Data buku kumpulan puisi
Judul
: Patah
Penulis : Rahmat
Jabaril
Cetakan
: I, Mei 2008
Penerbit
: Ultimus, Bandung.
Tebal
: xx + 120 halaman (102 puisi)
ISBN
: 978-979-17174-7-8
Editor
:Hawe Setiawan
Naskah
: Ika Ismurdyahwati
Gambar
sampul : karya-karya Rahmat Jabaril
Foto
sampul : Noorman
Desain
sampul : Ucok (TYP:O Graphics)
Prolog
: Setiaji Purnasatmoko
Beberapa pilihan puisi Rahmat Jabaril dalam Patah
NAFASKU HARI INI
Tukang becak
pemulung
lonte
pedagang kecil
buruh pabrik
kuli bangunan
Lorong-lorong
anak-anak kumuh
kuli-kuli jalanan
ibu-ibu ngerumpi
Sampah dan limbah pabrik
yang menekan
sesak nafasku
Ciroyom-Jatayu
rel kereta api
gerbong tua
adalah nafasku
hari ini!
Jatayu, 1984
PAGI YANG SIBUK
Orang-orang sibuk
memecah Jalan Supadio
Jalan Ciroyom
memikul beban
mendengus resah
dikejar ambisi
dan waktu menyempit
Suara pabrik menderu
membangunkan hati yang terkubur
tergesa!
memijakkan kaki, diburu waktu
dikejar sengit mentari
makin cepat diburu waktu
ribuan kaki berpijak dengan sibuk
mengangkangi tanah leluhurnya
menerobos gua ketergantungan
menghembus nafas
di tahi industri
10 Juli 1988
SORE YANG SETIA
Sore yang setia
menemani anak-anak kampung
bertebaran
mengepit kaleng-kaleng bekas
menerbangkan imajinasi
dengan layangan menembus awan
Sore yang setia
tanah bau dan berdebu
menghiasi gubuk-gubuk kami
menggugah sesak nafas
yang panjang
dari kehidupan industri
merajai segala kehidupan kami
Sore itu juga masih setia
menemani barisan rel kereta
memanjang jauh
mengejar bulatan matahari
memerah
mengangkangi
kehidupan kami yang diburu
Maret 1986
PADA KAWAN PERAGU
Hai…!
jika kau berani
mari berbaris
denganku
jangan sebut malu
jika itu dada
punya peluru
Hai…
mari denganku
rebut itu waktu
sebut saja;
ini aku.
Mei 2006
KESADARAN BARU
Kulihat kematian itu
di rimba cahaya
terasa setiap pori
getarkan darah
dari kesunyian
Meleleh cairan duka
pada alas pertapaan
para penyaksi sejarah
di magang pergulatan
Dan kematian menghamparkan
cahaya pemberontakan
para lelaki
yang mual atas petuah-petuah
para gaib tak
beralas
Maret 2006
MALAM INI
Malam ini aku tak bisa tidur
orang di luar berdengus resah
kapan tangis darah reda
mengucur ini bumi?
Rasanya semakin jauh
perjuangan dijilat lidah api
dahaga tak reda
mempersetubuh jiwa
Ini malam aku terjaga
dalam tidur
disulut semangat
nyawa bertuah;
kobarkan pemberontakan
karena esok hari
adalah api
membakar seluruh
jiwa mati!
Maret 1998
PADA KAU
Siapa berani menyurup lumpur
Dalam luka berdarah
Dan menaburkan cinta
Dalam senyap pagi
Siapa berani membakar besi
Pada tulang dan hati
Dan menaburkan cinta
Saat langit pecah berkeping
Siapa berani menusuk mata
Pada kemilau cahaya
Dan menaburkan cinta
Di saat dunia galau
Siapa berani menyebut
Ini dada penuh luka
Dan menaburkan cinta
Dipanggang api pembangkangan
Siapa berani mengutuk diri
Dalam pasungan
Dan menaburkan cinta
Pada sunyi kegeraman
Hanya kau yang bertaut
Pada darah merah di bulan patah!
Bandung, 4 Maret 2008
DI LANGIT TIMUR
Langit merah pecah
di ujung langit timur
burung kecil tanpa sayap
menyimpan kesunyian
di batas pandang
Aku merindukan api
di kejauhan bukit
tanpa dedaunan tua
merayu pada tangis
merayu pada tangis
dan nyanyian
di setiap sapaan
para ibu
Lihat merah itu?
menyimpan di langit
timur
tanpa ragu
burung kecil
menangis
pecahkan
langit
Juni 2004
AKU MASA LALU
Aku adalah masa lalu
mengejarmu!
Perang di tangan kanan
keyakinan di tangan kiri
Ini darah punya luka
kubawa berlari
tak peduli itu peluru
membawa lukanya
karena aku adalah masa lalu
yang menjemput sukmamu
dipanggang dusta dan khianat
sejarahku!
8 Mei 1998
MALAM MENUJU 12 MEI
Sebelum fajar menyingsing
sebelum ayam jantan berkokok
langit itu harus merah
seperti merahnya darah ini
Jangan sekali sumbat di hati
beri dia belati, tikam kalau memuji
ini malam tanpa bayang
tampar wajah jika tak bermuka
bukan doa bukan sihir
adalah jantung perang menggoda
Mari
sigap!
usungkan dada ke depan
tikam bumi kalau merintih
malam ini jadikan nafas
jatuhkan bintang-bintang
jika berkedip muram
Ayo kawan!
bawa perangkat, satukan barisan:
lawan!
11 Mei 1998
MARSINAH
Kawan!
keringatmu bukan tangis di sesak jiwa
tapi dengus nyawa dipanggang
api perawan jadi
1 Mei 2004
AKU MENCINTAIMU
Aku pernah jatuh cinta
pada angin tipis
saat langit biru
disapu awan tipis
ah….
ini terasa jauh
aku pergi
dari yang terdahulu
aku pernah jatuh cinta
benar-benar aku mencintaimu
angin tipis
tanpa ragu
Februari 2003
BERTEMU INTEL
Hari ini di Kafe Utan Kayu
aku bermuka
dengan seorang intel
pangkatnya bersembunyi
di jaket kulit hitam
dan tangkap aura yang kubawa
Kita saling berkaca
membaca muka
membaca mata
membaca detak jantung
berdenyut
di kopi hitamku
Rokok putih Marlboro
berserah begitu saja
menjaringku dalam
perangkap perjanjian
Tapi untung aku
punya luka
kini kubawa
22 Maret 2000
PULANG AKSI
Aku pulang
padamu
aku pulang
malam ini
padamu
Kubawakan
setetes darah
dan keringat
dibungkus
debu jalanan
Kuraih saat
berontak dari
ketidakberdayaan
Akupulang
aku pulang
malam ini
anakku sayang
Mari kita
peluk dahaga
dan lapar
yang tertinggal
26 Mei 2000
DI SEBUAH BARAK
Bulan di malam
serahkan kamarku
tembus jendela
jelajah dunia
Sudah empat nyawa
ditembus api panas
lara menikam tubuh
telanjang para demonstran
Kawan-kawanku
tertidur merana
keramaian di barak
penjara sepi mati
kawan terbaring
dihunus harapan
kaum jelata!
13 Mei 1998
KEYAKINANKU
aku tidak punya cukup waktu
untuk bersedu sedan itu! sebab
di tanganku penuh batu, pada
keyakinan semati tugu, aku
pelempar batu di rumah-rumah
kaca para jenderal itu! sebab
mereka pelanggar pertama
kesepakatan kita
7 Maret 1998
YANG HILANG
Langit kelabu dihuni anak tanah cekungan
Kelabu yang menekan sedih tak tertahankan
Kini mengisahkan kota impian bersimpah tangis
Sungai Cikapundung gelap tempat meratap
Menimba kenangan
Kadang kujumpa di jalanan macet
Seorang tua terkubur debu
Kedamaian hilang ditelan kabut bangunan
Mengikis bebukitan hijau tempat peraduan
Aku telah minum pil pahit
Kuteguk limbah yang datang begitu saja
Para pemuda oleng dimabuk senyum tipuan
Para pendatang mengasingkan mataku
Pada tempat kami bersua
Aku tak tahu tentang perubahan ini
Cinta pada Bandung adalah cinta terlarang saat ini
Bila suara yang kita dengar adalah suara
Para pemabuk pembangunan
Apa dapat dibangkitkan kembali
Yang lama tenggelam
Aku terkenang halaman dan mainan gatrik
Aku teringat gedung-gedung tua tinggalan Belanda
Aku teringat layang-layang terbang di atas tegalan kota
Dihapus malam berkedip lampu fatamorgana
Ku tak sanggup lagi tafsirkan makna penghapusan ini.
Bandung, 13 Februari 2008
BERSATULAH KAUM TERTINDAS
Bersatulah kaum tertindas
Api yang membakar tubuh
Menyalakan jiwa dari ruang senyap
Seperti darah menetes
Meresap pada alas kaki berdaki
Berpijak pada pembangkangan
Berontaklah!
Berontaklah!
Tak perlu ada yang disembunyikan
Jangan malu pada suara kebenaran
Jika kau yakini ada ketimpangan
Bicaralah dengan kepalan batu
Jangan ragu menyebut dadamu
Bicaralah di panggang apimu
Ini zaman perubahan penipuan
Peradilan; polisi; DPR; dan presiden
Serta mahasiswa
Tak lagi mampu menyebut keadilan dengan benar
Kau adalah rakyat yang tertindas
Bicaralah atas keyakinan
Berasa dalam dadamu
Atas perubahan di poros kenistaan
Berontaklah!
Berontaklah!
Sebab pagi tiba akan berulang cerita
Penggusuran, pembabatan hutan
Korupsi,
Penjualan manusia atas nama demokrasi
Dan penipuan lainnya
Menyeret kau dalam jagal senyap
Mari di sini
Berdengus
Di ruang gelap pengisolasianmu
Bakarlah jiwamu
Nyakan api di lidah pahitmu
Tak ada yang berasa, selain luka
Yang kau bawa
Bicaralah!
Dan berontaklah!
Bandung, 19 Februari 2008
Tentang Rahmat Jabaril
Rahmat Jabaril lahir di Bandung, 17 Agustus
1968. Konsep berkeseniannya: pengkajian ulang kembali pada setiap persoalan
baik menyangkut politik, sosial, ekonomi, budaya, agama, maupun pada kesenian
itu sendiri. Aktivitas berkeseniaannya dimulai tahun 1985 dengan menempel
poster “Gerakan Subuh Anti Soeharto” hingga 2007 yang meliputi pameran seni
rupa, baca puisi, performance art. Pengalaman berorganisasi dimulai 1985
dengan mendirikan Komunitas “Obrolan Malam” di Ciroyom, bergabung dengan
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Komunitas seni “Gerbong Bawah
Tanah”, Forum Kota (Forkot), Keluarga Petani Mandiri, Koalisi Masyarakat
Bandung Bermartabat (KMBB) dll.
Catatan Lain
Saya belum pernah mendengar nama
penulis buku ini sebelumnya, tapi sepertinya ia dekat dengan dunia aktivis
jalanan dan demonstrasi. Tergambar dari biodata dan beberapa puisinya. Dalam
beberapa puisi, saya seperti menemukan Chairil Anwar, misal pada puisi “Aku
Masa Lalu”, “Keyakinanku”, “Di Sebuah
Barak”, “Malam Menuju 12 Mei”.
Tak
ada puisi berjudul “patah” di buku ini. Di sampul belakang buku bisa kita
temukan foto penulis yang berewokan. J
Halaman
persembahannya, selain menyebut sebuah nama, juga menyertakan sebait puisi di
bawahnya:
untuk Ari Budiman
(21 Agustus 1984 – 14
Februari 2008)
kau pergi sebelum matahari
tiba
tinggalkan tapak malam
angin dingin
dan menampar batas kabut
sunyi.
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar