Data buku kumpulan puisi
Judul : Meditasi
Kimchi, Kitab Puisi tentang Korea
Penulis : Tengsoe Tjahjono
Cetakan : I, Januari
2016
Penerbit : kerjasama
Pelangi Sastra Malang,
Kafe Pustaka Malang
dan Universitas Negeri Malang
Tebal : xviii + 107
halaman (70 puisi)
ISBN :
978-602-73516-3-9
Perancang sampul : R
Giryadi
Penata letak :
SatuKata Book@art Publishing
Ilustrasi : Andi
Harisman, Christyan AS, Maruto Septriono
Epilog : Yusri Fajar
Beberapa pilihan puisi Tengsoe Tjahjono dalam Meditasi Kimchi
Gamcheon Culture Village
Atap warna-warni
Mozaik daun dan musim
Membuat mataku terjaga
Meredam mimpi dari badai
Pasir, kerikil, atau batu-batu
Datang dari laut yang sama
Menetaskan harmoni
Bagi semesta
Adakah yang lebih indah dari keragaman
Kecuali kedunguan. Memulas langit dengan warna kuning,
laut kuning, gunung kuning, lembah kuning, udara kuning
Lalu di mana akan kamu letakkan warna darah dan jantung
Juga matamu yang kelabu
Atap warna-warni tenggelam dalam lensa
“Jangan kamu hapus file itu
Sebelum lengket di jantungmu yang payah
Tak bisa bedakan mana darah mana nanah
Mana pedang mana mata pena
Mana anjing mana serigala,” hardik kamera
pada tanganku yang menggigil
ketika negeriku diserbu hujan batu
pelan-pelan kubuka file itu
atap warna-warni meneteskan air
dari kepundan matanya
Coex Samseong, 211015
Di Katedral Myongdong
Semua anonim
Kecuali Kamu
Tuhan
Banpo Moonlight Rainbow Fountain
ada jembatan. siapa bilang hanya kendaraan lalu-lalang sebab puisi
juga terjaga antara tulang-tulang baja. “Akan kutunjukkan air
mengucur warna-warni dari bibir yang menawan, tetapi selalu
beku sejak dari jantungku.”
kamu pasti tidak percaya bahwa orang-orang menunggu.
menunggu air yang mengucur dari bibir dan musik yang mengalun,
lalu mereka pasti menerka-nerka dari mana asalnya. sebab langit
tidak menyediakan gerimis apalagi sangkakala
di sini hanya ada sungai Han. panjang dan luas. Jembatan Banpo
tetap saja memiliki siang dan malamnya, juga deru angin dari
ujung ke ujung. serta puisi yang masih seperti dulu mengucurkan
air warna-warni dari bibirnya yang tak mungkin dicium
di sisi sungai, cahaya tak bisa lagi berbagi
Seoul, 30 Agustus 2014
Memaknai Payung
*demsi
danial
bukan payung yang dibutuhkan ketika hujan jatuh, namun
cara berteduh. begitu kata senja kepada murung
ketika langit dekat kepada mendung. jelas itu bukan
perselingkuhan, sebab kedekatan itu telah dirancang
waktu. seperti batu dan luka betapa dekatnya. seperti hidup
dan maut begitu akrabnya.
kau pun pasti bertanya tentang cara berteduh. sambil
memindahkan payung jauh-jauh. tampias dan kepala basah.
gigil tubuh dan getar bibir. air mengalir mencari liang,
menitipkan pesan: nikmatilah. ia pun merasakan pipa-pipa
mengalirkan dingin, merambat ke sumsum dan tulang. ia
mencoba memisahkan matahari dari siang, dari malam
dengan terguyur dia pun terlindung dari rasa dingin yang
mual. gerak air selancar nafas mengalir. daki dan debu
menemukan muara dimana angin menebarkannya jadi
rabuk bagi hutan yang tak henti bertunas di kedua bahu
dan punggung. begitulah ia, semakin tahu cara berteduh,
semakin ngerti hakikat langit dan mendung
bukan payung yang dibutuhkan ketika hujan runtuh, tapi
penampang tubuh yang sabar yang senantiasa menjadi
rawa-rawa bagi kepiting, bakau, ular, dan akar tunjang.
bukankah luka itu niscaya sebagaimana bumi itu
penjara namun tak henti disetubuhi hingga lahir hutan di
kedua bahu dan punggung. lalu segala buah menemukan
kelelawar, tupai, dan burung-burung, sebelum berguguran
membangun pohon-pohon baru.
di bawah hujan jatuh
begitulah ia berteduh
seoul, 20 oktober 2014
Hongdae Street
Kau titipkan kepala pada pelukis wajah
Petikan gitar mencuri senja abu-abu
Di panggung-panggung kecil
Ayo, menari, katamu
Ah, aku telah berubah jadi merpati
Di tangan pesulap tampan
Dongeng dari Amsadong
Jejak ini mengantarkanmu ke rumah jerami, piramida
pendek beralas tanah. Pintunya selalu terbuka seperti
menyilakan siapa saja untuk bertamu. Pintu itu jelas tidak
memiliki maksud apa-apa, apalagi menjebakmu. Di hatinya
hanya ada ruang terbuka agar kau bebas berbincang dengan
siapa saja. Lebih-lebih dengan pikiranmu yang akhir-akhir
ini sering kacau
Kenapa tanganmu disergap kapak batu? Menghindarlah.
Berkelit dan pasanglah kuda-kuda untuk melawan.
Bukankah pernah kau lawan ular saat kau bermain di
pematang sawah belakang rumah. Ular yang melesat dari
rimbun kangkung, kau tangkap dengan sigap. Kepalanya
remuk hanya oleh satu injakan
Bumi memang congkak semenjak Adam tergoda membaca
kitab kebajikan. Dan, itu bukan sebiji apel yang selama ini
didongengkan para pelipur lara. Walau sebagian benar saat
ular-ular menjelma jadi siur rambut perempuan. Kau lalu
terpancing membelainya. Aha, tentu kau masih ingat kisah
selanjutnya. Kalian saling telanjang menghitung ribuan
pohon bertumbuhan di perut dan dada. Dan, ular terlambat
kau tikam, melata sampai pada ujung jendela
Sekarang pilihlah ending yang mana: gerutu kapak batu
atau desis ular pada saku celana
Seoul, 10 September 2014
Desember dalam Semangkuk Bulgogi
kupesan bulgogi. salju mengapur jendela. hari kemarin
mendidih di antara serpihan daging dan sayur mayur. tapak
jejak mengabur, terbuka untuk dibaca. monitor 1000 inci
diserbu perca-perca peristiwa, tautan-tautan yang mesti
dirunut muaranya
kuah pedas, menipiskan air mata. hanya bibir sedikit
terbakar, tanpa kata. lalu desember pelan mengelupas
seperti kulit bawang.
sebelum dirajang di meja dapur. mengurai kenangan asin-
masam
musim-musim menyisakan suhu di tubuh dan taman.
bunga-daun-ranting saling menyusul berebut pijar matahari
dan kecipak sungai.
masing-masing suapan terasa seperti kata-kata dalam kitab
suci. datanglah padaku yang letih-lesu. pada salju sepatu
pun belajar perkasa dan berlari
desember selalu ditunggu dan ditinggalkan lalu. pesta
yang menyisakan piring dan gelas. meja dengan tumpahan
weski dan remah roti. di bawah guguran salju mata siapa
terpejam. melupakan bulgogi yang perlahan mendingin
desember menjadi bubur. sesampai di mulut, lidahmu terasa
asing.
Seoul, 31 Desember 2014
Meditasi Kimchi
Selalu kutemukan musim dalam semangkuk kimchi. Salju
pun mengirimkan kisah rapuh dari jauh. Masam, semasam-
masamnya, hingga lambung memanggil-manggil nama-
Mu kala jiwa terperangkap gerbong yang tak pernah menemu
setasiun
juga matahari dan gerimis malam hari. Memindahkan
kimchi ke ruang-ruang pribadi percakapan yang tak kunjung
usai. Bukankah kita selalu bergegas gelisah yang tak
kunjung sudah
belanga kimchi dikubur dalam tanah. Di luar, langit beku.
Itulah keheningan, bisikmu.
Serba menjauh dari riuh, berjumpa asam, seasam-asamnya
semakin dicecap, semakin dalam nemu hakikat
dalam kimchi kan kau temui sawi, irisan bawang, cabe
merah, garam, dan gugusan waktu.
Adonan musim diaduk dalam mangkuk. Siapa terbatuk-
batuk tersedak tajam cuaca
Semua mengigil di ruang tengah, pemanas telah lama mati.
Bukankah begitu alasanku?
Hidangan di meja tak sempurna tanpa kimchi. Musim yang
tergelar siang-malam menyajikan narasi pohon-pohon, daun-
daun bertimbun di kaki
“Mat-itkae duseyo!” – “Selamat makan!” begitulah kira-kira
maksud-Mu.
Seoul, 14 Maret 2014
Tapak Sepanjang Tembok
Kota Seoul
Tapak menegak di gigil Naksan. Kota menyala kunang-
kunang. Matahari tergelincir, ditanam ribuan gedung
tapak pertempuran dicatet selalu. Sepotong musim silih
berganti bertandang di ruang tamu. Mengirimkan berita dan
pergunjingan, remah-remah bunga dan daun gugur di tanah
kering
di sepanjang tembok tertempel wajahmu, juga wajahku
senja melabur kota, kelabu cuma
10 April 2014
10.000 Langkah, Kata Lupa kepada Ingat
Bagi
Lim Kim Hui
Ini jejak ke berapa, begitu kata lupa kepada ingat. Pada jejak
ke sekian berikan tanda pada selamat tinggal, atau selamat
jalan. Masih jauh pegunungan Bugaksan, walau dari sudut
ini indah dipandang
Raja Sejong berselimut angin, matanya masih
memandangmu. Mungkin sedang mengukur kadar setia
untuk kata-kata yang sudah kau ucapkan.
Bahkan jumlah jejak yang tak boleh menyerah pada kalah
Mungkin lupa lebih bijak ketimbang mengingat. Hanya
pada 10.000 langkah di tepi kali Cheonggyecheon tetap kan
kauingat ikan-ikan yang berenangan di jernih air, merpati
yang terbang di sisi-sisi, dari jembatan Beodeul hingga
Mojeongyo, kembang yang bermekaran di musim semi,
tembok-tembok penuh grafiti
(semakin mau melupa, semakin mengingat pula)
Ini jejak ke berapa, kata ingat kepada lupa. Tikungan, lampu
merah, zebra cross, polisi, apartemen dan perkantoran bisa
jadi telah kau lupa berapa jumlah dan bentuknya. Lukisan
dan puisi di pilar jembatan selalu melintaskan baris dan warna
: pesannya tak bisa terhapus oleh cuaca
Baiklah, kita lanjutkan jejak
Walau 10.000 sudah.
Seoul, 22 Maret 2014
Suwon, 3 Oktober 2014
seperti pada umumnya kota aku selalu memulainya dari
stasiun, elevator, tiket, dan keluar pada pintu berapa. dan
ini pintu 56, tak gampang aku menemukannya. seperti
bermain petak-umpet, kupejamkan mataku menghadap
dinding, lalu kau menghilang begitu rupa. sampai hitungan
tak terhingga tak juga kujumpa-jumpa
kau: mungkin semacam cita-cita yang kubayangkan sejak
aku dalam kandungan. 12 x 56 purnama silam. ha, pasti kau
curiga, janin mana bisa meniupkan sangkakala lalu lahir
dengan jejak yang sudah dirancang sejak mula.
memang aku tak lahir di palungan, apalagi diterangi
bintang-gemintang dan seruling gembala. sebab aku
memang bukan ditakdirkan jadi raja, jadi penyair pun hanya
ala kadarnya
kau: mungkin sejenis wabah yang menyarangkan virus
pejalan ke dalam darah. dan hari ini sudah 56 milyar
langkah sejak kutapaki jalan di depan stasiun ketika udara
mulai mendingin menyambut musim gugur. satu dua daun
mapel berjatuhan di depan sepatuku, sepatu yang sudah tak
mampu lagi memamerkan warna. ini persimpangan
yang kesekian, tikungan ke sekian, tanjakan kesekian,
sebelum tiba di Hwaseong Haenggung, istana sementara
kau: mungkin sejenis benteng dari sebuah kubu pertahanan.
tembok sepanjang 5,6 kilometer. cuma lawan datang
dari udara, ribuan elang bermata bara bercakar pisau
mendorongku ke pojok gerbang. akulah rongsokan tak
berdaya? pencuri yang tersalib di kiri atau di kanan padahal
ini bukan kalvari atau golgota. sebab pintu kenisah tak serta
merta terbelah jadi dua.
kau: mungkin sejenis orang yang berucap bahwa di rumah
bapaku kusiapkan ruang tidur untukmu. kamar hangat,
selimut bulu, jendela yang terbuka sendiri mengirimkan
musim gugur atau semi. ah, aku masih ingat bagaimana kau
membersihkan kakiku dari debu jalan dan kuman. sebelum
aku kau persilakan menikmati cuaca di jalan-jalan Suwon
seperti pada umumnya kota aku selalu pergi atau kembali
melalui stasiun, elevator, tiket, dan keluar-masuk pada
pintu berapa. dan yang selalu kulupa bahwa aku harus
makan. gimbab, bulgogi, atau kimchi. ah, ya, daging,
sayuran dan segelas air dingin. lupa bahwa perjalanan
memerlukan tenaga agar tempurung lutut tak terasa ngilu
sebagaimana dirasa orang-orang tua, atau pingsan di tangga
keluar
kau: mungkin sejenis awan yang mengirimkan hujan. lalu
lihatlah aku telanjang di bawah guyuran. dan di seberang
jalan yohanes pemandi berseru itulah anak domba yang dulu
nyaris hilang. sambil dicukurnya bulu-bulu. tubuhnya basah
tentu.
(selalu saja tiket tertinggal di saku padahal kereta terakhir
tak mau menunggu)
Seoul, 4 oktober 2014
Dramaturgi Soju
Adegan pertama:
Ia bermula dari beras, kentang, ubi manis, gandum yang
dicangkul dari ladang-ladang mencairkan beku di jantung
malam. Sisa dari perjalanan menjejaki elevator, subway,
dan gerbong-gerbong kereta. Ju Young, aku terlambat
pulang. Ada kedai menunggu seperti waktu mengharap letih
berlalu
ada hidup dalam botol sewarna rumput. Sungguh, tak ia
kenal maut. Bening ia, cermin berkilau bergambar wajahku.
Mungkin juga rupa mereka. Persimpangan, jalan raya, dan
perbukitan menjalar di penampang tubuh. Sungai Han yang
luas melintasi kujur badan
“Tidak mungkin kuteguk sendiri ia. Tak kan bisa.”
Adegan kedua:
Di luar menggigillah udara. Pekat dan gelap. Lampu-lampu
tidak sampai pada serambi
Cahyanya tertinggal dalam ceruk hidup yang kalut.
“Bukankah kita sahabat?” Sekali teguk, terbakarlah
sumpah-serapah dari jalan antah-berantah. Masih setengah.
Separoh malam tak kunjung limbung
Ju Young, tutup saja pintu. Pada larut aku masih ngayuh
perahu di sungai menuju gerbang
Rainbow Bridge. Lampu-lampu jalan mulai bergoyang. Kami
pun saling bersandar
“Nyanyianmu parau. Sumbang. Pada pagi jangan sekali-kali
tumbang.”
Kepala dan dada betapa membaranya
Adegan ketiga:
Gelas telah kosong. Tuangkan. Gelas telah terisi. Teguklah.
Gelas. Jemari. Siku. Mata. Lidah. Rasakan panas menjalar
pada kelenjar. Kisahkan pekerjaan-pekerjaan yang tertunda
di meja pertengkaran-pertengkaran di jalan-jalan, mantel
bulu yang tertinggal entah dimana
Ju Young, aku pulang
Bukakan pintu
Mulutku selalu bau
Adegan keempat:
Siapa kamu
Wajahmu
begitu asing
telah keliru kau pilih pintu
Seoul, 15 Maret 2014
HAN
Memandangmu seperti terhanyut pada alir. Dadamu luas
mengusung perahu ke lubuk hijau. Rahasia apa yang berpusar
di dasar, denyut nadi tak pernah sampai
Semua mengapung ke hilir, melintasi puluhan jembatan
lampu-lampu menyala ketika malam. Rahasia apa yang
menguntit para pejalan, terantuk kafe dan semulut cerita
Hidup ialah perbincangan tanpa habis. Dibungkus cuaca
dalam genggam beku. “Sudah aku kenakan jaket,
tapi angin begitu dingin, menerbang dari daratan Cina.”
Dan, air masih menyimpan rahasianya. Ikan-ikan berkumpul
di kecipak umpan, menyongsong waktu yang tak terpahami
Antara undangan dan ancaman mengirimkan sinyal sama
Sungguh, larut aku dalam hanyut. Menebak-nebak jejak
timbul tenggelam pada lubuk, pada ombak.
Seoul, 13 April 2014
Dalam Gelas Ada Gelas Ada Gelas Ada Gelas
Selaut soju berdebur dalam gelas. Perahu limbung menikam Jeju
Sebab angin mendidih pada jantung, tak bisa berpeluk pulau
Batu karang dan bukit-bukit sewarna empela merobek-robek waktu
Lewat irisan melintang
Seperti kata yang kau tulis dengan akhiran seribu pentung
“Ayo. Ayo. Ayo!” gegap para penumpang goyang. Tangannya
meninju udara. Gelas berdenting bertaburan api beling,
mendidihkan laut di mata yang letih dan putus asa. Seperti
masuk ke lorong mimpi, dijumpainya gelas asing berisi
lanskap kota serba biru
di trotoar baju-baju meninggalkan jejak parfum. Wajah
pagi hanya tahu nafas hari ini, nafas esok mana peduli.
Berciuman di tangga subway melukis surga di tubuh dan
bibir. Kisah romantik berpelantingan dari layar kaca
dikunyah pikiran hampa
musim bunga yang panjang hanyalah botol-botol soju yang
berserak di kolong meja. Bangunlah, jangan kau tabrak
semua pejalan. Ini trotoar, berpeluklah di taman atau
di ranjang, atau dalam gelas sesak bintang-gemintang.
Berjalan dalam lambaian dan langkah ringan.
sepanjang Cheongyecheon Stream lampu memekik di kiri-
kanan. Kau biarkan hatimu mengapung dari hulu ke hilir,
melewati jembatan-jembatan dan graffiti di tembok-tembok.
Burung-burung terbang, sayapnya mengiris alir
-Kau memotret
gelisah yang tak tampak
pada jejak hutan menuju Bugaksan, dalam gelas berbibir
belimbing. Jalan beralas sabut menuju ujung sepenuh kabut.
Matahari di puncak, hanya samar dikurung rimba raya. Kau
pun terpenjara dalam sel gelas, pada ruang sepenuh soju.
-Ini laut, perahu diserang
angin buritan, muntah kau
di geladak licin dan basah.
Pada gelas pungkasan, sudah tak kutemukan
tapak.
Di kafe itu, di mejamu, masih kuingat puisi tentang gelas
yang tak bisa binasa, katamu ketika itu.
Seoul, 17 Mei 2014
Teratai di Pulau Nami
memandang teratai, memandang danau dengan riuh hutan
yang menenggelam tanpa meninggalkan bayang-bayang
“Ia tak kenal musim,” bisikmu. Ia hanya tahu angin yang berhembus
kadang panas kadang sejuk kadang kering kadang basah
kadang menandai bangku dengan air mata
yang terguling di penampang teratai, entah pada mahkota
bunga atau pada luas daun yang biru
memandang teratai, merasakan sepi yang abadi
seperti Nami yang hanya memiliki satu dermaga dan
satu kisah yang sengaja dicipta, lalu dijual
“Lihatlah, orang berbondong datang membawa tanya
di setiap tas dan hatinya.” Tidaklah mereka pula bertanya
tentang teratai yang tak mengenal musim, juga bangku-bangku
yang dihiasi air mata dan percakapan sementara
memandang teratai, lemah dan perkasa bersanding di bawah
rimbun awan dan bencana, dikemul air dan udara.
Isyarat-isyarat itu mendesir dalam jantung, dikurung teka-teki cuaca
“Tangkainya bergoyang memanggilmu. Mendekatlah.”
Pasti telah kamu dengar bisikannya. Pasti kamu
mengingatnya.
Untuk yang tak abadi.
Seoul, 27 Agustus 2014
Pegunungan Kumgang Suatu Hari
Tae, aku tiba, setelah 6 dasawarsa dikurung musim
ditindih rindu menahun, saat salju deras turun
menyelimuti Kumgang, mengemuli gelisah yang merambat
di tulang-tulang tuaku
Tae, di peristirahatan penuh gigil ini
Aku ingin memelukmu seperti 60 tahun lalu
Di ladang kanola yang menguning di matamu
Lalu singgah di kening sore
Tae, lihatlah, aku bersama ratusan orang
Mencari tulang yang hilang dikocok perang
Menjadi adonan kimchi yang diperam di gentong-gentong musim
Tak tega aku memandang
Foto-foto using tanpa bingkai mencoklat dalam rabun pandangan
Perahu-perahu melintasi Han menerobos masa lalu
Nama, wajah, dan kisah sudah dikubur di bukit-bukit
Di tanah yang tak bisa mereka saling ziarahi
Kekallah air mata, bulir-bulir duka yang lahir oleh perang
Diciumi foto-foto tua, dikenangnya saat-saat bersama
Bunga-bunga ilalang lunglai di atas kepala
Mahkota memucat antara kecemasan dan harapan
‘selamat berpisah’ bergetar pada bibir
Sebab pada usia yang begitu subuh
Esok tak tahu kemana perahu jiwa kan dikayuh
Bisa saja ke langit, rumah abadi
Tae, di mana kamu
Mungkinkah tak lagi kukenali
runcing hidung dan kelabu mata
Pelukan terakhir saat bencana itu tiba
Tae, aku di sini
Ingin membacakan kisah jantung
Yang selalu berdebur sepanjang 60 tahun
Mencari jalan bertemu
Tae, datanglah
Dalam balutan hanbok sewarna azalea
Di hutan-hutan yang pernah kita lalui
Menapaki jalan berliku di bukit-bukit mimpi
Tae, pandanglah
Lelakimu ini didorong kursi roda
Dengan syal membalut leher
Mencoba keberuntungan di detik-detik akhir
Di luar salju deras mengguyur
teruslah berpeluk, mendekatkan Imjingang
Menciumi foto-foto usang, air mata membasah tumpah
Mengirimkan kawat tajam ke pembuluh darah
Aku pun terus menunggu
Lenggang bidadari dari hiruk kerumunan
Meja-meja panjang penuh bingkisan
Pernik-pernik kenangan yang mencoklat oleh masa
Aku pun terus menunggu
Tae Myung-Soon cintaku dulu dan nanti
Sebelum ajal menjemput
Langit menanti
“Pak Woo Dong-Bin, ada surat untukmu.”
Seorang berseragam menyodorkan selembar kertas
Tanpa sampul, gigil telanjang
Serdadu-serdadu di jantung meniup terompet perang
Oppa, maafkan aku. Di Hwangdae aku dikurung
Parkinson
Pohon-pohon bergetar, pintu-pintu bergetar
Jalan bersalju bergetar. Terbaring aku di ranjang
Menunggumu di langit ke tujuh. Rumah kita.
Entah
inikah detik terakhir
Sebelum benteng perang bisa dirobohkan
1 Mei 2015
Setelah kunjunganku ke Odusan Unification Observatory
Tentang Tengsoe Tjahjono
Tengsoe Tjahjono lahir di Jember, 3 Oktober 1958.
Pendidikan S1, S2 dan S3 diselesaikan di IKIP Malang (sekarang Universitas
Negeri Malang). Tenaga akademis di FBS Universitas Negeri Surabaya. Menulis
puisi, novel, cerita pendek, naskah drama, esai. Novelnya: Di Simpang Jalan.
Tulisannya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Mendapat
penghargaan dari Gubernur Jawa Timur sebagai Seniman Berprestasi (2012). Sejak
tahun 2014 hingga sekarang menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign
Studies Seoul Korea Selatan.
Catatan Lain
Setelah menulis ucapan
terima kasih sepanjang 3 halaman di bagian awal buku, penulis juga menurunkan
tulisan yang berjudul: Korea dan Puisi (hlm. ix-xiii). Kata Tengsoe: “Puisi
tidak hanya saya jumpai di dinding-dinding subway, juga saya lihat di
taman-taman yang ada di kota Seoul. Biasanya puisi-puisi itu ditatah di batu,
menjadi semacam prasasti. Puisi di Korea tidak hanya tersimpan di buku-buku
puisi, namun ditemukan pula di ruang pbulik yang berada di banyak
tempat.//Puisi bagi masyarakat Korea telah menjadi sebuah cermin. Yi Sang,
seorang penyair modern Korea, menulis bahwa dalam cermin tak ada suara, dunia
yang sangat tenang. Puisi Korea memang tak terkesan gaduh, namun mengandung
pesan moral yang indah, yang berkaitan dengan bagaimana manusia berelasi dengan
lingkungan alam, budaya dan manusia. Begitu dekatnya puisi dengan alam dan
budaya Korea sehingga penyair Pak Tujin menulis bahwa burung-burung pun membacakan
puisi di langit dari buku puisi yang terbentang terbuka, yang berisi tentang
suka atau duka manusia, yang membuat manusia berbinar-binar mata jiwanya,
keindahan tiada tara.” (hlm. x).
Yusri Fajar menulis epilog
yang berjudul: Tradisi dan Sejarah Negeri Gingseng dalam “Meditasi Kimchi”
(hlm. 93-104).
Di lipatan sampul depan ada
tulisan kecil, berbunyi begini:
KIMCHI
begitulah cara sederhana
mencatat waktu kemarin
abadi
di meja makan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar