Data Kumpulan Puisi
Judul
Buku: Lirik Sebatas Hujan
(Sajak-sajak
Dedet Setiadi Tahun 2012-2017)
Penulis:
Dedet Setiadi
Penerbit
: Tuas Media, Kalimantan Selatan
Cetakan:
Pertama, Juli, 2017
Tebal:
208 halaman (198 puisi)
ISBN:
978-602-7514-45-4
Beberapa pilihan puisi Dedet Setiadi dalam Lirik
Sebatas Hujan
MERPATI BALAP
dengan kokoh cucuk hitamku
aku merawat bulu yang berwarna megan mangsi
bacaanku kitab terbang
hafal jurus pacu lesat kepak sayap-sayapku
aku merapal ilmu
yang mengajarkan terbang bagai peluru
bulu penjawat adalah kekuatanku
mata mengkilat adalah pelisir tuju ke arah titik jatuhku
aku bukan petarung
tapi kemenangan adalah hidupku
sebab kekalahan adalah petaka
dan itu tidak kumau!
aku bertarung untuk silsilah telor
bukan medali atau piagam penghargaan
Magelang, 2012
*dimuat di Kedaulatan Rakyat, 30 Sept 2012
PELAJARAN RUMPUT
aku membaca rumput yang tak pernah bertengkar
berebut tanah demi sang akar
mereka menympan embun, melembabkan tanah
agar para cacing mengabadikan gembur
mereka kadang saling memilin, saling membelit
meminjam batang untuk mencapai ketinggian
mereka membiarkan belalang dan ulat pemangsa daun
mengerat tubuhnya mungkin demi sang alam
agar terdengar kerik siang dan malam
agar terlihat kupu kupu terbang di awang-awang
begitulah pelajaran rumput yang belum sempat dibukukan
tetapi sudah lama terbit sebagai jiwa yang lapang
Magelang , 2012
*dimuat di KR , 30 Sept 2012
SANGKAKALA
engkau menyembunyikan perih
dari luka jagat yang maha luas
engkau membuka pintu, kepadaku
agar masuk
dan membaca kembali kisah-kisah
kelahiran
sebuah kitab hidup
bersampul waktu!
namaku tergolek
pada jasad berdebu
pada sisa sisa ziarah
aku melukis sangkakala
leher jenjang
yang dipanggul malaikat
sang peniup!
siapapun
aku dan kalian yang pembaca
adalah para sangkakala
mungkin fals lengkingannya
mungkin indah dan merdu
saat ditiupnya!
Magelang, 2012
*dimuat di KR, 30 September 2012
KITAB LAUT
aku kini laut
yang harus belajar menjadi karang
meredam ombak
untuk tak pecah di tepi daratan
sahabatku sebatas ganggang
atau ikan-ikan
nyanyianku sebatas kapal
mengibas baling
untuk ke seberang
bahasaku sebatas kerang
penyu dan kura-kura
aku kini laut
yang harus melucuti gelombang
mengemas diam
untuk karam di kedalaman
mengabadikan bekam!
Magelang , 2012
*dimuat di KR , 30 sept 2012
TAK SEKADAR CAHAYA AIR
bentangan langit biru itu
terlanjur kuusung
untuk menampung jeritanmu, kekasih
jendela kastil tua
sudah rapat kututup – juga pintunya!
kita bersatu
melupakan musim gugur dan salju
kupagut jiwamu
sebagai sepasang kelopak waktu – saling mencengkeram
sama-sama tak ingin melepaskan
astaga!
diam-diam aku telah menjelma setetes embun biru
yang tersekap nyaman di pangkal hatimu
abadi menancapkan semesta baru
kita pun sama-sama menangkupkan kelopak waktu
menyempurnakan beku
dari sisa-sisa luapan cumbu
Magelang, 2012
terlanjur kuusung
untuk menampung jeritanmu, kekasih
jendela kastil tua
sudah rapat kututup – juga pintunya!
kita bersatu
melupakan musim gugur dan salju
kupagut jiwamu
sebagai sepasang kelopak waktu – saling mencengkeram
sama-sama tak ingin melepaskan
astaga!
diam-diam aku telah menjelma setetes embun biru
yang tersekap nyaman di pangkal hatimu
abadi menancapkan semesta baru
kita pun sama-sama menangkupkan kelopak waktu
menyempurnakan beku
dari sisa-sisa luapan cumbu
Magelang, 2012
DI KAKI BUKIT HUKA
bukan dongeng atau legenda
air mata itu sudah berabad-abad menjelma telaga
matahari, bulan dan bintang-bintang
terhisap di sana
menyingkir dari musim gugur
yang akan tiba
dari pohon tua
daun jatuh mengapung serupa kapal nuh
pengangkut sepasang ruh
dan langit tidak runtuh
di tebing senja
tiba-tiba aku melihat tubuhku
dipinjam seorang dewa
berjalan berkeliling telaga, mengukir cakrawala
yang sempat tertunda
Magelang, 2013
bukan dongeng atau legenda
air mata itu sudah berabad-abad menjelma telaga
matahari, bulan dan bintang-bintang
terhisap di sana
menyingkir dari musim gugur
yang akan tiba
dari pohon tua
daun jatuh mengapung serupa kapal nuh
pengangkut sepasang ruh
dan langit tidak runtuh
di tebing senja
tiba-tiba aku melihat tubuhku
dipinjam seorang dewa
berjalan berkeliling telaga, mengukir cakrawala
yang sempat tertunda
Magelang, 2013
DAUN TANGGAL
terkulai di sungai waktu
daun tubuh berlayar ke muara
tak ada siapa siapa
meski sekadar doa
mengapung kelam
tak siang tak malam
seperti ukiran hujan
jatuh menimbun kenangan
seusai melintas tikungan
terdengar gaung kematian
Magelang , 2013
*dimuat di Merapi Mingu , 15 Juni 2014
PERAHU DI LANGIT
hanya laila yang bisa berlayar di lautan bintang
sebab majnun sudah jadi perahunya
terbang dan berenang tak lagi ada beda
di langit hanya laila
begitulah ketika takdir menulis kata-kata
sulit sekali untuk dibaca
jika laila adalah cahaya
maka majnun yang ambyar dalam silaunya
segalanya milik laila
bahkan qais pun tak lagi memiliki dirinya
laila
majnun
kisah cinta
yang tak usai ribuan tahun
tersimpan di langit jauh
tak tersentuh
Magelang, 2014
*dimuat di KR, 25 Mei 2014
DI PULAU CHAIRIL
gadis yang iseng sendiri itu
diam-diam singgah dalam sajakku
mengetik huruf-huruf dari tubuhku
sebagai cinta yang jauh
ia mengayuh perahu
mengusung waktu
dari kartu nama yang terjatuh
aku tahu ia bernama, farah
lahir di sebuah kota
di timur tengah
dari bibir pulau
ia menjelajah samudera
menetap di pulau chairil
yang jauh dan terpencil
pikirannya menjelma sebuah kampong
tanpa jembatan penghubung
Magelang, 2014
*dimuat di KR, 25 Mei 2014
LIRIK SEBATAS HUJAN
jejak percakapan
seperti daun lepas dahan
terkulai di tanah
saat gerimis tak secantik puisi
di selembar pagi
matahari
merobek bayang sendiri
di ujung halaman
terdengar runtuhan dahan
menjelma lagu panjang
gagap dinyanyikan
Magelang, 2013
jejak percakapan
seperti daun lepas dahan
terkulai di tanah
saat gerimis tak secantik puisi
di selembar pagi
matahari
merobek bayang sendiri
di ujung halaman
terdengar runtuhan dahan
menjelma lagu panjang
gagap dinyanyikan
Magelang, 2013
DI SEBUAH SITUS
geriap ombak banyu
sungai tinalah
menggelundungkan batu batu
dan sejarah
orang orang melarung luka
tiga tetes darah disadap
dari ujung bunga
bunga yang bertangkai tuah
Magelang, 17-2-2015
*dimuat di Merapi, 13 September
2015
SITUS GUA MUNYUK
memandang pintu
gua munyuk
kutemukan rajah waktu yang
mencakari tubuhku
aroma dupa
dan pancuran mantra
melebur hidupku
jadi remukan
laku dewa
Magelang, 17-2-2015
*dimuat di Koran Merapi, 13
September 2015
TENTANG DEDET SETIADI
Dedet Setiadi lahir di
Magelang, 12 Juli 1963. Mulai aktif menulis tahun 1982, berupa puisi, cerpen
dan juga esai. Tulisan-tulisannya, pada tahun1980-2000 banyak di publikasikan
di berbagai media massa seperti: Suara Pembaruan, Suara Karya, Pikiran Rakyat,
Berita Buana, Bali Post, Mutiara, Bernas, kedaulatan Rakyat dan lain sebagainya.
Tahun 1987 diundang dalam temu penyair Indonesia ’87 di TIM Jakarta. Tahun
1990, satu puisinya Suluk Bermain Kartu,
terpilih sebagai salah satu puisi terbaik versi Sanggar Minum Kopi, Bali. Dan
Abdul Hadi WM menyebut puisi Dedet Setiadi
sebagai puisi futuristic.
Antologi yang memuat karya-karyanya
antara lain: Puisi Indonesia 87 (DKJ,
1987), Konstruksi Roh (UNS 1984, Solo), Vibrasi Tiga Penyair (Tiwikrama, 1996), Jentera Perkasa (Forum Sastera Surakarta-TBJT, 1998), Rekonstruksi Jejak (TBJT, 2011), Equator (Yayasan Cempaka Kencana
Yogyakarta, 2011), Requim bagi Rocker
(Taman Budaya Jawa Tengah–Forum Sastera Surakarta, 2012), Antologi Penyair Indonesia dari Negeri Poci 4 Negeri Abal-Abal
(KKK, Jakarta, Februari 2013), Antologi
127 Penyair: dari Sragen Memandang Indonesia (FSS, 2013), dll. Puisi
tunggalnya termuat dalam Gembok Sang Kala
(Solo, 2012), Pengakuan Adam di Bukit
Huka ( Teras Budaya Jakarta ,2015), dan lain-lain.
Sejak tahun 2000, tidak
pernah lagi mempublikasi karya-karyanya, karena waktunya lebih banyak tersita
untuk menafkahi keluarganya dengan bekerja di sebuah perusahaan kontraktor
swasta, pindah dari kota yang satu ke kota lain, sealur dengan lokasi
pekerjaan. Belakangan mulai suntuk lagi menggeluti dunia tulis-menulis, dan
mengaduk-kumpulkan puisi yang tercecer tak rapi diarsipkan. Saat ini tinggal di
sebuah pelosok dusun di daerah Muntilan, bersama istri dan tiga anaknya.
Catatan
Lain
Lirik Sebatas Hujan,
Buku terbaru penyair kelahiran Magelang, 1963, diambil dari salah satu judul
puisi yang ada dalam buku ini. Buku ini merupakan kumpulan dari karya-karya
yang ditulisnya sepanjang tahun 2012 sampai tahun 2017. Dan puisi puisinya ini
dikumpulkan dari karya-karya yang tercecer di berbagai koran misalnya di
Merapi, Kedaulatan Rakyat, Media Indonesia, dll.
Kontributor :
Sus S. Hardjono (Rumah Sastra Sragen—RSS)
terimakasih sudah memposting puisi puisi indah ini...suka cara bertutur beliau lewat puisi puisinya..salam
BalasHapus