Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Aku Laut, Aku Ombak
Penulis : Iverdixon
Tinungki
Cetakan : I, Oktober 2009
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Tebal : x + 110 halaman (61 puisi)
Penyunting : Ahmad Syubbanuddin Alwy
Penata Aksara : Edeng Syamsul Ma’arif
Pra cetak : Hidayat Muhammad Arif
Layout : Muhammad Syahri Romdhon
Design cover : Aminuddin TH Siregar
Gambar cover : “Stuck in Reverse” karya J.A. Pramuhendara
(teknik Charcoal di atas kertas tahun 2006)
ISBN : 979-975830-8
Pengantar : Meilia Handoko Kolondam
Beberapa pilihan puisi Iverdixon Tinungki dalam Aku
Laut, Aku Ombak
Sambo Ghenggona
Tuhan sajak bungabunga, bungabunga sajak Tuhan
Dalo
dalo ia medalo mesuba Ruata
sembah syairsyair nafas, nafas syairsyair sembah
Ghenggona
Langi Duatang Saruruang
kelip bintang tepi duka, duka di kelip bintang
Iamang
ianang Fattimah magenda putung
amuk ombak samuderasamudera, samudera amuk ombakombak
Su
hiwang Baginda Aling
pujaan sajaksajak laut, laut sajaksajak pujaan
Dalo
dalo ia medalo
Keperkasaan semesta mata ibu, ibu mata semesta
keperkasaan
Ghenggonalangi
medadingan su gaghenggang
hati lepuh cair diratap mantra, mantra ratap dilepuh hati
Iamang
ianang Fattimah magenda putung
ya Esa... esakan duniaku, dunia esa ya... Esa
Su
hiwang Baginda Aling
dari arasaras jalan menikung, menikung jalan arasaras
Dumaleng
suapeng nanging
menuju denting surga, surga harapan denting hati
Manendeng
mbanua mbanua Duatalangi
menuju kupu menafsir cahya, dan cahya menafsir kupu
Sole
tama sole buntuang taku makibang
yang mencari pagi punya matahari, karena matahari punya
pagi
O, Biabe
sukakendagu Ruata, e
2008
* Sambo (Sasambo) adalah syair pemujaan dan
pengajaran (sasasa). Sejak Nusalawo masa purba sasambo dinyanyikan
dengan menggunakan Tagonggong (alat tetabuhan). Ghenggona (Ghenggonalagi
= Ruata) adalah ilahi pencipta semesta dan pemimpin para moyang
tertinggi (dewa). Pesambo (orang yang menyanyikan sasambo) biasanya
mengubah syairnya secara spontan mengikuti cita rasa hatinya. Syair itu
dibawakan secara berbalasan antara beberapa pesambo. Estetika sasambo terletak
pada ornamensi kanon dan rima bunyi, bukan pada makna diksi.
Syair Tangisan Uringsangiang
ya aduh kasihan
sekiranya aku burung gerangan
ya aduh kasihan
aku terbang ke pulau hakekat
ya aduh kasihan
aku tak dapat menimbang pikiran
ya aduh kasihan
aku dipangku sang keasingan
ya aduh kasihan
aku tinggal di sini
ya kamu
ya aduh kasihan
kamu tak bawa aku bersama
ya kamu
ya aduh kasihan
berharap aku angin pendorong
ya kamu
ya aduh kasihan
jangan tinggal aku sebatang kara
ya kamu
ya aduh kasihan
aku tidak menghendaki rumah
ya kamu
ya aduh kasihan
aku hendak berumah di perahu
ya kamu
2008
* Uringsangiang,
putri dari Datuk Mokoduludugh, raja kerajaan Wowontehu. Ia dan perahunya hanyut
di abad XIII dan terdampar di pulau Sangihe. Dari syair tangisannya itu juga
diperkirakan nama Sangihe diambil dari kata Sangi = tangis. Namun
yang terpenting dalam kebudayaan tua Nusalawo, menangis punya tradisinya
sendiri. Baik itu tangisan kesakitan, pedih dan putus asa serta tangisan duka,
sudah ditata dalam bentuk sastra yang teratur. Jadi siapapun yang menangis
mengikuti tradisi itu. Tak heran kalau ada duka, orang yang menangis, ratapnya
kedengaran seperti nyanyian. Di Nusalawo purba tangisan adalah nyanyian.
Bekeng Paramata
Ia bega mangarawang
Lensoku wale lido
antara dua sungai di manakah
jejak muara, di antara dua matahari ke
senja manakah ia terbenam. di
antara dua bunga pada musim manakah
ia mekar. pada dua buah lubang
luka di manakah cinta menetes. tiada
itu ada, abu ke debu, debu ke
tanah, tanah ke pasir, pasir ke batu, batu
ke bukit, bukit ke gunung,
gunung ke awan, awan ke hujan, hujan ke
laut, laut ke pantai, pantai ke
tanjung, tanjung ke muara, muara ke kuala
kuala ke mata, mata ke air, air
ke kabut, kabut ke asap, asap ke api, api
ke nafas, nafas menuju ke
cinta, cinta ke hidup, hidup ke mati. seperti
telur hidup menetas jatuh ke
tanah jadi batang, batang jadi ranting,
ranting jadi daun, daun jadi
bunga, bunga jadi buah... itulah waktu. di
tanah kupijaki ini cinta
bertumbuh selebat semaut luka. waktu menjaga
nafas berkatakata dalam bisu
cinta. waktu mempertemukan memisahkan.
waktu menghitung tanpa peduli
ke mana nafas mengalir. waktu tak
pernah berhenti menagih zaman
dan sejarah. semua hendaklah berjalan
mengikuti jejak
ditinggalkannya. meski ia letih, ia tetap sabar berjalan
menulis peta bumi karena ia tak
pernah mati, meski sepi selalu menepi di
tepi hari, mengapa waktu
merantaiku dalam rasa haus teramat panjang.
berapa lama lagi aku menanti.
cinta seperti detik pergi dan kembali.
usia adalah menit mengikuti
jejak nafas. waktu adalah catatan menulis
cinta dan maut di atas sbuah
kertas bernama harapan. tubuh ini kering,
tubuh ini haus, airmata
membasuh dingin dan petaka, dalam dua hujan
terbelah. cinta kapan engkau
datang, penungguan kedinginan dirawat
kemarau. sedang cinta
membutakan aksara ditulis waktu. waktu menikam
sepi sunyi ke dalam detakku.
biarkan aku menanti dia sebelum air hidup
mengering, agar sepasang
merpati punya waktu kunjungi abadabad
aku mencari dia, dalam senja
merah
agar malam punya cahya, siang
menjadi cerah
2005
* Cerita anak gadis yang menanti cintanya. Gadis
disimbolkan permata (Paramata). Pola sastra tutur (bekeng = cerita pengajaran =
sasasa). Jenis puisi liris yang bermaksud memberi petuah. Sastra bentuk ini
diperkenalkan sastrawan Toumatiti dari kerajaan Wowontehu. Dan berkembang pesat
di masa ke-Kristen-an abad XV.
Putri Porodisa
laut karang
gunung karang
cinta haram
di laut tenggelam
di atasnya mentari
di atasnya langit
di bawahnya pasang
di bawahnya surut
angin berkabar
Woi merindu wando datang dari abadabad
anak laut pun bernyanyi:
upungupung baroa
anggile uwae
wae i pa ura
i pandamu ghati
seekor bangau menatap dengan iba:
sio rotowe
tuarinu edoi we
ribuan tahun lewat Wando baru tiba
ia gaib pelangi diselip badai sesudah hujan
bukit manongga matanya kelana
rengkuh gunung puncak tiga
menanti kora gedang
dikayu, dipukul seribu hulubalang porodisa
terangkailah wangi
lawa seribu bintang
andai kau tak
bimbang, biar kusuntingkan
sebelum malam
sembunyikan kecantikan
engkau menantiku
dalam setiap detakan
ribuan tahun tiga wowon membelukar binatang liar
karang matahari masih serupa kawan
jumpa pagi pisah senja
lama menanti ribuan bayang mati
putri menyepi pulau odi tak bersua Wando
rindu setengah mati
alkisah ini biarlah
tutup sampai di sini!
o…jangan! kata
perempuan dari waktu lain
cintaku tak perlu
bertukar seribu planet
seribu tahun tapa
apa guna tak bersua kekasih disayang
“pejaka memilih menghilang
daripada cinta bertukar tapi adat tak kenan”
saat cerita itu sampai putri tak jua putus asa
dari seutas rambut dibentangkan jembatan pulau odi
siapa tahu, seribu tahun lagi
dari seribu bintang Wando datang kembali
merangkai lawa buat cinta abadi
“serupa karang mentari
dua kawan setia berbagi”
2008
* Legenda pohon Lawa (pohon mistik, yang berbau wangi, berbunga uang, berdaun
kain, berbatang emas, berakar tembaga). Legenda purba ini mengisahkan seorang
putri Talaud (Porodisa) yang jatuh cinta pada seorang dewa (Wando) penjaga pohon lawa yang
bertumbuh di bukit Manongga pulau
Kakorotan. Karena cinta itu melawan adat, maka Wando dan pohon lawa lenyap.
Sementara puteri dihukum dibenamkan ke laut. Di dalam laut ia membangun sebuah
kota bernama Odi. Hingga kini masyarakat Kakorotan pada masa air surut bisa
melihat ada jalan dari daratan menuju kota Odi di dalam laut. Beberapa tetua di
tempat itu pernah melakukan perjalanan mistik ke negeri Odi dan berjumpa dengan
putri. Kota Odi adalah tempat putri menanti Wando
menjemputnya kembali.
Alamina
dari mindanao
hingga bacan
berkisah
mondelingen alamina
ampuang mengajar
kita syair dewa
o, aditinggi moyang tertinggi
pelindung alamina, pelindung kita
pusaka kara, seperti pedang terhunus
di tangan sejah menjernihkan nasib
di mana doadoa berdaun
di mana ma’rifat berakar
dirapal hulubalanghulubalang
agar laut tak letih, langit tiada mengantuk
membuka luasnya jalan bagi pendayung
kerena mendayung, dayunglah perahu
bersama seirama
searah setujuan
seperti tangan pasir yang banyak
membelai lautan serupa anak bocah
menjadi tak membahayakan
lalu terbetik cerita sukma selalu lusuh
seakan bumi tak berhenti menjadi tua
dan sejarah harus dibarukan
dalam gemerincing pedang beradu
anaksuku menggetarkan perang
membagi pulau atas nafsu, atas kuasa
menebas narang
hingga menitikkan darah
dalam ketuban ajaran bertuah
kemudian melahirkan beberapa anak jadah
lihatlah moyangmoyang
di atas siong Kara, o
seperti guru letih mengajar anakanak durhaka
ketika jadi pemimpin hanya berpikir anak,
istri dan sanak saudara
rakyat dibiarkan merana
penjahat dijadikan pahlawan
pahlawan dipenjarakan
ini keganjilan namanya!
maka berbijaklah ia
moyang ampuang Tatetu
sembilan kali menghadap dewa
membawa tangisan orangorang lembah
mereka yang hak kesejahteraannya dikorupsi para datuk
mereka yang hak kemanusiaannya diambil para datuk
o, moyang tertinggi, moyang aditinggi
empung upung amang, o
meminta ia alamina dibenamkan ke samudera
nedosa balagheng mau punya laut, punya pulau
punya semua, semaunya
beri air mata duka moyangmoyang
buat menempa, mengasah pedang perang generasibergenerasi
di atas laut yang dibawahnya terkubur sebuah negeri
di mana moyangmoyang dan peri
pergi menepi
membiar kita hidup sendiri
dan pulaupulau itu dinamai Nusalawo
sebuah syair tua alamina
yang letih hidup bersama
2009
* Ampuang Tatetu adalah seorang pemimpin spiritual
(kulano). Sebuah mite dari masa purba di bawah 1500 SM menyebut Alamina
merupakan daratan pulau besar yang membentang dari Bacan hingga Mindanoo. Pulau
itu dipimpin kulano tua bernama Ampuang Tatetu yang dipercaya sebagai wakil
dewa moyang tertinggi Aditinggi yang berdiam di puncak Gunung Karangetang.
Alimina dihancurkan dan ditenggelamkan karena manusia tak lagi patuh pada hukum
dewa moyang tertinggi (narang). Dari bencana besar itu, yang tersisa
puncak-puncak gunung yang kemudian membentuk pulau-pulau. Sementara hamparan
karang di dalam laut wilayah utara muncul menjadi pulau-pulau karang baru.
Karena letaknya jauh ke laut, maka disebut pulau karang jauh di laut (Malaude
atau Talaude). Sisa-sisa reruntuhan Alamina itu oleh datuk Tatetu dinamakan
Nusalawo (pulau banyak). Saat ini orang menyebut kawasan pulau-pulau di utara
daratan Minahasa dengan nama Nusa Utara. Padahal sebutan Nusa Utara tidak
tercatat dalam artefak sejarah dan mitologi Nusalawo. Peristiwa letusan Gunung
Awu yang menelan banyak korban jiwa serta hancurnya 7777 rumah di abad XI, juga
menenggelamkan sebagian daratan pulau Sangihe dan membentuk pulau-pulau kecil
seperti pulau-pulau Nusa, Lipang dan beberapa pulau lain hingga pulau Marore.
Kejadian itu dikaitkan dengan adanya dosa sumbang (nedosa) antara Mekondangi dan Tampilangbahe.
Aku Laut, Aku Ombak
taufan selat
Basilan
mengantar mahkota
enam kerajaan
bersusun tujuh abad
berbunga sastra
ombak
sajaksajak hutan air, bau manuru
rambut perempuan dipangkal pedang
lunas perahu ditebang laut penuh
api kubah langit
melontarkan berjutajuta panah hujan tropis
menembus serat kain keangkuhan
yang dikibarkibar orang di daratan
inilah padang air pertapaan
katakata asin di tenggorokan
mengajar senyap berkilauan
di sayap kunangkunang air
ditebar guagua karang
membumbungkan gelombang
seperti tangan perempuan
menyelusup ke lubang hati malam
membangunkan gairah para sufi
menitis napas enam kerajaan
tapi lautan tak membangun candi
bersusun arcaarca emas datuk
kecuali syair manusia perahu
melintas abad saga dan lembayung
menamai pulau dianugerahi kecuraman laut
buat margasatwa beristirah
lalu berangkat lagi menembus waktu
hingga batubatu bersusun habis dilalap air
menjadi cairan manikam menebalkan kulit ari
membungkus uraturat kawat pelaut
yang berkilau di bandarbandar benua
aku pun berlayar menghadap dewa
yang tak pernah bicara
selain memberi pesan dituas angin
yang menggendong badai
merubuhkan istana sultansultan fasik
atau sesekali muncul di lautan kencana
dikawal lima buaya berkulit intan
memakan perompakperompak
akupun tiba dalam Humansandulage
di samping Tendensihiwu
derap perahu tujuh abad
merayapi kesunyian utara
diresik suara pesambo
merobek malam
hingga langit memunculkan terang
merebahkan bintang dan bulan
menjadi penuntun jalan
menuju istana kedatuan
akulah laut, akulah ombak
ikan tak letih di pusaran arus
paus hiu menunggang gelombang
dalam sejarah nenek moyang
di laut tak ada juragan dan kelasi
ketika puncakpuncak karang mengintai napas
aku mengangkat layar mengarahkan kemudi
atau mendayung ketika angin mati
tak ada tempat bersembunyi
bila kuda angin berpacu
semuanya mendidih di api arus ganas
menguapkan kabut desingandesingan
seperti konser absurd yang megah
ketika sang dewi melahirkan anak lautnya
agar langit menurunkan tangannya
meneguhkan pangeran air
bertakdir bahaning nusa
2009
* Filosofi
laut dalam sastra bahari Nusalawo mencapai kekokohannya pada permulaan abad
XIII, berasal dari enam generasi moyang tertinggi (Humansandulage-Tendengsehiwu,
Datung Dellu-Hiwungello, Gumansalangi-Ondoasa, Toumatiti-Putri Telur Sakti,
Mokoduludut-Abunia, Lokongbanua-Mangimadamdele). Mereka peretas sejarah
berdirinya 6 kerjaan besar di Nusalawo yang bernapaskan kearifan budaya laut,
yaitu kerajaan Tagulandang, Kerajaau Siau, Kerajaan Kauhis-Manganitu, Kerajaan
Kendahe-Tahuna, Kerajaan Tabukan dan Kerajaan Talaud serta beberapa kerajaan di
Mindanao dan daratan pulau Sulawesi. Moyang-moyang itu pelaut ulung yang
berumah di ombak, berjuluk “Bahaning Nusa” (Pahlawan Pulau).
Siau
meletus lobang magma
cahaya belerang merah
kepundan pongah
dua pangeran berebut tahta
melelehkan lava
menghanguskan darah
di lereng kebun pala
ini sejarah arang menyemburkan debu
menjadi kubah batu
menggilas Katutungan
melongsor dari puncak gunung
Karangetang yang terpancung
menembus Ulu menjadi padang pasir
mendidihkan hati tak jera bertarung
darah siapa yang tergenang di Liwua Daha
kalau bukan sejarah tua yang lusuh
rakyat diperadu menggali sumur harta para datuk
abu turun dari angkasa
memberi makan akar pala
yang hanya menyisakan asam pekat
di hati para kuli yang terus meratap
pertapa tua itu bersila
dengan punggung yang letih dan luka
karena digali buat rumah bersembunyi
kota di bawahnya tak lagi tempat canda
anakanak dara, kecantikan taman raja
orangorang asing menguasai kebun pala
menguasai kehidupan sudut kampung
yang dulu bermandikan kerlip kunang
yang menabung phosphor buat cahaya malam
sempurnalah kegelapan di atas batubatu
yang terus digelindingkan gempa
menimbun cerita lama
yang naifnya
sekekar gelombang menggempur Ulu
dibawa taufan abad
yang abadi melancarkan peperangan
2004
* Siau
adalah salah satu kerajaan besar di kawasan Nusalawo purba. Pengaruhnya tidak
saja di wilayah Nusalawo, tapi menembus Mindanao Selatan, daratan Minahasa dan
Bolaang Mangondow, serta pinggiran Gorontalo. Kerajaan ini termasyur degnan
cerita peperangan laut yang banyak meraih kemenangan, terutama di zaman
Laksamana Laut Hengkeng Naung. Berdiri pada tahun 1510, dengan raja pertamanya
Lokongbanua II (1510-1540). Lalu digantikan puteranya Posuma, lewat peperangan
besar melawan saudaranya sendiri, Akumang. Dalam perang saudara ini ribuan
orang mati dan kawasan peperangan yang terletak di sekitar desa Mbeong, Siau
Barat menjadi kolam darah (Liwua Daha). Memiliki gunung api yang aktif dengan
ketinggian 1784 meter yang menjadi penyebab gempa sepanjang tahun. Tanaman pala
bertumbuh subur di sini. Menjadi daerah pemasok terbesar kebutuhan pala dunia.
Karena kekayaan pala itu, di masa penjajahan, daerah ini menjadi arena rebutan
pengaruh antara Spanyol, Portugis dan Belanda. Peperangan pun terjadi dalam
beberapa babak yang mengorbankan banyak nyawa.
Suguli Bininta
Menondong pato
wulaeng
Dalukang komerong
intang
dari alamina menuju dunia terbuka
ahung melayarkan laksamana
ingangingang laut menemui benua
upung dellu sangiangkila menaiki naga
buat bertemu sahandarumang
mebua bou hangke
benteng beong
pangiladeng
o… nusalawo
kamu anakanak laut bebas
rumahmu ombak
hidupmu arus
jalanmu bintang
kamu bininta
dibangun sejak moyangmoyang
di atas batu alasan
di atas batu tumpuang
di atas doadoa mantra kemenangan
karena hidup adalah kehormatan
dalai tuluden
darong
papia pudding
gahagho
soletamasole
maka tak kau ambil bukan yang kau punya
sebab yang kau punya kebaikan
rencahlah ombak
rencahlah ombak
rencahlah ombak
kiri di kanan
depan di belakang
di atas di bawah
karena pucuk itu hidupnya di akar
2008
* Saguli
adalah syair pembuatan bininta
(perahu). Menurut ajaran moyang-moyang (narang) setiap bininta yang dibuat
harus diberi jiwa bahagia. Karena laut adalah kehidupan yang dijaga seorang
Dewi Ahung, maka yang bergerak di atasnya hanyalah kehidupan. Sebab yang tanpa
jiwa akan dibenamkan. Tak ada kehidupan tanpa penyatuan kosmik manusia dengan
alam (filosofi sasahara dan sasalili). Sejak zaman purba Nusalawo terkenal
dengan sejarah bahari yang adiluhung. Orang Nusalawo dikenal sebagai para
pelaut yang berani. Ini sebabnya negeri itu memiliki kekayaan khazanah sastra
bahari (sasahara) yang luar biasa. Kesaksian paling dipercaya tentang
kebaharian Nusalawo diungkap Ferdinand de Magelhaes yang datang ke Nusalawo
pata tahun 1521, mengisahkan di mana kerajaan-kerajaan di Nusalawo telah
menjalin hubungan dengan dunia Barat, Amerika dan Arab. Kesaksian yang sama
muncul seabad kemudian (1689) oleh Pieter Alstein dan David Haak yang
mengunjungi pulau-pulau Talaud.
Bunga Rumput dalam Mazmur Bahagia
Bungaku
Bunga rumputku
sukmaku
sukma mazmurku
segalanya ada etalase dan waktu
manusia butuh oase
sebab manusia senantiasa dahaga
senantiasa mencari bahagia
dalam dzikir kucari guru bahagia
di hutan
di kotakota
sama saja
bunga rumput di tanah
berjalar berburu embun
dan mata bunga salami kita, o... betapa damainya
dukakah yang mendamaikan kita
hingga manusia butuh ratapan
segala miliki entah mencari entah
inikah karenanya manusia butuh cermin
sebab selalu retak
dan mengubah retak hingga mencapai entah
bungaku
bunga rumputku
sukmaku
sukma mazmurku
sebuah pelor
pelor sebuah
lelaki tua
tua keladi
menjadi tua bejat
tua tuhan
pelor itu
jiwa tua rapuh
o... bungaku terinjak
mazmur darah
milik siapa, entah?
mari kita lupakan ia untuk cinta
jika aku bisa menghitung banyaknya bunga
jika aku bisa merangkainya untuk dunia
o... betapa banyaknya keanekaan
dari mazmurku hingga sajadah
bungabunga irmata tumbuh berjalar
mencari Ilah yang meridha adzan bungabunga
memanggilmanggil dikau
memanggilmanggil dikau
melihat o... betapa indahnya warnawarni
betapa indahnya keragaman ini
bungabunga rumput di tanah
bungabunga rumput di belukar
bungabunga rumput di hutan
menyulam ratap jadi senyum
seperti perempuan tua yang tabah
menjaga anakanaknya
hingga setiap orang bisa menyunting cinta
o... bunga rumput mazmur bahagia ini
berkudalah seribu jibril malaikat kebahagiaan
datanglah ke tanah ratap duka ini
duka bunga rumput menguncup
biar sempurnalah permata mazmur bagi nyanyian muadzin
ketika subu petang
Bungaku
Bunga rumputku
Sukmaku
Sukma mazmurku
2006
* Pola
kakumbaede religius dengan ornamentasi diksi dalam perlambangan. Banea dan
Tangkule adalah dua penyair utama Kerajaan Wowontuhe yang mengembangkan genre
puisi ini pada abad XIII. Mereka adalah para penghibur raja dan keluarganya.
Perkembangan terakhir sastra ini mengalamai akulturasi dengan budaya Islam dan
Kristen.
Raja Bataha
di bawah senja
puluhan kora
tenggelam
membawa keberanian
amanah
api menjilati lautan
telah lenyap dihisap ganggang
terserap karang
Batu Mbakara
benteng terakhir itu
bertoreh bangga
puteraputeri Manganitu
perkasa membela tanah airnya
sebutlah Bataha...
bila engkau ingin belajar kearifan raja
duka rakyat duka baginda
luka rakyat luka hatinya
Manganitu bukan sekedar nama
di dalamnya bertahta jiwanya
jangan rampas sejengkal tanah
sebelum langkahi mayat raja dan rakyatnya
kora bininta lambang Manganitu berjaya
berkali mampu memukul kapal belanda
di Batu Mbakara Manganitu menang gemilang
bahaning nusa seperti bara
ditempa seribu dewata
menangis tanjung memandang raja
ditipu sanak saudara
taktik penjajah pecah belah Manganitu dan keluarga
bahaning beo diupah mengkhianat baginda
dibawanya Bataha ke mahkamah belanda
sekali maju Bataha pandang mundur selangkah
sekalipun meregang nyawa di gantungan
ditolaknya ampunan
Manganitu dibelanya dengan darah dan jiwanya
meski pengkhianatan patahkan perlawanannya
Bataha memahat nusa dengan cinta
di bawah langit dilihatnya samudera
dititipnya rahasia pada gelombang dan cakrawala
moga di suatu pagi
ditemukan cucu cicitnya menjadi nyala jiwa
2007
* Bataha
(Bataha Santiago) adalah putera raja Tompoliu. Ia menjadi raja Kerajaan
Manganitu ke-3 berkuasa tahun 1670-1675. Ia raja pemberani yang mengalahkan
Belanda dalam perang Batumbakara di Pantai Manganitu dengan berhasil
menenggelamkan kapal-kapal perang Belanda. Tapi ia kemudian ditangkap Belanda
dan dihukum gantung di Tanjung Tahuna tahun 1675. Dalam persidangan di mahkamah
Belanda ia menolak pemberian ampunan dari Ratu. Ia memilih mati daripada
menyerah pada Belanda. Oleh pemerintah Indonesia ia dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional dan namanya diabadikan pada Korem 131 Santiago.
Maulana
Fatimah di mantra api
memancar siar suci selatan negeri
muadzin melantun adzan
sakrallah langit Kandahar
dalam sajaksajak maulana
Egaliwutang Taupanglawo
bersujud lima cahaya timur
menyingkap fajar istana Aling
di jejak tasawuf sultan syarif
menyingsing pagi kaum fakir
membran surga bergetar di doa malam maulana
pucukpucuk daihango di kedalaman jurang
menyaksikan jibril berkuda kencana
berpacu dari arah qiblat
menjemput dzikir kandahar
di atas baitbait al-fatihah
seorang lelaki bersorban putih
muncul di syari puncak Awu
di balik surau keramat
yang dijaga Islam tua
2006
* Kandahar
(Kendar) adalah kerajaan Islam terbesar di kepulauan Nusa Utara (Nusalawo).
Syiar Islam berkembang luas di kepulauan ini pada zaman raja Syarif Achmad
Mansyur (Egaliwutang=Mehegalangi). Memerintah pada 1600-1640. Raja ini adalah
anak dari Sultan Syarif Maulana dari Kesultanan Mindanao. Permaisurinya anak
dari raja Tahuna, Tatehe Woba bernama Taupanglawo. Wilayah kerajaan Kandahar
membentang dari Kendar hingga Pulau Saranggani Filipina. Hingga kini, wilayah
Kendar dan Tabukan Utara merupakan pusat kebudayaan Islam kepulauan Nusa Utara.
Syair-syair tua bernuansa Islam merupakan bagian dari khazanah sastra purba
Nusa Utara. Pengaruh Islam di Nusa Utara tidak saja berasal dari kawasan selatan
Filipina, tapi juga dari Kesultanan Ternate dan Tidore.
Pertapaan Gunung
Mengenang E. T. Steller
petakpetak kebun cabangcabang hutan manganitu
menyaksikan perjamuan asya matahari
mengubah setitik embun jadi mutiara, gema syukur
di rumah tawa sangkarsangkar yang dulu gelap
inilah tapa pendakian ilmu seperti anak burung
melepas tubuh dari cangkangnya
dan terbang setinggi rajawali
dalam migrasi zaman mencari terang
ketika itu pintu asrama gunung dibuka di suatu pagi
seorang zending berjubah putih seperti nabi Daud
menyanyikan mazmur anakanak tak beralas kaki
yang berbaris di akarakar laut senyap pulau
“marilah belajar membaca biar bisa menulis Nusa Utara-mu
karena di atas ladang lautmu akan melintas sejarah
panjang
tanamlah pohon lurus untuk lunas perahu di hutan ini
hingga jelajahmu bisa sampai ke pantai luas yang baru”
sepertinya langit mendengar doa pucukpucuk bunga hutan
menurunkan hujan menggemburkan tanah kering buat kecambah
padepokan pertapaan gunung, ruang kelas mereka adalah
kebun,
bengkel mesin, arsitektur rumah, kamar orang sakit,
ma’rifat doa dan sebuah papan bertuliskan:
“ilmu adalah jendela dunia”
ratusan orang belajar di sana
membolak balik kitab injil sosial
dari seorang imam untuk dunia
yang kini menjadi jejak ziarah
bahwa dia bukan penjajah
zending memang bukan VOC
meski datangnya di kapal yang sama
satunya membuka cahaya lainnya mengejar laba
seperti racun dan obat berasal dari pohon yang sama
2004
*
Missionaris Zending tukang E.T. Steller, seperi juga missionaris tukang
lainnya, dalam pengabdiannya di Sangihe selama 40 tahun, menerima banyak anak
pribumi di dalam rumahnya untuk dilatih dan belajar berbagai kemahiran kerja,
seperti perbengkelan mesin, bercocok tanam dalam teknik modern, arsitektur,
ilmu perawatan, dan guru. Usaha ini dilakukan karena keterbatasan kaum pribumi
menyekolahkan anaknya di sekolah pemerintah yang sangat mahal biayanya.
Kegiatan ini di kemudian hari dilanjutkan anaknya Mr. K.G.F. Steller, dengan
membuka model pendidikan padepokan yang disebut “Asrama Gunung”, yang berhasil
melepaskan banyak lulusannya yang terampil di bidang masing-masing, dan
mendorong kemajuan di Nusa Utara ketika itu, dan masih terasa manfaatnya hingga
kini khususnya di bidang pertukangan. E.T. Steller, adalah seorang Zending
Gossner Jerman, mengabdi di Sangihe sejak 25 Juni 1857, meninggal pada 3
Januari 1897 dan dikuburkan di Manganitu, Sangihe, di samping makam isterinya.
Ia adalah salah satu dari sekian orang Eropa yang berjasa besar dalam
mencerdaskan kehidupan orang Nusa Utara. Sejak kedatangannya pertama kali ia
tak lagi melihat negerinya. Ia menganggap Sangihe tanah airnya yang baru.
Pahawo Suluge
di Kanang gadis cantik lama tak berkabar
sejak ibu melayang ke khayangan
ayah pun terusterusan negak sipa
mau bunuh khayalan
kecantikan ibu terbayangbayang
andai ayah patuh aturan
bulu ayam tak perlu dibakar bersama hutan
karena hati selalu butuh pujian
semenamena ia buat kekejian
ketika ibu diangkat awan
menangis ayah kehilangan putri khayangan
aku bertanya pada cendawan ke mana jalan menuju khayangan
katanya harus aku manjat tali hutan lewati awan tujuh
lapisan
berangkatlah aku ke negeri awan dipandu lalat dewa
dermawan
akhirnya,
berjumpa ibunda tersayang
netek padanya selama tujuh malam
tapi ayah tak tahan ujian
berdusta ia pada Ghenggona
Ghenggona tahu segala isi hati ciptaan
hukuman kembali ditimpakan dilempar kami ke negeri
buangan
sedang di Kanang gadis cantik sudah lama tak berkabar
betapa rindu aku pulang meraih selendang di pemandian
menangkap satu bidadari bertandang
dan aku takkan membakar hutan
biar cintaku tak melayang terbang
2008
* Legenda
kulano Tua Sengse Madunde dari Siau yang mengawini putri khayangan yang
ditangkapnya saat mandi di air sembilan (Ake Siow). Dari perkawinan mereka
mendapatkan seorang putra yang diberi nama Pahawo. Karena Madunde lupa terhadap
larangan membakar bulu ayam. Suatu ketika ia menyapu halaman dan membakar
rumput terbakarlah bulu ayam yang asapnya mengangkat isterinya kembali ke
khayangan. Pahawo yang terus menangis mencari ibunya menimbulkan iba seekor
lalat, dituntunlah mereka ke kayangan dengan memanjat tali hutan. Sesampai di
khayangan dan berjumpa dengan isterinya, Madunde kembali melakukan kesalahan
yakni berdusta pada dewa. Maka mereka dilempar dewa ke bumi dan jatuh di Pulau
Sulu. Ini sebabnya nama Pahawo (jatuh) ditambah Sulughe (pulau suluh) yang
artinya orang yang jatuh di Pulau Suluh.
Yang Dikatakan Hening
kini kutahu apa dikatakan hening padaku
di atas laut menenggelamkan dukaku
pusaran arus merobek kenangan di buih getir
yang indah ini air mata ombak
yang tetap saja tak kuasa menghapus jejakmu
hesperos phosporos di waktu pagi dan senja
kau tetap cinta dan kematianku
pada setiap terbit tenggelamnya matahari dan mimpi
2006
Tentang Iverdixon Tinungki
Iverdixon Tinungki lahir di Manado, 10 Januari 1963.
Adalah Ketua Dewan Seni Budaya Provinsi Sulawesi Utara, juga Wakil Ketua PWI
Sulut, dan Pimpinan Redaksi Tablod Zona
Utara. Karyanya beruapa puisi, cerpen, isai, drama, terbit al di Majalah
Horison dan beberapa antologi bersama al. Mimbar
Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, 1996). Kumpulan puisi tunggal: Sakral (1987), Surat-surat Sunyi (1997), Di
Tangan Angin (2001), Sajak Terindah
(2004). Naskah dramanya Drama Empat
Nuansa (Taman Budaya Sulut, 1996). Novelnya Kepas dan Mencari Cibyl,
menunggu untuk diterbitkan.
Catatan Lain
Sebuah kumpulan puisi yang penuh (bukan hanya sekedar) catatan kaki. Bayangkan, dari 61 puisi,
hanya 8 (delapan) yang tidak punya catatan kaki, dan itu diletakkan di bagian
akhir buku. Dalam beberapa hal, kadang lebih bagus catatan kakinya ketimbang
puisinya. Hehe... Misalnya saya suka dengan catatan kaki dari puisi Sastrawan Tatengkeng, yang bunyinya
begini: “Sastrawan J. E. Tatengkeng,
lahir di kota Ulu Siau, Sangihe Talaud, 19 Oktober 1907. Meninggal di Ujungpandang,
6 Maret 1968. Ia salah seorang pendiri Universitas Hasanuddin. Menjabat Perdana
Menteri Negara Indonesia Timur (NIT) tahun 1949. Buku sastranya yang termasyur
adalah ‘Rindu Dendam’ terbit pada tahun 1934.”
Ya,
begitulah, saya terlanjur mengenal satu nama itu, J. E. Tatengkeng, dari Pulau
Sangihe, sebagai penyair yang sezaman dengan St. Takdir Alisyahbana, Amir
Hamzah, dll. Dalam buku-buku sekolah sering disebut bahwa jika Amir Hamzah
membawa spirit relijius Islam, maka Tatengkeng membawa spirit relijius
Kristiani. Tapi sampai saat ini, tak banyak puisi-puisi J. E. Tatengkeng yang
saya tahu, apalagi sampai menyentuh bukunya. Moga di suatu saat.
Saya
pikir, ini adalah kumpulan puisi yang cukup kental dengan lokalitasnya. (saya
bermimpi, suatu saat, untuk bikin kumpulan puisi semacam ini juga). Atau dalam
bahasa Meilia Handoko Kolondam, seorang pemerhati sastra, yang memberi sambutan
di buku itu: “Buku kumpulan puisi Iverdixon Tinungki ini, menampilkan genre,
ragam, lengkok, rancak, cita-rasa, dan alur bahasa sastra bahari. Juga
mencerminkan filosofi hidup, impian, harapan, lekuk sejarah, tatanan nilai,
kulano-kerajaan, legenda dan mite, yang berbaris seperti ombak di laut waktu,
mewariskan citra kepribadian cemerlang dalam keunikan sebuah bangsa pemilik
laut.” Nah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar