Data buku kumpulan puisi
Judul : Seribu Mesjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Cetakan : IV, Mei 1993 (I, September 1990)
Penerbit : Penerbit Mizan, Bandung.
Tebal : 164 halaman (50 judul puisi)
Beberapa pilihan puisi Emha Ainun Nadjib dalam Seribu Mesjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba
Syair Candu
1
kalau kamu bilang agama itu candu
dengarkan allah-lah candu hidupku
tuak cinta maha membeningkan pikiran
melempangkan yang sebenar-benarnya jalan
jika sukmaku meminumnya
badan tegak dan jiwa perkasa
menyingkir rasa takut dan kesedihan
sehingga takkan kubatalkan pemberontakan
para peminum kesejatian
sanggup keluar dari setiap barisan
yang menghardik utuhnya kemanusiaan
meski ditemani oleh hanya sunyi dan kelaparan
kamu takkan tahu bau napasnya begitu merangsang
menyisihkan segala yang tampak menggiurkan
menjelaskan betapa remehnya godaan
serta apa pun saja yang seolah dan seakan-akan
kalau kamu bilang agama itu candu
kuperdengarkan allah dan tak ada yang selain itu
firmannya merasuki darah bagai arak suci
kusandang untuk menyibak zaman ini
1985
Syair Candu
5
paduka kenyataan hamba
paduka juga impian hamba
luka parah hamba memburunya
semesta rahasia
tak terhingga jumlah pintunya
sehingga realitas terus bekerja
kenyataan tak bisa distop langkahnya
sebab terangkai oleh kemungkinan
yang tak tertangkap oleh kata benda
paduka aduk mitos kenyataan
padaka tertawakan kenyataan mitos
ketika orang membeku di salah satunya
maka terimalah hamba
ikut berdenyut di jantung paduka
mengembarai hakikat yang betapa anehnya
1985
Hijrah
mimpiku pawai burung
tanpa sayap terbang ke surga
mimpiku mata rabun
nyangkut di langit hampa
insyaallah angan-angan ini
disetujui oleh para nabi
tapi jarang kuteliti
teori mereka mengolah bumi
kemudian tiba ke khomeiny
marx, fraire, dan ali syari’ati
madrasah frankfurt, ngo pinggir kali
berperang brubuh di rumah sini
di wajah beberapa kawan
nama-nama itu menjelma siluman
ketika tangan mereka acungkan
terciptalah mesin percetakan
aku jatuh terjengkang
tolol di pojok jalan
hanya sanggup berpamitan
hijrah ke semesta pengembaraan
1985
Ambil Si Penari Untukku Tariannya
Dzu Walayah membawaku mengembara.
Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu, namun bersamanya menjadi berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.
Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu puting induknya.
Namun, tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul wujud, Allah dengan hambaNya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta – “Ambil seciduk dua ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.”
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata – “Pakailah ini untuk selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.”
Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit pundakku – “Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan kepadaku tariannya.”
1987
Tahajjud Cintaku
mahaanggun tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima
kecuali kesucian tidaklah tuhan berikan kepada kita
kekotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
katakan padaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan diri
ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
mahaanggun tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
tuhan kekasihku tak mengajari apapun kecuali cinta
kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
1988
Tuhan Sudah Sangat Populer
Satu
Tuhan sudah sangat populer
Nama-Nya dihapal luar kepala
Sehingga amat jarang ada
Orang yang sungguh-sungguh mengingat-Nya
Tuhan sudah sangat populer
Seperti matahari tak pernah tak bercahaya
Sehingga hanya kadang-kadang saja
Orang menyadari ada dan peran-Nya
Tuhan sudah sangat populer
Baik di kota maupun di desa
Kalau terasa tak ada, orang menanyakan-Nya
Ketika jelas, ada orang melupakan-Nya
1987
Seribu Mesjid Satu Jumlahnya
Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunya
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkan nama Allah Ta’ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Tubuh kita bertakbir
Ruh mengagumi-Nya tanpa suara
Ruh bersembahyang tanpa gerak
Menjerit dengan mulut sunyi
Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gampang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa bumi ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita bawa ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab masjid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkut kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sejuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu Ukhuwwah Islamiyyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid’ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Satu orang membangun seribu masjid ruh
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan
Hayya ‘Alal Falah!
1987
Tentang Emha Ainun Nadjib
Di buku tersebut tak ada biodata Emha, hanya ada pengantar singkat yang menyampaikan bahwa di samping kumpulan puisi “Lautan Jilbab” yang terbit tahun 1989, ia sedang menyelesaikan “Syair Asma Al-Husna” yang tak juga selesai-selesai dikerjakan sejak tahun 1984. “Sangat berat menuliskannya,” demikian ujaran Emha.
Catatan Lain
Seribu Masjid Satu Jumlahnya, kalau tak salah ingat adalah buku puisi yang pertama saya beli. Mungkin belinya di Martapura, saat saya masih bersekolah di SMA. Harganya tak tercatat oleh saya.
Mantab! Dari pada teronggok, Maka justru akhirnya saya menemukan mu... :D
BalasHapusMohon copy untuk blog saya
Sudi mampir, dari orang yang baru belajar.. :)
>>> am535.blogspot.com <<<
ok.. selamat belajar :D
Hapuspuisinya bagus2....
BalasHapus