Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Sebatung Melukis dalam Kaca
Penulis : M.
Sulaiman Najam
Cetakan : I, Januari 2009
Penerbit : Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru, Kab.
Kotabaru, Kalsel.
Tebal : xvi + 127 halaman (89 puisi)
ISBN : 978-6028414-05-0
Editor : Y. S. Agus Suseno
Desain isi dan cover : Hery S
Tata Letak : Rony Syafriansyah
Lukisan sampul : M. Syahriel M. Noor
Prolog : Sainul Hermawan
Epilog : Burhanuddin Soebely
Beberapa pilihan puisi M. Sulaiman Najam dalam Sebatung
Melukis dalam Kaca
Renungan Senja
Di senja ini
Lengkung langit
Menatah merah cerah
Di kepakan sayap awan merona saga
Dan bola emas mencelupkan kaki
Di permukaan biru menjadi kemerahan
Tenggelam menggeliat resah
Bagaikan ular melata
Kurenungi
Batang usia di senja ini
Kutatap bola emas menyala
Di penghujung perjalanannya
Menanti
Sesaat lagi malam bertahta
Gelap menutup pintu gerbang
Bintang-bintang gemerlapan
Di batas hamparan permadani
Seberkas cahaya
Penyejuk rasa dan embun yang menyirami
Tinggalkan butir-butir bening
Di permukaan bumi
Tangkai-tangkai rapuh
Daun-daun menguning
Kelopak demi kelopak
Berguguran
Semua sirna
Hilang
Kembali kepada tiada
Tinggalkan gurat-gurat dalam membekas
Di pelataran
Kehidupan nyata
Melukis dalam Kaca
Aku ingin tenggelam
Di sinar laut-Mu yang putih
Menggapai riak-riak mimpi
Di air bening mengalir
dari sungai-sungai firdaus-Mu
yang belum tersentuh
Aku ingin mereguk hikmah kesucian
Dari pancuran magfirah-Mu
yang hakiki
Bermandikan cahaya malam seribu bulan
Tinggalkan bahtera layar hampa
Menggantung bayangan mati
Di taman cahaya yang Kau cipta
aku tersungkur merendahkan kepala
Merajut sukma membelah dada
Di ujud nyata satu jiwa
Di bingkai rasa lukisan rahasia
Aku telah tiada
Di Pendakian
malam dingin
bumi seperti rumah tak berpenghuni
angin menari
menggerakkan daun-daun kenari
tak diam sepanjang hari
dunia menjelang mati
ketika liku-liku jalan dilalui
enggan bicara soal nanti
tikungan akhir
di antara sepasang kaki
menghimpun napas
tak ada pembicaraan
malam pun jauh di pendakian
Lagu kecemasan
bayangan mimpi
menggantung di lazuardi
senandungkan lagu sukma
di ruang semesta
liriknya segumpal kelelahan
dan sekeping kecemasan
namun ia tak henti
mengais kulit bumi
dari jejak ke pintu doa
kabulkanlah kiranya
letakkan di tikungan jalan itu
lipatan waktu lembar demi lembar
agar kecemasan yang mengharu biru
padam memudar
Akal Budi
Panorama menyedihkan
Dalam lukisan akal budi
Sudah ditating bagai minyak penuh
Masih beriak gelembung kosong
Eko dalam reportase penyair
Tiga puluh tahun penyair menulis puisi
Menggoreskan kanvas diri pada peristiwa
Puisi tetap kerontang
Kata yang tidak disapa
Hati menangis
Kota ini, negeri ini tidak lagi
memberi kesejukan
Alamnya tidak hijau lagi
Gundul terkoyak
Bandar kasino merebak datang
Mengadu untung dalam perjudian
Menapak senja di kilat malam
Berlindung di bayang kelam
Betapa menyedihkan seorang petani
Termangu di tepi jalan
Menopang dagu kebingungan
Sukar mendapatkan jerami
Ternak-ternak sekarat
Lukisan akal budi
hanya cerita memikat hati
Musyafir, 2
begitu jauh memasuki gurun
tak berpintu
jendela awan di ufuk berkabut
menyeret langkah tapak demi tapak
meninggalkan yang disayangi
mencari yang dicintai
tidak susut sehelai rambut
meski badai mengancam
menggulung dan menerbangkan
segala yang di depan
segumpal daging membatu
sebening embun menyiramnya
berjalan tidak mengenal waktu
lupa diri hilang rupa
bertemu seorang tua membawa suluh
di siang hari mencari wajah
serupa dalam mimpinya
lebih tua dari gurun
lebih perkasa dari badai
aku menyapa mencari siapa
aku pun tak tahu, katanya
kami duduk bersama bayangan
mencari yang serupa tapi jauh
mengharap yang dekat tapi tak tersentuh
Mayat dan Mimpi
Engkau telah keluar dari dirimu, meski ratap tangis tak
berbilang waktu, karena kau mencintainya. Kodratnya tak
dapat disentuh dan enggan diraba, sebab kehendaknya
melipat segala makna.
Air matamu basah mengaliri keringat di tubuh kami dan
memandang dirimu pada sekujur badan yang terlentang kaku
dingin, dalam sunyi dan hening.
Di sela suara surah yasin tadarus meliputi ruangan, hanya
Allah
Yang Maha Tahu. Engkau telah berpindah dari alam nyata ke
alam gaib. Perjalanan duniamu telah putus, awal memasuki
pintu akhirat. Kau pergi tanpa bekal, kecuali hidup yang
bermanfaat, amal saleh dan amal jariah.
Kini kau diam tak bisa bicara. Tak ada tegur sapamu, tak
ada
senyummu, tak ada senda guraumu. Semua kau bawa pergi.
Jauh tak kembali. Hanya bertemu dalam mimpi. Mimpi yang
indah sekali...
Rembang petang awal Februari. Hujan rintik-rintik. Langit
masih mendung ketika sayup-sayup terdengar suara gemuruh
ombak di pantai. Surat itu tenggelam bersama alunan biola
yang menyayat hati. Lemas mengiba, gelisah menyentak,
lirih
mendesah, membelai dan menurun tipis seperti empasan
kapas. Begitu syahdu dan mendalam, terhenti segala kepak
sayap, terhenyak segala yang melata. Menggetarkan hati
nurani, memukau semua makhluk yang bernafas. Itulah lagu
persembahanku.
Tiba-tiba tersingkap tirai jendela sebelah rumahmu. Wajah
bidadari tersenyum ceria. Di wajah itu terpancar suara
hatinya,
kuterima persembahan lagumu itu. Namun, hanya sekejap
suara biola terhenti dan wajah itu pun lenyap di balik
tirai.
Tinggallah sebuah lukisan di balik tirai itu. Lukisan
pertautan
dua hati. Kini semuanya tiada, karena kau bawa pergi
selamanya...
(nb. dalam buku, puisi di atas menggunakan tipografi paragrafik)
Urat yang Putus
menebar di penjuru angin
kampungku daerah basah
pendatang cepat kaya
punya usaha
punya rumah
kepala desa jadi tersohor
RT sampai kepala dusun
tidak ketinggalan
panggung komedi dalam adegan
lakon improvisasi
di luar naskah
dan kehendak sutradara
penonton kecewa
bayar karcis tidak serupa
cita dan ilustrasi
pertunjukan membosankan
ada yang tidur
ada yang meninggalkan
tidak tampak kesan
di luar
panji-panji berkibar
hebat menggemparkan
iklan tontonan
sangat menggoda
ternyata hanya obrolan
Sebuah Makna
Kuraba pucuk kehidupan ini
Di sela tangkai ranting dan daun
Kucium aroma kehidupan ini
Di antara bunga-bunga mekar
Kujelajahi kehidupan ini
Di hutan rimba yang gelap
Kurenangi di sungai-sungai
Laut luas tidak bertepi
Kucari makna kehidupan ini
Di awan berarak di angin berhembus
Kutanya di bulan purnama
Mentari ketika di puncak
Kutantang kehidupan ini
Di ujung pedang dan tombak
Di amuk badai topan dan angin ribut
Aku tidak menyerah
Kutanya kepada Nabi Ayub
Tentang derita kehidupan ini
Di mata air kucari jawaban
Sebatung, 2
seusia waktu
seperti kekasih
sejak aku lahir
kau ada di depanku
di muka rumahku
di lembah kakimu
pernah kau bisikkan padaku
saat kupanggil namamu
getar dadamu
selimut mega di rusukku
kau dan aku adalah sungai kehidupan
camar menari di semesta kegembiraan
kau pohon rindang
menutup bayang
kini kau menatap
airmata membasah hutan ladang
duka mengalir ke tepian musim
kau gelisah
kehilangan riwayat dan sejarah
duka di liang luka
engkau kaya
tapi mengapa aku tak punya
aku mau bertanya
mereka menutup telinga
Jendela
kulihat dari jendela
kota itu seperti bayangan
seberkas cahaya gelisah
di permukaan laut
tangan dan kaki menari
tubuhnya lenyap dalam temaram
terbaring degnan gitar tua
anggur merah di sisinya
malam pun semakin dingin
sedingin mataku di tepi jendela
pupus kehilangan arah
mengecil di bola mata
tertutup dalam katup
tak ada bayangan lagi
kota lenyap dalam gelap
sunyi dalam mimpi
Kotaku
kotaku hilang di laut khayal
karena badai menghapus mimpi
kotaku adalah kapalku
muatan angan-anganku
sebuah kota yang indah
terapung antara dua selat
selat laut yang cantik
selat makassar yang bertuah
kota bergaya legenda
pulau palinggam cahaya
dalam cerita lamut
bijaksana sakti mandraguna
elok mengagumkan
pertautan alam dan kota
bagai sepasang kekasih
kehidupan abadi
lampunya terang benderang
bagai kota seribu satu malam
airnya bersih
seperti perak di pagi hari
jalanan mulus
kadang berkelok
bagai ular melata di tempat licin
rakyatnya yang asih
bahagia dan sejahtera
karena alamnya kaya raya
kini kotaku hanya mimpi
tenggelam di laut khayali
Rumahku
datanglah ke rumahku
atapnya mega
dindingnya samudera
lantainya emas hitam
halamannya berpagar meranti
datanglah
datanglah ke rumahku
rumahku memiliki dua pintu
di utara dan selatan
memiliki dua jendela
di timur dan di barat
rumahku indah menyenangkan
udara segar hawanya nyaman
perpaduan bukit, lembah dan laut
melankolia pun mudah disembuhkan
anak-anak kami ramah
mudah tersenyum dan bergembira
suka membantu yang perlu dibantu
lebih utama menyenangkan orang
ajaran budi perilaku
tapi jangan disakiti
dia akan marah
seperti ledakan gunung berapi
Jadilah Dirimu
bila engkau tidak menjadi gunung tinggi
jadilah bukit batu
menghiasi tepi jalan
bila engkau tidak menjadi samudera biru
jadilah danau
di lembah indah
bila engkau tidak menjadi cemara rindang
jadilah pohon pinus
memagar taman kota
bila engkau tidak menjadi semak-semak
jadilah rumput hijau di halaman
sejukkan pemandangan
bila engkau tidak menjadi jalan raya
jadilah jalan setapak
tak sunyi dilalui
bila engkau tidak menjadi panglima
jadilah pahlawan
panji-panji kemenangan
siapa pun engkau
jadilah yang terbaik
apa pun engkau
itulah dirimu
Tentang M. Sulaiman Najam
M. Sulaiman Najam lahir di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau
Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, pada 1 Agustus 1935. Mantan
guru Sekolah Rakyat dan Penilik Kebudayaan ini pensiun sebagai Kasi Pendidikan
Masyarakat di Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Kotabaru (1991). Sempat dua
periode menjadi anggota DPRD Kab. Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999).
Berkesenian sejak 1960-an. Menulis puisi, cerpen, naskah drama, menjadi
sutradara, anggota Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), Pembina
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang). Menerima penghargaan
Tokoh Budayawan dari Bupati Kotabaru (2001). Puisinya tersebar di berbagai
antologi puisi bersama. Sebatung Melukis
dalam Kaca adalah kumpulan puisi tunggalnya yang pertama.
Catatan Lain
Saya suka dengan pembuka tulisan (alm) Burhanuddin
Soebely yang menjadi catatan penutup kumpulan ini. Beliau menjudulinya “Tentang
Sebuah Kota, Tentang Saksi Sang Kala”, begini pembukanya: “Masih ingatkah Anda
pada lirik lagu legendaris Anang Ardiansyah, Paris Barantai? Kotabaru gunungnya bamega/Umbak manampur di sala
karang. Gunung bamega itu agaknya
adalah Gunung Sebatung. Pada waktu-waktu tertentu mega-mega putih berlayapan di
situ, bagai serabut rambut dan juntai surai dari seorang makhluk penjaga
sekaligus penyaksi keberadaan sebuah wilayah, Kotabaru. Sebatung –yang konon
merupakan jelmaan dari Raja Kerajaan Halimun, Sambu Batung – dengan demikian
merupakan salah satu ikon, sebuah penanda yang tidak cuma berkait dengan sebuah
wilayah tetapi juga berkelindan dengan “dunia dalam” para penghuni wilayah
itu.”
Penyair Burhanuddin Soebely menyebut M.
Sulaiman Najam sebagai saksi dari perjalanan sang kala, dengan ..... “pilihan
kata yang sederhana, ungkapan yang sederhana, tapi berbagai dimensi kemungkinan
dalam perilaku kolektif maupun individual tergetar di situ. Dan kita juga
menemukan ketulusan di situ, ketulusan papadah
dari seorang tua yang telah matang dilimbur waktu, “ pungkas Bung Ibuy sembari
memberi penanda akhir: Kandangan, tengah Desember 2008.
Di bagian depan, Sainul
Hermawan menulis “Mitos Sastra dari Kotabaru”. Karena saat itu sedang membaca
terjemahan buku Mythologies karya
Roland Barthes (Hill and Wang, 1983), maka dikait-kaitkanlah. Yang menjadi
informasi baru di tulisan itu adalah bahwa buku puisi ini memuat 89 puisi yang
ditulis dalam rentang tahun 1970 sampai 2008. Padahal tak ada penanda tahun
yang tertulis di bawah puisi-puisi di buku ini.
Juga ada Sekapur Sirih dari
Ketua Umum KSI Kotabaru, Eko Suryadi WS. Penyair ini memberi kesaksian sebagai
berikut: “Dalam komunitas seni di Kabupaten Kotabaru, dia lebih menempatkan
dirinya sebagai “orangtua” yang senang menasehati, memberi petuah dan motivasi,
lengkap dengan “kecerewetannya”. Meskipun barangkali ada yang pernah merasa
“terganggu” dengan sikapnya itu, tak seorang pun ragu: ia seorang pengampu.
Mungkin karena ia dahulu guru.” Nah lo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar