Data
buku kumpulan puisi
Judul: Jutaan Kekanak Sunyi dalam Sebongkah
Tubuh
Penulis: Imam Budiman
Penerbit: ?
Cetakan: I, September 2017
Format buku: e-book
Beberapa pilihan puisi Imam Budiman dalam Jutaan Kekanak Sunyi dalam Sebongkah Tubuh
MEMBACA KITAB ARKAIS LAUT
/ayat;
akar bakau, surah; penenun pantai/
Dasar laut
sepaling samudera tengah semedi untuk sedemikian
sabda,
demi meredam dengan tabah segala keributan di atas
dunia
berkabut fana. Ia tiada ingin bersegera untuk
menumpahkan
kekesalannya dengan memuntahkan berkubik-
kubik air
bah dari tenggorokanya yang mulai terasa bara.
Keberimanannya
terhadap puisi kerap mengekal pada hening dan
sunyi yang
dianut oleh gemerisik kaum terumbu.
/II/
Laut
sejauh kedekatan kita padanya ialah sebermula cerita
sejarah
dari peninggalan nenek moyang leluhur kita yang purba,
di masa
mereka lahir dan menikmati masa kekanak dari rusuk-
rusuk
rahim mata angin. Dan setiba remaja, digiring oleh para
tetua
untuk ikut membelah badik ombak. Serta diajarkanlah
kepada
mereka cara menombak paus seukuran bangsalan,
melumpuhkan
hingga ke tepi dengan lancip mata besi, tidak
pengecut
selaksa nelayan serakah dengan busuk serbuk mesiu.
/III/
Pagi
menghidang sarapan nasi lembah tanjung berlauk tulang
paus bakar
dengan sambal akar selada. Siang mengganjal perut
demi harum
daging karapu. Malam barulah batang ranting kayu
disusun-tumpuk
untuk seremoni beriring ombak laut dan aroma
garam.
Mereka berkehidupan dari pesisir ke pesisir, menjadi
kelana
atas tembikar. Menjadi musafir berkepal jaring dari satu
pulau ke
pulau lain. Mati dan bermakam di sepanjang halu garis
pantai.
/ayat;
rumah kelumang, surah; angin muson barat/
Laut kita
memiliki kedalaman maha menukik. Seruas jelmaan
tempat berbiak
segerombol ikan-ikan yang bermigrasi dari laut
selatan.
Rumah cengkrama lelambai searah terumbu karang
berusia
legende tajak pematang. Serta ia pun menjadi sepetak
medan
nostalgia, pertemuan dua arus yang mengandung jutaan
janin
kasih dan sayang diantara ceruk-ceruk palung paling gulita.
/IV/
Hariba
ini, aku ingin menyusu pada tubuh laut yang cemburu
dan pulas
terlelap dalam kantung mata ibu purnama yang gaharu
PEREMPUAN SETENANG DANAU KWARI
anak-anak
angin menyapu pagi
yang belum
seutuhnya tergenapi cahaya
membawa
tubuh ke arah terjal berbatu,
menyanyikan
lagu kaum gembala
“di
sinilah, di kampung inilah,
rumah
kami didirikan dengan apik,
demi
merawat kenangan masa kecil
hingga
kami beranak-cucu.”
aku
menciptakan seorang perempuan di dalam kepalaku,
rambutnya
tergerai sepinggang, sesekali ia kukenang
kami duduk
berdampingan, menyilang tangan
seorang
perempuan yang menyimpan
berkolam-kolam
puisi di matanya
meski ia
tak pernah mengukur jarak kata,
barang
sebait pun
seorang
perempuan yang mengalihkan segala yang nyata menjadi
imaji tak
terkendali oleh keinginan untuk memiliki-mengasihi
seorang
perempuan yang membuat lelap-letih setengah terusik
sebab
wajahnya memelihara ribuan kekunang di satu waktu
tetapi
demi menggapainya, tanganku terlanjur fana
membiarkan
tubuhnya memburai pada suatu pagi
bersama
jejak embun di tepi danau kwari
SILSILAH PENANTIAN
kularung
sisa rindu pada segaris purba
yang
mengukir setengah awal silsilah
segera
kuhampar sejadah dari namamu;
wudhu ini
bukan lagi pertanda
ada kau
yang merenung, sebelum pergi
dan
mendedah dari balik jendela
ingin
kuhafal lagi, lagu-lagu tentang batu kali
serta
anak-anak kampung
; tidak
untuk merajam penantian
KITAB BOHEMIAN
batang
tubuhku terbit dari himpun-silih keraguan
hamba-hamba
yang terlempar, terbakar, tersingkir
semesta
mencemari pahit, tanpa mengenal arah
: hidup
–sebenarnya
adalah
kekacauan yang teratur
nyaris
kematian bercerita dengan amat terbuka
tentang
rahasia yang dianutnya sedemikan lama
hidup
bermula setitik sulbi menyuguhi puisi
dari celah
ruas-ruas waktu ke sinaran semedi
tiada
sukar diperkenalkan pada dedaun suluh
tumbuh
tengah gulita dan gugur padang petang
lelaki tak
laik bergumul seraut maut, sedendam teluh
: hanya
perempuan patut berhati lumpuh
MENJAGA AROMA PANDAN
TANAH
Fragmen,
I
cara
paling arif meneduh seutas ranum hujan ialah dengan
meminakkannya
pada sepadang rumput bertubuh semak yang
bermuasal
dari pendar-pendar titah dewata. anak-anak tanpa
pernah
mengenal alas saling menghalau dengan sebegitu lincah
arah ke
mana terbang sekelompok cecapung dewangga. dahan
pepohon
yang menerbitkan suara gemerisik adalah ayat-ayat
yang lebih
nyata dari sekadar kitab suci yang ditafsirkan secara
membabi-buta
oleh mereka yang pura-pura paham beragama. ibu
pohon
masih purna merajut tabah dengan memeranakkan segala
macam
jenis dedaun surga dan akar-akar petala setiap waktu.
serunai
laut yang dilenguh oleh sekerat prajurit angin adalah
bentuk
sabda yang usai bermuara pada arus-arus berpangkal
kemahaluasan.
maka,
tidak seharusnya kita meranggaskan serampai kata pada
sahih
cuaca. menuding sepihak musim yang mendadak berubah
dengan
amat tiba-tiba. tidak pula selaiknya mendengkurkan
keserakahan
lambung-lambung kita pada tubuh bumi yang harum
pandan
tanah. betapa jika demikian, sungguh kita rupa hamba
yang tak
tahu diri.
Fragmen,
II
setiap
berlalu wajah ladang dan sawah di petang senja yang saga,
anak-anak
selalu ingin memilih tak ingin pulang ke bubungan
demi
mengejar mata lelayang. lelayang tangkai bambu. lelayang
yang hidup
dari gumam-gumam lembu. mereka penjaga tanah-
tanah huma
dari kepungan kemarau. mereka penandas
bebatukisaran
manakala hujan menempur lorong-lorong
penduduk
akar. anak-anak dusun dilahirkan di hariba dunia
menjadi
juru selamat hutan jejaka dan bukit cendara. tidaklah
laik
sesekali kita caci rambut gimbal mereka.
di remang
sudut rumah bercermin anyaman bambu, para perawan
enggan
terlelap setelah menahan nyeri dalam dada yang buncah.
setelah
menyasak rambutnya, mereka memutuskan untuk
bungkam.
betapa hutan sudah tak lagi nyaman untuk memberi
isyarat
tentang sebab menelungkup ilalang sebagai pertanda
datangnya
haturan jiwa dari tempat nun jauh kelam belantara.
hutan yang
kini ditebang-tumpas keji budak-budak proyek demi
memuaskan
orgasme mereka terhadap jelita tubuh pertiwi.
mereka
pemerkosa perawan-perawan kami!
maka, tiba
saatnya kita menyemai kesadaran dalam benak,
dengan
segala tulus yang perdu. Bumi tak sekadar merupakan
tempat
kita melabuh sebaya luka. bumi adalah semangkuk wadah
untuk
meminumi janin-janin kasih kita. sungguh.
PENGHAMBAAN DIRI
sujudku
ialah simpuh daun-daun
tiada
dalam luka maupun sukma
karena
sujudku ialah sujud penghambaan
rukukku
ialah runduk batang padi
tiada
dalam congkak maupun pongah
karena
rukukku semata bentuk penghambaan
takbirku
ialah hembus segala angin
tiada
dalam lalai maupun terjaga
karena
takbirku tiada lain sebagai penghambaan
aku ingin
sujud, rukuk serta bertakbir
di dalam
keduabelah telapak tanganmu yang ranum
aku ingin
sekali melepas napas; ditimang-Mu
KARIANGAU
di ambang
dermaga ini,
kau pernah
berkisah tentang selatmu
yang sudah
sekian lama tak ada satu pun kapal
maupun
perahu yang tandas berlabuh ke lidah pantai
melainkan
hanya kapal-kapal penarik batu bara
yang
sekadar mendedah lewat
di
tanahmu, terdengar kabar bahwa darah dan arus sungai berada
satu jalan
dengan sampan nelayan-nelayan miskin
cekikik
anak-anak yang berlompatan dari batang
dan
ibu-ibu yang membasuh luka deritanya
amis dan anyir!
JUTAAN KEKANAK SUNYI DALAM SEBONGKAH TUBUH
bertangkai-tangkai
sunyi dari pohon tak bernyawa pernah
mengaku-aku
sebagai bayi yang tanpa tedeng aling-aling ingin
menyusu
pada airmatamu yang sebetulnya, bagiku yang buta
hidup, tak
dapat disebut airmata. airmata cadas darah, bukan
airmata
yang semata-mata menegakkan layu lampah.
sekejap
jutaan ribu sunyi yang tersesat itu melesak dalam setiap
pori-pori, tigaratus enam puluh tujuh
diantaranya, memaksa
masuk dari
lubang kemaluan si tuan malang.
sunyi
pertama lesak membelit rusuk-rusuk, menekannya satu
-dua-tiga,
mencapai oktaf gemeletuk paling terkutuk. sunyi kedua
segera
memanjat batang paha, ada celah yang sungguh durja,
entah
milik siapa. sunyi ketiga menjelmakan diri menjadi salah
seribu
urat yang bersitumpuk di tengkuk, beradu kayuh
menyelipkan
darah ke sekujur dahan-dahan manusia, berlarian
tak kenal
angin. sunyi keempat mengasah batu pisau di kuku-
kuku,
menajamkan bau besi karat, demi menyemayamkan satu
tusukan
yang kelak membuat nyeri berlipat-lipat di lambung
ayam.
sedang
beribu juta sunyi lain tak lagi dapat dibendung laku
makinya
dengan bertelur semau-maunya di bulu-bulu embus
hidung dan
lubang kedap telinga dan helai semak rambut dan
tetes arus
liur dan lekat palung pusar.
kini
tubuhku seutuhnya sunyi, demi menyatu dengan tubuh-Mu.
PULANG KE BANJARMASIN
Tetuban
Uma
lahir
menumbuh panjanak uma di arus hulu
dibawa
membesarkan hinak-hinak kami
mengasihi
tanah tempat tajallinya
Balahindang
dua jam
ranah menempuh cuaca Jkt - Bjm
di antara
warna garis di sudut pematang
ada
kenangan yang tak usai-usainya
basah
tergenang dan merentang
Rumah
Lanting
susur
sehaluan siring sesungai Martapura
maranti-galam-ulin
padatuan di sana!
tempat
kita berceburan dari batang
ke batang
lain; meredam anak api
lintas
jingga di jendela-jendela lazuardi
lalu
lalang kelotok warga membentuk
ulak kecil
di setiap kali perlaluan
Hayapak
tetapi
mengapa sungai ini bak mati suri
digelapi
kebutaan hajat anak manusia
penganut
konsumerisme dan bualan
[atau
pemerintah kota yang lupa
istirah
dengan proyek-proyeknya]
Kalangkala
menyudahi
persinggahan singkat ini
dengan
santap siang lauk jaring
kuah
olahan kelapa kental
MATASUNYI
sebadik
mata cuka berkata pada remah petala,
“aku yang
datang mengusir naskah-naskahmu [pemiliknya]”
namun
tempias hujan selalu saja lebih dulu menggelar caping
dalam
setiap halu karang bunga serta satu-dua pementasan
sebadik
mata cuka pulang ke dalam sumur yang dangkal
bahwa
sunyi bertengkuk redam ialah keselisihan suara
ia ingin
menjadi pertapa, di kejauhan hutan mata cuaca
pertapa
yang tak lagi mengenal jarak beda ‘alif’ semesta
maka isak
si mata cuka adalah matamu sebentuk mata
matamu
dicipta segaris arah bagian dari mata-Nya
hingga
kerontang dadamu coba menolak,
“Mataku
ialah mata-Nya. Penutur mata pusaka.
tidak
sahih kausebut-sebut mata cuka!”
KUDA-KUDA PERANG DALAM PADANAN AKSARA TUHAN
; QS.
Al-Adiyaat, ayat 1-5
/I/
adalah
kuda-kuda perang kami, tuan, yang berderak lesat
seumpama
laju ribuan rintik mengguyur tanah pusaka, di suatu
waktu yang
tak tentu, di suatu musim kemarau dengan terik
berhamburan.
menggenapi aksara-aksara yang nyaris tak terbaca
dirayapi zaman.
menyambangi dahan-dahan muda agar bertunas
gandasuli
dan berputik matadelima. kedua belah kaki kuda-kuda
kami sama
menderap dalam laju di pacuan para prajurit Tuhan.
deru napas
kami sama terengah-terbelah-tersinggah, namun kami
tak
menyatakan tunduk dan payah. kuda-kuda kami, tuan,
sungguh
lesat tak terbendung halau meski selangkah.
/II/
maka
hikayat lesatnya yang purba, bukan hanya sekadar kabar
samar
menurut kata orang; ladam-ladam keras di waktu dinihari
memercikan
bunga api berpendaran manakala terantuk
sebilangan
berbatu, sepanjang halu jalan dan takaran bulan,
sepanjang
usia sabda dan musim tak berbilang. kuda-kuda kami
tak serupa
kuda pejantan paling perkasa milik tuan sekalipun.
kuda-kuda
kami, tuan, kuda yang termaktub difirmankan oleh
Tuhan
sepaling tangguh dari segala pejantan.
/III/
sepagi
embun belum benar-benar kering di pelataran, daun-daun
sirih
menguarkan harum isak. O, kuda-kuda kami tak sabar ingin
menyerang
tengkuk-tengkuk musuh. mencerai-beraikan susunan
rusuk,
mengilirkan bahu dan mematahkan lutut pasukan durja
dengan
sekali hentak yang teramat nyeri. mereka lalai dalam
buaian
dunia tak seberapa, dan serbuan kita yang sungguh
rahasia,
seperti sudut runcing bintang yang dihujamkan ke
lambung-lambung
mereka. sedinihari ini, kuda-kuda kami ingin
segera
beradu di medan laga dengan berlipat-lipat tenaga. lesat
lari kami,
tuan, adalah lari sepenuh pengabdian kepada yang
maha
penguasa alam kesunyian.
/IV/
berjuta
debu-duli membumbung naik bertangga-tangga
menyesaki
udara hingga menjadi serupa kelam kabut,
mengukuhkan
langkah kuda-kuda kami yang terus berlari
menuju
arah ufuk. langkah-langkah itu mengaburkan ingatan
kami yang
akan menantang sepasukan musuh, tentang apa yang
kami
tinggalkan, jauh beribu-ribu jengkal dari tempat kami kelak
akan
menyatu dengan tanah bercampur wangi darah para pelaku
syahid.
/V/
pedang
beradu pedang, menjatuhkan musuh dengan jarak tak
lebih
selengan. perisai menghantam perisai, mempertahankan
posisi
agar tetap seimbang, sebab terkandung dalam tubuh kami
laa
ilaaha illallaah.
ada yang menyaksikan pertarungan di
tengah
berkobarnya perang, kecamuk yang kian memuncak
hingga
lenguh penghabisan, aroma darah menyeruak ringan
membumbung
ke cakrawala. satu pasukan besar yang
mendurhakai
tuhannya berlari tunggang-langgang, sedang
pasukan
lain yang tak seberapa, menggumamkan tahmid yang
tak
habis-habisnya dibacakan di kedalaman sanubari prajurit
penunggang
kuda.
BERSULUK DALAM SAJAK
menanti
letak dahiku turun dan simpuh
menjadi
semacam gemerisik di batang keladi
langkahku
di jalan ini hanya sebagai pengungsi
aku
melesak, menuju-Mu
menanti
batur nisanku digerus dan pecah
menjumlah
sekerat roti di lebar usia waktu
tundukku
di peraduan ini hanya sebagai pengabdi
aku
bergerak, menuju-Mu
menanti
ubun sukmaku di laut empedu
merintis
kata ampun di teluk-teluk sunyi doa
sediaku di
bilik tikam ini hanya sebagai pembakti
aku
melacak, menuju-Mu
menjauh
tubuh padangku renta dilahap api
mengiba,
meringis, meronta-ronta; berserah diri
ada-ku
adalah ada-Mu. ada-Mu sebab ada-ku
aku
bersajak, menuju-Mu
MENJADI TERASING KEPADA ANGIN
kadangkala
kita perlu bersetia pada sepetak sunyi tanpa
membahasakan
kicau saludang atau gemerisik batang bambu
yang konon
dihuni lelembut datu. bahkan tidak juga kepada
angin
berkelir putih yang jelas-jelas sengaja ingin mengusik
baris-baris
sajak kita. tinggalkan dengan lapang punggung seluas
sabana.
sebab
mereka; orang-orang yang kita labuhkan tembikar cerita,
hanya
ingin melunasi rasa penasaran, bukan karena berempati
pada
keheningan tangkai tubuh yang dirudung rasa teramat sesak
dan haru.
Kembalilah pada pemilik hidup.
tapi,
sungguh, putik bunga yang dinikahi angin itu tiada benar-
benar
bermaksud diperhelat tabuhan persepsinya. meski tersiar
kabar, ia
telah tak bernyawa di lambung luka.
AKSARA PADI SULBI
; untuk anak-anak yang
–mungkin- akan lahir
dari rahim istriku
sepuluh tahun kelak
tumbuh
padi dari sulbiku, kuperagakan aksara dewanagri
agar halus
cara padi sulbiku bertutur sapa pada kemangi
biar lebih
dulu kuperagakan melukis aksara brahmi
sumbu
kanan maupun kiri; kau tetap pelangi teratai api
berbungalah,
padi sulbiku, pandangi wajah ibu pertapa
konon
telah dirajutnya sajak berbahan wanacaraka
UPACARA PUISI
pohon
putih, serupa peti kayu
yang
diimbuhi bunga-bunga padma
tenanglah,
sedang kumandikan
puisimu
dari kata sekadar dan picisan
jejak kaki
orang dulu;
jejak yang
selalu menyebutkan
nama
lengkapnya dengan api dan sembilu
aku
mencintai puisi-puisimu
yang
terbuat dari semak air
Tentang Imam Budiman
Imam Budiman dilahirkan di Loa
Bakung, Samarinda, Kalimantan Timur. Ia menamatkan pendidikan menengah dan
atasnya di Pondok Pesantren Al-Falah Putera, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kini
ia berstatus sebagai Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Di waktu yang sama, ia tercatat pula sebagai Mahasantri
Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat, di
bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Karya puisi dan cerpennya tersebar di berbagai
media massa dan buku antologi bersama. Adapun kumpulan puisi tunggalnya: Perjalanan
Seribu Warna (Indie Publishing, 2014), Kampung Halaman (Tahura
Media, 2016), Riwayat Gerimis (El-Qolam Publishing, 2017).
Catatan
Lain
Di
halaman tertentu dari e-book ini, muncul dua baris sajak tak berjudul, yang tak
terekam di daftar isi.
Halaman 14:
/I/
tubuh
lelaki,
gurun
batu yang sunyi
Halaman 26:
/II/
tubuh
perempuan,
jeram
sungai tak bertuan
Halaman 40:
/III/
keduanya
pun bertemu
di
persimpangan gerimis
Halaman 55:
/IV/
tubuh
lelaki melempar waktu
tubuh
perempuan isyarat jinak
Halaman 67:
/V/
nyanyi
angsa-angsa origami
mengiringi
serta menjadi saksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar