Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Kaki Petani: Ode Bagi
Pejalan
Penulis: Khoer Jurzani
Penerbit: Basabasi, Bantul,
Yogyakarta.
Cetakan: I, Agustus 2019
Tebal: vii + 136 halaman (94
puisi)
Editor: Tia Setiadi
Pemeriksa Aksara: Daruz Armedian
Tata Sampul: Resoluzy
Tata Isi: Kiara
Pracetak: Kiki
ISBN: 978-623-6631-23-2 (PDF)
Bunga lotus mekar pada musim
yang teramat dingin. Kaki Anda
tempat berkubang segala bimbang.
Saya menunggu salam dari ladang,
dari lumpur dan belalang.
Aroma keringat meruap dari kulit,
kulit Anda, sesegar bau embun
di atas rumput-rumput pagi. Anda,
lelaki petani berkulit kuning menduga, apa
yang saya tunggu hingga rela menjelma
bunga lotus dalam mimpi.
Sebagai jejak berupa riak, saya tak bisa
menjamah tubuh sawah yang lelap
saat deru angin dari gunung berkunjung
lekuk gunung dan pohon-pohon.
Di lembah sesudah hujan, sesudah
saya dan Anda menanggalkan basah
rindu yang ditatah sepenuh sungguh.
berderai ke rambut dan kemeja Anda tak
lain dingin geming sepasang orang asing.
Hantu bergaun merah duduk manis
menjuntaikan kaki di dahan pinus.
dinding rumah para arwah.
Matahari menyingkap tirai cahaya.
Berpasang mata mengenali warna-warna.
seramping lidi. Saya berlindung pada
kelabu dada setipis rasa cemas. Derai
rasa cemas. Serta denyut nadi yang lemah.
menanggung letih seekor burung gagak
usai jauh terbang mengepak.
Ilalang langsing menunggu matahari
pudur ke sisi sebuah lembah.
O, hujan turunlah. Hujan turunlah.
berteduh menyeduh memar luka.
Seekor burung gagak rebah
di rumput gelagah. Tanah basah oleh darah.
O, hujan turunlah. Hujan turunlah.
Seikat sajak sepi
mengantarku padamu,
matahari ungu
seperti pipi seorang ibu
ditinggalkan musim mekar.
Aku akan kehilangan cara
bagaimana mesti bahagia,
yang sama dingin
dengan rongga dada angin.
Bunga mawar
di samping kolam ikan
tidak pernah memilih gaun
warna apa yang akan dikenakan
di atas bangku segumpal ragu,
aku melihat seekor anjing
kampung
berenang di pantai,
seorang ibu dan dua anaknya
mencari cangkang kerang,
seorang laki-laki biru tengelam
dalam kenangan.
ke pantai loji.
Selain buku puisi tentang rasa
perih ditinggalkan.
yang menempel di dinding karang.
seteguk pahit kopi di cangkir hampa.
bulan yang dihormati,
singgahlah
sekadar memetik kecapi
dan menulis satu-dua puisi.
padamu beberapa
ayat dari kitab tua
pemberian seorang rahib
dari jazirah suci para penyair.
bulan yang haram,
dirimu menjadi rahasia
melebihi ayat paling mujmal.
Kita bukan lagi anak muda
dengan antena mencuat di kepala.
Duduk tenang
Haji Hasan Mustapa
di Pasarean Agung.
Diombang-ambing
Sinom barangtaning rasa kuring.
Belum hendak tiba di rumah.
Toha Firdaus diantarkan
kidung keroncong.
Menemui hujan yang
ditatahkan di atas nisan.
Malam dan runcing
sabit bulan. Haji Hasan Mustapa
bertanya, untuk apa
menunggu kereta api
yang tidak pernah akan datang
Di Cibeber, aku duduk
di ruang tunggu stasiun.
Sepasang mata mungkin
sudah penuh tatahan bunga duka.
Tinta Gentur sekelam malam
ditatahkan di bawah lentera.
Hingga sisa
jelaga tandas diganti murni udara pagi.
Orang-orang datang saat lampu
senja menyala.
Seperti baru kehilangan
secarik tiket kereta untuk pulang,
aku makhluk halus
yang diam di tempat-tempat keramat.
Semisal hatimu.
Haji Hasan Mustapa.
Kapan derita yang menjelma
musim kering ini binasa.
Mirip peziarah dari Jambudipa.
Aku mengaji kasidah burdah
ditatahkan mambang.
Para mambang diambang-dikoyak bimbang.
di atas meja. Mirip potret
anak kuda yang berlari di sabana.
Aku sebut itu puisi.
Wajahmu terkadang sangat usil,
ada senyum paling mistis.
Aku coba terjemahkan
ke dalam cawan cokelat
dan barulah dapat kubayangkan
dua bayang dalam angan:
kau yang sedang tersenyum
dan aku yang sedang
mesra di tubuh Layonsari.
di sisik naga para dewa. Di tepi
Jalan Pajagalan, anak-anak cendana
melantun doa padma.
Wayang potehi merayu
diselingi suara kendaraan melaju.
kata Anda, welas asih Dewi Kwan Im
mekar bak teratai mekar kelenteng agung.
Para dewa lungsur setenang hujan
berderai dada lapang. Menemani
ibu-bapak merapal amuk ombak rasa sesak.
akar harendong masih
milik kita, raja. Juga batang
upas melepas getah nanah,
juga sarang kawanan burung
hutan di dahan-dahan.
Raja, kita tak menyimpan
banyak emas-perak. Namun
huma menderma ramah
senyum petani, tomat
kuning-kemerahan, anak-anak
tatar Galuh pada hari teduh
bermain galasin
dan oray-orayan sawah.
di prasasti cuma nama-nama
raja. Raja, setangkai jerami
kering kecoklatan
yang tak sampai moksa
sebagai salah satu warna teja,
akan membusuk tak jadi
apa-apa. Selain berkalang kabut petang.
Selain yang mencatat, mencatat saja.
Berbisik tentang rasa kagum
pada malam, pada pagi,
pada tetumbuhan tumbuh di perigi.
pada tahun itu, tuan.
Saya, juga sekian
ratus manusia,
manusia tuan, yang
menelan basil tetanus.
Nyawa berharga
hilang percuma.
Saya sayap
Achmad Mochtar.
Lelaki yang tuan
tatahkan tulisan di
nisannya: pembunuh.
Saya bekerja hingga
pukul berapa, saya
sendiri lupa.
Seperti saya lupa
bagaimana hangat
nasi putih, manis
gula pada cincau
mengental. Ratusan
jiwa direnggut paksa.
Tuan, saya tak lebih
dari kerbau berkubang
di darah menggenang.
Selendang milikmu basah
telah oleh darah.
Kulit selembut kunjungan
singkat malaikat maut, kulitmu,
Dewi Anjani, pelan-pelan jadi dingin.
Anoman, siapa berhak menghirup
ruap mimpi. O, tak bisa lagi
menatap langit hayat.
Sepasang mata yang ditatah
di wajah seindah tenunan rajah!
segala yang membuatmu berduka
musnahlah. Seperti kampung Cikole
dan Parung Seah, kampung yang
diucapkan Andries De Wilde,
tuan tanah pemilik kebun kopi dan teh.
Terus tumbuh toko-toko dan tiang-tiang
penerang. Dinding kotaku tubuh yang
memeluk hujan. Stasiun kereta api
di tubuh kota ini jantung yang
mengirim detak. Seperti hutan dan
gunung mengirim mata air dan sungai.
Mengalir membasuh wajahmu.
Ladang pisang pelan-pelan hilang.
Kau pun tiba di selasar masjid agung,
pada Mei 1926.
kita menggigil, demi kota mungil ini, kau
pun tiba dengan senyum bunga melati kosta.
Meski sejuk udara adalah biasa.
Demi laut yang membatasi dermaga, demi
gunung tempat leluhur tinggal.
Semoga stasiun kereta api menjadi nadi.
Semoga masjid agung menjadi jantung.
Mengaji tahun 1914 orang-orang
bermata biru tinggal, kita mengaji kebun-kebun,
mengaji ayunan di halaman rumah-rumah tua.
Ingatlah gereja pantekosta sebagai sepasang
mata di dalam jiwa.
Maka sekolah polisi
Gubermen pun berdiri. Semoga Gunung Puyuh
menjelma ladang bunga bagi para santri.
Sebelum biji kopi ditanam dan lestari,
segala yang membuatmu berduka musnahlah.
Seperti rel kereta api membawa pahit biji
kopi, seperti tanah Priangan yang periang
tak pendendam.
adalah lereng Gunung Gede Pangrango,
mengaji hingga selatan
sungai Cimandiri, mengaji hingga barat
keresidenan Jakarta dan Banten.
Terpuji satu April 1914. Sebab orang-orang
bermata biru betah berteduh.
Sebab sejuk pagi sepi
belum terganti deru motor dan tak ada
antrean buruh
pabrik di gerbang kemalangan, dan belum
ada pasar
tumpah di jalan. Dan manis moci masih
manis kue
harga terjangkau warga jelata seperti kita.
Maka mal pun dibangunlah
tanpa gundah. Maka plaza, pizza hut,
McDonald, warnet, minimarket,
geng motor, lapang merdeka, taman-taman,
ditaburkan bersama dinding hotel dan
kolam renang. Taburkan lagi aspal
serta segala yang serupa dengan lain kota-kota.
Pahami ruas jalan sebagai sebuah
kebahagiaan, pahami zaman yang berubah
sebagai seorang teman.
Pahami akar yang pernah tumbuh,
seperti jemari kita
yang tumbuh di madrasah, seperti matamu
yang gemar memandang rinai ingatan.
Berilah Cikole terkasih sebuah
kisah, biarkan anak-anak sekolah mencatat
suluk dan tembang. Ambillah dua ekor
kunang-kunang terbang di rerumputan,
isilah punggungmu dengan
kerlip cahaya mimpi.
Inilah tahun 1579, saat
Pajajaran runtag. Terpuji Kedatuan Pamingkis.
Kabuyutan mesti dijaga. Prabu Dharmasiksa
kerajaan Sunda Galuh Kuno masih dipuja.
Maka di Cicatih pun
dituliskan prasasti. Kabuyutan mesti dijaga.
Meski ibu kota Pakuan pun lepas sirna.
Maka taburkan kuntum soka, duhai, untuk
Ki Ranggah Bitung yang gugur.
pergi, segala yang membuatmu berduka
musnahlah. Seperti kabut yang turun.
Kebaikan Ki Load Kutud semoga dibalas
oleh dewa. Juga Nini Tumpay Ranggeuy
Ringsang, dimuliakan doa-doa. Mengaji
petunjuk seorang resi. Mengaji hikayat cinta
kasih Nyai Raden Pundak Arum Saloyang.
aku kini mengaji cahaya masa depan di hati
anak-anak sekolah. Terpuji wihara widhi sakti
teratai darma, terpuji bapak Syamsuddin,
Ibu Saridjah Niung, terpuji ketulusan pahlawan.
Hujan susut di kancing baju
saya. Siapa menanam malam,
menanam sekuntum kembang
hitam di lengang jalan.
sepucuk darah dari seekor
kupu-kupu rapuh.
Anda berjalan menyusur titian
bulan terang. Saya istirah
menunggu surut lelah.
apakah lembut belaian bait
firman Tuhan. Di dingin kota ini.
semanis biji-biji kapulaga
menjelang tua. Jatuh pada
hening rerumput tundra:
Lelaki yang pada Jumat
suci menahan sakit
di urat-urat nadi. Seperti
perih tangan Yesus saat
terikat pada salib. Darah
serta doa-doa pendeta
menetes di atas bunga-bunga
musim semi, di altar gereja
juga mahkota duri yang melekat
di helai rambut Isa yang
hendak diangkat ke langit.
Bismillah, bola mata Anda:
Kasidah paling panjang
pun tak akan pernah
mencapai arasy-Nya.
Penjara Yunus barangkali
lebih lapang ketimbang
kasih yang tak sampai.
Namun kekasih, cahaya
dari biji mata Anda lebih
hangat dari helai sayap malaikat.
kiri kanan tampak
bayang-bayang pohonan.
disinari bulan dini hari.
di sanubari lelaki.
melukai dada kita
dengan gema yang jauh
Renyai hujan rontok. Jemari sekurus lidi mengibas rasa cemas.
Landai pantai masih jauh, kata Anda, riak ombak masih jauh.
Kata saya, beri ujung kemeja Anda bilamana air mata
melimpah-tumpah.
Sepasang sepatu putih basah. Tanah yang saya injak basah.
Berangkat hitam pohon-pohon. Berangkat menyala lampu-lampu.
Pintu. Cuma sebuah pintu. Tidak langit. Tidak matahari
menyala sengit. Juga kamar buat tubuh. Buat menutup
tirai subuh. Senyap sungguh. Di luar dinding pabrik karet,
petir menyalak. Rongsokan tubuh saya menyalak.
Cokelat corak kulit saya. Cokelat corak kemeja saya.
Saya danyang yang menyaru. Gelayaran menjaga batu-batu,
pohon-pohon bambu. Saya ingin menitis. Bagai hujan
menitis. Bagai air mata. Menjadi jari-jemari air.
Menjulur menjamah tanah, ziarah ke sawah-sawah.
Tetapi air suci tidak pernah surut. Senyum siput dibawa turut.
Saya bertolak sekarang ke ladang
Sebagai roh. Menyapa kopra,
kebun kelapa, karet dan jati.
Sonder jantung. Melayang ke gerbang
makam, makam saya.
Tetapi sekarang saya roh. Mengendus
sunyi biji besi Tegal Buleud
seperti menyongsong magrib tiba.
Di antara rumah-rumah petani,
kata Anda, masih ada pucuk-pucuk
hati menerima gonggong liar anjing
lapar. Saya berkunjung, menemui
Anda, berkendara cahaya dari
bola mata Anda.
kini lapar. Sementara di bibir pantai,
para nelayan tengah mengemas jala
berisi pasir berharga.
Khoer Jurzani lahir di Bogor, 22 Maret 1987. Menamatkan pendidikan (S1) di STAI Al_Azhary Cianjur. Mengajar di SMA Pelita Madania dan pembina sanggar sastra Pelita Sukabumi (Sangsaka). Kumpulan puisinya: Senter Adam Kaisinan (2012), Anak-anak Lampu (2013), Tidak Ada Lagi Emily (2013), Dua Bait Rahasia (2015) dan Madah Arum Endah (2017). Tahun 2012 mengikuti Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).
Di sampul belakang buku ada petikan ini, ditulis sendiri oleh penyairnya: “Puisi adalah niat baik, adalah proses berjalan. Entah apa saya sudah tiba pada niat baik atau terlampau tendensius dalam memilah kata. Apakah saya sudah memulai sebuah perjalanan atau masih jalan di tempat. Entah apa saya akan tiba di tujuan saya: puisi, yang tak pernah membuat saya puas, yang terus menerus saya koreksi semampu saya, saya edit-revisi. Terus menerus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar