Judul : Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air
Penulis : M. Nahdiansyah Abdi
Cetakan : I, 2008
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : 134 halaman (83 judul puisi)
ISBN : 979-1756-22-8
Model sampul : Edi Sutardi
Desain sampul : Hery S
Beberapa pilihan puisi M. Nahdiansyah Abdi dalam Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air
Di Bawah Rindang Baliho
Di bawah rindang baliho
Pernah kami ucapkan
janji setia
Tepat di antara
kata-kata penuh bujukan
yang jatuh sehelai-sehelai
kala tertiup angin
Ternyata, kami tidak benar-benar jatuh cinta
Kami memelihara pengkhianatan: buah
yang terlampau hitam
Lugu sekali, satu sosok tegak
mengaduk-aduk bayangan sembari terisak
Di sana, di bawah baliho yang memucat!
Sedimentasi Hujan
Kusaksikan
sedimentasi hujan
rasa kangen muncul pada tiap lapisan
Kau berteriak-teriak:
di mana lucunya? di mana lucunya?
Hei kamu yang iseng di sana. Seperti apa jadinya
langit yang terkepung kemurunganmu
dan berangsur-angsur deja vu
Kau berteriak-teriak:
di mana lucunya? di mana lucunya?
Aku pun kebingungan
Kupikir kau seekor unggas
yang terluka. Pikirkanlah,
hujan tak pernah memanahnya
Kutantang kau:
apa yang belum kita tangisi?
Malam Begini Ini
Malam begini ini
Kekasih selalu datang
dari perjalanan yang lusuh
Ia menyanyikan kegelapan yang merdu
Atom yang berdenting
Sedang tanganku tumbuh menjadi sayap yang lebar
Tubuhku hanya siluet yang bergetar:
solilokui yang abadi
Tamban
Di tanah di mana air pasang dan surut
Pengantin mengikrarkan janji-janji kehilangan
Pohon-pohon menggetarkan jiwa
Udara bagai beludru
mendekap sungai dan anak-anaknya
Sawah-sawah yang berbau wangi
menggandeng tangan petani
semesra impian
Burung-burung bersenandung
di dalam igauan manusia
Mungkin di suatu malam
ada isak tertahan
Mungkin, ada hal-hal
yang gagal terlupakan
Dan sekarang menggerogoti tubuh yang lapuk
Membiarkan waktu bersarang dan beranak pinak
sungguh menentramkan
Tertawa
Saja
Tertawa untuk
hal-hal yang lucu dan menyegarkan
Tertawa untuk
semua yang bukan lelucon,
bukan
kesintingan, bukan harapan
Tertawa dengan
atau tanpa gema
Tertawa melampaui
kehidupan dan kematian
Tertawalah
Tertawalah
Hanya ingin kau
tertawa
Betapa pun susah
keadaannya
Celaka dua belas
Barang siapa
tertawa
Seluruh kosmos
akan tertular
Tertawalah!
Tertawalah!
Engkau sungguh
relijius
Lumpur No. 7
Bernafas dalam lumpur
Melarutkan bayi-bayi di lumpur
Mengukir relief pada lumpur
Dikejar-kejar nafsu keduniaan
Ia pukulkan tongkatnya ke lumpur
Labiran maha luas
tergelar
Menyeoki abad-abad yang memar
Ada firaun menemu ajal di pusaran Lumpur
Pertanyaan
Kapan terakhir
kali
kau pelankan
langkahmu?
Tidak berkata
apa-apa, selain
mendengar
percakapan dalam jiwa
Benda-benda
angkasa masuk ke tubuhmu sebagai
butiran pasir
dan rasa
kehilanganmu seperti
cahaya yang
mencair
Kamu luluh
lantak, kamu masih bersendawa
Begitulah, di
tahta kosong itu kau mulai menatah nama
Alangkah
genitnya!
Ikan
Menggelepar
Kamu merasakan
energi
yang hidup
menjaringmu
Kamu ikan
menggelepar
dalam jaring-Nya
Setengah mampus
kamu
ingin melarikan
diri
Sepertinya kamu
berhasil
keluar
sebagai
pecundang!
Aqsa
Ini tentang
neraka yang diciptakan
tentang tanah,
kehormatan, dan luka yang panjang
Anak-anak bermain
di garis depan
bermain dengan
kehilangan-kehilangan
Pertempurannya
berlangsung di banyak titik
dalam jiwa
manusia
Satu bumi
terlibat, satu bumi mengulur tangan
bagi darah yang
terserap cepat oleh sejarah
Inilah zona di
mana ditanam ranjau
Para darwis
menari berputar, keledai pergi
mengokang senjata
Ada mawar jatuh,
ada bangkai yang telentang
menatap ruh yang
mengawang-awang: keramas
di seribu senja
Sajak
Terakhir Untukmu
Ini sajak
terakhirku untukmu
Kalau pun di
kemudian hari aku mengingkarinya
itu lebih
disebabkan harmoni
yang tak menolong
apa-apa
Juga karena
pikiran yang buntu
merayakan rasa
bersalah yang masih tinggal
Hanya ribut-ribut
sepanjang perjalanan
Musim menyerap
kita dengan tamak
memilihkan sebuah
kejutan tak populer
: kematian
Kulewati masa
pubertas yang menyala-nyala
Tubuh yang tergilas
itu telah benar-benar jadi berhala
di pekarangan
mimpi yang asing
di jurang sempit
nada-nada hidup
Seperti isapan
jempol yang keji
yang mengandung
kata-kata maksiat
: Sebuah bisul
yang dipecah sebelum waktunya
& untuk
pertama kalinya aku merasa sepi
aroma mawar meletus dari bangkai seekor anjing
Singkat
Saja
Wajah-wajah
kosong dan sibuk
yang sangat
rentan dan menyimpan trauma
yang begitu teguh
dalam larutan lupa
menggapai-gapai
Sepi tanpa cela
Ia yang sangat
kasmaran menyulut luka
Bertanya ia, bagaikan
maut yang nelangsa:
“Kekasih dalam
diri, sejatinya tak lama menanti”
Wow, apa artinya
ini
Tubuh yang
lembek, rumah yang rapuh
Perjalanan di
luar nalar
Bandara Adi Sucipto
Batas
Perempuan*
Sekian lama
memejam, di depannya kini pohon terlarang
Antara murung dan
girang, ia sikat habis semua cemilan
Jari lentik dan
jakun yang menantang
Hari baik dan
menopause pikiran
Nyeri itu telah
ia pisahkan
Lantaran bebal
dan kutuk ranjang
Ia yang memeram
rintik hujan
Sejauh ini, gagal
menjinakkan kehilangan
II
Ada lelaki
mengadu untung di kota
Ada niat baik
terhalau saat gerhana
Rumput di sekitar
rumah telah meninggi
Di dapur tidak
tercium bau masakan
Berani disumpah
pocong, aku sangat kemaruk
Jejak tubuhmu
kian menggantang
*judul
puisi ini terinspirasi dari judul buku kumpulan puisi Eko Suryadi WS, “Batas
Laut”.
Menyusui
Kota
Didedikasikan
untuk Ahmad Tohari
Sawah, ladang,
dan budaya
Keselarasan dan
hantu-hantu lugu:
Ditinggalkan
sudah
Kaki-kaki yang
melangkah
dan dibeli
Senyum mengambang
yang memapah getir
Tetua-tetua duduk
di depan pintu
Memandang jauh ke
halaman kosong yang terbuka
Malam yang agung
Kewarasan yang
paripurna
Televisi
mendongeng sepanjang usia
Desa, tempat kita tak bisa pulang!
Satwa yang
Dilindungi
Ada satu satwa
Sangat dilindungi
“Undang-Undang”
Satwanya sendiri
sangat jenaka
penghibur
keluarga
Dari hutan tak
bertepi
Kini berkandang
dalam manusia: korupsi
Tinggal
Bersama Maniak
Tinggal bersama
maniak
Kamu merasa
utuh-utuh saja
Kamu pergi
bekerja dengan tenang
Kamu duduk manis
di sekolah
Sekali latah
Ramai-ramai
menghujat koruptor
Ramai-ramai
menghujat pembalak
Suatu waktu
rumahmu gelap
Petir sambar menyambar,
hujan turun dengan deras
Air. Airmata itu mengepungmu
Kamu hanyut
sambil mengigau-igau
memanggili
berhala-berhala kecilmu
Ya, kamu memang
ditakdirkan menjadi pengungsi
Seumur hidupmu
Sepanjang sejarah
kemanusiaanmu
Tongkang
Emas Hitam
Seribu tongkang
merasuki sungai membangkitkan hasrat
Arus yang dahsyat
berputar-putar di dalam
Kelipan lampu
kibaran angin telah benar-benar pekat
Emas hitam
berayun-ayun di retakan ombak
Di anjungan kapal
ia hirup bumi yang purba, dengan santai
menawarkan kopi pada
roh-roh yang terbelenggu
Tidak terlihat
serius, roh-roh tahu
di laut lepas
telah digali kuburan-kuburan
tidur bersama
nafsu kosong, kotololan-ketololan
Maka
nyanyian-nyanyian yang mungkin,
syair-syair kuno,
jeritan-jeritan
hidup beribu
tahun dalam koral dan kerang
Dan lebatnya
hutan dapat dihayati pada laut yang menangkup
Pun humus,
siklus, dan labirin peradaban
terperangkap di
riak samudera saat maut menyeludup
Hikayat
Pelupa
Zaman berganti,
penjilat lahir dan mati
Pelancong
berkipas-kipas, kita merogoh saku lebih dalam
Ada pesta kembang
api, ada panggung untuk bernyanyi
Ada malam yang
terus dikuliti
Cepat atau
lambat, kekonyolan ini akan
menjadi sentilan
kecil, menjadi jeweran kecil
Dan orang-orang
yang kelabakan itu ingin
ramai-ramai
menyidangkan Tuhan
Tak
Habis Ibu
Tak habis ibu
meregang
kesakitan dan mengalirkan susu
Not-not yang tak
sempurna
bermain pada
tubuh yang lelah
yang ingin
bersandar
sejenak pada
detik yang tercurah
Tangis si anak
bagai kupu-kupu mungil
bagai kupu-kupu
mungil
Tak habis ibu
merayakan kasih
pilu
Doa-doa
terlambung
di malam-malam yang
limbung
Airmata tak
tertafsirkan
sungguh tak
tertafsirkan
Dekaplah si anak
sepenuh lelahmu
Tanganmu yang
lembut mendamaikan
Adindaku,
ketahuilah
Anak-anak yang
tak henti mengalir
dari rahimmu
adalah sejarah
yang bergelora
adalah kemenangan
fana cinta: sebagaimana
hidup yang
singkat, drama yang penuh retak
tertidur pulas
dalam rahim-Nya
Linglung
Mengerti kalau
hidup cuma sekali
Mengerti kalau
sesudah tikungan itu
mungkin garis
akhir duduk menanti
Kita pura-pura
tak kenal
berpikir mungkin
ada yang tertinggal
dan
berancang-ancang mengambilnya kembali
Katakanlah,
unggunan api yang telah mati
atau perjalanan
itu sendiri
atau CO2 yang pucat
pasi
Terlambat.
Musiknya sudah dimainkan
Riang, cepat,
satir.
Dikutuk
Selalu Rindu
Menghiasi hidup
dengan isak tangis dan tawa renyah
Seperti air yang
lincah
yang
menyembunyikan desir angin ke dasar kali
Langit berlutut,
membasuh waktuku yang gemuruh
Sesungguhnya
rumahku pada luka
dalam perih abadi
Bersenang-senang
di tubir bayangan
Merasuki tubuh
asing
dengan maut yang
mengekor, dengan daun-daun bambu yang saling bergesek
Aku belum
melupakan, saat kautumpahkan
cintamu ke
kemejaku
Aku sudah
memaafkan & aku dikutuk selalu rindu
Tentang M. Nahdiansyah Abdi
Lahir di Barabai (Kalsel), 29 Juni 1979. Bekerja di bagian Psikologi Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Gambut. Bergiat di “Kilang Sastra Batu Karaha” Banjarbaru bersama penyair Eza Thabry Husano, Hamamy Adaby, dll. Buku puisinya Jejak-Jejak Angin (Olongia, Yogyakarta, 2007) bersama Hajriansyah, Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air (Tahura Media, Banjarmasin, 2008) dan Pewaris Tunggal Istana Pasir (Tahura Media, Banjarmasin, 2009) dan Buku Harian Pejalan Tidur (Tahura Media, Banjarmasin, 2011) . Saat ini tinggal di kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar