Selasa, 04 Februari 2014

Juniarso Ridwan: SEMUA TELAH BERUBAH, TUAN


 Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Semua Telah Berubah, Tuan
Penulis : Juniarso Ridwan
Cetakan : I, Februari 2006
Penerbit : Ultimus, Bandung.
Tebal : xxxvi + 225 halaman (186 puisi)
ISBN : 978-979-99560-2-1
Editor : Bilven
Gambar Sampul : Diyanto
Desain sampul : Ucok
Prolog : Yasraf Amir Piliang
Epilog : Afrizal Malna

Kumpulan puisi Semua Telah Berubah, Tuan terdiri dari 2 (dua) kumpulan yaitu Perjalanan (98 puisi) dan Buih (88 puisi). Perjalanan terbagi atas 4 (empat) subbagian, yaitu Semua Telah Berubah, Tuan (27 puisi), Starting Over Again (27 puisi), Kau Bukan Tukang Sulap (34 puisi), dan Surat Api untuk Nyonya Margho (10 puisi). Adapun Buih terbagi atas 3 (tiga) subbagian, yaitu Pohon Kegetiran (24 puisi), Perjalanan Gelap Tuan X (39 puisi) dan Karpet Bunga di Jalan (25 puisi).
 
Beberapa pilihan puisi Juniarso Ridwan dalam Perjalanan

Ziarah

siapakah menyeret bayangan ini
mencari sumber cahaya. Penglihatan
semakin kehilangan warna,
terpaku pada kerlip-kerlip bintang

jadilah diri bergerak pada kepekatan abadi,
seperti kelelawar terbang
dengan gema suara. Mempertanyakan
jarak antar ruang kehidupan:
sekadar menilik diri
sebagai larva busuk.

1990



Gali Lubang

gali lubang ramai-ramai
satu satu turun cari kantuk
diri baring, mimpikan terbang

timbun lubang ramai-ramai
satu satu benam diri
gapai langit jinjit-jinjit

doa;
tak henti

gali lubang ramai-ramai
timbun lubang ramai-ramai
tak henti-henti.

1983


Malingping

asal tanah jadi tanah
asal air jadi air
sepanjang tebing
bayang diri jadi asing

saat diam dicari
saat diliput sepi
tatap biru sekeliling

hidup
hening.

1981


Air Mengukir Ikan

bangkai radio itu telah menari bersama sungai,
melewati riwayat kematian kota-kota; dengan gulungan
kabel telah dihubungkan denyut masa depanku,
sebuah penantian tak berlimit waktu.

di mana-mana, air mengukir ikan, menerjemahkan
kepedihan demi kepedihan. Basahnya membakar lubuk,
mengasingkan pasir ke muara-muara jauh.

seperti dirundung berahi, daratan terus mendungus,
memburu biru laut. Air pun mengukir ikan.

1996


Starting Over Again

dibatasi kelopak mata, melintas bayangan
burung dalam genggaman rembulan. mulai
terjaga dari tidur panjang, kemudian
langit merunduk bersama ribuan pohon;
mengeja asma-Mu.
dalam figura hatiku, ikan-ikan berenang
ke hulu dan para musafir mencari tahu
hakikat ketiadaan. Persis ibrahim
kagum atas kepatuhan alam semesta:
masih adakah rindu itu menjelma?

1990-1992


Di Beranda Rumah, Sore Hari

bajuku bercerita tentang perselingkuhan suami-istri,
gara-gara noda lipstik pada kaos dalam; lalu erangan
jendela sampai terdengar ke pojok-pojok pasar. Di sini,
rumah tangga jadi kalut karena dililit piutang,
lalu radio pun menyimpan taman kota yang dipenuhi
gelandangan

Echa, sambil duduk mempermainkan gigi, dari tetangga
sebelah tercium aroma ikan asin; orang-orang sibuk
memasang umbul-umbul dan bendera warna-warni,
rumah pun jadi terasa asing. Gesekan daun cemara menerbitkan
luka di dalam hati,
ilalang mendadak tumbuh di pelupuk mata.

dalam rangkulan matahari sore, kursi-kursi membeku,
di meja kulit kacang berserakan, bunga-bunga mengering;
tiba-tiba aku ingin melupakan asal-usulku, ibu!

1995


Sebuah Tarian Pagi

seperti pusaran buih dalam lubuk, tubuhmu berputar
mengikuti irama musim. Kemudian terbenam dalam
gulungan gelombang angan-angan kosong. Panen
telah gagal, hanya sampah menyengat dan eksim
yang membalut hari-harimu.

pada ujung pematang, bukit-bukit memamerkan dada
mengembang. Sejenak, tirai kabut dan selimut hutan jati
telah tersingkap kemarau. Lelehan sunyi telah mengantarkan
harum oli pada jendela-jendela rumah. Pada saat itulah
butir-butir gabah telah menjadi konsumen jam, sedangkan
dirimu tak berdaya, di kepalamu dunia mengeras, daun-daun
meranggas dari gigir alismu.

burung pipit kembali merindukan kabel listrik, melintasi
suara-suara parau, menghitung sungai-sungai membara,
mencari bayangan nafas di balik daun-daun kering.

mengikuti gerak tarianmu, pagi telah membentuk keluhan
panjang,
pada atap rumbia, matahari telah meletakkan pesan rahasia,
hari itu
kesengsaraan telah menjadi matang dan sempurna.

1998


Le Sacre Coeur De Montmartre

jangan pedulikan ingatan masa kanak-kanakmu. sebuah
bentuk angan-angan, api unggun dan tenda yang lusuh:
hanya permaianan ilusi mengantarkan diri, menjadi
penjaga bagi kehangatan taman-taman kota. Tangan-tangan
jahil, kadang lupa juga akan arti kasih-sayang.

dibentuknya batu-batu putih itu, menjadi monumen,
lalu dari utara angin mengabarkan keindahan, dan bunga
rumput menjadi inspirasi, datangnya kerinduan. Siapakah
bersembunyi dalam dinding-dinding dingin ini,
harumnya mengendap dalam jantung. Kini
sentuhan lembut itu, telah melahirkan ribuan
cahaya bintang baru di langit jiwaku.

nikmatilah sajian tarian pinggang ramping di depanmu itu,
daun-daun cemara bersilangan, cahaya matahari dan
sebuah kafe yang ramai. Jangan pula kau tolak pemberian
gaun itu, barangkali besok atau lusa ciuman bibir tipis
akan membawamu mengembara ke padang-padang rumput,
bukankah kau selalu dahaga, untuk mandi dalam kucuran
anggur, bermain busa dalam
benteng kaca. Nikmatilah, karena
waktu hanya penuh permainan harapan,
seperti salju luruh
saat senja tiba.

kini kau tambah dewasa, semakin tahu arah hidupmu,
sambil menerawang dari jalan ke jalan. Memandang
matahari,
tak jera untuk selalu bertanya-tanya tentang surga, seperti
anak kecil bersayap itu, terus meniup terompet.

1999


Air Terjun Bantimurung

mengikuti jejak purba
mencari sumber kehidupan:
menimbang rasa dan harapan

di bawah naungan pohon
di dalam ceruk gua gelap
menerawang masa depan: putih

air mengalir mengubah nasib
seperti darah dalam nadi:
memandu hidup

gerak satwa dalam hutan
senantiasa mengukur
peradaban manusia

1990


Hari yang Bergemuruh

nyonya Margho membaca surat itu sekali lagi,
halilintar menjalar di benaknya, badai pun
mendera kerongkongan. Surat itu seperti api
membakar deretan gedung, lalu arang
yang ditinggalkannya menjelma dirinya. Dalam renta,
sendiri porak-poranda.

“umur suamiku bagaikan lelehan lilin, mengalir dan
kemudian menguap, entah ke mana,” tangisnya
merambat, membasahi tanah, menghanyutkan
kenangan.

sekali ini ia menyadari, batu pun bisa diajak bicara,
pohon-pohon bisa mendengar keluhannya, dan angin
menjadi sahabat paling setia. Lolongan anjing kembali
mengingatkannya akan ladang gandum yang subur,
hamparan keju yang harum, atau gemeretaknya kayu
di perapian.

dibangunnya sebuah angan-angan, pesta penuh riang,
kopi hangat mengiringi obrolan ringan, dan semua tamu
dengan sopan saling bertegur sapa. Sambil mengelus popor
senjata, ia tersenyum getir.

“hari ini, memang perang belum usai,” gumamnya.

1999


Pada Upacara Penguburan
- Popo Iskandar

dalam gerimis siang kendaraan beriringan
seperti semut ke luar sarang memburu remah roti,
di antara raung sirine kereta jenazah merayap
membelah kota diam membeku.

di Wanaraja penantian itu menjelma
di tengah kerimbunan pohon petai dan rumpun pisang,
tiba-tiba keriuhan do’a itu terhenti:
hanya gundukan tanah basah bertabur bunga
serta kelembaban udara membisu.

impian itu terus berlari, tahun-tahun tak pernah kembali
demikian juga bayangan kucing dan ayam jago
kesayanganmu
setelah semuanya diam, berarti pula akhir pengembaraan
dan hanya kenangan menghampiri malam
berbintang

kini goresan kata-kata tampak di kaca-kaca jendela,
bagaikan embun memintal ruang berlumut,
dan hanya kenangan menghampar panjang,
sebagai pijakan untuk memahami arti sebuah kearifan.

2000


Beberapa pilihan puisi Juniarso Ridwan dalam Buih

Kuhamparkan Huruf-huruf Menjadi Sajadah

Agus, sengaja kuhamparkan huruf-huruf ini
menjadi sajadah pada malam gelap-gulita,
saat ini aku coba pahami sebuah dunia,
dengan nyanyian granat dan lolongan sunyi.

saat ribuan bangkai ideologi terkapar di angkasa,
kita sedot dalam-dalam dendam bergentayangan,
seperti sebuah kepercayaan:
membuat kita menjadi warga masyarakat baru,
dengan gairah arak dan permusuhan.

dengan bunga ketakutan kita panjatkan doa,
sambil menanti yang lain kelaparan,
hari ini tak ada beras atau ikan asin,
bila mau kunyahlah baut, kabel, atau ban bekas,
bukankah solar dan aspal masih tersisa di kuali?

dingin ini adalah lengkingan daun-daun gugur
dan kita sujud di pojok dapur,
mengharap suara-suara tak pernah singgah.

2001


Keyakinan Itu
- Museum Buya Hamka

keyakinan itu, seperti situs, semakin membatu di dalam hati,
menempuh bentangan masa tak pernah pudar,
lalu terpancar tajam di tepian danau berawan.

keteguhan, seperti foto-foto lama, berbicara banyak,
buku-buku berdebu menjadi nafas sejarah,
pohon-pohon tua telah menularkan kekuatan,
jiwa pun tumbuh tak berbilang pijak.

udara berkabut, belajarlah pada hutan,
hari terang, belajarlah pada gunung,
sedangkan matahari tak juga berubah.

musim berjalan memilih kenangan,
menghitung langkah dan kalimat,
terus bergema di dalam dada.

2001


Bandar Jakarta

laut adalah wujud misteri wanita berbahaya
aku tak pernah tahu tentang jumlah ombak, jumlah ikan
dan jumlah pasirnya. Hanya suaranya kemudian menarik
hasrat untuk berlayar mengarungi bentangan waktu.

2002


Aku Tulis Puisi

aku tulis puisi tentang laut biru,
tapi terbaca ledakan bom dan kematian.

aku tulis puisi tentang harapan hari esok,
tapi terbaca rangkaiankonflik dan cucuran darah.

aku tulis puisi tentang surga,
tapi terbaca penindasan antar sesama.

aku bongkar kata-kata,
lalu terbaca keindahan.

2001-2002


Revitalisasi Sebuah Kota
- pelukis Conrad Felixmuller

kota adalah kanvas carut-marut,
dengan sejumput oksigen diperebutkan,
dan kehidupan diatur angka-angka:

di sana tubuh identik dengan tanda tanya,
melingkar dan melata di lantai bacin,
digenangi kucuran syahwat membiru,
dan selalu tersesat dalam gairah purba.

orang-orang meramu arsitektur mimpi,
mencari bentuk lain dari bayangan diri,
dan perlahan-lahan tenggelam dalam waktu.

ribuan pintu segera dibangun untuk mengurung diri.

2003


Menghirup Hawa Binatang

tubuh-tubuh legam, aura malam,
kepalan tangan erat menyimpan sunyi,
urat-urat seperti rel menuju kepundan,
dan gelegar guntur bersarang di jantung.

suara-sura menyesatkan, pembisik gaib,
seperti lagu merdu membangkitkan kepayang,
mengantarkan jiwa ke tepi jurang perasaan.

seperti Sisiphus mendorong tumpukan uang,
batu berhembus angin menggelinding,
di lereng waktu pendakian tak ada jeda,
mata menelan letih meleleh dari langit.

mulut terus bergumam tentang kematian,
kelaparan menjaring bangkai sisa pergulatan,
gumpalan daging segera mengisi kota lumpuh.

2003


Rajah Malam

sepanjang sungai merah menggumpal,
pohon-pohon nipah menggigil,
sesosok jasad menuju hilir

menggali sepi,
membongkar bunyi.

kelopak bulan terus menganga,
mengucurkan kekesalan,
setiap detik, kehidupan melayang.

bukan karena berbeda sikap,
atau hanya sekadar kejahatan,
masing-masing memburu nyawa.

bulan semakin membara,
mengucurkan darah,
di halaman rumah;
- sendiri.

2004


Jalan Lengang

sepeda-sepeda tua berkarat,
di sepanjang jalan memucat,
hanya lengang mengalir

di ujung jalan menanjak,
ada pelataran sebuah basilika,
gerimis membentuk lingkaran senja,
dan bulu matamu meneteskan sepi

di hutan-hutan albino,
ada lembah subur tubuhmu,
di sana api berdendang,
lalu urat-urat berdenyut,
mengitari puting beranting

(jelas, kamu tak suka. Kamu tak rela)

di atas aspal berdebu,
serpihan muasal membeku,
daun-daun busuk berserakan,
dan hanya jejak sepatumu,
tersisa dari tiupan angin.

2005


Negeri Impian

di sini tak ada Godi atau Afrizal,
hanya sorgum dan salju,
dengan harapan berayun-ayun,
seperti balon di udara pejal.

para penyair kembali ke dapur,
mengenang kelahiran Hitler,
dalam reruntuhan kota lama,
dengan sayap kemarahan.

di antara katedral berlumut,
ornamen batu bertuah,
lalu kau menulis hujan,
dengna huruf menyerupai rambut.

di negeri impian ini,
sepi tak ada jeda,
menggulung hari-hari basah.

2005


Tentang Juniarso Ridwan
Juniarso Ridwan lahir di Bandung, 10 Juni 1955. Semasa menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Geodesi, aktif di Grup Apresiasi Sastra (GAS) dan Studi Teater Mahasiswa (Stema). Menjadi salah seorang tokoh gerakan puisi bebas yang diluncurkan GAS pada 1976. Tulisannya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Kumpulan puisinya antara lain: Dua Penyair di Depan (1976), Penipu Waktu (1979), Robocop (1994), Tanah Terluka (1996), Air Mengukir Ikan (2000), dan Airmata Membara (2004). Kumpulan puisi dalam bahasa Sunda: Lalaki Langit (1987), Langit Katiga (1996), dan Nu Lunta Peuting (2005). Kumpulan cerpen: Bendera Merah (2004). Buku anak-anak: Budak Motekar (1984), Pengalaman Regu Macan (1984). Buku esainya: Manusia, Teknologi, Mitos, dan Realitas (1982), Seni Budaya Politik (2004).


Catatan Lain
Saya memulai kembara di dunia puisi Juniarso Ridwan dari puisi Ziarah karena itulah puisi penyair ini yang mula-mula saya baca bertahun-tahun lewat. Saya masih sekolah menengah, saya kira, ketika membacanya di koran Republika Minggu. Dan kumpulan puisinya yang lekat di benak saya, yang jadi penghubung saya ke penyair ini, adalah Robocop. Dan setelah itu, saya tak lagi menemukan atau membaca puisi Juniarso hingga kemudian saya temukan buku ini, yang seakan bilang: Semua telah Berubah, Tuan. Hehe. Dalam catatan yang ditulis Afrizal Malna, ada informasi bahwa buku ini merekam aktifitas Juniarso dari tahun 1981 hingga 2005, selama 25 tahun dengan 186 puisi!
Afrizal Malna menulis: “Biografi puisi-puisi Juniarso adalah sebuah perjalanan dari puisi-puisi sederhana pada tahun-tahun awal pembuatannya.... Puisi yang lebih banyak dikonstruksi dengan tiga patah-kata, sekali-kali dengan empat patah-kata atau dua patah-kata. Puisi yang efektif dalam membangun imaji dan metafora.... Setelah itu terjadi perubahan. Puisinya menjadi lebih kompleks, cukup rumit, hiruk-pikuk, dan meresahkan. Kompleksitas ini terjadi ketika Juniarso mulai mengubah sumber utama ikon-ikonnya dari alam ke ikon-ikon kehidupan metropolitan. Alam tidak lantas hilang begitu saja dalam kompleksitas ini, masih hadir sebagai bayang-bayang atau untuk kebutuhan yang reflektif sifatnya. Di sini, puisinya mulai meninggalkan keutuhan patah-kata dan lebih membiarkan kesewenang-wenangan kalimat dalam menyampaikan pesan. Ruang dan waktu hampir sepenuhnya dibangun lewat gerak, bukan lagi lewat wujud…. Sepertiga menjelang akhir, puisinya tampak berbelok, kembali ke pengucapan sederhana seperti pada bagian awal buku ini. Perjalanan kembali dengan menyertai yang lain… Perjalanan kembali dengan membawa oleh-oleh: mulai ada footnote dalam puisinya, dan aku-lirik yang lebih aktif tetapi juga goyah. Wujud dan gerak mulai berjalan bersamaan… Karena itu, tiga patah-kata tidak lagi cukup. Lima patah-kata dibutuhkan agar tidak terjatuh dalam bangunan bait-bait puisi.”

Tapi kata Afrizal lagi: “Yang tidak berubah dari biografi puisinya, dari puisi yang sederhana ke puisi yang kompleks, adalah stigma manusia. Manusia begitu negatif. Makhluk yang menyedihkan dan konyol. “Manusia mengalir” – dan setelah itu – “manusia membanjir” pada puisi “Papandayang” (1981).” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar