Data buku kumpulan puisi
Judul : Montase
Penulis : Wayan
Jengki Sunarta
Cetakan : I, Agustus
2016
Penerbit : Pustaka
Ekspresi, Tabanan, Bali.
Tebal : ii + 74
halaman (55 puisi)
ISBN :
978-602-7610-73-6
Tata letak : Gede Phalayasa
Sukmakarsa
Lukisan sampul :
Herry Yahya
Foto profil : Dandy
Saputra
Format buku: pdf
Beberapa pilihan puisi Wayan Jengki Sunarta dalam Montase
Imajinasi, Kau, dan Danau Sentani
dengan perahu kayu
kau seberangi danau Sentani
agak ragu kau raba ricik airnya
“air di sini warna hijau,”
ujarmu
berkawan langit biru dan kaum
hitam
kau terus berkayuh ke tengah
danau
perlahan pulau Kensio membuka
diri
serupa bunga rekah di hari dini
kau jejakkan kaki
di pulau terpencil itu
seperti Columbus kau merasa
menemukan sesuatu
mungkin kepercayaan diri
atau keraguan yang samar
“kau tahu, pulau ini hanya
dihuni 40 kepala keluarga Papua
betapa terasing dan sederhananya
mereka.”
ah, calon antropolog, juru warta
peradaban
berapa pulau lagi mesti kau
jelajahi
berapa suku lagi ingin kau
telisik?
untuk meyakinkan diri
betapa sejak awal mula
manusia telah terasing
dengan dirinya sendiri
(2013)
Lereng Merbabu
hutan cemara, hutan cemara…
ke arah mana halimun sirna
jalan setapak, tanah basah
peladang tembakau pulang senja
gamelan jawa mengalun
dari dusun-dusun pedalaman
aku tiba dari jauh
membawa cinta sepenuh jiwa
halimun, halimun…
ke mana perginya hutan cemara
(2014)
Ubud, Hanya Keluh dan Riuh
malam makin mabuk
seorang turis separuh baya
berceloteh tentang Rsi
Markandeya
dan masa silam yang hanyut
di sungai Campuhan
aku menenggak arak sembari
membayangkan
cahaya kunang-kunang di pematang
sawah
turis itu terus berkicau tentang
Bali
dan cukong-cukong pariwisata
di Ubud yang sisa
hanya keluh
dan riuh
Lempad dan Tjokot telah lama
mati
gemuruh tarian kecak perlahan
sirna
ditelan bingar musik kafe
dan cukong-cukong pariwisata
beramai-ramai memberaki Bali
celoteh turis makin berdengung
seperti kerumunan tawon
aku pergi menjauh
duduk di bawah pohon jepun
berteman arak dan sepi
bercengkerama dengan diri
di pelataran pura,
seorang kakek tua menari sendiri
tongkat di tangannya
menunjuk-nunjuk ke arahku
malam makin kelam
langit mencurahkan gerimis
seperti tirta suci
memerciki ubun-ubunku..
(2014)
Tafsir Clair de Lune — Debussy
ingin kuraih cahaya bulan
yang berpendaran
di bening matamu
namun, malam yang manis
mendadak senyum sinis
aku berjalan lunglai
rumah terlalu jauh
aku tak mampu pulang
di bawah remang merkuri
mataku nanar
perlahan aku menyadari
hanya pemabuk cahaya
tak bisa membedakan
bulan dan bola lampu
seperti laron patah sayap
aku melata di jalanan kota
meraih yang tak teraih
sepi menikamku
tepat di ulu hati
lalu, tanpa kuduga
bulan bercahaya
dalam jiwaku
aku merekah
seluas semesta
(2016)
Taman Fatahilah
suara adzan bersahutan
menggema di dinding bangunan
Belanda
menyusupi relung-relung jiwa
Jakarta
bergetar di senar-senar gitar
bocah pengamen
di tugu alun-alun kota tua
sejarah bermula
ditulis dengan darah
di lembaran kisah pedih masa
silam
Fatahilah, Sunda Kelapa,
rempah-rempah,
serdadu Portugis, tentara
Belanda,
laskar Demak, prajurit Cirebon,
candu, mesiu, bau bangkai, amis
darah,
budak, kuli, raja, penguasa
berkelindan di kedalaman jiwaku
di pusat kota ini
aku bercengkerama
dengan bebayangku sendiri
sebatang pohon tua
meranggaskan kenangan
di bawahnya seorang veteran
menyayat senar biola dengan
ngilu
lagu lawas Batavia melantun
namun, di mana kau, kekasih?
jejak langkahmu merambahi
udara senja yang kuhirup
suaramu mengalun dari pelepah
palma
yang disepuh warna kencana
di mana kau, kekasih?
di alas tikar plastik aku bersila
memusatkan rasa dan jiwa
seorang ibu paruh baya
menyeduhkan kopi untukku
bocah-bocah pengamen
menghiburku dengan suara serak
pengemis-pengemis memelas
menjulurkan kaleng bekas
siapakah aku di taman ini
sehampar pemukiman masa silam
yang kini berganti rupa
aku bukan Portugis, bukan
Belanda, bukan Tionghoa,
bukan Demak, bukan Cirebon,
bukan Bugis, bukan Sunda,
bukan Betawi, bukan Bali, bukan
Melayu, bukan Jawa
aku semesta kecil
yang terkurung dalam diriku
taman ini telah berjanji
menggenapi rindu
ketika senja tak lagi kehilangan
arah
ketika jiwa tak lagi berjarak
melebur seluas semesta
(2013)
Gua
aku memandang ke dalam jurang
menatap kedalaman matamu
yang kulihat adalah
musim dingin tak terperikan
aku menyalakan diriku
sebagai api unggun
namun malam menggigil
musim jadi pucat pasi
daun-daun layu
seperti sabda tanpa tuah
jiwaku mengabu
dalam unggunan
aku kembali ke dalam gua
pengasingan tak peduli perangai
cuaca
lumut dan tetes air
memberiku kehangatan
melebihi cahaya matamu
(2016)
Tengah Malam
anggur vacqueyras dan beringer
muncul dari kolong dingin
ada yang hilang dari kehidupan,
ada yang hangatkan jiwa
siapakah kau yang coba
memahamiku
apa kau patung dewa maut
atau hanya sekedar bunga perdu?
tak ada tanda untuk dendam atau rindu
musim hujan meringkus jiwamu
tak ada kata atau suara
hanya celoteh pemabuk
di tikung jalan:
— Hypocrite lecteur, — mon
semblable, — mon frére! —*
aku tak pernah mampu
mengenalmu
(2016)
* dari ”Au Lecteur” oleh
Charles Baudelaire
Aku Menemukanmu
aku menemukanmu
o, saudara masa lalu
yang lahir kembali
di kebun-kebun kopi
siapa menujum ruhmu
jadi bongkah-bongkah batu
tumbuh di ladang-ladang kaum tani
jangan tanya dari mana
aku hanya pasasir
yang mampir
setelah beratus tahun terlunta
dalam rimba rahasia
kini, aku menemukanmu
meski yang menyapaku
hanya tumpukan batu
memeram masa lalumu
(2010)
Ibu Pasar Kumbasari
subuh belum luruh
kau telah menanak peluh
di jalan-jalan becek pasar kota
bergelut dengan bayang-bayang
pagi
yang setengah buta
kebaya rombeng dan kain lusuh
sayur mayur, ikan asin, bumbu
dapur, palawija
dalam keranjang anyaman bambu di
kepalamu
berkisah tentang letih subuh dan
penat tubuh
aku tahu, ibu, kaulah pengempu
kehidupan kota ini
dari jalanan desa kau melata
tersihir cahaya lampu-lampu
merkuri
tak ada yang mampu menahanmu
untuk tak putus-putus
mencurahkan kasihmu
ibu, tarianku tak ‘kan pernah
sampai
di jalan-jalan yang kau pijak
dengan kaki telanjang
aku menghormatimu melebihi
hormatku pada para dewa
yang selalu kau puja dengan
sesajen dan upacara-upacara
hingga tanganmu terasa mati rasa
di pucuk-pucuk janur,
serbuk-serbuk dupa dan
kelopak-kelopak bunga
ibu, jika saat itu tiba
ijinkan aku merasakan peluhmu
membasuh sanubariku
agar aku makin memahami
rahasia semesta
yang menyala di ubun-ubunmu
(2011)
Agustus Belum Pupus
– untuk: penyair Wayan Arthawa –
agustus belum pupus
ketika kau bergegas
meninggalkan kata-kata getas
di pintu pagi yang cemas
tak ada tanda
di pelepah pohon lontar
di mana dulu para leluhur
menakik namamu
mengutuk takdirmu
jadi sang kawi
betapa fana tatap mata
gadis-gadis jelita taman Tirtagangga
betapa jelata ibu-ibu peladang salak
ketika kau terharu menyadap sajak
hingga duri jadi rindu
hingga rindu jadi rinai
di setapak jalan Telaga Tista
tak ada tanda mengurai airmata
cuaca tiba-tiba buta
kata demi kata yang kau tempa
menyerpih di keranjang sayur
ibu pasar Amlapura
agustus belum pupus
aroma tuak mengaliri nadiku
subuh makin rapuh
dalam mabuk
kubaca isyarat itu
hanya kita
dan kata
yang paham
makna kehilangan
(2012)
Di Somba Opu
agak ragu
kugurat namaku
di pilar kayu
Somba Opu
baruga tua itu
telah kehilangan tuan
tanah rata, berdebu,
rumput enggan hijau
hanya pepohon mahoni
berbagi teduh
di setapak jalan
kudengar tabuh rebana
berpadu lagu kerajaan Gowa
didendangkan pengembara
kau buka jendela baruga
senyummu diluruhkan nada
kau lihat?
pecinta yang tersesat
diseret langkah lelah
di hari berkeringat
di Somba Opu,
apa yang pilu
selain langkah
makin ragu
menjauh
dari barugamu
(2012)
Pralaya Matra
– untuk:
perupa Nyoman Erawan –
kususuri puing dan arang
di reruntuhan warna
yang garang kau tabur
kutemukan kanvas usang,
lelehan cat, kayu terbakar,
patahan kuas
anyir darah, bau bangkai hangus,
airmata, dan tangis bayi
kelaparan
Erawan, beribu-ribu sesaji
dihaturkan di tanah Bali
tapi para penghuninya makin
kehilangan jati diri
benang tridatu tak lagi bertuah,
trisula tumpul,
kain poleng jadi taplak meja,
tapakdara sirna makna
hamparan kanvasmu seperti padang
kurusetra
tapi kau terus melukis dengan
darah dan airmata
tengah malam, lolongan
anjing-anjing kuburan
berloncatan dari warna-warna
yang kau toreh
apa lagi yang kau cari, Erawan?
nujumanmu tak dipahami anak-cucu
kekuasaan dan keserakahan makin
bertriwikrama
tanah Bali habis dijarah
bromocorah dan durjana
kau bergumam:
“pralaya keindahan maha sempurna
kehancuran mula kehidupan baru.”
aku paham,
dengan kuasa aksara dan warna
kau hanya ingin bersuara
meski lidah dan jiwamu
nyaris hangus
diberangus pralaya
(2013)
Derita Jelata
kuraih kau dari bayangan senja
ketika wajah dan kisah raib begitu saja
ke mana kau ungsikan derita kaum jelata
ketika tanah telah kehilangan gairah tani
sejarah kelam merekah kembali
langit memerah saat kau tiba
siapa yang mampu
meretaskan harapan negeri ini
derita kaum jelata tak habis-habis
seperti bunga perdu rontok di jalanan
matahari kehilangan kemilau
airmata mengaliri sungai-sungai kepiluan
(2015)
Tarian Lena
tarianmu seperti gerimis
menyapa pepohonan
di taman-taman kota
gemulai jemarimu
memberkati sebatang pohon
ketika senja terlena
kehilangan cara
untuk sirna
tarianmu tak usai
liuk tubuh risau
merengkuh pohon
yang tumbuh
dari taman lampau
tarianmu berpadu
daun-daun luruh
mengubur tubuh
di akhir waktu
(2016)
Teluk Benoa
– kepada
investor serakah –
jika suatu saat aku mati
aku tak perlu kuburan
bakar mayatku dan tebar abuku
di laut tempat aku bisa bercanda
dengan ikan-ikan cahaya,
kepiting, ganggang, ubur-ubur,
dan segala penghuni niskala
namun, jika kau paksa mengubur
laut
daerah istirahku nanti
jika kau paksa bikin pulau
buatan
bersiaplah aku akan terus
gentayangan
di saku kemejamu, di meja
kasinomu,
di apartemen, di hotel, di
restaurant,
di kolam renang, di villa,
di segala tetek bengek yang kau
puja
puahhh…aku akan terus meniupkan
mantra
dari jiwa-jiwa nelayan dan
pelaut teraniaya
dari jiwa-jiwa kaum jelata yang
kau tipu
dari jiwa-jiwa pasrah ibu bumi
aku akan menghisap ubun-ubunmu
dari semestaku
maka, dengan mudah pula bagiku
menenggelamkan daratan buatanmu
sekali hisap hancur pesta poramu
musnah serakahmu
hutan-hutan bakau
berkerumun dalam jiwaku
dan kau hanya sepercik debu
yang sekejap sirna
disapu waktu
(2015)
Mengenang Murni
– untuk
pelukis I Gusti Ayu Kadek Murniasih –
“saya hamil saat itu”
tulismu
di balik lukisan kecil
yang kusimpan
demi mengenangmu
lukisan itu bercerita
sosok perempuan hamil muda
mengulum benih bunga
dalam sangkar hijau toska
Murni, kau tak perlu hamil
anak-anak rohanimu
telah mengembara sejauh cahaya
“aku inginkan anak dari
rahimku,”
ujarmu pilu
pucuk-pucuk ilalang
mengering
di halaman rumahmu
Murni, rahim batinmu
telah memberimu banyak anak
melebihi yang kau duga
kau bagikan saripati jiwa
pada anak-anak berkursi roda
kau beri mereka kuas, kanvas,
warna
dan segala dera derita
tumpah jadi lukisan tak terduga
Murni, kini, di alam damai itu
mungkin kau melukis malaikat
yang tersedu kehilangan rahim
atau menggambar wajah Tuhan
dengan warna-warni derita
manusia
(2010)
Tentang Wayan Sunarta
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975.
Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah
Seni Lukis di ISI Denpasar. Mencipta puisi sejak awal 1990-an, kemudian
merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, fitur, esai/artikel seni budaya,
kritik/ulasan seni rupa, dan novel. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai
media massa dan terangkum dalam sejumlah buku bersama. Buku kumpulan puisi
tunggalnya: Pada Lingkar Putingmu (bukupop, 2005), Impian Usai (Kubu
Sastra, 2007), Malam Cinta (bukupop, 2007), Pekarangan Tubuhku (Bejana,
Bandung, 2010). Buku kumpulan cerpennya: Cakra Punarbhawa (Gramedia,
2005), Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005), Perempuan yang
Mengawini Keris (Jalasutra, 2011). Buku novelnya: Magening (Kakilangit
Kencana, Jakarta, 2015). Beberapa karya sastranya meraih penghargaan, antara
lain Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung, Cerpen Pilihan
Kompas 2004, Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta, Nominator
Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi se-Indonesia 2004, Nominator
Anugerah Sastra Majalah Horison 2004, Penghargaan Widya Pataka dari
Gubernur Bali (2007). Hingga kini dia terus menulis untuk berbagai media,
menjadi aktivis kesenian, dan bergiat di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), sebuah
komunitas berkesenian di Denpasar.
Catatan
Lain
Halaman persembahan buku ini bertuliskan:
Untuk Mahaguru:
Umbu Landu Paranggi & Frans Nadjira
Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
Karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah
kehidupan…
(Umbu Landu Paranggi)
Hanya orang-orang tak waras yang berani menyeberangi
batas angan milik penyair…
(Frans Nadjira)
Dan disampul belakang buku muncul kutipan sajak
“Mengenang Kupang”, yang dipersembahakan untuk Dewa Putu Sahadewa. Begini
kutipannya:
kuceritakan pada kau perihal puisi
yang diperam pohon-pohon tuak
yang tumbuh di tanah-tanah tandus
ketika laut bergaun biru menoleh padaku
dengan wajah tersipu malu
(Mengenang
Kupang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar