Data buku kumpulan puisi
Judul: Arung Cinta
Penulis: Djoko
Saryono
Penerbit: Pelangi Sastra, Malang.
Bekerjasama dengan Kafe Pustaka
Malang dan
Perpustakaan Pusat Universitas
Negeri Malang
Cetakan: I, November
2015
ISBN: 978-602-73516-1-5
Penggambar sampul: Yulius
“Benu” Nugroho Putra
Perancang sampul, penata letak:
Alra Ramadhan
Kurangilah sifat
bertanya-tanya: selalu rayakan cinta! (Makrifat
Cinta, hlm. 65)
Beberapa pilihan puisi Djoko Saryono dalam Arung Cinta
JEJAK
kutatah rindu di hulu kenang bersamamu
kuukir syahdu di bayang ingat denganmu
dan kutemu jalan syahdu berjumpa dirimu
kulukis cinta di cawan cita bersamamu
kugambar asmara di gelas nikmat denganmu
dan kugapai jalan khusyuk bersatu dirimu
maka aku kini meniada di dalam dunia
lantaran dunia menjelma sebagai dirimu
maka aku kini mengada di dalam dirimu
karena dirimu juga merupa sebagai aku
KESADARAN
/1/
jikalau resah menyamun dada
tersebab gelegak nafsu dunia
sadarilah keberadaan raga
usaplah lembut sepenuh cinta
kau temukan diri sebagai sediakala
/2/
telah kemana saja kau cari sukacita?
kau paksakan raga mencari ke sudut dunia
kau kehendaki hati menanya tiap manusia
kau rumuskan begitu banyak cita-cita fana
kau pancang pengharapan tiada terkira
dan kau peroleh kesedihan semata
ingatlah, sukacita mukim di keheningan
cuma berkawan dengan kewelas-asihan
kenapa kau abaikan – kenapa tak kau tunaikan?
Malang, akhir Agustus 2012
PERAJIN RINDU
Kau tahu, kata perempuan itu, ternyata dia seorang lelaki
perajin rindu. Temu demi temu dia taburi gerimis kata-kata
memesona yang menjelma hamparan sajak-sajak asmara.
Ruang demi ruang pun dia penuhi gatra-gatra begitu
menyentakkan dada yang kemudian menjelma dunia cinta.
Maka para perempuan suka karena serasa berada di taman
cinta yang selalu wangi kenanga. Lambat laun mereka
menjadi perindu yang senantiasa menunggu: lelaki datang
dengan kata-kata dan gatra-gatra yang menggelorakan
asmara dan mengekalkan cinta. Tapi, kata perempuan itu,
tunggu tinggal tunggu, lantaran lelaki seperti angin tak
sudi disarangkan di dalam kalbu: dia hanya kabar semu!
Maka perempuan-perempuan pilu menanti di taman
perindu: sang perajin rindu lindap tanpa ada yang tahu.
Mungkin, kata perempuan itu, lelaki sang perajin rindu
bingung terkepung banyak perempuan yang semua
menanti rindu: juga menagih pilihan yang satu.
RASA CINTA
/1/
hunjam tatapmu luluhkan lubuk rasa
sihir kepada hati yang dahaga cinta
sedang dirajam kemarau makna
duhai jelita, kapan nampan asmara
penuh cawan anggur cinta
kau suguhkan bagi pecinta
agar tandas kureguk hingga lupa
dan menjelma darwis rumi yang ceria
/2/
tubi seri senyummu
adalah karnaval hasrat bertemu
melintasi jejalan kerinduan tiap waktu
menuju negeri mahacinta di hitam batu
bisakah kujelajahi hingga ke situ?
duh… kini aku terjerambab cintamu
setiap waktu menthawafi rindu
/3/
liuk bayang dirimu
adalah elok tarian rindu
di panggung upacara cinta di dada
tergelar sepanjang napas memburu
belahan jiwa berhiaskan ramah sapa
semua kuhikmati di kedalaman sukma
berbilang purnama yang menyalin masa
tak terasa diri tertenung cinta sejati cinta
aku terkapar dalam kepasrahan paripurna
Malang, akhir Agustus 2012
GAIRAH CINTA
dalam bening pandang mata
hijau luas padang sabana
adalah gelaran sajadah jiwa
tempat kudirikan rumah si mahacinta
dan kuserahkan buah kehidupan dunia
selepas adzan bergema, menuntun raga
Malang, akhir Agustus 2012
PIKAT
/1/
kata-kata ada dalam kendalimu
selagi tak kau nyatakan
jika telah kaunyatakan kata-katamu
kau yang ada dalam kendalinya*
di bawah siraman senja
kita dekat bermuka-muka
hanya berbalas sorot mata
tanpa tukar kata: pun aforisma
tanpa suguh suara: pun gema
sebab makna butuh tulus jiwa
sebab cinta perlu jernih isi dada
bukan wicara, bukan untai bahasa
/2/
kata-kata yang keluar dari hati
bakal masuk ke dalam hati
kata-kata yang keluar dari mulut
takkan melewati batas telinga*
di bawah guyuran senja
kita berbagi rasa: hanya rasa
saling sesap hikmat agung cinta
tanpa sentuh raga: alir nafsu purba
tanpa pilin hasta: runut rajah asmara
karena makna perlu kebeningan jiwa
karena cinta butuh kejernihan sukma
bukan hasrat purba, bukan guruh dada
Malang, Juli 2013
* ucapan Ali ibn Abi Thalib
PERAHU DAUN
selepas diisi doa-doa:
daun-daun itu menjelma
perahu amat ternama
sanggup menjelajahi samudra
yang dijaga badai paling gila
menyinggahi bandar-bandar cinta
yang diasuh ajaran baka
melemparkan sauh di pantai suka
tak kenal segala makna seruan cinta
dan dia bersuka cita:
berdansa sepanjang kala
sembari menabur ayat-ayat cinta
kepada sesiapa
lihatlah: ikan-ikan lantas mendaras ayat baka
berisi peta bahagia: bergambar jalur hangat cinta
seraya berbaris rapi membuntuti
buritan perahu melaju meniti
negeri kekekalan sejati
lihatlah: gelombang-gelombang lantas membaca
ayat-ayat baka berhulu sidratul muntaha
sembari penuh seri mengantarkan perahu
mencapai ke tepian kekekalan allahu
lihatlah: begitu merapat di kaki senja
yang singgah di mata
perahu itu seketika sirna
menjelma kembali
menjadi daun-daun teberkahi
DIALOG PECINTA DAN PERINDU
Lihatlah cintaku, lihatlah, laut gelisahku telah mencipta
tarian badai, meliuk-liuk memburu kanal-kanal pantai:
tempat dirimu santai, menanti pasang surut selepas senja
terkulai dan gelap terburai. Esok bakal kau temui kabar:
seorang pelaut asmara terdampar dan terkapar semalam
setelah dihempaskan amuk samudra aksara yang tercipta
dari teluh cerita; dan telat diselamatkan penjaga rindu yang
mampu melaju, menerjang, dan menembus amuk samudra
aksara.
“Rinduku, maafkan, aku hanya mampu bernyanyi: olle
ollang paraona alajara, olle ollang alajara ka Madura.
Berbilang kali, tak henti. Semalaman. Seraya menanti kau
tiba dalam segala rupa: terkapar dan terdampar, tanpa
busana asmara hingga cintamu kepadaku terlihat nyata.
Harus kukata, rinduku, semalam tak datang angin sakal
dan hampa kujelang rasi bintang penunjuk arah dirimu
di hamparan samudra yang melampaui luas khazanah
kosakata. Mana mungkin, rinduku, aku berani mendayung
jukung rindu untuk menolongmu? Bisa-bisa aku terlumat
di ganas amuk samudra aksara.”
Cintaku, engkau di mana? Pagi demikian sempurna:
matahari mengirim warna emas pada mataku selepas diriku
terbebas dari kapar dan dampar. “Rinduku, bukankah aku
senantiasa di sampingmu? Kitab-kitab penyimpan ceritaku
bukankah kau genggam selalu di hatimu?” Pantai menerima
kecipak: belum datang ombak. Selepas semalam segala
bergolak.
PERIHAL KANGEN
/1/
Den, bila gerimis pergi:
kau rasa ada tak lengkap lagi
tanda kangen mengepung sanubari:
riang bernyanyi-nyanyi
dan kau menyebarkan galau bertubi:
inginkan yang tiada kembali
/2/
Den, jangan kau tersandera yang fana
genteng atau jelek hanya fatamorgana
lantaran cuma rias dunia: tak melekat jiwa
segera sirna bilamana kau sanding wanita
dia bakal meminta makna ada manusia
yang lempang jiwa tentu lebih utama:
selamat tujuan mengada di dunia
Den, jangan kau terseret arus zaman gila
raga semata ditakwil jalan bahagia
yang abadi ditampik karena tak kasat mata
ganteng atau jelek hanya tipuan raga
hangat dan selamat itu makrifat mengada
kau sedang menuju arah mana: gamang jiwa?
Den, kau sedang berjalan menuju tubir celaka?
/3/
Den, kalau kau membuang cinta di tengah hujan
resah langit kian luar biasa: tercurah air tak sisa
hingga sepi cekal waktu: basah kuasai jalanan
suara insan sirna: cuma tik-tak butir hujan bernada
NASIB PUISI, 1
aroma harum bebunga
lambar wangi dupa
laku semadi lebur jiwa
lantun doa indah irama
puncak hening suasana
tersuguh ilham di langit ilahi
dan berakarlah bumi rabani
berkendara bunyi-bunyi
penyair menikahkan kata berarti
tersulamlah indah puisi
tertenunlah makna puisi
terpintallah guna puisi
tapi dulu sekali
telah dinafikan kini
dunia terjerumus palung sekularisasi
dan budaya kehilangan tangga surgawi
ah… puisi, telah bersalin rupa kini
kehilangan jalan pulang ke hadirat ilahi
Malang, Juli 2013
NASIB PUISI, 2
kekasih, kalau kau saja
menyandang banyak nama mahaindah
kenapa puisi dijauhkan dari pijar-pijar indah
seolah ia bedebah penghalang hidup bergairah
kekasih, kalau kau saja
mencipta sesuatu dengan guna terarah
kenapa puisi diceraikan dari segala faedah
seakan ia sampah perusak hidup berlimpah
kekasih, kalau puisi tak indah
kekasih, kalau puisi tak faedah
masihkah seni berada di jalan iradah?
Malang, Juli 2013
BUNUH DIRI PUISI
ketika semua harus ditahbiskan sebagai puisi
sebenarnya puisi telah
mati
tatkala semua harus dibaiat sebagai penyair sejati
sesungguhnya
penyair telah mati
karena kesamaan adalah peniadaan eksistensi
lantaran perbedaan menjadi prasyarat ada diri
kini semua menuntut disebut puisi
kini semua meminta dikata penyair sejati
maka puisi dan penyair kini tiada lagi
tinggallah ungkai huruf dan kata tanpa arti
arti terusir pergi oleh eksperimen tiada henti
yang disangka ruh puisi
puisi perlu kekasih selain puisi
penyair butuh kekasih selain penyair
jangan ingkari jangan mungkir
Malang, Juli 2013
MENYELAMI DIRI
/1/
dalam sungging begini mesra
kita senyapkan segala wicara
dan istirahkan segenap suara
biarkan rasa meracik makna, menakik cinta
dan merumuskan bahasa bagi rindu di dada
/2/
cuma bersentuh sekejap cahaya
beribu indah kata menyerbu dada
berlaksa agung irama merebut jiwa
dinda, kita pun disergap kidung asmara
bersari bening suara
dan disekap di ranah asing rasa
yang menolak diungkap
bahasa
dinda, jangan meronta, pasrahkan sukma
hening biarlah bertakhta, menguntai sabda
kita sesap tanpa kata-kata: apalagi suara!
/3/
bila diam sudah lengkap mengabarkan rindu
buat apa desah suara diracik sebegitu merdu
kata-kata dirakit-rakit penuh semerbak rayu?
bukankah malah menawarkan pergolakan kalbu?
jika isyarat telah utuh mengirimkan bening hajat
untuk apa baris hasrat disorongkan begitu cepat
nikmat dicetuskan dalam aneka pilinan kalimat?
bukankah menghambarkan pertarungan syahwat?
huss… masuklah ke sunyi tersepi di dasar diri
menemui nurani membabar makna hidup sejati
/4/
rempah rindu menguarkan aroma rayu
menyerbu lubuk batin terperangkap ragu
rempah rindu kuramu doa saban waktu
agar kelezatan cintamu meneluh kalbu
ohh … di mana aku? – di mana aku?
harum bunga-bunga menculikku
dan menyekap di kuala rindu!
berserah pasrah aku biar bersatu
/5/
sesudah berjumpa Dewaruci
di dasar samudra eksistensi
aku tiada lagi: habis diri!
maka jangan kau ingat lagi!
ingatlah: hanya yang suci
/6/
setelah habis diri
aku pendar cahaya rabani
yang menubuh: membumi!
/7/
jangan sebut pasti: aku
yang mengada: nanti mengabu
yang diri sejati: senantiasa rabani
tak ada di sini: mrucut saat dipegangi
DIORAMA ASMARA
/1/
kau bakar, kau bakar dada
panas membara asmaramu
menyala-nyala ruang jiwa raga
hingga ludes menjadi rintik abu
dan kau biarkan tanpa haru
dan kau tinggalkan tanpa ragu
sebab aku cuma abu, cuma abu
/2/
dinda, benih rindu
kau sembahkan kepadaku
dihidupi senyum tiap temu
dirabuki humus mesra selalu
tumbuh pohon cinta di kebun jiwaku
menjulang gapai niat bersatu
tetapi kabut ragu kutemu
berbuah lebat atau tidak bagiku
dirimu cuma termangu: gagu!
/3/
dinda, gelap rambutmu
menyanyikan rindu
disapu angin limbubu
kurekam semua di pita kalbu
duh … betapa ngilu hasratku
lantaran dirimu angan semu
/4/
dinda, selepas melalui pematang sawah
kita lewati jurang-jurang cegah
seketika kau menyerah
berkah cinta tak cukup buat hujah
aku pun rebah: dimangsa resah
kita berpisah: sebelum bersulang indah
/5/
dinda, gerimis pedih bertubi menerpa
kendati gemawan celah merona
dan hujan lindap telah lama
sebab percikan air jeram yang jatuh
melayang dan membentur gemakan aduh
suarakan cintaku yang runtuh
/6/
dinda, hanya rindu menautkan kita
di ranah citra lembut cinta
di ruang bayang kudus asmara
di situ kebebasan bersama terbuka
tapi waktu merentang garis batas
tanda kita ada beda amat tegas
kau ikan indah di luas samudra
aku ikan air tawar di dingin telaga
aku ikan air tawar di dingin telaga
mana bisa hidup di kolam bersama!
Malang, Juli 2012
PENGAKUAN PRABANGKARA, 1
dengan kepolosan hati yang terpiara
di hadapan baginda dia berhujah mulia
mana mungkin sahaya mencintai permaisuri:
memandang sekejap pun sahaya tak berani
apalagi beradu hati berisi laut kasmaran insani
mungkinkah sahaya bercinta dengan permaisuri?:
melangkah seingsut pun kaku kedua kaki
apalagi bersanding bermain badai asmara suci
mana mungkin sahaya memadu cinta berdua:
bersua sejenak pun cuma impian semata
apalagi menyatukan raga ciptakan rimba cinta
mungkinkah sahaya bermadu dengan belahan jiwa paduka?:
bertatap sekilas pun hanya angan belaka
apalagi meleburkan rasa menyulut bara asmara
tapi mana mungkin sahaya bisa melukis pujaan baginda:
bila bayangan kemolekan raga sedikit pun tak ada?
bila kelebat kecantikan paras sedikit pun tak punya?
bila gambaran kesempurnaan tubuh tak tersedia?
tapi mana mungkin sahaya sanggup melukis serupa yang nyata:
bila cuma bersandarkan cerita: berdasarkan kata?
jangan licin kata! lidahmu mengeluarkan amis asmara!
sergah baginda dikepung bayang permaisuri tercinta
sedang sungkawa diterjang luka yang dia sendiri cipta
PENGAKUAN PRABANGKARA, 2
dalam gemetar nada disabot jagat raya
dalam getar gemeretak suara dia berkata
cuma tetesan tinta, baginda
sungguh, hanya cairan isi pena
tiada sengaja luruh menimpa
tubuh sempurna isteri paduka
seusai tersalim di kanvas kasa
kenapa hamba dibanjiri purba sangka?
kenapa paduka menghunjamkan nista?
cuma tetesan tinta, bukan cinta
hanya cairan isi pena, tak asmara
benar, sekadar tinta di ujung pena
yang lunglai lalu menitik di pusat kama
serupa tahi lalat yang permaisuri punya
akibat konsentrasi hamba luar biasa
kenapa paduka harus membabi buta?
sungguh, sirna kebajikan penguasa!
jagat raya bersemedi begitu paripurna
diam-diam mencatat semua angkara
PENGAKUAN PRABANGKARA, 3
kuasa selalu mengabadikan sekat-sekat
merendahkan cinta sekadar pupur nikmat
Julukanku: sapi hitam bernoda kegelapan
lantaran benihku hasil sebuah kebrutalan
birahi penguasa yang tak terkendalikan
walau rahim ibu mengalirkan kehangatan
dan menghidupiku gemerlap kecintaan
“Kekuasaan selalu beraut keangkuhan
keliaran bercitra kehebatan – keanggunan
dan korban utama niscaya perempuan
tak heran, kau lahir tanpa kuharapkan
kendati kukasihi sepenuh kemampuan”,
tandas ibunda saban kali kutanyakan
nasab pemberi akar tunjang kehidupan
“Jangan sekali-kali bertanya ayahandamu
jangan mengemis kepastian kepada diriku
sebab yang kuingat cuma birahi menderu
mengejar kemasyhuran semu – juga palsu
sebab yang kuingat bukan pangeran rindu
berani melepaskan segenap rias berdebu
dan sanggup memberi kepastian asal-usulmu,”
cergas ibunda memotong rajam siksa masa lalu
prabangkara tahu, menyudahi tanya bagi ibu
langit kehilangan biru, tampak kelu, kerajaan bisu
PENGAKUAN PRABANGKARA, 4
yang gelap, lolos berucap
yang pengap, sulit mengendap
namaku Prabangkara, pangeran pinggiran
di antara pusaran kekuasaan yang diresmikan
buah birahi baginda raja bersama perempuan
janda muda yang dengan sengaja diumpankan
dalam kencan semalam di luar tembok kerajaan
maka akku tak beroleh pengakuan dan pengesahan:
aku dilupakan dan memang ditiadakan
namaku Prabangkara, pemuda berdarah campuran
di antara darah raja diraja dan orang kebanyakan
buah nafsu kilat paduka raja dengan perempuan
janda muda desa yang sengaja dipersembahkan
dalam lampias asmara tanpa susila para bangsawan
maka aku tiada dimasukkan sejarah baku kerajaan:
aku dihapus dan memang diabsenkan
namaku Prabangkara, manusia perbatasan
antara gemerlap istana dan gelap pedesaan
akibat tabiat kekuasaan tanpa kemanusiaan
akibat perangai kekuasaan tanpa kesusilaan
apa arti kekuasaan tak menjunjung kemanusiaan?
apa arti kekuasaan tak mewahidkan kesusilaan?
namaku Prabangkara, abdi keraton mumpuni segala
kondang sebagai sungging istana kesayangan paduka
dipercaya melukis kemolekan diri permaisuri tercinta
dan saat tersingkap rahasia, aku dilenyapkan baginda
namaku Prabangkara, pengeran terpinggirkan …
namaku Prabangkara, pangeran terlupakan …
namaku Prabangkara, pangeran terlenyapkan …
angin menderu-deru tak henti, dan dia terbang tinggi
manusia bertanya-tanya di hati, kemana arah dia pergi
istana diracuni sunyi, suara tebakan macet di ulu hati
Tentang Djoko Saryono
Djoko Saryono lahir di kota Madiun 27 Maret 1962, besar
dan mukim di kota Malang. Menyelesaikan S1 (1986), Magister Pendidikan (1991),
Doktor pendidikan (1997) dan meraih guru besar bidang pendidikan bahasa dan
sastra Indonesia (2009). Mengajar di IKIP Malang (Universitas Negeri Malang)
sejak 1986. Menulis sekitar 25 buku tentang kebudayaan, kesenian, kesusastraan,
kebahasaan dan pendidikan, diantaranya: Pergumulan Estetika Sastra di
Indonesia; Perempuan dalam Fiksi Indonesia; Etika Jawa dalam Fiksi Indonesia;
Suara Sufistik dan Religius dalam Sastra; Budaya, Seni dan Bahasa dalam
Kelindan Kuasa. Kumpulan puisinya Arung Diri (2013), Arung Cinta
(2015), Kemelut Cinta Rahwana (2015), Arung Flores (2015) dan Tafsir
Kenthir Leo Kristi (2015).
Catatan Lain
“Yang saya tuangkan itu
boleh jadi hal remeh-temeh, biasa-biasa saja, ringan-ringan semata, dan tiada
memuat kebaruan yang banyak didamba orang; tidak serius, tidak berat, dan tiada
membuat berkerut dahi. Sekalipun demikian, saya senang, bahkan bahagia melakukannya.
Yang penting di sini: saya selalu berusaha belajar berliterasi dalam rupa
menulis,” kata penyair dalam Pembuka. (hlm. v).
Halaman
persembahan berisi kata-kata bijak dari Bunda Teresa, Kahlil Gibran dan
Jalaluddin Rumi. Kata Bunda Teresa: Bukan seberapa banyak yang kita
berikan,/melainkan seberapa besar cinta/yang kita masukkan dalam pemberian itu.
Kata Kahlil Gibran: Keindahan adalah apa yang menarik jiwa./Kepadanya cinta
diberikan dan bukan diminta. Kata Jalaluddin Rumi: Bukalah Jendela
Cinta/Rembulan tak’kan/menggunakan pintu/Hanya jendela!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar