Minggu, 05 Februari 2017

Rahmat Jabaril : PATAH




Data buku kumpulan puisi

Judul : Patah
Penulis : Rahmat Jabaril
Cetakan : I, Mei 2008
Penerbit : Ultimus, Bandung.
Tebal : xx + 120 halaman (102 puisi)
ISBN : 978-979-17174-7-8
Editor :Hawe Setiawan
Naskah : Ika Ismurdyahwati
Gambar sampul : karya-karya Rahmat Jabaril
Foto sampul : Noorman
Desain sampul : Ucok (TYP:O Graphics)
Prolog : Setiaji Purnasatmoko

Beberapa pilihan puisi Rahmat Jabaril dalam Patah

NAFASKU HARI INI

Tukang becak
pemulung
lonte
pedagang kecil
buruh pabrik
kuli bangunan

Lorong-lorong
anak-anak kumuh
kuli-kuli jalanan
ibu-ibu ngerumpi

Sampah dan limbah pabrik
yang menekan
sesak nafasku

Ciroyom-Jatayu
rel kereta api
gerbong tua
adalah nafasku
hari ini!

Jatayu, 1984



PAGI YANG SIBUK

Orang-orang sibuk
memecah Jalan Supadio
Jalan Ciroyom
memikul beban
mendengus resah
dikejar ambisi
dan waktu menyempit

Suara pabrik menderu
membangunkan hati yang terkubur
tergesa!
memijakkan kaki, diburu waktu
dikejar sengit mentari
makin cepat diburu waktu
ribuan kaki berpijak dengan sibuk
mengangkangi tanah leluhurnya
menerobos gua ketergantungan
menghembus nafas
di tahi industri

10 Juli 1988


SORE YANG SETIA

Sore yang setia
menemani anak-anak kampung
bertebaran
mengepit kaleng-kaleng bekas
menerbangkan imajinasi
dengan layangan menembus awan

Sore yang setia
tanah bau dan berdebu
menghiasi gubuk-gubuk kami
menggugah sesak nafas
yang panjang
dari kehidupan industri
merajai segala kehidupan kami

Sore itu juga masih setia
menemani barisan rel kereta
memanjang jauh
mengejar bulatan matahari
memerah
mengangkangi
kehidupan kami yang diburu

Maret 1986


PADA KAWAN PERAGU

Hai…!
jika kau berani
mari berbaris
denganku
jangan sebut malu
jika itu dada
punya peluru

Hai…
mari denganku
rebut itu waktu
sebut saja;
ini aku.

Mei 2006


KESADARAN BARU

Kulihat kematian itu
di rimba cahaya
terasa setiap pori
getarkan darah
dari kesunyian

Meleleh cairan duka
pada alas pertapaan
para penyaksi sejarah
di magang pergulatan

Dan kematian menghamparkan
cahaya pemberontakan
para lelaki
yang mual atas petuah-petuah
para gaib tak
beralas

Maret 2006


MALAM INI

Malam ini aku tak bisa tidur
orang di luar berdengus resah
kapan tangis darah reda
mengucur ini bumi?

Rasanya semakin jauh
perjuangan dijilat lidah api
dahaga tak reda
mempersetubuh jiwa

Ini malam aku terjaga
dalam tidur
disulut semangat
nyawa bertuah;
kobarkan pemberontakan
karena esok hari
adalah api
membakar seluruh
jiwa mati!

Maret 1998


PADA KAU

Siapa berani menyurup lumpur
Dalam luka berdarah
Dan menaburkan cinta
Dalam senyap pagi

Siapa berani membakar besi
Pada tulang dan hati
Dan menaburkan cinta
Saat langit pecah berkeping

Siapa berani menusuk mata
Pada kemilau cahaya
Dan menaburkan cinta
Di saat dunia galau

Siapa berani menyebut
Ini dada penuh luka
Dan menaburkan cinta
Dipanggang api pembangkangan

Siapa berani mengutuk diri
Dalam pasungan
Dan menaburkan cinta
Pada sunyi kegeraman

Hanya kau yang bertaut
Pada darah merah di bulan patah!

Bandung, 4 Maret 2008


DI LANGIT TIMUR

Langit merah pecah
di ujung langit timur
burung kecil tanpa sayap
menyimpan kesunyian
di batas pandang

Aku merindukan api
di kejauhan bukit
tanpa dedaunan tua
merayu pada tangis
dan nyanyian
di setiap sapaan
para ibu

Lihat merah itu?
menyimpan di langit
timur
tanpa ragu
burung kecil
menangis
pecahkan
langit

Juni 2004


AKU MASA LALU

Aku adalah masa lalu
mengejarmu!

Perang di tangan kanan
keyakinan di tangan kiri

Ini darah punya luka
kubawa berlari
tak peduli itu peluru
membawa lukanya

karena aku adalah masa lalu
yang menjemput sukmamu
dipanggang dusta dan khianat
sejarahku!

8 Mei 1998


MALAM MENUJU 12 MEI

Sebelum fajar menyingsing
sebelum ayam jantan berkokok
langit itu harus merah
seperti merahnya darah ini

Jangan sekali sumbat di hati
beri dia belati, tikam kalau memuji
ini malam tanpa bayang
tampar wajah jika tak bermuka
bukan doa bukan sihir
adalah jantung perang menggoda

Mari
sigap!
usungkan dada ke depan
tikam bumi kalau merintih
malam ini jadikan nafas
jatuhkan bintang-bintang
jika berkedip muram

Ayo kawan!
bawa perangkat, satukan barisan:
lawan!

11 Mei 1998


MARSINAH

Kawan!
keringatmu bukan tangis di sesak jiwa
tapi dengus nyawa dipanggang
api perawan jadi

1 Mei 2004


AKU MENCINTAIMU

Aku pernah jatuh cinta
pada angin tipis
saat langit biru
disapu awan tipis
ah….
ini terasa jauh
aku pergi
dari yang terdahulu
aku pernah jatuh cinta
benar-benar aku mencintaimu
angin tipis
tanpa ragu

Februari 2003


BERTEMU INTEL

Hari ini di Kafe Utan Kayu
aku bermuka
dengan seorang intel
pangkatnya bersembunyi
di jaket kulit hitam
dan tangkap aura yang kubawa

Kita saling berkaca
membaca muka
membaca mata
membaca detak jantung
berdenyut
di kopi hitamku

Rokok putih Marlboro
berserah begitu saja
menjaringku dalam
perangkap perjanjian

Tapi untung aku
punya luka
kini kubawa

22 Maret 2000


PULANG AKSI

Aku pulang
padamu
aku pulang
malam ini
padamu

Kubawakan
setetes darah
dan keringat
dibungkus
debu jalanan

Kuraih saat
berontak dari
ketidakberdayaan

Akupulang
aku pulang
malam ini
anakku sayang

Mari kita
peluk dahaga
dan lapar
yang tertinggal

26 Mei 2000


DI SEBUAH BARAK

Bulan di malam
serahkan kamarku
tembus jendela
jelajah dunia

Sudah empat nyawa
ditembus api panas
lara menikam tubuh
telanjang para demonstran

Kawan-kawanku
tertidur merana
keramaian di barak
penjara sepi mati
kawan terbaring
dihunus harapan
kaum jelata!

13 Mei 1998


KEYAKINANKU

aku tidak punya cukup waktu
untuk bersedu sedan itu! sebab
di tanganku penuh batu, pada
keyakinan semati tugu, aku
pelempar batu di rumah-rumah
kaca para jenderal itu! sebab
mereka pelanggar pertama
kesepakatan kita

7 Maret 1998


YANG HILANG

Langit kelabu dihuni anak tanah cekungan
Kelabu yang menekan sedih tak tertahankan
Kini mengisahkan kota impian bersimpah tangis
Sungai Cikapundung gelap tempat meratap
Menimba kenangan

Kadang kujumpa di jalanan macet
Seorang tua terkubur debu
Kedamaian hilang ditelan kabut bangunan
Mengikis bebukitan hijau tempat peraduan

Aku telah minum pil pahit
Kuteguk limbah yang datang begitu saja
Para pemuda oleng dimabuk senyum tipuan
Para pendatang mengasingkan mataku
Pada tempat kami bersua

Aku tak tahu tentang perubahan ini
Cinta pada Bandung adalah cinta terlarang saat ini
Bila suara yang kita dengar adalah suara
Para pemabuk pembangunan
Apa dapat dibangkitkan kembali
Yang lama tenggelam

Aku terkenang halaman dan mainan gatrik
Aku teringat gedung-gedung tua tinggalan Belanda
Aku teringat layang-layang terbang di atas tegalan kota
Dihapus malam berkedip lampu fatamorgana
Ku tak sanggup lagi tafsirkan makna penghapusan ini.

Bandung, 13 Februari 2008


BERSATULAH KAUM TERTINDAS

Bersatulah kaum tertindas
Api yang membakar tubuh
Menyalakan jiwa dari ruang senyap
Seperti darah menetes
Meresap pada alas kaki berdaki
Berpijak pada pembangkangan

Berontaklah!
Berontaklah!
Tak perlu ada yang disembunyikan
Jangan malu pada suara kebenaran
Jika kau yakini ada ketimpangan
Bicaralah dengan kepalan batu
Jangan ragu menyebut dadamu
Bicaralah di panggang apimu

Ini zaman perubahan penipuan
Peradilan; polisi; DPR; dan presiden
Serta mahasiswa
Tak lagi mampu menyebut keadilan dengan benar
Kau adalah rakyat yang tertindas
Bicaralah atas keyakinan
Berasa dalam dadamu
Atas perubahan di poros kenistaan

Berontaklah!
Berontaklah!
Sebab pagi tiba akan berulang cerita
Penggusuran, pembabatan hutan
Korupsi,
Penjualan manusia atas nama demokrasi
Dan penipuan lainnya
Menyeret kau dalam jagal senyap

Mari di sini
Berdengus
Di ruang gelap pengisolasianmu
Bakarlah jiwamu
Nyakan api di lidah pahitmu
Tak ada yang berasa, selain luka
Yang kau bawa
Bicaralah!
Dan berontaklah!

Bandung, 19 Februari 2008


Tentang Rahmat Jabaril
Rahmat Jabaril lahir di Bandung, 17 Agustus 1968. Konsep berkeseniannya: pengkajian ulang kembali pada setiap persoalan baik menyangkut politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, maupun pada kesenian itu sendiri. Aktivitas berkeseniaannya dimulai tahun 1985 dengan menempel poster “Gerakan Subuh Anti Soeharto” hingga 2007 yang meliputi pameran seni rupa, baca puisi, performance art. Pengalaman berorganisasi dimulai 1985 dengan mendirikan Komunitas “Obrolan Malam” di Ciroyom, bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Komunitas seni “Gerbong Bawah Tanah”, Forum Kota (Forkot), Keluarga Petani Mandiri, Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat (KMBB) dll.


Catatan Lain
Saya belum pernah mendengar nama penulis buku ini sebelumnya, tapi sepertinya ia dekat dengan dunia aktivis jalanan dan demonstrasi. Tergambar dari biodata dan beberapa puisinya. Dalam beberapa puisi, saya seperti menemukan Chairil Anwar, misal pada puisi “Aku Masa Lalu”,  “Keyakinanku”, “Di Sebuah Barak”, “Malam Menuju 12 Mei”.
            Tak ada puisi berjudul “patah” di buku ini. Di sampul belakang buku bisa kita temukan foto penulis yang berewokan. J
Halaman persembahannya, selain menyebut sebuah nama, juga menyertakan sebait puisi di bawahnya:

untuk Ari Budiman
(21 Agustus 1984 – 14 Februari 2008)

kau pergi sebelum matahari tiba
tinggalkan tapak malam
angin dingin
dan menampar batas kabut
sunyi.

2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar