Data buku kumpulan puisi
Judul : Tangan yang Lain
Penulis : Tia Setiadi
Cetakan : I, Mei 2016
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta.
Tebal : 116 halaman (21 puisi)
ISBN : 978-602-279-226-0
Tata sampul : Joni Ariadinata
Lukisan karya : Arya Sucitra, Apple (2015),
acrylic on canvas, 30 cm x 25 cm
Tata isi : Violetta
Pracetak : Antini, Dwi, Wardi
Prolog : Joko Pinurbo
Beberapa
pilihan puisi Tia Setiadi dalam Tangan
yang Lain
ENAM LANSKAP PEDALAMAN
PRIANGAN
/1/
Lapis demi lapis
Kabut tipis menyisih:
Pagi baru saja lahir.
Dari balik jendelanya
Nenek itu bisa memandang
Puspa ragam penampakan matahari
Lewat ribuan celah daun-daun
albasiyah
Ia yakin
Ada sebuah matahari lain
Yang terbit dan terbenam dalam
tubuhnya
Membakar rambutnya hingga memutih
seluruhnya
Dan karena akar-akar albasiyah itu
Tertanam jauh di dasar pikirannya
Ia pun bisa menampakkan aneka ragam
matahari lain
Lewat ribuan celah daun-daun
hidupnya.
Nenek itu, pohon albasiyah,
Dan puspa ragam penampakan matahari:
Barusan saja dilahirkan
Oleh rahim pagi.
/2/
Sekelompok belalang menikung dalam
angin
Dan rerumputan
Seorang bocah bungah yang
sedang mengejarnya
Juga menikung dalam angin
Dan rerumputan
Sesayap kecil belalang-belalang itu
mengembang
Bergelombang dalam kilauan hijau
Di antara hijau hijau
Menunjukkan pada si bocah
Sebuah negri baru yang tak pernah
diimpikannya.
/3/
Ayah :”Lihat, Nak, ada seribu
mata air di hadapanmu
dan seribu pohon pinus raksasa yang menaunginya”
Anak :”Tidak, Ayah, aku hanya melihat
sebuah sumur kecil
dan sebatang anak pinus kurus yang menaunginya”
Ayah :”Pejamkan sepasang
pelupukmu, Anakku, biarkan tubuhmu
menjadi seribu mata, maka segalanya akan tampak beda”
/4/
Tubuh wanita separuh baya
Tubuhnya muncul separuh saja
Di rimbun ranum padi yang mempulau
Mereka menembangkan sebuah pupuh
asmarandana
Dengan halimpuh dan sangat daria
Di bawah lengkung langit capingnya
Tujuh wanita itu tak bisa dibedakan
satu sama lainnya
Tujuh wanita dan pupuh asmarandana
Tak bisa dibedakan satu sama lainnya
Tujuh wanita dan pupuh asmarandana
Dan ranum padi yang mempulau
Tak bisa dibedakan dan tak bisa
dipisahkan
Satu sama lainnya.
/5/
Bebek-bebek yang merenung di sisi
sungai
Pelan-pelan kakinya ditelan air
Si gembala tua yang tengah memantaunya
Pelan-pelan hatinya ditelan hening
Sebelum sejumput daun-daun waru
sempat terkejut
Karna janda burung yang tadi
tertidur di batangnya
Sekonyong melonjak dan terbang
Mengguriskan jejak kesepian
Yang lebih bersenandung dari
sebelumnya.
/6/
Di ladang tomat
Terkepung rona merah serta hijau
terang
Mojang lenjang itu sedikit bimbang
Memetik salah satunya
Tudung surya di ubun-ubun
Mangkuk bumi di telapak kaki
Yang telanjang
Dan seluruh lanskap raya ini
Raib dan timbul, timbul dan raib
Di sepasang mata kecil seekor
kelinci
Putih yang mengintip-intip
Seperti sebait sajak pendek
Yang menyembunyikan parasnya
Sewaktu hendak dituliskan:
Huh, pura-pura kasmaran!
2010
TANGAN YANG LAIN
Buat: Toni Morisson
/1/
Sepatah kata purba yang kau tulis di tilas kertas bekas
yang terlupakan
Mengekalkan ranum gelap kulitmu, bagaikan bumi yang
mengulur
Batas-batasnya sendiri, saat mata bajak menyentuhnya.
Kemudian kata-katamu tegak atas dunia hitam
Mengepung seluruh kebisuan
Sudah larut benar, malam tidur di pucuk matamu
Namun lengan-lenganmu terus terjaga, seakan insomnia,
Menelusuri akar-akar kata, jauh, nun di bawah tanah jiwa
manusia.
Engkau tertidur sekaligus terjaga:
Mengimpikan dan menanam aneka lambang-lambang
/2/
“Mori, mungkin, mungkin manusia harus terbikin dari musik
Agar kedua tangannya menjadi selendang
Bukan dari lempung yang melata dan berdesisan laksana ular
Musik yang disuling dari tiupan nafas malam
Yang keramat, dari gema-gema jerit yang mengetam
Musik dari titik embun yang membekukan
Bintang-gemintang, dari keriuhan bibir-bibir batuan yang
bersenandung
Musik yang membentang dari pusat darahmu.”
/3/
Tangan yang menulis, membelah dirinya sendiri
Menjadi ribuan tangan yang lain
Bila tangan yang satu menguncup
Tangan yang lain akan mengembang
Memelukmu, akan menghamparkan sebidang kebun anggur,
Menutupi liang-liang lara di seluruh pasu tubuhmu
Agar tikus-tikus mondok tak bisa memasukimu.
Bila tangan yang satu sedang menulis
Tangan yang lain sedang menghapusnya
Sebab segala sesuatu menggulung dan kembali pada dirinya
sendiri
Utuh dan suwung, seperti arus sungai yang kembali ke hulu
Untuk menemukan akar waktu.
/4/
Tangan yang lain akan menanam pohon terakhir
Di lekuk-ceruk tanah yang paling rahasia
Dan jikalau pohon itu ditampik kerajaan bumi
Akar-akarnya akan tumbuh terbalik, berayun-ayun di langit
Ibarat kibaran rambut yang merungkupi matahari
Maka seluruh dunia menjelma bentangan hitam:
Seperti kerudung seorang janda yang sedang berkabung
Melintas di muka jendelamu, bagai hujan, melambai,
Dengan lambaian yang asing, bukan pada siapa pun
Karena seorang janda hitam bukan bekas istri siapa pun
/5/
Tangan yang lain akan mendatangimu
Menyisihkan tanganmu, dan menuliskan riwayatnya sendiri
Menjadi bahasa bagi airmatamu
Sebilah tangan yang terpisah dari tubuhnya
Bisa mengucapkan sejarah lebih fasih ketimbang
kerumunan ras manusia
Tiga tetes darah yang mengucur dari mulut lukanya
Menampung dan menggenangi seluruh silsilah kulitmu
Sehingga untuk tiba di pantai penghabisan
Engkau hanya tinggal merenanginya.
2012
HUSREV DAN SHIRIN
Pagi hari di
sebuah taman
Shirin
menyingkapkan
cadarnya
di hadapan tiga
kuntum mawar
yang memerah
dan mekar
seketika.
Matahari sembunyi
di kerajaan
rambutnya
dan serumpun lili
air
sibuk menampung
mimpi-
mimpinya
yang berjatuhan
dari geraian awan-
awan
Shirin menyangka
aman
menunjukkan
parasnya
di hadapan tiga
kuntum mawar
tanpa tahu
kecantikannya
telah meloloskan diri
menembus setiap
pintu
memantul pada
ribuan cermin
dan terlukis
pada sebait sajak
Husrev
tentang kecantikan
seorang
gadis.
Husrev belum
pernah
memandang
kecantikan yang
begitu agung
sebagaimana
terjelma
dalam sebait
sajaknya
maka kala itu juga
ia jatuh cinta
pada gadis
ciptaannya
sendiri.
Ia biarkan
tangan-tangan mungil gadis itu
meneruskan
merangkai baris-baris
sajaknya
ia biarkan tangan-tangan
mungil gadis itu
menyusun batuan,
kolam,
jalan,
dan mengatur
jumlah dedaunan
pada bebatang
palma
Saat Husrev
membuka tirai jendela
segala yang
dilihatnya
tampak berbeda:
gumpalan awan,
pohonan,
perbukitan
bagaikan ditata
ulang
oleh sepasang
tangan
yang terampil
dengan sangat
perlahan
dan hati-
hati
Saat itulah Shirin
lewat
di jalanan
dan kebetulan
sepasang matanya
berpapasan
dengan sepasang
mata
Husrev
Husrev tak bisa
membedakan
antara pandangan
seorang gadis
dalam sajaknya
dengan pandangan
Shirin
Shirin tak bisa
membedakan
antara pandangan
Husrev
dengan pandangan
tiga kuntum
mawar
hanya beberapa
jenak beradu pandang
namun keduanya
paham
takdir telah
membuhulnya
dalam legenda
dan masmur-
masmur
baka
para
pencinta.
2010
JERUK
Untuk memahami jiwa sebutir jeruk
kau perlu menyimak riwayatnya
mengikuti pengembaraannya
menyebrang benua demi benua,
melintas bangsa demi bangsa,
dengan puluhan kali bersulih nama,
Mula-mula orang india menyebutnya naranja
di abad lima belas, kala para pelaut
portugis
menaburkan benihnya ke seluruh
buana,
ia pun dinamakan porthogal
dan sejak itu, seperti sepatah ayat,
nama jeruk menempuh rute nasibnya
sendiri-sendiri.
Tak ada satu pun bangsa di dunia
yang menolak jeruk.
Dialah utusan Tuhan yang paling bisa
diterima
melebihi para nabi, para santo dan
para rasul
Jeruk tak membeda-bedakan kasta dan
usia:
seorang anak ataupun si tua renta
sama-sama menikmatinya penuh
sukacita.
Dalam sebutir jeruk terkandung janji
ribuan jeruk lainnya
jeruk-jeruk yang kelak akan
menyedapkan setiap makanan
menghiasi lanskap sebuah lukisan,
menjadi pemanis segala pesta
dan mengharumkan tubuh ranum seorang
dara,.
sehingga, seolah-olah, tubuhnya
sebutir jeruk yang tengah
rekah.
Saat sedang berkelompok atau sedang
sendirian
jeruk tetap menakjubkan
saat berkelompok, ia bersinar bak
lelampu keemasan
yang dinyalakan tangan-tangan lunak
para dewi
saat sendirian,
ia tampak hening dan segar laksana
paras sang sakyamuni.
Jeruk: suatu berkah, sepatah ayat,
sebuah pesta yang bersahaja.
2010
DUA BOCAH KEMBAR
: Untuk Afrizal
Malna
/1/
Seorang bocah suatu ketika naik ke
atas batu besar
Ia melihat langit merendah,
lembah-lembah terhampar
Dan sebatang anak sungai mengalir ke
kejauhan
Ia melepas topinya dan
melemparkannya ke arus
Sejak itu ribuan kehidupan masa
lalunya berakhir
Dan gulungan naskah nasibnya mulai
dituliskan
Kitab-kitab mendatanginya, buku-buku
menuturkan rahasianya
Namun ia hanya mengutip kata-kata
yang mengalir dalam cahaya
Suara-suara peri penggoda berbisik, musik
para pecinta bergema
Namun ia hanya menyimak alir sungai
yang sama setiap harinya
Dari cahaya kata bocah itu
menumbuhkan kota-kota baru
Kota-kota yang tanpa siang tanpa
malam, tanpa garis tanpa batas
Dari alir sungai bocah itu
menciptakan ribuan dawai
Dawai-dawai yang berbunyi nyaring
meski tak seorang pun memetiknya
Sudah puluhan tahun, namun rambut
bocah itu tak pernah memutih,
Badannya tak pernah jadi bungkuk,
dan wajahnya bersinar
Bagaikan tak tersentuh waktu: masih
saja wajah seorang bocah
Tiap fajar jemarinya tengadah,
menyentuh segalanya seperti angin
Tatapan matanya tak menerima tak
menolak, tak senang tak sedih
Ia menampung segalanya ibarat langit
Airmatanya memurnikan arus sungai
itu bak kilatan api memurnikan dosa
/2/
Di sebuah pantai seorang bocah lain
memungut topi yang didamparkan arus
Ketika pertama kali memakainya
seketika ia menjadi tua
Kerut merut di dahinya berlintasan
seperti jalan-jalan sepi kota lama
Matanya rabun karena terlalu letih
menatap kejalangan dunia
Jemarinya terkulai karna menjamah
buah-buah khuldi dari pohon terlarang
Nasib menisiknya terus menerus
seperti ujung jarum menisik kulit sepatu tua
Bocah tua itu memandang laut, dan
laut pun menjadi cermin
Yang memantulkan wajah buruknya
menjadi ribuan wajah buruk yang sama
Semuanya serempak balik memandangnya
dengan sorot yang ganjil
Bocah tua itu merasa ngeri, lalu
berpaling dan lari, lari…
Di jalan ia bertemu seekor kerbau
yang sedang tertatih memikul bola bumi
Bocah tua itu menaikinya namun tak
lama kemudian kerbau itu jatuh dan mati
Bocah tua itu tergeletak di tengah
jalan sambil memeluk erat-erat bola bumi,
Dan menangis.
Saat itulah bocah tua itu ingat
bahwa topi yang dikenakannya bukan miliknya
Maka, ia tinggalkan bola bumi yang
terjelempah di tepi jalan
Dan ia mulai suatu perjalanan baru
Ia masuki goa-goa kata yang paling
gelap,
Ia arungi jeram makna yang paling
rahasia
Ia tasrifkan ayat-ayat gemintang,
pepohonan, mega dan sungai
Hanya untuk menemukan bocah pemilik
topi yang tak lain kembarannya sendiri
2010
SEBUAH PELUKAN
*
Sebuah pelukan
Seperti jembatan
yang gemetar
Antara sejarah dan
kenangan.
Antara getar
api di dalam
Dan gaung kebisuan
*
Sebuah pelukan
Menulis segala
yang tak dicatat matahari,
Sebuah pelukan
Adalah semburan
darah kata-kata
Terkaca seluruh
arah dan cinta manusia
*
Sebuah pelukan
Mengubah kata
menjadi tubuh,
Tubuh menjadi alam
Dan alam menjadi
bayang-bayang.
*
Sebuah pelukan
Menghimpun
cakrawala dan laut
Dan waktu lenyap
meniti buih-buihnya.
*
Sebuah pelukan
Menghapus seluruh
bentang jalan
Ia juga akar
Puisi dan api
Debu yang
merindukan debu
Keheningan gunung
Dan kepastian bintang-bintang
Atau mungkin awan,
awan yang lewat…
Tapi ah, bukan:
Sebuah pelukan
Adalah inti air
mata.
DI JERUSALEM
buat :Yehuda
Amichai
“...Siapa menyuruhmu menginjak-injak
pelataran-Ku?”
(Yesaya 1:11-12)
/1/
Di Jerusalem, setiap bukit meluas
Dan bersambungan dengan bukit-bukit lainnya—
Bak segulung perkamen tua—:
Lembaran-lembarannya terpisah
Tapi simpulnya itu juga.
Saat kau memandanginya,
Kau merasa lebih kaya dan lebih sendiri
Dari sebelumnya
/2/
Ini Sabbath yang
getun
Jalanan kosong telanjang, sonder jiwa sonder bayang.
Tapi bukit-bukit masih menggelombang
Seolah-olah mencoba terus baqa
Dan di Devir: Tabut menggigil
Seperti ulu hatimu.
Ini Sabbath yang
getun
Dan Jerusalem cuma ingin membisu dan dilupakan
Laksana padang rumput liar di musim panas.
/3/
Di sehelai kartu itu kau ingin menulis:
“Aku mencintaimu”,
Buat seorang anak tetanggamu—
Yang agaknya sedang sekarat di Gaza—
Namun bagaimana mengucapkan kalimat semacam itu
Dengan lidah bahasa puakmu yang pahit tungkap?
Sedang kau telah lupa bahasa bening mata anak-anak air Gihon
Atau arsitektur bahasa kudus batu-batu Gunung Sion
Hanya, dengan ujung jemarimu yang sedih,
Kau bentuk butiran-butiran pasir gurun di mejamu—
Yang diterbangkan angin—menjadi sepatah nama asing—
Yang juga diterbangkan angin.
/4/
Jerusalem adalah jubah Tuhan yang robek
Oleh perang dan damai.
Hutan wahyu dan bisikan
Kerajaan luka purba.
Berabad-abad orang bertanya:
Siapa yang pertamakali membasuh jubah itu?
Dialek mana yang lebih asli?
Liang luka kau atau aku yang paling nikam paling dalam?
Di reruntuk Haekal,
Daud cuma ngungun bisu,
Seraya membenamkan paras kisutnya pada tirai linen ungu
Sementara di Menorah, tujuh kandil suci mampus satu-satu.
/5/
Bulan mati
Bulan mati di Jerusalem
Seekor anjing tak dikenal menyalak
Ke arah sawang
Kau pun berkemas
Sebab tiba-tiba saja kau merasa garib di rumahmu sendiri
Sudah puluhan tahun kau huni rumah ini
Namun, di daun pintu masih tertinggal bekas sebuah nama lain
Yang tak terhapuskan.
Dan di gudang belakang; tergantung jas hujan merah tua
tak tahu siapa punya.
Maka, sebagaimana orang-orang pigmi, kau akan pergi
Meninggalkan esok hari yang lesi dan perapian Yahweh yang
dingin
Menuju entah.
/6/
“Daud, biarkan dinding-dinding kayu
cedar di kuilmu
Kujadikan dinding kapal-kapal
Aku akan terus mengembara seperti
Yunus
Mengembara di kegelapan perut ikan
paus
Anak-anakku--anak-anakmu juga--akan
lahir di ranjang lautan
Akan kuhangatkan mereka dengan
lapisan selimut awan-awan
Akan kusuapi mereka dengan roti
kerinduan
Dan bila bulan mati seperti di
Jerusalem;
Akulah bulan bagi mereka”.
/7/
Kau kecup kening Jerusalem yang memucat
Selangkah lagi kota ini akan jadi wajah kenangan
Kau pun mengucap selamat tinggal
Pada penghuni lama rumahmu—yang entah di mana—
Barangkali, kau tak bakal pernah bisa saling mengerti dengannya
Tapi, telah kau rangkai kembang-kembang gurun itu untuknya
Sebagai Shalom:
Karna di Jerusalem
Ya, di Jerusalem:
Musuhmu adalah satu-satunya pintu
Memasuki rumahNya.
2011
SI PENGUNJUNG FANA
Buat: Iman
Budhi Santosa
/1/
Selalu kau
bandingkan gang-gang sempit di Malioboro itu
Dengan centang
perenang rute nasib di galur-galur telapak
tanganmu
Engkaulah
burung yang berakhir
Jauh dari
rindang sarang dan kelepak sayap langit
Dengan lentera
Diogenes kau mencari-cari manusia
Puluhan tahun
menelusuri belantara kota-kota, sungai,
gua-gua
Yang kau
temukan cuma sajak-sajak semata wayang,
Rangka jung
tua yang terdampar, dan guci retak dari si
pengunjung fana
Karena jenuh
dengan seluruh jalan, akhirnya kau berhenti
Dan menjelma
bentangan jalan itu sendiri
/2/
Kau lemparkan
dirimu ke dalam rebakan air hayat yang bergeletar
Menimbulkan
lingkaran-lingkaran riak kehadiran yang tak berbatas
Berpotongan
dan bersilangan melahirkan aneka ciptaan baru
Bila
lingkaran-lingkaran itu diperbesar, ia akan seluas jagat raya
Bila lingkaran-lingkaran
itu diperkecil, ia akan menjadi inti dirimu
Maka teluk
yang menganga dalam rongga sajak-sajakmu
Menampung
ledakan makna seluruh pengalaman dunia—
Bak sepercik
bara air yang menyamudra
/3/
Telah kau
sebrangi jembatan yang jauh
Melengkung
dari dirimu menuju dirimu
Kini kau
tinggal di sebuah kota tak berpenghuni
Di mana
pasir-pasir waktu yang kau genggam mendadak
berhamburan—
Bagaikan
pulau-pulau di pelupuk mata
Hujan yang
jatuh, memantulkan hujan yang lain
Lelangkahmu di
jalan ini, menggaungkan lelangkahmu di
jalan yang lain—
Ibarat
rembulan yang merenungi cahayanya sendiri
Tak terdengar
hempasan suara apa pun
Selain
nyanyian purba yang membersit dari kerajaan masa
kecilmu
Kau memandang
lewat sorot mata matahari
Hingga
pandanganmu menerangi dan memenuhi seluruh
ruang
Di kota ini
kau aman dan tersembunyi dari dirimu sendiri
Seperti seekor
merpati yang selamat dari sapuan banjir yang lain
/4/
Kesendirian
yang bening dan megah
Telah tegak di
sini sejak permulaan kala
Seluruh
kenangan berpendar bagai lampion-lampion malam
Engkau hanya
memandangnya, tanpa tersentuh olehnya.
Ayunan air di
antara pepohonan, halus dan hening,
Seperti melodi
gerakan tangan dan kaki seorang bayi
Bak puisi yang
kau rangkai dari batas-batas bahasa
Atas bawah,
bolak balik, hingga membungkus seantero kota
Maka kota
menjelma doa yang mekar
Merambati
pohon awan
/5/
Jiwamu
bermukim dalam jeda rahasia antara kata dan kata
Selengang
kerlipan ruang antara bintang dan bintang
Kehadiranmu
ringan dan kokoh laksana selembar bulu gunung
Bertiup dari
keluasan ke keluasan sayup
Seluruh jalan
berkayuh menuju jalanmu
Yang keemasan
dan biru, bak gelombang Jalan Langit
Di kota ini
kau membangunkan hari kedua
Dari tenunan
benang ganda: kehidupan dan kematian
Mungkin kota
ini hanya muncul sekejapan dari rimbunan kabut
Sebelum
kefanaan jatuh bagaikan malam yang jatuh.
2011
SAJAK UNTUK SAJAK
Karena Arjuna bisa
memanah dalam gelap
maka penyair tua
itu pun mencoba menulis sajak dalam gelap
Ratusan jagat raya
dan galaksi datang dan pergi dalam rasi
angannya.
namun ia kesulitan
menuliskannya, sebab kegelapan
memiliki bahasanya sendiri
Tangannya gemetar
menyusun huruf-huruf untuk
mengisahkan pengalamannya yang kaya
Namun huruf-huruf
itu menampiknya, dan bersikeras
mengisahkan dirinya sendiri, sekehendaknya.
Maka penyair tua
itu menyerah: ia biarkan suara-suara lain
bicara
Suara yang
merupakan miliknya sekaligus bukan miliknya,
suara yang didengarnya
sekaligus tak
didengarnya.
Saat sajak itu
selesai menuliskan dirinya, hasilnya
sama sekali tak sesuai harapan si penyair tua:
Sajak itu bukan
sajak tentang dirinya, tapi sajak tentang
sajak, bukan sajak untuk dirinya, tapi sajak untuk sajak.
Rahasia dan makna
kata-katanya tak bisa tersingkap dalam
ruang dan waktu manusia
melainkan hanya
membukakan diri dalam ruang dan waktu
kata-kata itu sendiri
Huruf-hurufnya
seperti ratusan lembar cermin yang saling
berhadapan dan berpantulan:
lambang menafsirkan
lambang, umpama berkaca pada umpama.
Bila sajak itu
ditempatkan di taman, maka sejenak
kemudian taman itu akan berubah:
sajak itu akan
menyusun ulang komposisi pohonnya,
memangkas rumput-rumput liarnya,
menjernihkan air
mancurnya.
Bila sajak itu
ditempatkan di langit, maka sejenak kemudian
langit pun akan berubah:
Sajak itu akan
menggubah warna dan bentuk-bentuk
mega, menata ulang bintang-bintang, menyulih arah
peredaran planet-planet
Di tempatkan di
mana pun, sajak itu selalu mengubah
segalanya menjadi ciptaan baru
Maka gunung, laut,
dan langit menjadi gunung, laut dan
langit yang lain
Hijau menjadi
hijau yang lain, biru menjadi biru yang lain.
Tiba-tiba penyair
tua itu menyadari, bahwa ia sudah sampai
pada batas tepi mimpinya:
Puluhan tahun ia
menulis aneka sajak untuk menyaingi
Tuhan, namun baru sajak inilah
yang berhasil
Kini, dalam gelap,
parasnya tampak bercahaya bak paras
seorang bayi yang terberkati
Jasad tuanya
terbaring di samping sajak terakhirnya, agung
dan sendiri,
Seakan-akan sebuah
perahu yang telah angkat sauh
dari tepian pantai
di jam larut malam, untuk kemudian
menghilang nun di jauhan.
Tentang Tia Setiadi
Tia Setiadi lahir di Subang, 7 November 1980. Bekerja sebagai editor dan
penerjemah di majalah budaya Gong dan beberapa penerbit antara lain Interlude,
Komodo Books, Benatang Pustaka, Serambi, Diva Press. Mendirikan penerbit Circa
bersama Nezar Patria (2016). Bukunya: Tangan yang Lain (2013) dan Petualangan
yang Mustahil (esai, 2015). Menerbitkan karya-karya terjemahan, al. Adgar
Allan Poe, Pablo Neruda, Rainer Maria Rilke, Alice Munro, Noam Chomsky, dll.
Catatan Lain
Jokpin menulis: “Puisi Tia
pada dasarnya masih bertumpu pada spirit puisi lirik. Ia banyak menghadirkan
dan mengolah citraan alam dengan sublimasi perasaan, harmonisasi kata dan
bunyi. Ia bukan tipe penyair yang tertarik pada sensasi kebaruan. Ia lebih
ingin mencapai kedalaman. Kebaruan mungkin akan memukau untuk beberapa lama,
sedangkan kedalaman merupakan sesuatu yang akan selalu ditagih oleh pembaca,
apa pun gaya dan bentuk puisi yang dihadapinya.” (halaman 15).
Puisi-puisi Tia dalam buku
ini, niscaya akan banyak kita temukan di dunia maya. Beberapa muncul di laman
facebooknya, Kian Santang. Jika dibandingkan antara yang tercetak di buku dan
yang ditampilkan di dunia maya, maka akan ada beberapa perbedaan. Jika di laman
dunia maya halamannya lebih leluasa, maka di buku halamannya lebih terbatas.
Konsekuensinya adalah munculnya pemenggalan-pemenggalan kalimat. Nah, yang
hadir di blog ini, kebanyakan meniru yang ada di buku, dengan pengecualian
beberapa. Juga ada perubahan/penggantian kata atau ungkapan. Lagi-lagi yang
dipilih adalah versi buku, dengan anggapan versi buku lebih terbaru.
Satu lagi, dalam versi
buku, di bawah sajak “Di Yerusalem” dan “Si Pengunjung Fana” tak memuat satu
keterangan pun. Namun di versi fesbuk, muncul segerombolan kata-kata berikut:
Catatan:
Lewat sajak ini saya
berusaha memasuki Jerusalem lewat pintu belakang. Di sana saya bertemu dengan
Yehuda Amichai. Saya tak merasa keimanan saya terhadap islam berkurang dengan
lahirnya puisi ini. Justru saya merasakannya sebagai rahmat, yang serba memberi
dan merangkul. Maka, saya bebas saja menjabat Amichai, si penyair israel yang
sedih dan lembut itu. Saya sangat sadar bahwa penyair sejati dari bangsa
dan ras manapun akan menebarkan persaudaraan dan mengutuk setiap pengrusakan
atas kemanusiaan, siapa pun pelakunya. (catatan sajak Di Jerusalem)
Atau
Catatan:
Saya selalu terpesona setiapkali Iman Budi Santosa berbicara tentang puisi.
Wajahnya yang tua, tubuhnya yang ringkih dan rambutnya yang mulai menipis
seakan-akan mundur ke latar belakang saat kata-kata meluncur dari mulutnya.
Begitu hidup, ekpresif, penuh daya. Kata-kata seperti membatin dan mendaging
sekaligus, merebakan makna ke pelbagai arah dan kemungkinan. Belakangan memang
energinya mulai surut setelah banyak sakit-sakitan, namun imannya kepada sajak
tak pernah surut. Anda hanya perlu bersua dengannya untuk menemukan sajak dalam
matanya, dalam pori-pori kulitnya, dalam segala manifestasi batinnya. Sajak ini
hanya penghormatan kecil yang bisa saya berikan padanya. (catatan sajak Si
Pengunjung Fana, juga hadir foto Iman Budhi Santosa).
Maaf,
satu lagi. Puisi “Doa Bocah Kembar”, dalam versi fesbuk, tidak bertuliskan
untuk siapa. Namun di versi buku muncul tulisan ‘:Untuk Afrizal Malna’. Demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar