara yang sama setiap saat
krik, krik, krik…
 
Berbulan-bulan sepasang jangkrik itu
Mendekam dalam kuping.
Mereka menggerogoti saluran telinga
Menuju otak sambil mengerik
krik, krik, krik…
 
Di otak besar, jangkrik-jangkrik berpesta pora
memamah cairan ingatan dan intelektual
krik, krik, krik…
Lantas jangkrik-jangkrik mengoyak otak kecil
Saraf-saraf motorik digigiti satu-satu
krik, krik, krik…
 
Sepasang jangkrik melompat keluar dari lubang hidung
Seekor lagi melompat dari kerongkongan.
Mereka telah melumpuhkan diriku
Sehingga tak mempu mengeluarkan komentar
kecuali krik, krik, krik…
Jangkrik
 
1412
 
 
MESIN CUCI MARSA
 
Marsa tak mencuci sendiri pakaiannya. Setiap pagi, ia
serahkan pada Bibi Muna. Tetangga di seberang sungai.
Lantas Marsa pergi kerja. Meninggalkan rumahnya sendirian.
Para tetangga menyarankan Marsa membeli mesin cuci.
“Berapa kau bayar Bibi Muna setiap kali mencuci?” para
tetangga menyelidik. “Kumpulkan selama tiga tahun, kau
akan mendapatkan mesin cuci baru Marsa. Cash.”
Alangkah benarnya usul para tetangga. Marsa memikirkannya.
Tapi kapan sempat aku menyeterika pakaian hasi mesin
cuci? Dan ongkos cucianku selama tiga tahun harus
kutabung, betapa kotor baju-baju, rok, dan blus-ku tak
tersiram air-sabun selama itu? Dan, Bibi Muna, tak tega
Aku merampas penghasilannya guna membeli mesin cuci.
Marsa tak mencuci sendiri pakaiannya. Setiap pagi, ia
serahkan pada Bibi Muna. Tetangga di seberang sungai.
Lantas Marsa pergi kerja. Meninggalkan rumahnya sendirian.
Karena dia tak perlu menunggu cucian kering di jemuran
depan rumahnya.
 
4/7/96
 
 
KALIMAS
 
Mula-mula cuma papan kecil bertuliskan: Jangan beraki
Kalimas.
Para penyelamat lingkungan pun menyalami walikota dan
gubernur.
“Ini program pembangunan paling spektakuler,” kata mereka
dengan mulut penuh sosis kepedasan.
Kemudian muncul papan-papan kecil, sedang, bahkan besar.
Bukan
berisi larangan. Tapi papan iklan menawarkankan resor eksklusif
di tepi Kalimas.
Para pengembang membangun saluran berkelok-kelok.
Mengusir para urban gelandangan. Mengentas para pencari
cacing. Menodong dengan meriam para pencari emas. Sebuah
kapal selam selalu berpatroli mengawasi Kalimas.
“Ini aliran darah yang harus steril,” kata para investor sambil
menebar komisi kepada para eksekutif kota.
Lantas seorang pelajar kecemplung Kalimas ketika berwisata
dengan perahu tambang.
Para pejabat kota pun mencari kambing hitam. Pemilik perahu
diinterogasi.
Pengelola tambang disidik. Keputusan pun diambil. Kesalahan
ada pada Perda yang belum dibuat. Yakni keharusan warga
kota agar bisa berenang.
 
1997
 
 
HATI MEMBATU
 
Sampai ke ubun-ubun
Kerongkongan melepuh
Telinga tetap tertutup
Hati membatu
 
1999
 
 
PERTANDA
 
Segenggam kembang
Sehasta tanah
Jadi pertanda
 
Segenggam kembang
Sehasta tanah
Tergerus air mata
Hanyut ke laut
 
 
Sepilihan puisi H.U. Mardi Luhung dalam Para Mambang di Kota Terkutuk
 
KOTA YANG TERKUTUK
 
Kota yang terkutuk adalah sekarung-tenung
yang galau oleh bisik-bisik dan bom
dan di atasnya, sekiat perut-matahari
mengeringkan seluruh sumber
yang tersisa di lipatan-ketiak
yang retak, bau dan beruap
 
dan bom (tepat di kelangkangnya) meledak
benih semburat, mengapung di antara pucuk
di bawah telapak malaikat yang mencangkung
sambil melipat sepasang sayapnya
karena angin tak lagi ingin, dan ingin
pelan-pelan meluruh ke lempung
 
kota yang terkutuk adakah tenung, adakah lempung?
di sepanjang sepanduk dan baliho yang mengkekar
orang-orang saling berlingkaran
dan menderas: “Mengapa kami dikutuk dengan
tenung, bisik-bisik dan bom!” Sepanduk dan baliho
yang mengkekar itu pun menggeliat
 
membeliak, dan seperti lubang atas lubang
pekik-pekik pun bergaungan, seperti zik-zak yang
selalu mengunyahi seluruh apa yang telah dilupakan
atas yang merayap, merangkak atau menggoser
dengan wujud pipih, lonjong atau bulat, dan
atas yang selalu mencabut-cabut bulu
yang bertumbuhan di sekujur tubuh:
 
“Kota yang terkutuk!”
 
(Gresik, 2000)
 
 
KILAT CAKRAM
 
Masih mengeram nafas ini
sebelum menyergap bau-tubuhmu
yang tersimpan di selat itu
mungkin, kali ini, aku mendapatkanmu
lalu menjilatinya di geladak kapal
sambil dikelupasi ombak
yang bersap tiga-puluh-tiga
ombak yang di puncaknya: bunga-cahaya
dengan kelopak melengkung ke atas,
menghujam ke mata-bulan: bulan-batu
 
dan di mata-bulan-batu itu
kau tudingkan seluruh pencapaianmu
yang telah menggumpalkan kerangka-kala
yang selama berabad-abad
membuat setapak di angkasa
seperti setapak turis
yang telah menghafal sekian nama
tapi tak pernah diingat:
“Sekian cakar yang telah tertiris
oleh berbagai persibakuan.”
 
lalu, siapa yang kau tunggu?
bukankah bunyi-cangkang yang ditumbuk
nyali-hitam dengan rambut-merah itu
adalah dengus-kegelisahan-renjanamu?
renjana yang telah melimbungkan bintang-jatuh
sampai akar-karang yang ruwet
pun menjadi gemetar, menjadi sejumput sesaji
yang membusuk di rahang-arus, lalu
menjerit, sebelum tenggelam, dan
ditangkap oleh penyelam-penyelam gaib
 
penyelam-penyelam gaib yang dengan rebab
berkata: “Kami ambil lagi apa yang telah
dibuang, kami buang lagi apa yang telah diambil,
rambut yang tersanggul biarlah kami urai
dan biarlah juga, keliningan-keliningan
terpasang di situ, sebab antara jaga dan pejam,
kami selalu melingkar, menaik, turun, dan kembali
lagi melingkar, seperti diagram-diagrammu
yang terekam di kilat-kilat cakram
disegelkan di jantung-jantung palung.”
 
 
PEKIK LAUT
 
Celah-celah setapak-laut terbuka
          Arahnya berkelok-naik-turun seperti pengantin
Yang berangkat memetik kembang di ombak-ombak
          Di musim-kuning-memplak, ketika yang dimiliki dulu
Masih berpendaran di kedalaman
          Sedang di atasnya: batas-nafas, lalu ruang-udara,
Dan jelajah yang melayang lewat kegemulaiannya
          Sepanjang permukaan: ikan, ganggang dan
Terumbu akan mengantar
          Berapa hitungannya: “Sepuluh, seratus, seribu?”
Barangkali tak akan terhitung, sebab
          Gandulan-gandulan di leher telah dipukul
Dan patung-patung yang diterjunkan dulu
          Itu pun telah membuka pelupuknya
Mencopot mahkota dan jubahnya
          Hanya sekedar memberi lambaian: “Selamat jalan,
Salam!” Salam pada siapa dan apa?
          Aku tak pernah punya kenalan
Tokh, papan-tarung-yang-terbentang tetap sediakala
          Melebar dan mencibir dua pendebat
Yang salah-satunya menghunus keris, sedang keduanya
          Saling menjulurkan lidah:
“Lurus lawan bengkok, bengkok lawan lurus.”
          Dua bertangkup satu, dua-duanya pun lepas
mengalir di perut-perut siput dan lumut
          Dan bakat, akankah terbawa juga? Menulis, membaca
dan memangkas batu dan bakau, barangkali kini
          Seperti lubang yang dalam, yang akan
melunturkan diri-sendiri, tanpa tangis, tawa atau
          Apa-apa. sebab, di palung-palung-telinga-sana
telah aku lempengkan sekian nama dan hikayat
          Agar tak bisa lagi menarik lengan-nyali dan
mendorong pinggul-gairah, lewat celupan
          Yang demikian kecut dan melecut
dan menyemat di rumah-rumah di pasir-pasir
          Seperti tahun-tahun yang ini, tahun-tahun yang
lalu, tahun-tahun yang nanti: “Sesaat saja.”
 
(gresik, 1999-2000)
 
 
LEMBING
 
Lembing-lembing yang menembusi tubuhku
Membikin lubang-lubang ungu dan merah
Dan kapal-kapal yang lentur
Saling menelusupi dan memasuki, sambil
Mengibarkan ketinggian tiang dan benderanya
Dan tiap-tiap peta yang ada
Adalah sebaris-bisik yang tersimpan nun-jauh
Seperti ingatan yang diawetkan
Di antara pembibitan, pertumbuhan dan
Setangkup benteng yag gemetar
 
Lalu tubuhku yang lubang-lubang itu pun menggelembung
Di dalamnya kapal-kapal pun terus berlayaran
Seperti siput ada jejak yang diguritnya
Ada lendir yang ditaburinya
Dan ada karang, pulau serta pelabuhan-pelabuhan
Tempat para nelayan saling menggosokkan nafsunya
Sambil sesekali menyiapkan belati serta
Selembar codet yang akan dipasang, tepat
Ketika potongan-potongan kepala
Telah genap terlumpuhkan dengan acak
 
Dan tubuhku yang lubang-lubang dan menggelembung itu
Pun jadi makin menggelembung
Seperti buntalan-bukit-berongga, ia mengambang
Jauh ke atas, dan sorot-cahaya pun
Saling-silang lewat lubang-lubang ungu dan merahnya:
“Lubang-lubang terbinar,” Lubang-lubang sang ular,
lubang-lubang (yang di lambungnya) pekik-gelombang
bergaung, seperti akan memuntahkan
seluruh apa yang telah dikucupnya dari sekian
daging, darah, urat dan kelopak-indung
 
kelopak yang ketika membuka gigir-cakramnya
menyulut ledakan demi ledakan-purba
ledakan yang membuat tiang-tiang dan bendera-bendera
peta-peta dan potongan-potongan kepala
di gelembung tubuhku pun jadi berloncatan
seperti loncatan-loncatan arwah lembing-lembing
lembing-lembing yang akan kembali menembusi
setiap tubuh (barangkali juga tubuhmu). Dan kapal-kapal
yang lentur yang lain pun, saling-sedia untuk
kembali menelusupi dan memasukinya.
 
(Gresik, 2000)
 
 
SATU SABETAN
 
Hantu-hantu nyata yang muncul
pada kegilaan-pagi yang sendirimu
membentangkan rahangnya
 
giginya yang ganjil seperti ketajaman
di pangkal-kulit-ari-kulup-auratmu:
“Gerangan apa yang kau rasakan?”
 
lalu pada bulan-kotor dan bocor
diserahkan seluruh sentuhanmu
lidahmu pun terulur ke ruap-gelat
 
sampai, kau merasa seperti menghirup
kemurnian awet dari sumur-sihir-umur
yang menjadikan penorama tatapanmu
 
menggilasi yang tumbuh dan menumbuh
dan segenap jiwa-murni yang tak sempat
melihat kelenyapan yang demikian dekat
 
kaukah itu pedagang-bengal
yang telah menukar selembar-kabar
lewat kitab tentang pemujaan?
 
pemujaan dewa-dewa setangah-manusia
yang datang dengan iringan mambang
dan bersemayam di sekuntum bunga?
 
sebongkah-patung pun kau tanam
di perutnya kau desakkan sebaris-hikayat
yang tak perlu untuk digenapi
 
pangkal-kulit-ari-kulup-auratmu
pun tinggal satu sabetan
 
(gresik, 2000)
 
 
Tentang Rusdi Zaki dan H.U. Mardi Luhung
Rusdi Zaki (dulu Roesdi Zaki) lahir di Surabaya, 1959. Lulus FISIP Unair 1987. Menulis puisi, cerpen, dan artikel kesenian di beberapa media massa dan antologi. Bekerja di Surabaya Post dan menetap di Sidoarjo.
 
H.U. Mardi Luhung lahir di Gresik, 1965. Lulus fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember 1989. Bekerja sebagai guru. Tulisannya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Salah satunya Mimbar Penyair Abad 21.
 
Biodata para penyair tertulis di sampul belakang buku.
 
 
Catatan Lain
            Rusdi Zaki menyumbang 10 judul puisi di buku ini, sedang H.U. Mardi Luhung menyumbang 7 judul puisi. 10 puisi Rusdi Zaki itu adalah Jazz untuk Seorang Penyair, Ada Walikota Suka Berang, Kalimas, Sepasang Jangkrik Mendekam dalam Kuping, Mesin Cuci Marsa, Pertanda, Darah Menetes, Hati Membatu, Kucing Makan Kembang, dan Pertarungan Baru Dimulai. Sedang sajak-sajak H.U. Mardi Luhung yang 7 itu adalah Satu Sabetan, Kubur Panjang, Ponten, Kilat Cakram, Kota yang Terkutuk, Pekik Laut dan Lembing. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar