Data buku kumpulan puisi
Judul
: Wayang dan Lain-lain
Penulis : Purwadmadi
Cetakan
: I, Juni 2014
Penerbit
: Interlude, Yogyakarta.
Tebal
: xvi + 176 halaman (120 puisi)
ISBN
: 978-979-14870-7-5
Desain
sampul : Omah Djanur
Gambar
sampul : Purwadmadi
Ilustrasi
Isi : Purwadmadi
Tata
letak : Gapura Omah Desain
Catatan
Pengantar : Indra Tranggono
Buku Wayang dan
Lain-lain terdiri atas 2 bagian, yaitu Lembar-lembar Wayang (50
puisi) dan Dan lain-lainnya (70 puisi).
Beberapa pilihan puisi Purwadmadi dalam Wayang dan Lain-lain
Ranjab Laku Luka Cinta
(yang tidak suka wayang jangan membaca)
1#1 -- menengarai tenggara
dalam angin kuru yang terjaga.
Tatkala berpaling terbit rasa ingin mengepitnya dalam
ketiak
waktu. Siti Sendari dalam rabun waktu, mencium bau mesiu
dan anyir darah penghabisan. Langit menjingga dan
gemintang
bintang bertabur mega. Tak ada tangis, tak ada tangis,
kerna sayat miris kelewat bengis. Air mata telah menjadi
gumpal dupa, nafas telah menghela aroma kematian, serta
doa membentur dinding pengampunan atas remah karma-
karma, setara pengasingan jiwa pada cinta tanpa asmara,
cinta tanpa jiwa. Dalam padamu, rentang tembang mewirid
taksu, mantra rebah di persinggahan tanah merah. Wahai
Siti
Sendari, dadamu mengerling seperti sungging penuh picing,
membiarkan tubuh Abimanyu tersangga gendewa, terpasung
tancap tancep anak panah tajam, pada sebuah orkestrasi
ranjaban, komposisi luka arang kranjang, kujur tubuh
penuh
torehan merah saga, tak terkuaskan, hanya kucur leleh
yang
mulai alum dan mengering. Kepada siapa mereka berpaling?
2#1 -- ada angin semilir,
anglir mengalirkan raga rapuh. Siti
Sendari tetep sintal tak tersentuh. Tatkala angin
melabuh,
begitu banyak gemuruh tanpa tabuh, derum dentam
menghantam ceruk serta ruam-ruam terdalam pada lubuk
aruh. Terluka sekaligus terasing, tepian Padang Kurusetra
mamring. Langit jingga, angin termangu, dan gelegak gagak
kuakan seruak hasrat hisap darah beku dan robek cabik
tubuh
kaku. Siti Sendari-Abimanyu, berambang pada genang air di
petirtaan suci, terpilin arus setrum timbangan cinta,
pada usia
tak terpaut. Setara. Kepada cinta mereka berpaling,
bertaruh
ranjab tebusan. Ketika cinta bukan lagi pilihan, ketika
cinta
tinggal kepastian, perselingkuhan menjadi sempurna.
Memetik
nikmat selagi sempat. Kepada siapa Abimanyu bertambat?
3#1 -- asmaragama kehilangan
makna. “Aku tak hendak
berpaling. Kutebus rasa ingin. Untuk penghabisan kali,
teguh
kukatakan. Kepadamu akan bersilat janji, satu cintaku tak
terbagi.” Siti Sendari tercenung dalam menung menghitung
dunung, menemu sangkan sekaligus paran. “Kepada siapa
kau membilang bujang?” Abimanyu meradang ajal, kuasa
beringsut. “Kepada harapan. Kepada hari depan.
Kepada
pewaris zaman.” Siti Sendari diam, mencengkeram batin
kelam, tenggelam dalam dalam. Meraba gemetar pada kening
lebam Abimanyu. Gagap membau darah beku, menatap
luka nganga. Langit gelap, hari hampir malam, senjakala
rela
melepaskan. Hanya ada satu tanya: adakah hari depan di
tangan perselingkuhan indah dan kebohongan menyenangkan?
Yogya, 2014
Kalabendana
saban malam membilang bintang
seraya mewirid puja karma
saban siang memintal mega
sembari mewirid puja darma
menghirup angin angkasa
sembari mewirid puja karsa
meramu dingin udara
sembari mewirid puja rasa.
dalam mega penungguan
mengeram kasih sayang
keponakan selesaikan
tugas kehidupan.
cintanya pada pringgondani
cintanya pada arimbi
cintanya pada tetuka
cinta pada kebersahajaan
hidup dalam kenyataan.
jika sampai waktu, tergandeng
para penyeru kebajikan
rasuki pintu abadi.
cinta, sabar dalam penungguan
berkelonan dengan arif waktu.
Di Tepus Kerbau Tak Berkubang
Kepada Pak Man Bakso Wonosari
warna langit gumliwang, rembang sore ambangkan
kosong perut gembala jelang pulang kandang
menggiring kerbau-kerbau dan mendadah upah
sepiring nasi, sepotong gereh pethek dan sendulit sambel
trasi
lebih dari cukup memungkasi hari buat diulang esoknya
demikian dan seterusnya. Gembala kecil menengadah pada
ujung
pupus pohon pisang mengadukan harapannya
pada suatu saat bersedia menjadi debok mendalang
dari keahliannya memainkan wayang suket
di ladang penggembalaan. Pohon pisang mau mengerti
dan karenanya tumbuh cepat, keluar ontong, dan tandan
buah-buah montok ranum bersembulan
gembala kecil mendalang
menyuarakan apa saja dari ladang
mendulang cerita rumputan memandang luas lereng
perbukitan kapur dan kelok parit kering menuju lembah
cekungan ceruk gembur berbibir telaga nganga
kerontang.
Di tepus, kerbau tak berkubang
dan anak gembala mendalang
oooooonggg ….
hulun hamya masmring saketer
ritelu woh poh kesturi jawi
myang ngungun pungkasi
rbet pamyarsa lampus
oooooonnngggg ………
Arjuna Merela Diri
perkawinan adalah tugas hidup
buat menghidupkan kelangsungn
keseimbangan semesta.
suatu kali, di madukara, pasamuan agung berlangsung
subadra memimpin, srikandi, larasati, supraba, dersanala,
menyertai. Suguhan penganan mengalir mbanyumili
abimanyu, irawan, wisanggeni, prabakusumo,
brantalaras, sumitro, pergiwa-pergiwati, utari, siti
sendari, takzim menghadiri, banowati, surtikanti, drupadi
mengamati, serta sejumlah lain mengitari. Berembug:
arjuna
mau kawin lagi.
kata mereka: sumangga kersa.
Lha mau gimana lagi.
Yogya, 2012
Sajak Mati Mendahului Penyairnya
//… sejak sajak tak lagi berlagak
pujangga menggolak rumpon kata
mengobaknya hingga keruh
buat menaruh taruhan harkat
pada pikat setiap ucap
pada sona setiap rona
pada kata hilang makna
pada makna tanpa kata
pada sajak-sajak tanpa lirik
lirik-lirik kehilangan kuasa
kuasa tanpa persajakan
kering sekaligus dangkal
benih akal-akal banal
[dan karenanya maka]
tinggal sejengkal
dari liang benam. …//
sajak, tak lagi punya kuasa
sajak, tak lagi layak baca
sajak, rekah senjang kenyataan
tidak menyuarakan apapun
kecuali, hasrat pelantun
: aku bersajak
dan karenanya aku ada.
// … ketika sajak mati mendahului penyairnya
ribuan kata melayat, ribuan aksara mendoa
tapi sedikitpun taka da penyair sungkawa
sebab hanya karena dianggap biasa
tak satupun redaktur budaya kirim karangan bunga
sebab hanya karena merasa tak mengenalnya
pun pula para guru besar sastra
berpura tak mendengar berita
sebab sibuk menghitung tunjangan hari tua
dan kritikus suntuk melawan masa kritis
dari asma akut berbatuk kata-kata.
ketika sajak mati, tak ada bunga tabur dan upacara
tanpa pula tetes air mata, apalagi kenduri undang
tetangga
hanya karena, sajak lupa, membayar pajaknya. …//
Yogya, Agustus 2011
Gunawan Wibisono
Arya Balik,
melihat bara di atas tahta
arang tulang abu angkara
mengebak alengka. Darah kering
dalam hening
hening dalam
rasuk batin
dalam senjakala mengerling
cahaya petang berpaling
pada derencing gelap
menuju malam hilang purnama
kalis dari gemintang bintang
tinggal senyap
dan senyap
senyap.
Gumingsir.
“Rakanda, dalam kemusnahan
ada abadi tak terkenali:
birahi untuk hidup
gairah untuk mati.”
dalam pada itu, Gunung Sumowono
menganga bercahaya
Wibisana tak kuasa melawan
berancik gisik Singgela berawan
hirup hawa penyesalan
dari dalam paru berlukaan
anyir mengisi debur segara
hingga Mangliawan
“Rakanda, dalam kehancuran
ada abadi tak terampunkan:
luka nganga mengelana
pada setiap hati pewarisnya
pada riwayat tak terpegat
pada serat yang ditulis
kemudian.”
Dimana tempat berpihak
Di situ keluhuran terinjak.
passphoto Rahwana terpajang
tiap dinding kantor dan rumahan.
Apa boleh buat. Lah.
Yogya, Desember 2011
Seonggok Togog
Togog, menelan segala rupa
dari kemonceran dunia.
Logak, menerkam segala daya
dari gemerlap kuasa.
Catugara, meraup segala degup
dari kemonceran citra.
Kerasan dalam hempasan
gelombang durjana harian
sarang ketamakan panjang
pengabdi serba sekarang
kekinian yang melupa
abadinya zaman kemudian.
Togog, juru pengingat
yang larut tersumba pekat
dalam genangan nikmat bejat
sewarna deretan laknat
dan pusingan kianat.
Togog, sosok teronggok.
Yogya, 2012
Limbukan, Jaranan, atau Larakan
[1- saat jejer usai, penonton wayang berharap dalam
segera
kelirkan adegan Limbukan. Setelah pisowanan bodhol dan
Sang Prabu kondor angedhaton, penonton penuh hasrat
masyuk dalam tembangan dan guyonan. Menunggu kegeculan
dalang.]
[2- saat jejer usai, penonton wayang berharap dalam
segera
kelirkan adegan Jaranan. Setelah pisowanan bodhol dan
Sang
Prabu kondor angedhaton, penonton penuh hasrat masyuk
dalam jogetan dan gending pengiringan. Menunggu keahlian
joget dan kegendhingan dalang].
[3- saat jejer usai, penonton wayang berharap dalam
segera
kelirkan adegan Larakan. Setelah pisowanan bodhol dan
Sang
Prabu kondor angedhaton, penonton penuh hasrat masyuk
dalam dramatika lakon dan unjuk perwatakan. Menunggu
greget dan sengguh dalang.]
mendalang, berdulang kebolehan
unjuk kehebatan dalam kelengkapan
modal dasar mengolah jagat pakeliran
: nggendhing.
: nyanggit.
: greget.
: sengguh.
: cucut.
: sabet.
: baut.
: ulem gandem.
: gecul.
: lantip.
: prigel.
: ngrengga.
: wulang-muluk.
awal tampilan, cengkeram perhatian
Limbukan, lempar penghiburan
Jaranan, unjuk joget bergendhing pengiringan
Larakan, taruh greget tampilan perwatakan.
ketiganya mengejar daya pikatan
buat penonton bertahan
semalaman.
Limbukan, area tipu daya dan persiasatan
menyewa bintang tamu banyolan
mengundang penyanyi bahenolan
kerna dalang tak lagi cukup menghibur
kehilangan gecul, cucut tuturnya terkubur.
Limbukan bisa berjam-jam, hibur melebur
dalam tampilan seadanya, kerna terpenting darinya
penonton bisa tertawa-tawa, gembira sementara.
Limbukan, tipu daya penghiburan
atas dunia wayang yang kian terlewatkan
berujung pada pembiaran
tertelan hasutan zaman.
Siapa menangisi wayang?
Tonton saja Limbukan.
Kerna, Jaranan dan Larakan
tidak lagi jadi pilihan.
Wonosari 2014
Wisrawa
meluncur deras, aliran kata berisi, bernas berseri
panjang menghanyutkan, menyaman hati, lekat melekat
bagai alir air cucuran atap luncur ke pelimbahan Sukesi
resap meresap dalam rambat lambat namun pasti
rasuki rusuk sanubari, sandi naluri getar tambat
pada sambat hasrat mengakhiri
arus pesona bertimang hati
tak terpungkiri.
Sukesi hanya kuasa mengamini
ikuti alun irama tuturan penggeli intuisi
sihir kata merabai titik syaraf
menghanyut khilaf, tersadap gairah
mengejar kalap
dalam gumul gelora
manjing terkancing
pada kungkung nikmat panjang
berulang tanpa akhir
sinabung tanpa pikir
meski tersindir oleh kuasa kata
: ada karma dalam daur sengkala
: ada darma dalam dengkur semesta.
kesaksian kesaktian wicara Wisrawa
segenerasi lelap tersipu
oleh dera sapuan waktu
tsunami seteru nafsu.
Yogya, 2009
Talam Cinta, Titisari
Langit, beri kami pembatas
pada seutas garis akhir
sebelum talam cinta kami terukir.
Siapa berkehendak, sekat dunia
ketika pasti tak mencapai puncak
seberapun terminta, kami menerima
dalam abadi cinta, anak dusun
pada pertapa ksatria, Irawan
pujaan. Tatkala cinta bersemi
segala tak pernah terakhiri
biarkan kami merasai
dalam kejap itu segala terjadi
dalam lelap itu segala terlampaui
singkat dan berarti.
Langit, biarkan cinta kami
Tidak banyak dikenali.
Yogya, 2006
Lakon-lakon Wahyu, Siapa Suruh?
Kewahyon. Tempat jatuhnya orang begja, terus bertemu
mulya, sekaligus mulia. Karunia terjaga temurunnya tetapi
tidak peruntukannya. Perjalanan wahyu, sekedar deru
laku derita, dan kuasa daya kesemayaman. Legalisasi
langit,
suratan kehendak para dewa, untuk suatu kuasa sempurna,
kuasa bersetumpuk hak kalis dari pancabaya. wahyu pada
akhirnya memilih tanpa dalih, untuk siapapun yang kuasa
mencerna kehendak kuasa. Segala telah terjitabsara. Wahyu
selalu jelas deretan penerimanya, oleh wayang dilakonkan,
peneguhan keberhakan atas kuasa kelola semesta. Penguasa
selalu meminta, sudah seharusnya demikian halnya, dan
kalian
tinggal terima. Tahta para luhur, mengucur dari kehendak
para
pengguni puncak-puncak gunung, penjangkau lembar langit,
Kalian, tak perlu berkelit.
Kewahyon. Dalam lubuk tertanam, semayam kekuatan agung
tanpa cela. Kedalaman semayam, tak tersentuh. Kedalaman
wahyu, tanpa teraju penimbang. Percaya, bagian dari cara
meyakini lakon beserta kebenaran riwayat. Pengembaraan
para pelibat, menyeru kepantasan sekutu. Kelana para
kawula, percaya tanpa tanya dan terima pada adanya.
Sampai,
pada akhirnya, mereka tidak pernah tahu siapa para
pengada.
Sangat jelas, wahyu kucuran penghibahan langit bagi
mereka
yang kuasa bersingit dalam wingit kerahasiaan agung nafas
dan
nafsu kuasa. Wahyu, perjalanan tegang para pemburu kuasa.
Kewahyon. Siapa suruh berwahyu-wahyu? Hanya satu, mereka
yang kesepian, penuh permenungan, dan sangat mengerti
atas diri, yang tak pantas memangku sebentuk kuasapun.
Wahyu jadi tambatan buat menyihir kelengahan, menebar
tipu daya bagi mereka yang selalu bisa menerima nasib
buruk.
Sedangkan para dalang wayang hanya bisa bilang, sekedar
memperkelirkan dan tidak harus manafsirkannya. Wahyu,
jadi
penghiburan bagi penguasa miskin batin sekaligus buta
suara
hati. Hari ini, wahyu tumurun pada rumput di padang
ilalang.
Begitu benderang siasat pewatak dalang.
Semar, dalam Bilangan
aku berayun pada ayunan ombak
aku berlindung pada tiupan angin
aku bersarung pada nyala perapian
aku larut pada genang air
aku menyatu dalam sinar bulan
benderang tidak memanaskan
aku bersumur pada kebajikan
dalam tidak menghanyutkan
aku bercampur dalam keajaiban
mencubit tidak menyakitkan
dalam jogetku, hilang tampak
dalam rengengku, sayup hilang
dalam teriakku, membedah tak melukai
saat mengiris garis cucuran air mata
senyumku canggung, tatapanku lunglai
menderai kelelahan panjang
terurai deras dalam cucuran
tak beratap.
Saat aku berkaca
tak sebentuk bayang kentara
hanya lengan menerpa dan sungut wajah
memburam cermin sepotong di ruang
perjamuan.
Kelir
kosong berdesir
penuh tafsir
bebas taksir
segala dituang
lakon dipampang
pajang panjang
ruang kosong
penuh lakon
jadi ikon
segala dimuat
gairah ditambat
tanpa hambat
tak ada lengang
meski senggang
selalu meruang
tak ada bimbang
meski senjang
singkir gamang
putih terentang
ragam terbentang
sajian timbang
dalam kelir dalang
wayang tersiang
menjadi jinak
di ambang jenak
manusia melanglang
bayang
manusia mengisi luang
kegelapan
kelir dunia penghiburan
melebur seluas angan
kelir, kekeling
samukalir
Solo, 2014
Sajak Bambu
di jogja
jadi sanggar
di komik
jadi pondok
di perang
jadi runcing
di desa
jadi pagar dan rumah
di meja makan
jadi biting dan sumpit
di gigi dan sate
jadi tusuk temusuk
di klenik
jadi pethuk
di priangan
jadi dengung angklung
di manapun
jadi
Yogya, 2004
Kado dari Penyair
(Setiap malam menjelang tidur, penyair datang padaku dan
memberi sebuah puisi. Sudah lebih sebulan tindakan bodoh
itu
ia lakukan kepadaku.)
Kenapa setiap penyair mengira semua orang suka puisi?
Pertanyaanku ini sama bodohnya dengan kelakuan penyair
kamar sebelah.
Sama seperti, kenapa setiap dokter mengira semua orang
menderita sakit?
Sama seperti, kenapa guru mengira semua orang
bodoh?
Sama seperti, kenapa setiap sopir mengira semua orang tak
tahu arah?
Sama seperti, kenapa setiap pegawai mengira setiap kantor
bisa dikorupsi?
Sama seperti, kenapa setiap penguasa mengira semua orang
dapat dikibuli?
(Kertas puisi hadiah penyair kamar sebelah itu memang
tidak
aku buang. Lama-lama memenuhi kamar dan membuat
pemandangan tidak rapi. Heran juga, lama-lama tumpukan
kertas itu tampak makin indah.)
Salah satu kertas kirimannya saya baca :
…kesalahan terbesar manusia
menyukai koleksi kesalahannya.
Tegal, 2003
-----------------
//suatu cinta jogja warna sembagi
sendang semanggi semburi kusam pelangi
meruntuh denyut sepeluh setanggi
pada rupa ratus resap asap kemelun
: di alun-alun jazadmu berpanen tegun //
Izinkan Jogja Kurindu
aku rindu ratap, menangisi rumput menua
aku rindu ratap, sesenggukan kaisi remah petandang
aku rindu ratap, tatkala rembulan kelewat lekang
oleh langit gulita yang terobek lidah petir
menabur embun getir pada langit fakir
seperti hendak kehilangan Jogja.
angin menggulung ingin, ulung jerumus
pada jurus tanpa kuda kuda
pada pukulan tanpa tenaga
dan pada hardikan tanpa suara
dalam sepincuk nasi sereguk
ulur waktu bebarang amuk
di pertikungan angin
tanpa selisik
menikam
begitu dalam.
aku rindu pada Jogja
justeru ketika hidup sekamar dengannya.
aku rindu pada Jogja
justeru ketika tak lagi ada:
[
ringkik kuda, lirik roda andong
kerat
keriut pedal becak pak tua
sengkut
mahasiswa bersepeda
kembara
lusuh seniman merdeka
membongkar
buku-buku lapuk di loakan
belanja
cara fakir di pasar senthir
warung
buka sejak senja, rela buat berlama-lama
di
Jogja, begitu banyak orang menjagai malam
menunggu
pagi, jajan tenongan
bubur
putih gurih dan gudeg kemerahan
makan
berpincuk sembari saksikan
perempuan
mandi di Code bantaran.]
// Seperti kapas, Jogja terhempas angin
sebatas antara kejap dan kedip
sebeliak mata, sadar terjaga
talu-talu kehilangan lagu
di alun-alun, pilu kutemu//
Yogya, September 2011
Sepotong Sajak untuk Ons
kutemukan seorang penyair berambut jarang, merah
gigi kuning jarang, panu kuning bertebaran, kulit
menghitam
celana jeans belel, hem lusuh, dan tas kantong
tercangklong
dalam seruak tumpuk-tumpuk buku bekas kios soping senter
membaca Nietche terjemahan, Pram stensilan, dan juga
Kirdjomoeljo
ketikan tangan. Atau sajak-sajak ringan produk pabrik
tulisan
buatan Seno si mira sato dan kawan-kawan, di antara Linus
yang klecam-klecem pada sela hisapan gudang garem merah
kesukaan
sembari membau ketiak mbak-mbak yang nyidam jadi
penyair
karbitan. Kutemukan seorang penyair berambut gundul,
putih
gigi rapih, kulit hitam mulus dalam balut jean dan hem
mahalan
black berry terbaru dalam genggam, kacamata plus keluaran
optical
bertindak untuk dan atas nama lembaga besar berkapital
menyantun penyair-penyair musafir
pada persinggahan sejenak
sejenak. Sejenak saja.
kutemukan seorang penyair kesepian
dari yang tersilam dalam
yang luput tersalam.
Hai, para penyair: dalam ramah ketiaknya kita berlabuh.
Yogya, Januari 2012
Salam Negeri Intan
linang keruh sungai martapura
linang keruh rawa limbah buangan
linang keruh pikiran kembara
linang keruh ketuban gagasan
pengucapan lirih petandang
di sini ada laksaan tanda dan makna
terbaca gagap, terurai gugup
petimbun permata
pada keriuhan keruh
ada gemerlap berlabuh
dermaga terang benderang.
siapa sungging senyum di kejauhan?
Sultan Banjar menghampar lampit penyambutan
tertiti segala rahayat dalam langkah gagah
negeri menyejarah pada ukiran hikayat
pancaran cahyat harkat
bermartabat.
Martapura, 2011
Kayon
segala rangkum segala
memuat segala tanda
memeran segala rupa
menyaji segala masa
memberi segala diminta
tanpa batas
tanpa batas
dalam segala alas
sah diterima
kuasa tak terbantah
mukim di kelok entah
tetap memanggung
kendali pemisah
waktu dan ruang
penjeda lorong-lorong sela.
Semarang, 2008
Gendirpenjalin
aku sudah bosan
dapat orderan ngisruh
lalu pura-pura mati terbunuh
buat menguat ksatria hebat
aku sudah bosan
dapat order sekali muncul
sudah itu dilupakan
oleh para pemetik kemenangan
aku sudah bosan
dapat order tarung
dan terbunuh
mati tanpa penghormatan
aku sudah bosan
dapat order unjuk kebisaan
buat perlihatkan hebat dalang
dalam cekel, sabet, dan slenthikan
di antara sorak sorai eluan
memuji dalang
aku sudah bosan
dapat order pakeliran
sebab aku inginkan
sesekali aku membunuh lawan.
peran terbunuh
sungguh membeban.
Yogya, 2010
Tentang Purwadmadi
Purwadmadi lahir di Gunungkidul, Sabtu
legi, 26 Maret 1960. Pernah menjadi wartawan (1984-2003). Tahun 1979 masuk
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Yogyakarta (kini UNY). Menulis
sejak mahasiswa, berupa artikel budaya, puisi, cerpen, novel, biografi. Juga
nulis lakon ketoprak, skenario sinetron/film, skenario/naskah/narasi tari
Bagong Kussudiardja. Pernah bekerja di Biro Iklan dan menekuni copy writing. Juga
menjadi dosen di universitas swasta di Jogya. Wayang dan Lain-lain (2014)
adalah kumpulan puisinya yang pertama. Kumpulan geguritannya Donyane Wong
Korupsi (2013). Novelnya: Larakan (2005), Sinden (2007), Laskar
Sabrang (novel silat, 2007), Rembulan Jingga di Atas Tahta (cerita
silat, 1996), Lembuting Olah Katresnan (cerbung Jawa, 1987), Malam-malam
Taraweh (cernak, 1993), dll.
Catatan Lain
Kata Indra Tranggono di paragraf 3:
“Pergulatan estetik Purwadmadi atas wayang menyadarkan kepada kita bahwa wayang
– yang selama ini dipahami public sebagai jagt yang ketat dan tertutup – adalah
sebuah teks terbuka untuk dirambah dan didedah. Lakon, narasi,
tokoh/perwatakan, tak pernah tunggal dalam makna. Purwadmadi pun melakukan
penawaran, misalnya karakter setiap tokoh wayang tak selalu tipologis melainkan
psikologis sehingga bisa ditampilkan jagat personalnya yang berbeda atau bahkan
tak dapat ditemukan dalam jagat pakeliran formal. Begitu juga dengan
lakon-lakon yang ditafsir ulang dan diberi konteks pemaknaan yang baru dan
berbeda. ini memperkaya cara pandang kita bahwa wayang tidak selalu
‘hitam-putih’ melainkan kaya warna. Wayang pun dapat menjadi medium
estetik-kultural untuk membaca dan menafsirkan berbagai fenomena kehidupan.
Inilah sumbangan terpenting puisi; sumbangan penting seorang Purwadmadi. (hlm.
v-vi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar