Senin, 04 September 2017

Herry Gendut Janarto: GADO-GADO KREDO


Data buku kumpulan puisi

Judul: Gado-gado Kredo, 101 Puisi Humor
Penulis: Herry Gendut Janarto
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Cetakan: I, Agustus 2016
Tebal: xxiii + 156 halaman (101 puisi)
ISBN: 978-602-424-140-7
Penyunting: Candra Gautama
Perancang sampul: Wendie Artswenda
Penata letak isi: Leopold Adi Surya
Ilustrasi sampul dan isi: Agus Suwage
Ilustrasi sampul depan: Over Smilling (2000),
Cat minyak di atas kanvas, 100 x 100 cm.
Pengantar: Arswendo Atmowiloto

Manusia berpikir, Tuhan pun tertawa (Milan Kundera, hlm. ix)

Beberapa pilihan puisi Herry Gendut Janarto dalam Gado-gado Kredo

Asal Ngocol, 2

Semua orang tentu ingin bisa masuk surga
Namun baru masuk angin sudah mengeluh


Sepak Bola, I

Brasil sungguh gaya berjuluk Tim Samba
Argentina lihai amat ber-Tango ria
Italia dengan catenaccio berjaya
Jerman sang Panser perkasa
Spanyol top ber-tiki taka
Kita, teka-teki semata


Kerabat Dekat

Sesat sesaat itu nikmat
Nikmat sesaat itu sesat
Sesat dan nikmat memang kerabat dekat


Mandiri

Jalan sendiri
Berharap sendiri
Masuk ATM sendiri
Meringis sendiri
Bokek sendiri



Kadar Cinta

Sebagai suami, sungguh saya mencintai dan sebisa mungkin
senantiasa memanjakan istri tercinta. Ini sebentuk keseriusan serta
keniscayaan yang benar-benar tak bisa ditawar-tawar lagi. Hanya
saja kadang sempat terlintas di benak bahwa apabila ada istri tercinta
berarti bisa ada lagi istri yang kurang tercinta, istri agak tercinta, istri
sedikit tercinta, istri tak tercinta, dan seterusnya …


Siramkan Saus Tiram

Dua-tiga kali istriku pernah berujar,
“Suatu hari nanti kalau aku meninggal, tolong dikremasi saja.”
Sebagai suami, aku tidak suka dengar ucapan eskatologis semacam itu
Namun istri kembali melayangkan penegasan sikap,
“Justru mumpung masih hidup, aku sudah harus berencana.”
Dengan dongkol aku pun melontar serentet kata dangkal,
“Kalau aku mati, tolong direbus saja plus siramkan saus tiram.”


Kelas Mujair

jelek-jelek begini aku ini resmi masuk bilangan kaum penyair
karyaku memang tak seberapa berkualitas, cenderung enteng cair
tak apa aku tak masuk kelas kakap atau salmon, paling
terbilang nila atau mujair

muskil pula aku galau lalu heboh menggugah protes dan
ajukan banding segala
kuterima kenyataan ini dengan lapang dada dan aku justru
megah hati karenanya
sebab tanpa penyair rombeng atau ecek-ecek, tak ada maestro
atau pujangga


Rumah Puisi
Untuk Taufik Ismail dan Remy Sylado

Penyair mesti butuh puisi
Ia juga perlu sepetak rumah
Jadilah sebentuk rumah puisi
Hadir tetamu rona serbaneka
Domestik maupun mancanegara
Ada Kang Pantun, Mbakyu Karmina
Tante Stanza, Om Haiku, Bang Ode
Opa Romansa, Oma Elegi, Mas Soneta
Dik Balada, Koko Himne, Angku Gurindam
Paman Rubaiat, Pakde Geguritan, Kiai Selawat
Ssst, di antara tetamu itu ada pula si Mbeling lho


Novel yang Bangga Berulang Dicetak

Tiada kata paling saksama, selain kata “bangga”.
Buku novel itu bahkan berlipat bangga karena dicetak ulang
berkali-kali
Setiap proses naik cetak, si novel berdecak kagum karena punya lagi
banyak teman baru
Dengan jumlah ribuan tertebar di seantero negeri, ditata di rak-rak
toko buku, perpustakaan, di rak rumah-rumah, ada di pameran buku,
taman baca, dan sebagainya.
Ia juga amat menikmati manakala ditenteng ke kafe-kafe, ada di
jok-jok mobil, menjadi kudapan di pesawat, ada di gang dan tangga
kampus, ada di ransel-ransel pelajar, dan seterusnya.
Betapa pula ia tersanjung saat tiba ditelaah dengan cara pintar di
media-media ternama.
Bahkan, ia masih ingat betul sambutan gegap gempita kala dirinya
diluncurkanperdanakan di sebuah rumah budaya, hadir di situ seniman
budaya top, pakar, selebritas dan tak terbilang insan media yang kian
membuat berkibar.
Ya, begitulah nasib baik novel best seller yang ternyata juga sahabat
setia di saat jelang tidur para pecandunya.
Namun, ia merasa paling sebal tiap kali dibawa masuk toilet untuk
menemani si empunya yang lagi buang hajat besar. Plungggg!


Lamborghini atau Metromini

Lepas senja di depan Potato Head, Pasific Place
Berderet warna-warni sejumlah sedan supermewah
Semua mengkilap kinyis menyilaukan matahati
Ada Rolls Royce, Ferrari, terbanyak merek Lamborghini
Jakarta memang wadah campur aduk atau melting pot
Apa-apa ada dan apa pun selalu bisa diada-adakan
Sambil lalu aku jalan lewati deret mobil mewah canggih tadi
Ah, seperti apa rasa berkendara di kokpit Lamborghini?
Sejurus kemudian aku sudah terbaris di dekat halte bus
Alhasil kupasrah ditelan mentah-mentah perut mertomini
Cukup aku rogoh kantong gocengan untuk si kondektur
Kendati sesak berjubel kok ya tetap saja nyaman asyik
Tanpa keluh aku namai angkot ini “Lha mbok gini.”


Indah, I
Untuk Agus Noor

Selingkuh itu indah, ujar pengarang terkenal
Tak heran, kian banyak orang ingin belajar mengarang


Di Sebuah Acara Reuni

Di tengah dada-dada busung
Di celah wajah-wajah makmur
Di antara perut-perut buncit
Di sela tubuh-tubuh tambun
Di selisip dompet-dompet tebal
Di himpit parkiran mobil-mobil mewah
Muncul sosok alumnus kategori minus
Manusia strata bawah tipis lusuh rasa melata
Namun tampak full percaya diri
Tak secuil pun terpapar keder minder
Rada muskil dan ganjil memang
Dengan blak-blakan ia bahwa mendakwa
Teman-teman reuniwan yang terbukti gagal total
Dalam mempertahankan kemiskinan


Mohon Sedikit Perpanjangan Waktu

Ya, Tuhan, aku kutip semua perintah-Mu
Dalam bahasa jiwa gaul anak muda
Seonggok grafiti tercurap di dinding hati
Astaga, betapa elok, spontan, dan bertenaga
Aku suka mengerjap mata dan mengeja ulang
Sampai bunyi kata berpulang memahat sunyi
Hingga aku tersungkur lalu coba memeluk-Mu
Ya, Tuhan, mohon ampun berlaksa ampun
Jangan lepas, hempas, dan kebaskan aku
Aku belum sepenuhnya laik menjalani kehidupan
Aku belum seutuhnya bulat menerima kematian
Sungguh masih serba canggung dan tanggung
Ya, Tuhan, mohon sedikit perpanjangan waktu
Kalau skor masih juga seri, bolehlah adu penanti


Sketsa Hidup-Mati Dua Lelaki

Lelaki sekilas laiknya pejabat teras itu gusar tak keruan di depan petugas
informasi bandara Metropolitan. Kalap semprot sana semprot sini
dalam upaya pamer jatidiri dan data selaku sosok berkelas. Pasalnya,
sang beliau necis itu ketinggalan pesawat, padahal seabreg tugas
dinas menanti di kota tujuan. Semua agenda acara hari itu buyar total.
Di puncak amarah tanpa rikuh ia tuntut pecat seluruh staf maskapai
penerbangan yang berantakkan agenda kerja lelaki itu. Raut muka
paling ingar bingar itu kontan muncul tanpa permisi di layar dan lembar
media. Dan raut muka itu makin hancur-hancuran nongol di sosial
media, Facebook, Twitter, Instagram, Google Plus, Pinterest, dan lainnya
secara viral, menyebar berkesinambungan. Ringkas kata, jadi trending
topic.

Sementara itu ada seorang lelaki di ranah urban metropolis tampak asyik
di pagi itu menyiram rata deret tanaman pot di latar samping rumah.
Tugas rutin yang dijalani setiba masa pensiun dari sebuah kantor
swasta bonafide. Pagi itu terjadwal pula pergi ke optik langganan ambil
pesanan kacamata baca. Lanjut mampir kantor lama buat menguangkan
kwitansi rumah optik tadi plus tebusan resep Amlodipine, pil penurun
tensi buat satu bulan ke depan. Sebelum pergi seraya menunggu ojek
langganan, ia sempat sekilas menatap ulah di layar kaca sang pejabat
yang lagi uring-uringan naik pitam di bandara Metropolitan. Cepat
spontan ia lempar komentar, “Halah, baru ketinggalan pesawat saja
sudah marah-marah tak keruan. Aku yang ketinggalan zaman pun tetap
bersikap biasa-biasa saja.”


Si Antara Dua Pujangga

Sartre bolehlah lantang berujar: manusia dihukum untuk merdeka
Ronggowarsito pun bersabda: kosong tapi pada hakikatnya berisi
Dan aku masih tetap setia seperti dulu: rajin kalau disuruh malas


Alangkah Sederhananya Logika Ini

Jika busana harus tanggal
Paling ya polos telanjang
Masihkan engkau ingin terus melajang?
Repotlah kalau jadi kerap masuk angin

Jika gigi harus tanggal
Paling ya ompong
Masihkah engkau punya hobi bersiul?
Repotlah kalau yang dengar cuma demit setan

Jika ingatan harus tanggal
Paling ya linglung
Masihkah engkau kepingin jadi pemimpin?
Repotlah kalau lupa daratan, lautan, udara dan bhayangkara

Jika keyakinan harus tanggal
Paling ya murtad
Masihkah engkau tetap rajin beribadah?
Repotlah kalau cuma jadi calon abadi penghuni surga

Jika nyawa harus tanggal
Paling ya terbujur diam
Masihkah engkau cari perhatian dan bikin sensasi?
Repotlah kalau berani mati tapi sekaligus takut hidup


Gado-gado Kredo

Kalau puisi itu guru
Kata-kata di dalamnya boleh merasa berilmu
Atau barangkali justru saling membodohi

Kalau puisi itu buruh
Kata-kata di dalamnya boleh merasa produktif
Atau barangkali justru saling boikot

Kalau puisi itu preman
Kata-kata di dalamnya boleh merasa terlindungi
Atau barangkali justru saling hajar

Kalau puisi itu pencuri
Kata-kata di dalamnya boleh merasa curiga
Atau barangkali justru saling siaga jaga

Kalau puisi itu polisi
Kata-kata di dalamnya boleh merasa aman
Atau barangkali justru saling geledah

Kalau puisi itu demonstran
Kata-kata di dalamnya boleh merasa tertindas
Atau barangkali justru saling bersolidaritas

Kalau puisi itu rohaniawan
Kata-kata di dalamnya bolehlah merasa damai
Atau barangkali justru saling kutuk dan fitnah

Kalau puisi itu pedagang
Kata-kata di dalamnya boleh merasa untung
Atau barangkali justru saling pentung

Kalau puisi itu petani
Kata-kata di dalamnya boleh merasa subur
Atau barangkali justru saling kubur

Kalau puisi itu dokter
Kata-kata di dalamnya boleh merasa sehat
Atau barangkali justru saling meracuni

Kalau puisi itu bankir
Kata-kata di dalamnya boleh merasa makmur
Atau barangkali justru saling bikin bangkrut

Kalau puisi itu pelacur
Kata-kata di dalamnya boleh merasa syuuuur
Atau barangkali justru saling campak

Kalau puisi itu koruptor
Kata-kata di dalamnya boleh merasa kotor
Atau barangkali justru saling bebas lapas

Kalau puisi itu politisi
Kata-kata di dalamnya boleh merasa dilirik khianat
Atau barangkali justru saling saluir khidmat

Kalau puisi itu pengacara
Kata-kata di dalamnya boleh merasa diringanbebaskan
Atau barangkali justru saling umpat, banding, dan gugat

Kalau puisi itu pelukis
Kata-kata di dalamnya boleh merasa permai warna-warni
Atau barangkali justru saling toreh coreng moreng

Kalau puisi itu pemusik
Kata-kata di dalamnya boleh merasa melodius
Atau barangkali justru saling sumbang sember

Kalau puisi itu wartawan
Kata-kata di dalamnya boleh merasa berwawasan
Atau barangkali justru saling memutarbalikkan

Kalau puisi itu pelawak
Kata-kata di dalamnya boleh merasa ria jenaka
Atau barangkali justru saling sikut meleceh

Kalau puisi itu penyair
Kata-kata di dalamnya boleh merasa bebas
Atau barangkali justru saling tebas

Kalau puisi itu aku
Kata-kata di dalamnya boleh merasa suka bahagia
Atau barangkali justru saling siksa


Tentang Herry Gendut Janarto
Herry Gendut Janarto lahir di Yogyakarta, 28 Mei 1958. Lulus Sarjana Pendidikan di IKIP Sanata Dharma tahun 1982. Pernah mengajar Bahasa Inggris, Editor, Reporter. Menulis beberapa buku antara lain: Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi (Gramedia, 1990), Bagito: Trio Pengusaha Tawa (1995), Teater Koma: Potret Tragedi dan Komedi Manusia (1997), Didik Nini Thowok: Menari Sampai Lahir Kembali (2005), hingga F.X. Sri Martono: Unlocking the Hidden Talent (2012), dan banyak lagi. Kumpulan cerpennya Sang Presiden (Gramedia, 2003).


Catatan Lain
Disampul belakang buku hadir komentar N. Riantiarno, Najwa Shihab, Didik Nini Thowok, Seno Gumira Ajidarma, dan Cak Lontong. Dan komentar lain ada halaman i-ii, dari Radhar Panca Dahana, Susilo Nugroho, Maman Suherman, Happy Salma, Garin Nugroho, dan J. Sumardianta. Buku ini dipersembahkan: “Untuk para humoris di front, wilayah, dan bidang mereka masing-masing di seluruh pelosok negeri ini, yang terus berkutat untuk menghibur, menyegarkan, dan mewaraskan orang lain.”
            Berikut kutipan dari penulis yang dijuduli “Sekadar Koar, Pengakuan Tulus Seekor Mujair”: “Kendati saya bukan seorang pelawak atau komedian, hidup saya hampir selalu dikepung suasana humor… //Nah, salah satu keinginan terbesar saya dalam hidup ini adalah menulis puisi. Dan pilihan saya jatuh pada puisi humor. Mengapa? Dengan menulis puisi humor berarti saya menerima dua tantangan sekaligus. Pertama, saya harus berani atau tepatnya memberani-beranikan diri masuk ke dalam rimba belantara sastra yang dikenal wingit, angker. Kedua, larik-larik puisi yang saya tulis haruslah lumayan kuyup bernuansa jenaka atawa beraroma humor. Begitulah…//Tidak ada yang baru di bawah matahari. Puisi humor karya saya ini pun genre lanjut dari yang sudah pernah hadir sebelumnya. Sejumlah penyair di sini – untuk hanya menyebut beberapa nama – bahkan telah lama memapar yang berjenaka ria di sebagian karya mereka. Sebut saja Remy Sylado, Taufiq Ismail, Yudhistira ANM Massardi, Joko Pinurbo, dan pasti masih banyak lagi. Sungguh, sama sekali tidak ada niatan dalam diri saya untuk mendaku. Saya pun mengagumi karya-karya dan kiprah mereka…//Perlu saya tambahkan, proses kreatif dan penggarapan seluruh puisi dalam buku ini saya lakukan dalam kurun dua tahun terakhir ini (2015-2016), di celah-celah keribetan saya melawan atau justru mengakrabi light stroke, asam urat, obesitas, dan osteoarthritis yang sempat menelikung dan bikin kelimpungan. Saya perlu terakan hal ini karena di puisi-puisi itu tak diberi angka data kapan persis dibuat. Lebih dari itu, setelah masa gering badan, saya kepingin merayakannya dengan menerbitkan buku puisi humor ini.//Ya, humor jualah yang “menyelamatkan” saya.”

            Di halaman 153 hadir Daftar Lukisan, ada 47 lukisan yang tersebar di dalam buku. Belum termasuk yang menjadi sampul buku. Mungkin karena itulah biodata Pelukis juga muncul berikut fotonya sepnajang 2 halaman. Agus Suwage lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 14 April 1959. Menempuh pendidikan seni di Fakultas Seni Rupa ITB (1979-1986), begitu bilangnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar