Data buku kumpulan puisi
Judul : Dari Tepi Kahayan
Penulis : Agung Catur Prabowo dan Suyitno B. Tamat
Cetakan : I, Juni 2015
Penerbit : Seven Books, Yogyakarta.
Tebal : 124 halaman (acp 46 puisi, sbt 52 puisi)
ISBN : 978-602-97980-7-4
Editor : N. Hadi Kromosetika
Dari Tepi Kahayan terdiri dari 6 keping, yaitu Catatan untuk
Kotaku (acp 10 puisi, sbt 6 puisi), Ode untuk Leluhur (acp 7 puisi),
Jejak-jejak Perjalanan (acp 18 puisi, sbt 4 puisi), Catatan untuk
Sahabat (acp 4 puisi, sbt 13 puisi), Kidung Kasmaran (acp 2 puisi,
sbt 8 puisi), dan Tetirah Hati (acp 5 puisi, sbt 21 puisi)
Beberapa
pilihan puisi Agung Catur Prabowo dalam
Dari Tepi Kahayan
Anak Enggang
Buat
Anak Dayak
mendung tak bisa lagi menggantung di dahan
tunggak juga telah hanyut berserak
anak enggang,
sarang kini harus kaubikin sendiri
dari pucuk pucuk yang hangus
dari arang yang tersisa
langit kini harus kaulukis sendiri
dengan kepak putih atau hitam
dengan paruh atau mahkota
bila sudah masanya
terbanglah melintas cakrawala
agar kisah anak enggang
tak berakhir di pokok ara
*acp*
palangka raya, desember 2011
Bue’
Buat
Kusni Sulang
sayup sansana kayau
ditimpa angin dari negeri jauh
segala nyanyian kini telah parau
walau tetap tak terdengar keluh
langit yang kaupahat, Bue’
pada batang batang sapundu
nampaknya telah membikin gusar
angin puting berpusar
mungkin telah dilanda cemburu
karena curiga
kemana mereka hendak bersarang
Jika cakrawaka di mata mereka
sirna?
*acp*
palangka raya, desember 2011
Sejak Angin Berhembus dari Tumbang Anoi
siapa mereka yang berkata
: kita dikatakan tak pintar menakar
kita dibilang tak
pandai memintal
kita dikira tak jago menempa?
dari dulu kita menukar, sebongkah
damar dan rotan dengan sejimpit garam
hingga kini kita masih menukar, setongkang
kayu dan batu dengan selembar kacu
sejak angin sepoi berhembus dari tumbang anoi, tak ada
lagi yang kuasa merangkai selendang penari, tinggal
sayap sayap disulam pada temali
sayup sayup berdenting
karungut dan sansana
melenting
*acp*
palangka raya, mei 2009
Di Puncak Rasamala
di puncak rasamala
embun mengelus batang batang pinus
rela patah membelah tanah
di puncak rasamala
damar borneo disemai di tanah Karo
disiram doa seribu mata
di puncak rasamala
kudendangkan menjuahjuah kepada semua orang
untuk sepakat kita jaga bukit barisan
*acp*
palangka raya, 6 juli 2012
Di Candi
begitu jauh telah ditinggalkan tahta
melanglang jagat dari pusat candi
menjelma resi bagi para nestapa
sang pengabdi bagi para abdi
terngiang saat ia sepakat merapal mantra
lepaskan kemeriahan negarakertagama
tarikan nafasnya sepenuh jurus
membuka cungkup yang tak terurus
daun beringin kuning tersentuh angin, jatuh
tubuhku yang dingin, merapat di gapura sukuh
*acp*
palangka raya, 16 desember 2013
Sapundu
darimana kita datang
yang dulu biasa membelah ladang
kini hanya menunggu
betang lengang
tinggal sapundu di halaman
menjaga persemayaman para tatu
memberi isyarat arah angin bertiup
agar anak enggang tak lupa jalan pulang
*acp*
palangka raya, oktober 2011
Kahayan (1)
langit emas memburu kelepak elang
mengerit baut baut di bibir dermaga
sisa kabut menyaput
bayang bayang kelam
namun, batang batang
masih teronggok
setia
*acp*
palangka raya, oktober 2011
Lengkung Jembatan Lengkung Pelangi
lengkung jembatan lengkung pelangi
menggantung awan meniti hari
dari sini jelas pandangan
arus berlanting menderas di tikungan
anak anak berlompatan berpacu
kapal kayu bergeming di tambatan
balok balok dirakit tanpa perahu
lengkung jembatan lengkung pelangi
menggantung angan meniti sunyi
dari sini jelas pandangan
angin berputing menderas di ingatan
bungur bungur masih bermahkota ungu
randu tak hendak lepas dari rekatan
tajuk ketapang malas gugur walau telah layu
*acp*
palangka raya, oktober 2011
Legiun
bambu bambu rancak di pundak
pedang kelewang melintang di pinggang
sebagian memanggul laras hadil rampasan
bergerak mereka dalam barisan
sabang merauke dalam ikatan
itu pasukan ciba patahkan
dengan segala bedil
dengan segala meriam
dengan segala serdadu
habiskan segala mesiu
kaki kaki tak surut maju
sebab pilihan cuma satu
kini,
janji janji telah dipenuhi
panji panji tegak kembali
merah putih serupa nyiur melambai
yang tersisa dari legiun tua
adalah seseorang termangu di sisi pusara
di tengah hiruk pikuk perayaan
diajaknya sang kawan sekali lagi teriakkan
:merdeka!
*acp*
palangka raya, 16-23 agustus 2013
Bukit Rawi
kahayan surut tujuh lutut
menyisakan alur kecil di sela kabut
cericit burung menindih sepi
mengundang si kecil turun mandi
rumah panggung kayu tua
bilik terlindung terbuka jendela
kampung dulu bunda berlindung
kampung kini kami bertahan
matahari,
tetaplah bertahan di bukit rawi
agar sempat tersinari
kembang kembang yang mekar sebentar lagi
*acp*
palangka raya, 20 juni 2013
Balanga
balanga datang, balanga pergi
yang dikandung telah lahir
yang menanggung lupa disunggi
disimpan saja diikat tali
lupa ramuan lupa sesaji
balanga datang, balanga pergi
yang mengkilat digadang
yang berkarat diganti
balanga datang, balanga pergi
duplikat dirancang
keramat dicuri
*acp*
palangka raya, oktober 2011
Tarian Dayak
tubuh tubuh rancak menari
mengikuti irama alam
bersatu dalam gandang
bilik dan beranda
keringat dan udara
beraroma dupa
o, dayak
tarian dayak di atas pentas
alam raya tinggal kanvas
dimana hutan
dimana ladang
dimana betang
o, dayak
menarilah menari
kibaskan kelepak tingang
terbangkan mandau talawang
*acp*
palangka raya, oktober 2011
Borobudur
mendaki stupa
menapaki samsara
lalu setahap demi setahap
menggayuh nirwana
sampailah aku di sisi arca
kuning matahari mengguratkan bayangan
diri yang tak sanggup berdiri
tepekur mengarungi semadi
tak hendak kuturunkan tubuh layang layang
sebab selangkah lagi mendaki
akan sampai di pusaran
hilang raga hilang suksma
di hadapan senyum sang Gaotama
*acp*
palangka raya, 16 desember 2013
Beberapa pilihan puisi Suyitno B. Tamat dalam Dari Tepi Kahayan
Setangkai
Kembang Kopi
lengang malam
terusik
lengking
seruling meningkahi
pijarpijar
lampu minyak dari bekas kaleng susu
membagi sinar
ke titik yang terjangkau
lengang malam
terusik
setangkai
kembang kopi jatuh ke bumi
melulur hati
sang pemuja yang kasmaran
merindu cinta
dalam mufakat serah diri
lengang malam terusik
setangkai
kembang kopi gugur ke pelukan
bau keringat
setubuh terarak uap tanah
melahirkan
janji dan ingkar baru
*sbt*
sebangau,
april 1995/2011
Goresan
Tegak Lurus Di Sebuah Tulang
goresan tegak
lurus di sebuah tulang
hadiah megah
bagi khalifah
peringatan
keras pemegang amanah
penguasa negeri
penyambung lidah
goresan tegak
lurus di sebuah tulang
cindera mata
hadiah iman
mahar mewah
untuk jabatan
kelakar indah
buat seniman
goresan tegak
lurus di sebuah tulang
menatap langit
di kisi keadilan
ratap janda
pada tengah malam
pesan
berbingkai buat pangeran
goresan tegak
lurus di sebuah tulang
tanda terbuka
untuk semesta
*sbt*
palangkayara,
juni 2001
Renik
asap mengepul
mengundang pandang
puing yang sisa
menorehkan kepedihan
ingin bersorak mengharap
lebih
mencimit hak
orang
menyitir dalih
sekadar
renik disangka
laku dibuat
tidakkah kau
sadari
kuasa tuhan
mutlak semata
tak lepas renik
di indera
*sbt*
palangkaraya,
maret 2001
Menanti
Purnama pada Musim Panen
sepetak ladang
dulu kurawat
kini bersemak
bila di sebelah
selatan kusiangi
di utara perdu
meninggi
sepetak ladang
kini kurawat
tergarap
seperempat
mulut terlalu
liar, kerja tak terbayar
huma menghijau
kujaga dari tikus
huma bunting
kujaga dari wereng
huma menguning
kujaga dari pipit
terlelap sesaat
huma rontok
musim panen
terlewat
purnama tak
terlihat
lengkung tandan
telah tua
sepetak ladang
dulu kurawat
terpaksa
kupandang dari jauh
sambil menanti
purnama di musim mendatang
izinkan kukecup
kening kekasih
t’lah lama
kutinggalkan
*sbt*
palangkaraya,
rajab 1424
Ande-ande
Lumut Kepincut
di gubuk reyot
nyai janda
dadapan sumringah
menerima tiga
tamu kehormatan
semuanya
perempuan
lama mereka
bercengkrama
tapi ande-ande
lumut yang dinanti
tak kunjung
keluar kamar
di halaman
pengiring ketiga perempuan riuh bercakap
membicarakan
siapa yang bakal dipilih
ande-ande lumut
untuk dijadikan istri
nyai janda
dadapan gelisah
: putraku si
ande-ande lumut
keluarlah ada tamu yang hendak bertemu
tamunya hai putri terhormat
anak ningrat, pejabat dan konglomerat
: wahai ibu
saya masih malu
belum siap untuk bertemu
tolong ibu perkenalkan satu persatu
ande lumut
masih enggan keluar kamar
sedikit sungkan
nyai janda dadapan
memperkenalkan
tamunya satu persatu
: putraku si ande-ande
lumut
keluarlah ada putri yang sedang menanti
putrinya anggun berwibawa
pejabat tinggi di departemen ternama
: wahai ibu
saya belum mau
meski dipaksa tetap tak setuju
biar anggun, putri itu kurang lugu
: putraku si
ande-ande lumut
keluarlah ada putri yang sudah menunggu
putrinya hai cantik menggoda
foto model di ibu kota
: wahai ibu
saya belum hendak
putri ibu masih bergejolak
walau cantik, putri itu kurang berakhak
: putraku si
ande-ande lumut
keluarlah ada putri yang hendak menjemput
putrinya berwajah jelita
darah biru, dia juga pengusaha kaya
: duhai ibu,
saya minta maaf
yang ketiga tetap saya tolak
biar kaya, tapi dia terlalu galak
nyai janda
dadapan blingsatan
ia terduduk
kikuk
melihat wajah
tiga perempuan di hadapannya
dalam
ketegangan membisu
datang seorang
penjual jamu gendong
perempuan itu
bermaksud ikut meminang ande-ande lumut
orang-orang
mengejeknya
bahkan nyai
janda dadapan nyinyir
meminta dia
pergi saja
tapi perempuan
penjual jamu bersikeras
meminta agar
keinginannya
disampaikan
kepada ande-ande lumut
dengan dongkol
nyai janda dadapan menyampaikan :
: putraku si
ande-ande lumut
ada gadis yang tak tahu diri
wajahnya hai terlalu jelek
hendak coba meminangmu wahai putraku
: wahai ibu
saya jadi bimbang
sebab dia memang kuidamkan
biar jelek, tapi dia punya kejujuran
: hai, putraku
ande-ande lumut
kau harus segera tentukan sikap
sekarang bukan jaman memegang kejujuran
tak ada guna kejujuran
kalau kita menderita, terpinggir, dan
diinjak-injak
ande-ande lumut
tercenung
berpikir
sejenak
: wahai ibu
saya telah setuju
bahwa saya sependapat dengan ibu
: lalu mana
yang kau pilih?
: semuanya
kuambil jadi istriku
begitulah cerita ande-ande lumut yang kepincut
ia tak lagi tegar,
lalai tergoda gemerlap jaman
*sbt*
palangkaraya,
ramadan 1423
Mahkota
sujud yang kita
lakukan
belum mengantar
ke titik makna
ketenangan yang
kita idamkan
belum jadi
sebuah gambaran
raja bertahta
tanpa wibawa
ratu berjaya
tanpa kesima
dan pangeran-pangeran
tak pernah memberi contoh
tentang hidup
sahaja
sedang
putri-putri istana
menjual diri
pada pengusaha-pengusaha kaya
mahkota
dilelang kaum pemodal
singgasana
diperebutkan dengan membeli sebungkus nasi
yang sebenarnya
tak pernah ia makan
negeri
digadaikan demi dukungan
rakyat diberi
bualan tentang nikmat hidup tentram
bayi-bayi yang
lahir langsung menoleh bulan
*sbt*
palangkaraya,
oktober 1997
Keramat
Senyap
seuntai kata
menenggelamkan malam
mengiringnya
dalam diam
menuntaskan
kesumat semu
menyatru adat
mengukur tara
angin merah
mengantar misi
kuasa
terbungkus
bermain mata
dengan maut
di seberang
sesosok badan
meregang maut
raga terkapar,
bersandar
kabar tersiar
ke seluruh titik
senyum
mengembang
dibalut tangis
sesenggukan perempuan
merangkul tiga
anak kecil dalam pelukan
keramat senyap
melunasi hutang
menanti waktu
melepas kesumat
*sbt*
sembuluh,
maret 1997
Penarik
Gerobak
poripori
terbuka
deras
mengalirkan keringat
membasahi kulit
liat legam
dua kekang
menghela di pundak
membelit
pangkal tangan
segaris dengan
kemiskinan
wajah letih
terkapar di tepi pelabuhan
menanti muatan
senyum
kekuatiran tersungging
seiring
matahari condong ke barat
: apakah hari
ini anakku bisa makan?
*sbt*
sebangau,
November 1995/2011
Mimpi
Batu
mimpiku tentang
batu
melarung
hayalan terkembang
dengan
penumpang berpasangan
menyeberang
laut jawa
singgah di
hamparan rimba
mimpiku tentang
batu
terhempas di
butir pasir memanas
*sbt*
palangkaraya,
dzulhijjah 1424
Alunan
Lembut
alunan kecapi
malam
terdengar
lembut
menyudut
kehalusan irama
berbalut sajak cinta
bicara tentang
mimpi dan harap
gerak menyeruak
menyatru bayang
sendiri
memadu pagi dan
senja
merapat hati
dan rasa
ada alunan
lembut
terkurung musim
pancaroba
terarak ke
relung batin
menyesak
meregang
dengki dan malu
alunan musik
malam
terdengar
kelam, terbenam
*sbt*
palangkaraya,
oktober 2001
Senja
di Pantai Trisik
:
wajah yang selalu kukenang
kegersangan
mengintip sunyi
hamparan pasir
hitam
menjaring panas
sepanjang siang
menyisakan hangat
tersimpan
debur ombak
merayap ke tepi
menghempas
percik air
melabuh buih
putih
mengiring
kepulangan matahari
tersipu di
balik awan
aku bertafakur
menatap
matahari merah
mengingat
seraut wajah
dalam tempias
ombak yang memercik berirama
*sbt*
kulon
progo, September 2002
Wajah-wajah
yang Tersuruk
wajah-wajah
yang tersuruk
melangkah
bimbang menuju terang
aku tak mampu
menatap!
mengais percik
pancaranMu
cerminku
terlampau kotor
sekian ribu
bulan wajah-wajah yang tersuruk
mengurung diri
dalam comberan
: aku lahir
dari tiada menjadi ada
kemudian tiada lagi
berartikah saat jedaku?
aku berasal
dari putih berubah hitam
hitam-putih-hitam-putih-hitam-putih
hitam-putih-hitam-putih…
tak pasti warna
asli
tersembul
cahaya, berseru atas nama kasih
ke sini,
kembali padaKu
angkat wajahmu
hadaplah terang
*sbt*
palangkaraya,
mei 2001
Tentang Agung Catur Prabowo
Agung Catur Prabowo lahir di Tuban, 18 maret 1971.
Pendidikannya F. Kehutanan UGM dan master di Universitas Mulawarman Samarinda
(2003). Sejak 1998 bekerja sebagai PNS di Kantor Dinas Kehutanan Prov.
Kalimantan Tengah. Membina teater “Mentari” SD Muhammadiyah 1 Pahandut,
Palangkaraya. Puisi, cerpen, dan esainya tersebar di berbagai media. Kumpulan
puisinya yang lain: Rambang (2010, bersama Suyitno B. Tamat).
Tentang Suyitno B. Tamat
Suyitno B. Tamat lahir di Pemalang, Maret 1979. Masa SD
dan SMP dilalui di Unit Pemukiman Transmigrasi di daerah Sebangau, Kahayan
Kuala, Kapuas (sekarang masuk Kabupaten Pulang Pisau). Aktif di dunia teater
sebagai pemain, penata setting, penata lampu, penulis lakon dan sutradara.
Karya puisi dan cerpennya tersebar di berbagai media. Kumpulan puisinya yang
lain: Rambang (2010, bersama Agung Catur Prabowo), Sketsa Rindu
(2012, bersama Prokuma). Merupakan seorang jurnalis, yang juga aktif sebagi
Ketua Kelompok Studi Sastra Kalakai (KSSK) Kalteng dan Ketua Forum Lingkar Pena
(FLP) wilayah Kalimantan Tengah.
Catatan Lain
Ada dua pengantar di buku ini, yaitu 2 halaman dari
Rektor Universitas Muhammadiyah (Drs. Bulkani, M.Pd) dan 1 halaman dari Editor
(N. Hadi Kromosetika).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar