Minggu, 08 Oktober 2017

Rika: MATAHARI DALAM HUJAN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Matahari dalam Hujan
Penulis : Rika
Cetakan : I, 2017
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin.
Tebal : viii + 58 halaman (45 puisi)
ISBN : 978-602-8414-24-1
Editor : Sandi Firly
Desain : Rika
Layout : Ibnu Teguh W

“Aku meminta suamiku memberikan nama untuk buku puisiku ini. Dia memberiku pilihan. Dan dari beberapa nama adalah nama-nama makanan. Aku tertawa. Di saat aku membicarakan puisi-puisiku, dia membicarakan makanan-makanan kesukaannya. Aku sangat suka puisi, dia sangat menyukai makanan. Aku pikir itulah kebahagiaan. Di saat kau dan pasanganmu mampu saling membicarakan hal-hal yang kalian senangi.”
(Rika, hlm. vii).

Beberapa pilihan puisi Rika dalam Matahari dalam Hujan

Peta Mana yang Kau Tuju?

Kau seperti bocah yang rindu pada ibumu
bagimu aku bagai roda-roda yang akan membawamu
kepadanya

kau memeluk peta dalam dadamu
menyisakan harapan dan melihat kenangan dalam matamu

Kala itu kedua bola matamu menjadi basah
dan kau tak pernah sempat mengeringkannya
dengan tanganmu
aku telah menangkapnya

Kau mendengar kicau burung setiap pagi
tapi tak pernah menyimpannya dalam dadamu

Kau menyusuri kota-kota
menyelami setiap sudutnya
adakah kau temukan ia di sana?

Bagai ikan paus di sekawanan lumba-lumba
kau sendirian dan kesepian

Cinta seperti apa yang kau cari?
aku terlalu pandai untuk menciptakannya



Ia Derita

Kubur saja jantung yang masih berdegup
Kubur bersama mata yang nanar memandang cahaya
dunia mati dan buta baginya
ia hanya seekor camar yang berhinggap pada
tangkai pohon yang latah
menggantungkan degupnya di sana
meskipun ada beringin yang melambai-lambai
yang teduh dan kokoh

Ia gila
Ia derita


Kereta Mana yang Kau Tumpangi?

Musim berganti dan terulang
hujan dan panas meninggalkan jejak
kebersamaan kita ternyata telah menjalani rel panjang
menuju perhentian terakhir entah kau dan aku akan
turun pada tempat yang sama atau tidak

Seandainya setiap detik pertemuan itu terpotret
lihatlah album itu
di sana akan nampak
dulu aku tertawa, layaknya beban tersangkut pada
bibir dan pipiku
dulu aku menangis,
seolah aku terhantam sesuatu yang tajam hingga
begitu luka
membuat aku meraung-raung menangis
dan berteriak marah
sekarang,
aku tertawa, seolah beban itu lenyap dari bibirku,
diterbangkan oleh embusan napasku sendiri,
aku lebih menikmati,
lega yang berasal dari hati yang memaafkan segala hal

Sekarang saat aku menangis, seolah hanya karena aku
lelah, bukan bersedih
ini seperti mimpi
aku terus berjalan hidup
meskipun hidup sepertinya mengisyaratkan harusnya
telah lama aku mati
seolah aku melawan kematianku

Melalui janji pada-Nya aku akan menepati
dengan membawa catatan pundakku
kiri dan kanan, entah aku tak pernah peduli mana yang lebih
bagi manusia, dosa dan kebaikan setipis helaian rambut
dunia adalah penggoda
harusnya aku menyerah
pada apa saja
yang telah membuatku luka
tapi lucunya
aku bahkan selalu dekat dengan bahaya
dan aku selalu ingin terjun ke dalamnya
dan sesuatu menyambar lamunanku
tak ku sangka selalu kau!

Di sisiku engkau berdiri
tegap dalam sikap
aku faham akhirnya
pada bimbang yang selau kupertanyakan
tidak, kau tidak menjawab
pikiranku menyetujui caramu hidup
menciptakan damai sendiri
dalam dada dan pejam mata
pada suara-suara dan bau-bau
kau hanya mendengus,
menantang
mereka pergi,
takut salah,
datang pada pejuang yang telah bertualang
begitukah?


Lelakiku

Dia tersenyum, seolah aku sedang menari
di surga bersamanya
dia menggenggam, seolah sinar matahari ikut
berada dalam genggamannya, hangat
dia mendekap, seolah seluruh detik waktu luruh
jatuh, aku tak ingin ia ke mana-mana
bersamanya adalah rasa nyaman yang tak pernah
kukenali sebelumnya
rasa nyaman yang nikmat

Dia pergi, seolah seluruh udara meneriakkan sepi
di mana-mana
aku menangis dan takut

Dia entah di mana, hatiku berdoa tak henti
semoga Tuhan mengisinya dengan bahagia, di
manapun ia berada, dengan siapapun semoga Ia
masih ingat, aku salah satu rumah yang selalu
menunggunya pulang
Ia suamiku, aku menyayanginya, tanpa ada yang
tahu sebesar apa
dan semesta tak mampu menawarkan aku apa pun
sebagai gantinya


Papah

Papah
begitu aku biasa memanggilnya
sekarang umurmu hanya berbeda 9 tahun dengan
Indonesia merdeka

rambut yang penuh uban
wajah yang mulai terlihat tua dan letih
badan yang kian kurus dan kering
tapi apakah usia tak membuatmu ingin berhenti bekerja?
mengapa masih sama seperti halnya engkau masih muda?

tak ada bedanya
dari matahari terbit hingga larut malam
demi istri yang engkau cintai, demi keempat anak yang
engkau kasihi sepenuh hati dan demi dirimu sendiri
agar ikut bahagia karena anak istrimu tercukupi
sebegitukah kasih sayangmu kepada kami?
berapa banyak keringat dan leleh yang aku utangi darimu?
bagaimana aku harus membayarnya?
bagaimana bisa aku membalas?

Jika hanya dengan sepotong roti yang aku bawa
pulang ke rumah
dan engkau ucap terima kasih berkali-kali
padahal aku sangat ingat, seringkali engkau
membawa pulang lauk
dan sesekali ngambek karena lidahku sedang
tidak ingin itu
bahkan jauh dari rasa terima kasih
dan sangat kuingat dan setiap kali aku mengingat
dan teringat
mataku selalu basah tak dapat dicegah
ingatkah kau sewaktu umurku masih 5 tahun
aku ingin beli donat di toko bakeri termahal di kota kita?
saat itu aku lihat lembaran di dompetmu hanya ada
satu, seribu rupiah
dengan senyum engkau beli donat
dengan satu-satunya uang yang masih engkau punya
dan aku girang sekaligus haru
dalam hati aku berucap
semoga suatu saat aku dapat memberikanmu
bahagia yang sama

tapi setelah aku berumur 24
aku ragu apakah aku telah memberimu bahagia
yang sama?
apakah aku telah berkorban sama beratnya denganmu
dan apakah sama tulusnya?
apakah mampu sisa umur pertemuan kita di bumi ini
membuat aku membalas segalanya?

aku ingin sekali
menjadi kakimu saat engkau tak lagi mampu berjalan
menjadi tulang punggungmu saat engkau tak lagi
mampu mencari uang
untukmu, untuk mama, dan adik kecilku
menjadi pembawa kebahagiaan di usia rentamu
menebus segala kenakalan masa mudaku
menebus ketidaktahudirianku selama ini
menebus segala salah yang telah menyakitimu
menambah lelahmu

aku akan berusaha menjadi sepertimu
seperti engkau yang merawatku tanpa pernah
membuatku kecewa
dan terluka


Belajarlah Pada yang Terpinggirkan

Kakek itu seolah hanya berbatas pintu
pada kematiannya
ia sudah begitu tua
tulang-tulangnya tampak rapuh
bahkan tubuhnya yang begitu kurus seolah tak
mampu lagi ia topang sendiri
tapi jiwa itu
seolah tak pernah berubah
dalam hatinya ada tanggung jawab, pada hidupnya,
istri, anak, dan cucunya

Dengan berjalan terbungkuk ia pernah singgah di
rumah makanku
membeli satu batang es batu. “Untuk cucuku,”
katanya.
Ia tersenyum sambil meletakkan uang seribu rupiah
di atas meja
kukembalikan
dan dia bilang, “Tidak apa, aku membayarnya agar
aku menjadi lebih senang.
Es batu ini untuk cucuku yang sedang kehausan di
rumah. Akan lebih membahagiakan bagiku jika itu
aku beli dengan uang hasil dagangan bensinku sendiri.”
Aku mengangguk, perih
semoga tak jatuh air mataku di depannya
betapa sedih nanti hatinya jika tahu
orang lain menangis akan hidupnya

Kuantarkan dia pulang
tak jauh dari rumah makanku
berjejer gedung-gedung tinggi dan megah
tapi bukan salah satu dari gedung itu tempat tinggal
si kakek
ada satu padang rumput liar
tertutup oleh seng
tanah pemerintah yang tak terurus
di situlah ia tinggal
bersama istri, anak, dan cucunya
rumah yang dia sebut sebagai rumah
adalah gerobak dari kayu-kayu yang telah lapuk
beratapkan seng
berukuran kurang lebih 2x3 meter
aku bingung bagaimana caranya mereka mampu
hidup di situ?
di depannya beberapa botol bensin disusun
yang kuhitung tidak sampai sepuluh
tanpa harus kutanya mengapa sedikit sekali bensin
yang ia jual
tentu saja mereka tak punya banyak modal
harus bagaimana aku melihat kemiskinan itu?

saat pulang ke rumah, kuceritakan kepada papah
tentang kakek itu
ternyata papahku begitu kenal
“Dia langgananku membeli bensin eceran. Dia orang
yang sangat jujur.
Dulu saat mengisi bensin aku lupa mengambil
kembaliannya,
dan dia datang ke sini mengantarkannya. Dengan
membeli dagangannya,
kita sedikit banyak membantu kehidupan mereka,
meskipun mereka menjual lebih mahal dari pom
bensin, tak apa. Itulah cara berbagi yang paling sederhana.
Uang puluhan ribu mungkin tak berarti banyak bagi kita,
tapi bagi kakek itu, ia bisa hidup untuk berhari-hari
dengan keluarganya.
Tapi apakah dengan uang kembalian itu ia segera
menyimpan dan memakainya
untuk keperluan hidupnya? Tidak. Dengan susah
payah ia berjalan mengantarkannya.”

Kemiskinan tidak membuat kejujuran lenyap
membutakannya
mampukah kita semua belajar tentang
indahnya kejujuran?
koruptor dengan gaji, tunjangan, segala fasilitas
yang disediakan,
masih tak tahu malu menjadi maling
padahal yang mereka curi adalah kejujuran diri
mereka sendiri. Mau-maunya


Sepotong Sunyi Untukmu

Ini untukmu
sepotong sunyi
sekerat takdir
dan separuh kemarau
kenangan yang tertinggal saat matahari lelah
menatap bumi
tersisa dari secabik ingatan, tentang mawar yang
meranggas
tak pernah ingatkah kau dengan segala doa yang
kau pintakan?
tapi matahari menghanguskan semuanya
juga beranda, tempat kita mencium wangi bunga


Bunga yang Tumbuh di Taman Lain

Kau menagih senyumku
setelah luka jatuh dari pelupuk mataku

Kau menagih setia
sedang kau begitu lihai bermain mata

Kau menagih cinta
aku bingung, sedang kau telah memilikinya

Kau meminta ketenangan
sedang setiap pertemuan kau titipkan aku gelisah
yang tertahan

Aku menagih cinta
nyatanya sudah tak ada padamu

Aku menagih bunga
nyatanya bunga itu telah tumbuh di taman lain


Prolog

kita adalah pelakon misteri
mencipta drama teatrikal dan bermain-main di dalamnya
penikmat ruang fatamorgana yang
seolah terjerembab dan tidak bisa menemukan jalan keluar
padahal kita lah pencipta labirin yang sesungguhnya
aku jengah akan misteri yang tak pasti!
maaf aku lebih dulu pergi dan berhenti
sebelum prolog lain kau mulai


Perempuan Banyak Kekasih

aku mengasihi banyak lelaki dalam hidupku
tak dapat kubedakan satu per satu semua yang kutemui
mereka membagi kasihnya dengan sangat baik padaku
bukan aku perempuan yang senang bermain hati
adakalanya kau mengasihi seseorang tapi tidak
memiliki nafsu terhadap mereka
kau hanya ingin mereka tinggal dalam hatimu, dekat
di hidupmu
tak pernah lebih dari itu


Robby

Laki-laki yang tampan
ia dipuja banyak wanita
sekali dalam seumur hidupku aku baru tahu
lelaki tampan tak harus punya banyak kekasih

Ia lelaki yang setia
dia lelaki yan baik
setiap gajian yang ia terima, hampir semua ia
sumbangkan
hanya sedikit ia memikirkan dirinya sendiri

Sejak itu aku belajar
kejujuran dalam mencari nafkah itu keharusan
dan memberi itu tak harus pada orang yang tak punya
ia murah hati
semurah senyumnya yang tampan

Ia kakak lelakiku


Fahmi yang Gila

Ada seorang lelaki
orang-orang memercayai ia gila
lelaki itu selalu telanjang dada, siang malam
berjalan mondar mandir sepanjang hari
ia sering berbicara sendiri

Suatu malam aku melihatnya membagikan rokok
untuk anak-anak jalanan
rokok itu hasil dari mengemis pada orang-orang

Di lain hari
subuh yang dingin
ia menghampiri seekor kucing
mengangkatnya dan memberinya makan
selasai makan si kucing ia bawa dalam peluknya

Benarkah ia gila?
jika pun iya, satu hal yang aku mengerti
nuraninya masih waras


Ibuku

Dia adalah perempuan yang paling baik
ia sangat pintar memasak
ia membantu ayahku mencari nafkah
ia menggoreng pisang untuk dijual
aku bayi yang ia letakkan di atas meja menunggunya
dengan sabar

Dia perempuan yang cantik dan pandai menyulam
dan lihai dalam hal sabar
ia tak pernah mengguruiku
tapi hidup bagaikan seorang sahabat
ia tak pernah menyalahkanku
katanya benar dan salah itu wallahu a’lam
aku pernah ingin berhenti sekolah karena sakit
terus menerus
tapi ia selalu mengantarku dengan becak dan
menungguiku di sekolah

Ia perempuan yang tak pernah lelah
ia perempuan yang tumbuh dengan baik dalam
kemiskinan seorang anak yatim
ia perempuan yang lebih dari seorang Kartini bagiku
ia ibuku


Yenny

Kakakku perempuan
dia senang membaca komik dan buku
selain itu dia pandai menjahit dan membuat sendiri kadut
yang ia gunakan untuk menabung uangnya
dengan uang tabungannya akan ia belikan aku
majalah Bobo
saat aku sudah pandai membaca
ia tetap mendongeng untukku setiap aku memintanya
ia begitu pandai membuat puisi
aku diam-diam mencuri buku hariannya dan
membacanya

Hari itu aku tahu
bahwa kata-kata mampu menyihir orang
membuat tertawa dan menangis
menjadi tahu dan mengerti

Dan sejak saat itu
aku membuat sendiri kata-kataku
aku ingin seperti kakak perempuanku
yang pandai menabung, mendongeng cerita
dan membuat puisi


Tentang Rika
Rika lahir di Banjarmasin, 23 januari 1991. Memulai kiprah di dunia kepenulisan sejak 2011. Buku pertamanya adalah kumpulan puisi dan cerpen berjudul Kertas Bintang. Novelnya: Istri Muda (2016) dan Jane Fara (2017). Di tahun 2017 pula lahir kumpulan puisi Matahari dalam Hujan. Sekarang tinggal di Banjarbaru.


Catatan Lain
Radius Ardanias Hadariah (RAH) menulis prolog sepanjang 5 paragraf, yang memakan 2 halaman buku, dan dijudulinya “Puisi Tak Pernah Tak Bisa Dikenali”. Katanya: “Demikianlah, puisi itu macam mozaik penulisnya: sekerat kenangan, sekerat kejadian, sekerat impian.”
            Katanya pula: “Dan, setelah membaca puisi-puisi dalam kumpulan ini, kembali tidak mudah menyimpulkan apakah puisi itu karya fiksi? Karena mungkin saja ada godaan untuk menyimpulkan bahwa puisi, setidaknya puisi dalam kumpulan ini, adalah sebuah catatan perasaan harian, atau personal feelings diary. Ya, terserah saja, setiap pembaca boleh memaknai dan menyimpulkan bacaannya.”
            Demikian.

            Oya, RAH ada menyebut nama penulis sebagai Rika Hadi. Nama maskulin di belakang itu entah merujuk pada siapa, bisa suami, bisa papahnya. Namun sepertinya nama itu di masa-masa kini cenderung ditiadakan, setidaknya terlihat dari sampul buku ini. Kasusnya mirip Randu, yang kini meninggalkan Alamsyah. Hehe. Salam puisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar