Minggu, 05 November 2017

Tia Setiadi: TANGAN YANG LAIN


Data buku kumpulan puisi

Judul : Tangan yang Lain
Penulis : Tia Setiadi
Cetakan : I, Mei 2016
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta.
Tebal : 116 halaman (21 puisi)
ISBN : 978-602-279-226-0
Tata sampul : Joni Ariadinata
Lukisan karya : Arya Sucitra, Apple (2015),
acrylic on canvas, 30 cm x 25 cm
Tata isi : Violetta
Pracetak : Antini, Dwi, Wardi
Prolog : Joko Pinurbo

Beberapa pilihan puisi Tia Setiadi dalam Tangan yang Lain

ENAM LANSKAP PEDALAMAN PRIANGAN

/1/

Lapis demi lapis
Kabut tipis menyisih:

Pagi baru saja lahir.

Dari balik jendelanya
Nenek itu bisa memandang
Puspa ragam penampakan matahari
Lewat ribuan celah daun-daun albasiyah

Ia yakin
Ada sebuah matahari lain
Yang terbit dan terbenam dalam tubuhnya
Membakar rambutnya hingga memutih seluruhnya

Dan karena akar-akar albasiyah itu
Tertanam jauh di dasar pikirannya
Ia pun bisa menampakkan aneka ragam matahari lain
Lewat ribuan celah daun-daun hidupnya.

Nenek itu, pohon albasiyah,
Dan puspa ragam penampakan matahari:
Barusan saja dilahirkan
Oleh rahim pagi.


/2/

Sekelompok belalang menikung dalam angin
Dan rerumputan

Seorang bocah bungah yang sedang mengejarnya
Juga menikung dalam angin
Dan rerumputan

Sesayap kecil belalang-belalang itu mengembang
Bergelombang dalam kilauan hijau
Di antara hijau hijau

Menunjukkan pada si bocah
Sebuah negri baru yang tak pernah diimpikannya.



/3/

Ayah :”Lihat, Nak, ada seribu mata air di hadapanmu
            dan seribu pohon pinus raksasa yang menaunginya”

Anak :”Tidak, Ayah, aku hanya melihat sebuah sumur kecil
            dan sebatang anak pinus kurus yang menaunginya”

Ayah :”Pejamkan sepasang pelupukmu, Anakku, biarkan tubuhmu
            menjadi seribu mata, maka segalanya akan tampak beda”


/4/

Tubuh wanita separuh baya
Tubuhnya muncul separuh saja
Di rimbun ranum padi yang mempulau

Mereka menembangkan sebuah pupuh asmarandana
Dengan halimpuh dan sangat daria

Di bawah lengkung langit capingnya
Tujuh wanita itu tak bisa dibedakan satu sama lainnya

Tujuh wanita dan pupuh asmarandana
Tak bisa dibedakan satu sama lainnya

Tujuh wanita dan pupuh asmarandana
Dan ranum padi yang mempulau

Tak bisa dibedakan dan tak bisa dipisahkan
Satu sama lainnya.


/5/

Bebek-bebek yang merenung di sisi sungai
Pelan-pelan kakinya ditelan air

Si gembala tua yang tengah memantaunya
Pelan-pelan hatinya ditelan hening

Sebelum sejumput daun-daun waru sempat terkejut
Karna janda burung yang tadi tertidur di batangnya

Sekonyong melonjak dan terbang
Mengguriskan jejak kesepian

Yang lebih bersenandung dari sebelumnya.


/6/

Di ladang tomat
Terkepung rona merah serta hijau terang
Mojang lenjang itu sedikit bimbang
Memetik salah satunya

Tudung surya di ubun-ubun
Mangkuk bumi di telapak kaki

Yang telanjang

Dan seluruh lanskap raya ini
Raib dan timbul, timbul dan raib
Di sepasang mata kecil seekor kelinci
Putih yang mengintip-intip

Seperti sebait sajak pendek
Yang menyembunyikan parasnya
Sewaktu hendak dituliskan:
Huh, pura-pura kasmaran!

2010


TANGAN YANG LAIN
                            Buat: Toni Morisson
  
/1/

Sepatah kata purba yang kau tulis di tilas kertas bekas 
yang terlupakan
Mengekalkan ranum gelap kulitmu, bagaikan bumi yang 
mengulur

Batas-batasnya sendiri, saat mata bajak menyentuhnya.

Kemudian kata-katamu tegak atas dunia hitam
Mengepung seluruh kebisuan

Sudah larut benar, malam tidur di pucuk matamu
Namun lengan-lenganmu terus terjaga, seakan insomnia,

Menelusuri akar-akar kata, jauh, nun di bawah tanah jiwa 
manusia.

Engkau tertidur sekaligus terjaga:
Mengimpikan dan menanam aneka lambang-lambang


/2/

“Mori, mungkin, mungkin manusia harus terbikin dari musik
Agar kedua tangannya menjadi selendang

Bukan dari lempung  yang melata dan berdesisan laksana ular

Musik yang disuling dari tiupan nafas malam
Yang keramat, dari gema-gema jerit yang mengetam

Musik dari titik embun yang membekukan
Bintang-gemintang, dari keriuhan bibir-bibir batuan yang 
bersenandung

Musik yang membentang dari pusat darahmu.”


/3/

Tangan yang menulis, membelah dirinya sendiri
Menjadi ribuan tangan yang lain

Bila tangan yang satu menguncup
Tangan yang lain akan mengembang

Memelukmu, akan menghamparkan sebidang kebun anggur,
Menutupi liang-liang lara di seluruh pasu tubuhmu
Agar tikus-tikus mondok tak bisa memasukimu.

Bila tangan yang satu sedang menulis 
Tangan yang lain sedang menghapusnya

Sebab segala sesuatu menggulung dan kembali pada dirinya 
sendiri
Utuh dan suwung, seperti arus  sungai yang kembali ke hulu

Untuk menemukan akar waktu.


/4/

Tangan yang lain akan menanam pohon terakhir 
Di lekuk-ceruk tanah yang paling rahasia

Dan jikalau pohon itu ditampik kerajaan bumi
Akar-akarnya akan tumbuh terbalik, berayun-ayun di langit

Ibarat kibaran rambut yang merungkupi matahari

Maka seluruh dunia menjelma bentangan hitam:
Seperti kerudung seorang janda yang sedang berkabung

Melintas di muka jendelamu, bagai hujan, melambai,
Dengan lambaian yang asing, bukan pada siapa pun

Karena seorang janda hitam bukan bekas istri siapa pun


/5/

Tangan yang lain akan mendatangimu
Menyisihkan tanganmu, dan menuliskan riwayatnya sendiri

Menjadi bahasa bagi airmatamu

Sebilah tangan yang terpisah dari tubuhnya 
Bisa mengucapkan sejarah lebih fasih ketimbang 
kerumunan ras manusia

Tiga tetes darah yang mengucur dari mulut lukanya
Menampung dan menggenangi seluruh silsilah kulitmu

Sehingga untuk tiba di pantai penghabisan
Engkau hanya tinggal merenanginya.

2012


HUSREV DAN SHIRIN

Pagi hari di sebuah taman
Shirin menyingkapkan
cadarnya
di hadapan tiga kuntum mawar
yang memerah
dan mekar
seketika.

Matahari sembunyi di kerajaan
rambutnya
dan serumpun lili air
sibuk menampung mimpi-
mimpinya
yang berjatuhan
dari geraian awan-
awan

Shirin menyangka aman
menunjukkan parasnya
di hadapan tiga kuntum mawar
tanpa tahu
kecantikannya telah meloloskan diri
menembus setiap pintu
memantul pada ribuan cermin
dan terlukis

pada sebait sajak Husrev
tentang kecantikan
seorang
gadis.

Husrev belum pernah
memandang
kecantikan yang begitu agung
sebagaimana terjelma
dalam sebait sajaknya
maka kala itu juga
ia jatuh cinta
pada gadis
ciptaannya
sendiri.

Ia biarkan tangan-tangan mungil gadis itu
meneruskan merangkai baris-baris
sajaknya
ia biarkan tangan-tangan mungil gadis itu
menyusun batuan, kolam,
jalan,
dan mengatur jumlah dedaunan
pada bebatang
palma

Saat Husrev membuka tirai jendela
segala yang dilihatnya
tampak berbeda:
gumpalan awan, pohonan,
perbukitan
bagaikan ditata ulang
oleh sepasang tangan
yang terampil
dengan sangat
perlahan
dan hati-
hati

Saat itulah Shirin lewat
di jalanan
dan kebetulan sepasang matanya
berpapasan
dengan sepasang mata
Husrev

Husrev tak bisa membedakan
antara pandangan seorang gadis
dalam sajaknya
dengan pandangan Shirin
Shirin tak bisa membedakan
antara pandangan Husrev
dengan pandangan
tiga kuntum
mawar

hanya beberapa jenak beradu pandang
namun keduanya paham
takdir telah membuhulnya
dalam legenda
dan masmur-
masmur
baka
para
pencinta.

2010


JERUK

Untuk memahami jiwa sebutir jeruk
kau perlu menyimak riwayatnya
mengikuti pengembaraannya
menyebrang benua demi benua,
melintas bangsa demi bangsa,
dengan puluhan kali bersulih nama,

Mula-mula orang india menyebutnya naranja
di abad lima belas, kala para pelaut portugis
menaburkan benihnya ke seluruh buana,
ia pun dinamakan porthogal
dan sejak  itu, seperti sepatah ayat,
nama jeruk menempuh rute nasibnya sendiri-sendiri.

Tak ada satu pun bangsa di dunia yang menolak jeruk.
Dialah utusan Tuhan yang paling bisa diterima
melebihi para nabi, para santo dan para rasul
Jeruk tak membeda-bedakan kasta dan usia:
seorang anak ataupun si tua renta
sama-sama menikmatinya penuh sukacita.

Dalam sebutir jeruk terkandung janji ribuan jeruk lainnya
jeruk-jeruk yang kelak akan menyedapkan setiap makanan
menghiasi lanskap sebuah lukisan,
menjadi pemanis segala pesta
dan mengharumkan tubuh ranum seorang dara,.
sehingga, seolah-olah, tubuhnya sebutir jeruk yang tengah
            rekah.

Saat sedang berkelompok atau sedang sendirian
jeruk tetap menakjubkan
saat berkelompok, ia bersinar bak lelampu keemasan
yang dinyalakan tangan-tangan lunak para dewi
saat sendirian,
ia tampak hening dan segar laksana paras sang sakyamuni.

Jeruk: suatu berkah, sepatah ayat,
sebuah pesta yang bersahaja.

2010


DUA BOCAH KEMBAR
                                                : Untuk Afrizal Malna 

/1/

Seorang bocah suatu ketika naik ke atas batu besar
Ia melihat langit merendah, lembah-lembah terhampar
Dan sebatang anak sungai mengalir ke kejauhan
Ia melepas topinya dan melemparkannya ke arus
Sejak itu ribuan kehidupan masa lalunya berakhir
Dan gulungan naskah nasibnya mulai dituliskan

Kitab-kitab mendatanginya, buku-buku menuturkan rahasianya
Namun ia hanya mengutip kata-kata yang mengalir dalam cahaya
Suara-suara peri penggoda berbisik, musik para pecinta bergema
Namun ia hanya menyimak alir sungai yang sama setiap harinya

Dari cahaya kata bocah itu menumbuhkan kota-kota baru
Kota-kota yang tanpa siang tanpa malam, tanpa garis tanpa batas
Dari alir sungai bocah itu menciptakan ribuan dawai
Dawai-dawai yang berbunyi nyaring meski tak seorang pun memetiknya

Sudah puluhan tahun, namun rambut bocah itu tak pernah memutih,
Badannya tak pernah jadi bungkuk, dan wajahnya bersinar
Bagaikan tak tersentuh waktu: masih saja wajah seorang bocah
Tiap fajar jemarinya tengadah, menyentuh segalanya seperti angin
Tatapan matanya tak menerima tak menolak, tak senang tak sedih
Ia menampung segalanya ibarat langit

Airmatanya memurnikan arus sungai itu bak kilatan api memurnikan dosa

/2/

Di sebuah pantai seorang bocah lain memungut topi yang didamparkan arus
Ketika pertama kali memakainya seketika ia menjadi tua
Kerut merut di dahinya berlintasan seperti jalan-jalan sepi kota lama
Matanya rabun karena terlalu letih menatap kejalangan dunia
Jemarinya terkulai karna menjamah buah-buah khuldi dari pohon terlarang
Nasib menisiknya terus menerus seperti ujung jarum menisik kulit sepatu tua

Bocah tua itu memandang laut, dan laut pun menjadi cermin
Yang memantulkan wajah buruknya menjadi ribuan wajah buruk yang sama
Semuanya serempak balik memandangnya dengan sorot yang ganjil
Bocah tua itu merasa ngeri, lalu berpaling dan lari, lari…

Di jalan ia bertemu seekor kerbau yang sedang tertatih memikul bola bumi
Bocah tua itu menaikinya namun tak lama kemudian kerbau itu jatuh dan mati
Bocah tua itu tergeletak di tengah jalan sambil memeluk erat-erat bola bumi,
Dan menangis.

Saat itulah bocah tua itu ingat bahwa topi yang dikenakannya bukan miliknya
Maka, ia tinggalkan bola bumi yang terjelempah di tepi jalan
Dan ia mulai suatu perjalanan baru
Ia masuki goa-goa kata yang paling gelap,
Ia arungi jeram makna yang paling rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang, pepohonan, mega dan sungai

Hanya untuk menemukan bocah pemilik topi yang tak lain kembarannya sendiri

2010


SEBUAH PELUKAN
  
*
Sebuah pelukan
Seperti jembatan yang gemetar
Antara sejarah dan kenangan.

Antara getar api di dalam
Dan gaung kebisuan

*
Sebuah pelukan
Menulis segala yang tak dicatat matahari,

Sebuah pelukan
Adalah semburan darah kata-kata
Terkaca seluruh arah dan cinta manusia


*
Sebuah pelukan
Mengubah kata menjadi tubuh,

Tubuh menjadi alam
Dan alam menjadi bayang-bayang.

*
Sebuah pelukan
Menghimpun cakrawala dan laut

Dan waktu lenyap meniti buih-buihnya.

*
Sebuah pelukan
Seperti hujan di telapak tangan
Menghapus seluruh bentang jalan

Ia juga akar
Puisi dan api
Debu yang merindukan debu
Keheningan gunung
Dan kepastian bintang-bintang

Atau mungkin awan, awan yang lewat…

Tapi ah, bukan:

Sebuah pelukan
Adalah inti air mata.


DI JERUSALEM
                     buat :Yehuda Amichai           
                       
“...Siapa menyuruhmu menginjak-injak pelataran-Ku?”
(Yesaya 1:11-12)

/1/

Di Jerusalem, setiap bukit meluas
Dan bersambungan dengan bukit-bukit lainnya—
Bak segulung perkamen tua—:

Lembaran-lembarannya terpisah
Tapi simpulnya itu juga.

Saat kau memandanginya,
Kau merasa  lebih kaya dan lebih  sendiri
Dari sebelumnya


/2/

Ini Sabbath yang getun
Jalanan kosong telanjang, sonder jiwa sonder bayang.

Tapi bukit-bukit masih menggelombang
Seolah-olah mencoba terus baqa

Dan di DevirTabut menggigil
Seperti ulu hatimu.

Ini Sabbath yang getun
Dan Jerusalem cuma  ingin membisu dan dilupakan

Laksana padang rumput liar di musim panas.

  
/3/

Di sehelai kartu itu kau ingin menulis:
“Aku mencintaimu”,
Buat seorang anak tetanggamu—

Yang agaknya sedang sekarat di Gaza—

Namun bagaimana mengucapkan kalimat semacam itu
Dengan lidah bahasa puakmu yang pahit tungkap?

Sedang kau telah lupa bahasa bening mata anak-anak air Gihon
Atau arsitektur bahasa kudus batu-batu Gunung Sion

Hanya, dengan ujung jemarimu yang sedih,
Kau bentuk butiran-butiran pasir gurun di mejamu—
Yang diterbangkan angin—menjadi sepatah nama asing—

Yang juga diterbangkan angin.

  
/4/

Jerusalem adalah jubah Tuhan yang robek
Oleh perang dan damai.

Hutan wahyu dan bisikan
Kerajaan luka purba.

Berabad-abad orang bertanya:
Siapa yang pertamakali membasuh jubah itu?

Dialek mana yang lebih asli?
Liang luka kau atau aku yang paling nikam paling dalam?

Di reruntuk Haekal, Daud cuma ngungun bisu,
Seraya membenamkan paras kisutnya pada tirai linen ungu

Sementara di Menorah, tujuh kandil suci mampus satu-satu.


/5/

Bulan mati
Bulan mati di Jerusalem

Seekor anjing tak dikenal menyalak
Ke arah sawang

Kau pun berkemas
Sebab tiba-tiba saja kau merasa garib di rumahmu sendiri

Sudah puluhan tahun kau huni rumah ini
Namun, di daun pintu masih tertinggal bekas sebuah nama lain

Yang tak terhapuskan.
Dan di gudang belakang; tergantung jas hujan merah tua
tak tahu siapa punya.

Maka, sebagaimana orang-orang pigmi, kau akan pergi
Meninggalkan esok hari yang lesi dan perapian Yahweh yang
dingin

Menuju entah.

  
/6/

“Daud, biarkan dinding-dinding kayu cedar di kuilmu
Kujadikan dinding kapal-kapal

Aku akan terus mengembara seperti Yunus
Mengembara di kegelapan perut ikan paus

Anak-anakku--anak-anakmu juga--akan lahir di ranjang lautan
Akan kuhangatkan mereka dengan lapisan selimut awan-awan

Akan kusuapi mereka dengan roti kerinduan

Dan bila bulan mati seperti di Jerusalem;
Akulah bulan bagi mereka”.


/7/

Kau kecup kening Jerusalem yang memucat
Selangkah lagi kota ini akan jadi wajah kenangan

Kau pun mengucap selamat tinggal
Pada penghuni lama rumahmu—yang entah di mana—

Barangkali, kau tak  bakal pernah bisa saling mengerti dengannya
Tapi, telah kau rangkai kembang-kembang gurun itu untuknya

Sebagai Shalom:

Karna di Jerusalem
Ya, di Jerusalem:

Musuhmu adalah satu-satunya pintu
Memasuki rumahNya.

2011


SI PENGUNJUNG FANA
                          Buat: Iman Budhi Santosa
  
/1/

Selalu kau bandingkan gang-gang sempit di Malioboro itu
Dengan centang perenang rute nasib di galur-galur telapak
tanganmu

Engkaulah burung yang berakhir
Jauh dari rindang sarang dan kelepak sayap langit

Dengan lentera Diogenes kau mencari-cari manusia
Puluhan tahun menelusuri belantara kota-kota, sungai,
gua-gua

Yang kau temukan cuma sajak-sajak semata wayang,
Rangka jung tua yang terdampar, dan guci retak dari si
pengunjung fana

Karena jenuh dengan seluruh jalan, akhirnya kau berhenti
Dan menjelma bentangan jalan itu sendiri
  

/2/

Kau lemparkan dirimu ke dalam rebakan air hayat yang bergeletar
Menimbulkan lingkaran-lingkaran riak kehadiran yang tak berbatas

Berpotongan dan bersilangan melahirkan aneka ciptaan baru

Bila lingkaran-lingkaran itu diperbesar, ia akan seluas jagat raya
Bila lingkaran-lingkaran itu diperkecil, ia akan menjadi inti dirimu

Maka teluk yang menganga dalam rongga sajak-sajakmu
Menampung ledakan makna seluruh pengalaman dunia—

Bak sepercik bara air yang menyamudra
  

/3/

Telah kau sebrangi jembatan yang jauh
Melengkung dari dirimu menuju dirimu

Kini kau tinggal di sebuah kota tak berpenghuni
Di mana pasir-pasir waktu yang kau genggam mendadak
berhamburan—

Bagaikan pulau-pulau di pelupuk mata

Hujan yang jatuh, memantulkan hujan yang lain
Lelangkahmu di jalan ini, menggaungkan lelangkahmu di
jalan yang lain—

Ibarat rembulan yang merenungi cahayanya sendiri

Tak terdengar hempasan suara apa pun
Selain nyanyian purba yang membersit dari kerajaan masa
kecilmu

Kau memandang lewat sorot mata matahari
Hingga pandanganmu menerangi dan memenuhi seluruh
ruang

Di kota ini kau aman dan tersembunyi dari dirimu sendiri
Seperti seekor merpati yang selamat dari sapuan banjir yang lain
  

/4/

Kesendirian yang bening dan megah
Telah tegak di sini sejak  permulaan kala

Seluruh kenangan berpendar bagai lampion-lampion malam
Engkau hanya memandangnya, tanpa tersentuh olehnya.

Ayunan air di antara pepohonan, halus dan hening,
Seperti melodi gerakan tangan dan kaki seorang bayi

Bak puisi yang kau rangkai dari batas-batas bahasa
Atas bawah, bolak balik, hingga membungkus seantero kota

Maka kota menjelma doa yang mekar
Merambati pohon awan
  

/5/

Jiwamu bermukim dalam jeda rahasia antara kata dan kata
Selengang kerlipan ruang  antara bintang dan bintang

Kehadiranmu ringan dan kokoh laksana selembar bulu gunung
Bertiup dari keluasan ke keluasan sayup

Seluruh jalan berkayuh menuju jalanmu
Yang keemasan dan biru, bak gelombang Jalan Langit

Di kota ini kau membangunkan hari kedua
Dari tenunan benang ganda: kehidupan dan kematian

Mungkin kota ini hanya muncul sekejapan dari rimbunan kabut
Sebelum kefanaan jatuh bagaikan malam yang jatuh.

2011


SAJAK UNTUK SAJAK

Karena Arjuna bisa memanah dalam gelap
maka penyair tua itu pun mencoba menulis sajak dalam gelap

Ratusan jagat raya dan galaksi datang dan pergi dalam rasi
angannya.
namun ia kesulitan menuliskannya, sebab kegelapan
memiliki bahasanya sendiri

Tangannya gemetar menyusun huruf-huruf untuk
mengisahkan pengalamannya yang kaya
Namun huruf-huruf itu menampiknya, dan bersikeras
mengisahkan dirinya sendiri, sekehendaknya.

Maka penyair tua itu menyerah: ia biarkan suara-suara lain
bicara
Suara yang merupakan miliknya sekaligus bukan miliknya,
suara yang didengarnya
sekaligus tak didengarnya.

Saat sajak itu selesai menuliskan dirinya, hasilnya
sama sekali tak sesuai harapan si penyair tua:
Sajak itu bukan sajak tentang dirinya, tapi sajak tentang
sajak, bukan sajak untuk dirinya, tapi sajak untuk sajak.

Rahasia dan makna kata-katanya tak bisa tersingkap dalam
ruang dan waktu manusia
melainkan hanya membukakan diri dalam ruang dan waktu
kata-kata itu sendiri

Huruf-hurufnya seperti ratusan lembar cermin yang saling
berhadapan dan berpantulan:
lambang menafsirkan lambang, umpama berkaca pada umpama.

Bila sajak itu ditempatkan di  taman, maka sejenak
kemudian taman itu akan berubah:
sajak itu akan menyusun ulang komposisi pohonnya,
memangkas rumput-rumput liarnya,
menjernihkan air mancurnya.
Bila sajak itu ditempatkan di langit, maka sejenak kemudian
langit pun akan berubah:
Sajak itu akan menggubah warna dan bentuk-bentuk
mega, menata ulang bintang-bintang, menyulih arah
peredaran planet-planet

Di tempatkan di mana pun, sajak itu selalu mengubah
segalanya menjadi ciptaan baru
Maka gunung, laut, dan langit menjadi gunung, laut dan
langit yang lain
Hijau menjadi hijau yang lain, biru menjadi biru yang lain.

Tiba-tiba penyair tua itu menyadari, bahwa ia sudah sampai
pada batas tepi mimpinya:
Puluhan tahun ia menulis aneka sajak untuk menyaingi
Tuhan, namun baru sajak inilah
yang berhasil

Kini, dalam gelap, parasnya tampak bercahaya bak paras
seorang bayi yang terberkati
Jasad tuanya terbaring di samping sajak terakhirnya, agung
dan sendiri,

Seakan-akan sebuah perahu yang telah angkat sauh
dari tepian pantai di jam larut malam, untuk kemudian
menghilang nun di jauhan.


Tentang Tia Setiadi
Tia Setiadi lahir di Subang, 7 November 1980. Bekerja sebagai editor dan penerjemah di majalah budaya Gong dan beberapa penerbit antara lain Interlude, Komodo Books, Benatang Pustaka, Serambi, Diva Press. Mendirikan penerbit Circa bersama Nezar Patria (2016). Bukunya: Tangan yang Lain (2013) dan Petualangan yang Mustahil (esai, 2015). Menerbitkan karya-karya terjemahan, al. Adgar Allan Poe, Pablo Neruda, Rainer Maria Rilke, Alice Munro, Noam Chomsky, dll.


Catatan Lain
Jokpin menulis: “Puisi Tia pada dasarnya masih bertumpu pada spirit puisi lirik. Ia banyak menghadirkan dan mengolah citraan alam dengan sublimasi perasaan, harmonisasi kata dan bunyi. Ia bukan tipe penyair yang tertarik pada sensasi kebaruan. Ia lebih ingin mencapai kedalaman. Kebaruan mungkin akan memukau untuk beberapa lama, sedangkan kedalaman merupakan sesuatu yang akan selalu ditagih oleh pembaca, apa pun gaya dan bentuk puisi yang dihadapinya.” (halaman 15).
Puisi-puisi Tia dalam buku ini, niscaya akan banyak kita temukan di dunia maya. Beberapa muncul di laman facebooknya, Kian Santang. Jika dibandingkan antara yang tercetak di buku dan yang ditampilkan di dunia maya, maka akan ada beberapa perbedaan. Jika di laman dunia maya halamannya lebih leluasa, maka di buku halamannya lebih terbatas. Konsekuensinya adalah munculnya pemenggalan-pemenggalan kalimat. Nah, yang hadir di blog ini, kebanyakan meniru yang ada di buku, dengan pengecualian beberapa. Juga ada perubahan/penggantian kata atau ungkapan. Lagi-lagi yang dipilih adalah versi buku, dengan anggapan versi buku lebih terbaru.
Satu lagi, dalam versi buku, di bawah sajak “Di Yerusalem” dan “Si Pengunjung Fana” tak memuat satu keterangan pun. Namun di versi fesbuk, muncul segerombolan kata-kata berikut:

Catatan:
Lewat sajak ini saya berusaha memasuki Jerusalem lewat pintu belakang. Di sana saya bertemu dengan Yehuda Amichai. Saya tak merasa keimanan saya terhadap islam berkurang dengan lahirnya puisi ini. Justru saya merasakannya sebagai rahmat, yang serba memberi dan merangkul. Maka, saya bebas saja menjabat Amichai, si penyair israel yang sedih dan lembut itu. Saya sangat  sadar bahwa penyair sejati dari bangsa dan ras manapun akan menebarkan persaudaraan dan mengutuk setiap pengrusakan atas kemanusiaan, siapa pun pelakunya. (catatan sajak Di Jerusalem)

Atau

Catatan:
Saya selalu terpesona setiapkali Iman Budi Santosa berbicara tentang puisi. Wajahnya yang tua, tubuhnya yang ringkih dan rambutnya yang mulai menipis seakan-akan mundur ke latar belakang saat kata-kata meluncur dari mulutnya. Begitu hidup, ekpresif, penuh daya. Kata-kata seperti membatin dan mendaging sekaligus, merebakan makna ke pelbagai arah dan kemungkinan. Belakangan memang energinya mulai surut setelah banyak sakit-sakitan, namun imannya kepada sajak tak pernah surut. Anda hanya perlu bersua dengannya untuk menemukan sajak dalam matanya, dalam pori-pori kulitnya, dalam segala manifestasi batinnya. Sajak ini hanya penghormatan kecil yang bisa saya berikan padanya. (catatan sajak Si Pengunjung Fana, juga hadir foto Iman Budhi Santosa).


            Maaf, satu lagi. Puisi “Doa Bocah Kembar”, dalam versi fesbuk, tidak bertuliskan untuk siapa. Namun di versi buku muncul tulisan ‘:Untuk Afrizal Malna’. Demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar