Data buku kumpulan puisi
Judul : Dunia Semata
Wayang
Penulis : Iman
Budhi Santosa
Cetakan : I, Juni
2005
Penerbit : Hikayat,
Yogyakarta.
Tebal : xvi + 150
halaman (127 puisi)
ISBN : 979-99845-1-3
Pemeriksa aksara :
Zulaicha Hanum, Kholiq Imron
Desain sampul :
Syamsul Falaq
Tata letak : Rahmat
Janary
Prolog : Emha Ainun
Nadjib
Epilog : Linus
Suryadi AG
Beberapa pilihan puisi Iman Budhi Santosa dalam Dunia Semata Wayang
LELAKI EMPAT PENJURU
Kepada
: ULP
Seorang lelaki Sumba lahir kembali di Jawa
memanggang diri, menggunting alamat pulang
menuntun puisi pandai mengundang
dipikul juga rindu murid berguru
ditantang pula cinta mengusut makna
: Kalian yang suka
bertinju
boleh jadi besar dalam
debu
setelah berulangkali jatuh
bergantung pada sepasang
susu
Maka berteriak ia menuding
setiap penjuru. Mengajak musim
mengumpulkan anak terbawa angin
Dari setumpuk Koran (wajahnya setiap malam)
tak terbayang kapan ini berakhir
Karena senyumnya hanya pertanda
satu sajak menggoda benak penyair
Ia kini
hidupnya ada
di setiap penjuru
empat penjuru
membagi dirinya
medan debat
dan seteru
1974
SEHABIS KUTUTUP PINTU
Sehabis kututup pintu dan terdiam sesaat
hanyalah diriku, segalanya terbenam dalam jiwaku
begitu cepat, atas nama-Mu, atas nama Kesunyian
seluruh kehidupan menyatu, kehidupan dengan
bahasa satu
ketiadaan yang kekal berbunyi: Mu
Di mana hari-hari yang lampau kutinggalkan
kenapa masih juga di sini, membuktikan
nama-nama yang sama di luar pengamatan, kembali
terbit untuk tidak mengecewakan perhitungan zaman
yang telah pasti
Sehabis kututup pintu dan terdiam, sesaat
tampaklah diriku, ada
di mana-mana
di setiap benda
1969
PENATAH BATU DUKUH UDANAWU
Melalui serat batu, ia berkisah
ada celah yang membuat dunia terbelah
Melalui tatah terasah, ia menakar otot palu
mengolah lekuk-liku, getar sukma pertapa
penjaga setua ribuan batu lembah Udanawu
Dengan tangkas mereka membuat cadas-beras
berbicara, batu hitam memasuki dunia
tapi, ia tetap bersila (seperti gunung Perahu)
mengukir hidup serupa meru
menunggu wangsit
dalam kidung yang wingit
seperti pohon randu
menggugurkan daunnya
menyongsong bunga yang segera terbit
1997
KINANTHI BESALEN PANDAI BESI
Kepada tungku, kepada palu
baja sedia bersekolah. Mau berguru
berpijar menakar desis ububan
ikhlas tinggal bahan
kembali pada logam
kembali pada diam
menunggu lekuk-liku ketetapan empu
menuju bangun-bentuk landasan perilaku
“Kuhidupkan kalian lewat air dan api
kubuatkan engkau nama dan manfaat
untuk apa lahir dari besalen ini.
Tapi jelas bukan pedang belati!
Sebab kerabat kami bumi, petani
perang tak terbayang
terhadap belalang serta miang padi
menebang batang pisang, membelah kayu
atau merumput memanjakan sapi,”
bisik Si Tua pelahan
seperti dalang pada jejer pertama
sebuah lakon yang dimainkan ribuan peran
Lima tujuh hari sekali
kendati pasar sepi, desa susut tercuci
masih terdengar kesiur trembesi
senandung kinanthi, kasih pada besi
mendinginkan besalen ini
sebelum lunas retribusi
atas panen dari pundak dan telapak tangannya sendiri
1993
LEGENDA JEMBATAN JAHANAM
Ada pesta di kolong jembatan itu.
Kendang rebana, suara-suara maya
muncul dari karat pilar tuanya.
Rumpun bambu, batu-batu
memantulkan tangis kedasih
setiap menjelang senja
seperti menagih
sesaji darah manusia.
Ada dingin mengajak, dan malam
anggarakasih berselimut kabut basah
menyebar kembang selasih
kesukaan arwah. Tapi sopir tua itu
justru mengalungkan tasbih
melihat gadis berpakaian ronggeng
menari di atas bendul besi
sisi kiri. Sekejap kemudian
hanya ricik sungai yang mengerti
siapakah yang dapat melintas
menemukan cahaya matahari
selain mereka yang ikhlas
meniti jejak Nabi?
1987
SEMALAM DI ASTANA SAPTARENGGA IMOGIRI
Tinggal cungkup setia memayungi
masih saja mendaki bila mendekat
telanjang kaki, sembunyi
di balik seragam abdi kerabat
Tak adakah yang lebih tinggi
dari hamba sahaya
lebih bersahaja dari tahta
menyambut anak-anak zaman yang berbeda?
Padahal Sunan dan Sultan telah bersalaman
dengan jengkerik, dengan burung-burung malam
bersahabat dengan ulat tanah
yang menghabiskan jasad dari sejarah
Aku termenung menyaksikan agathis alba
tirus melengkung, mengepung
Saptarengga, dan warung
menjajakan tikar pelita
semalaman berjaga
menunggu tuah itu menetes
serupa es
membasahi
kerongkongannya
1979
LANGGAR TUA DI PANTAI JUWANA
Azan dan ombak bergandengan
menyongsong malam. Bertahun merangkai
kisah kelapa dan lidi, sambil bertapa
meneruskan hikayat santri
pantai utara pulau Jawa
Papan dan bambu, genting dan kayu
pasir sampai detik waktu
saling berikrar, supaya pantai mendengar
anak-anak mengaji
belajar dan memuji
Di sini Juwana. Angin sejenak reda
laut hilang suara
ketika maghrib mendarat, dan cuaca
menggandeng nelayan-nelayan
berjamaah di bawah lampu minyak temaram
sebelum kembali menjadi ikan
menerima asin garam
rumah kedua
di lautan
1997
KARENA CINTA
Engkau memanggilku dari tahun-tahun yang aman
dari tanah yang betah memelihara rumah papan
dan gurun masih mengisyaratkan hujan
ketika langit semakin tua
mengandung uap musim jagat yang renta
Sepatuh air aku pun mengalir
menawarkan buih, bunga tanah, dan pasir
menghidupkan lumut ganggang
menggamit kalian berani telanjang
mandi sunyi mengurai diri ke berbagai sendang
Serupa kayu aku pun mau
buat pagar atau dibakar. Seumpama lagu
siap dinyanyikan, juga dilupakan
tidak berisik diputar sekali waktu
setelah bertugas menjaga masa lalu
Sahabat, aku datang karena cinta
karena pesan yang tersembunyi di balik kata
sungguh tak membuatku seperti buku tua
1993
MALIOBORO MALAM HARI
Gambar-gambar itu demikian sabar. Menunggu
kita melamar, mendaftarkan potret diri
ke dalam album orang-orang yang sepaham
dengan televisi, dengan keajaiban zaman
dengan halusinasi jutaan anak negeri
Namun pertimbangkan sekali lagi
baik diam atau memasuki
ia tak ubahnya rumah sendiri
menjanjikan kehangatan, misteri-misteri kehidupan
ia adalah altar tempat mimpi dan sesaji dihalalkan
Gambar-gambar tak bercadar datang pergi
samar-samar ada dinding semakin meninggi
seumpama pagar mustahil kalian tak keburu melompati
1991
MELATI BUAT MULTATULI
Lebak membara, tersulut
api nurani Setiabudi
api nurani Setiabudi
Indo yang melawan arus kali
bayonet yang menikam balik dada Kumpeni
Kebetulan saja aku lahir di sana, katanya
sedang kebenaran ada di mana-mana.
Kulit bukan pula cerminan isi
jadi aku memilih terbit terbaca di negeri ini
Jauh mimpi beroleh medali
bersama kertas tinta, buah tangan sastrawi
mati di mana pun pantas. Kapan pun jadi,
lepas potret diri berbingkai emas
lepas terbilang berdiri tanpa alas
pesan pernyataannya terngiang tandas
: Bangsa, kelas, dan ujud
ragawi
jangan ampuni kalau
menindas
jangan
sebut tamu jika menyatu senapas
Menangisi Saijah dan Adinda
Menghidupi Het Tijdchrift serta De Express
Mengobarkan tiga serangkai : Janget Kinatelon
sebongkah salju indah memancarkan putihnya
ke dalam ucap keringat kebangkitan dunia ketiga
Harganya tercurah luhur membatik cinta
Jazadnya terpendam hancur di belahan bumi utara
1982
RATU SELATAN
Sendiri menunggu kegelapan pantai selatan
perempuan laut, lelah batinmu bersampan
lupa tubuhmu tatahan kulit wayang
berbekal sesaji melonjak bintang-bintang
maka jadilah kau Bintang. Maharani perlambang
kerdip sunyi kunang-kunang di batu karang
Meniti liat ligatnya lidah lelaki
kau Pesona. Tembang sejati, smaradahana
timangan jiwa Sang Dyah Pitaloka
yang haus seloka serta lilit kata pujangga
yang menembus pusar lelaki
dan bersemayam di jantungnya
dan yang pupus porak-poranda
di tangan ksatria Mada
Berderap di atas kereta kuda
dikawal tetabuhan tak kasat mata
menjaga bukit lembah tanah Jawa
engkaulah Sang Ratu. Mawar dupa menyambutmu
di setiap pintu. Namun puteri
jangan takuti anak-anak kami
sepulang mengaji mulut mereka sangatlah wangi
di lidahnya masih bergayut tuah shalawat Nabi
1979
PUISI PAGI SEORANG PENGANGGUR
Tuhanku
hari ini tak ada yang tercatat dalam buku
tak ada ruang yang terbaik buat menunggu
tak pernah lagi hari-hari kuhitung
batu-batu lelap menatap
lewat jendela yang terbuka
terdengarlah senantiasa teriakan-teriakan
gemuruh roda-roda kehidupan
yang
digerakkan tangan-tangan
kembali aku pun mengaca pada diri sendiri
ketika Kau tetap bernama Sunyi
ketika segalanya hadir: puisi
Tuhanku
hari ini untuk pertama kali
kuucapkan pada-Mu: Selamat Pagi
sebab ketika hari bulan terus juga memberi
senantiasa aku pun merasa
hidup memang bukan milikku pasti
1969
KISAH DUKUN TUA PEBUKITAN GIRILAYA
Telah kusalami daun srigunggu, tapak liman
dan rumpun katu yang setia menunggu.
Ribuan catatan tertera di sana
serupa akar wangi yang tersimpan dalam almari
memelihara baju bekas dan kain panjang
yang tak dijamah lagi
Dengan jemari keriput, khasiat demi khasiat
dilepaskan ke setiap kiblat.
Dengan mata tak berkabut, diterima segala duka
yang disodorkan ke pangkuannya.
Dengan bersahaja ia mengajak bersaudara
siapapun mencecap daun sembukan
akar lalang, kulit ketapang
biji mahoni, bunga kemangi
menepati janji
mengawal sanak kerabat
yang hidupnya semakin gersang
seperti pebukitan ini
1998
MALAM PASAR LOAK
Orang-orang terjepit, orang-orang bernasib pahit
membuat sempit trotoar, membangun pasar
pada selembar kain yang tergelar.
Sambil menunggu (seperti rambu-rambu)
semua menghadang, semua merasa perlu
karena buku, baju, sepatu yang ditawarkan
hanya sisa masa lalu dan telah dicampakkan
Bersama lampu minyak, puluhan orang mencari
atau menolak. Kadang mencela. Tak ada yang memuji
sebelum menemukan alasan belanja
sebelum jatuh pilihan yang tertunda-tunda
Padahal di balik karat, di balik warna kusam
ada kalimat, ada sisipan dan warisan
yang membuat sejenak bernafas
ketika saku terbatas (pada suatu zaman)
dan ribuan orang menemukan jalan pintas
membangun kerajaan di sepanjang jalan
hanya dengan menuliskan sejumlah angka
dan tanda tangan yang jenaka
pada secarik kertas yang bermahkota
1996
ORANG-ORANG PERCETAKAN
LEWAT TENGAH MALAM
Dengan sabar dan sekaligus pintar
mereka jaga mesin-mesin itu berputar.
Meronda gigi, rol tinta, bunyi suara
takut semuanya berhenti, dan umpatan
menggelegar di telinga. “Ini sarapan pagi
dunia! Mengerti…”
Matanya bahagia. Menyala, biarpun koran
tak mencatat nama mereka.
Hidup dari kencangnya sekrup, bau kertas
berita-berita cerdas, keringatnya memang untuk malam
penanya tangan-tangan cekatan
selebihnya hanya berisik ruangan
hiruk-pikuk tulisan dan iklan
berebut halaman
Menjelang subuh bangunan sepi
koran-koran dibawa pergi
tak terdengar mandor memuji, kecuali dingin
menggamit mereka menambah panjang
hutang di warung kopi
1996
PENGABDI-PENGABDI TAHTA MATARAM
Dengan surjan biru tua, bersila
luluh merawat takzim
sembah sejiwa
seperti belum ingin, Mataram
terkunci sebagai petilasan. Dan paseban
seterusnya angan-angan
Kenapa menyimpang, mengarang
benteng gerbang penjara mati
tombak almanak luntur dalam almari
hingga percaya dongeng, buah kisah pembarang
rendah lelah abdi
bungkuk sepenuh hati
diikat sejengkal tanah magersari
Bagaimana menjawab, sebelum dekat
seperti api dengan asap
seperti cacat dengan sebab?
Sungguh! Hari demi hari mereka ukur
mujur sekecil apa
hanya terkail selama jauh tidur
seumpama tikar saat digelar
dan istana sekadar altar
Sengaja mereka bertapa
di balik surjan biru tua. Seperti huruf Jawa
tak lagi dibaca; tapi berbunyi
sebagai legenda. Serupa catatan kaki
denyut nadi sendiri
rusuk tempat jantung terdengar ada
alamat kita bernaung, berlindung
pada sebuah peta
1993
DUNIA SEMATA WAYANG
Memburu anak semata wayang
rindu berganti ibu
bertarung sungguh demi selendang
sampai tua minta ditunggu
bahu kekar, senyum mawar, selimut beledu
Dulu bocah sekarang bocah
tak sanggup menerima kalah
sebentar berani, sebentar sembunyi
mudah mendekat sukar didekati
karena ia tak beralamat
karena ia tak merasa jahat
meninggalkan kerabat tanpa permisi
segan bersurat di mana berdiri saat ini
Selebar apapun dunia
anak semata wayang, kembali juga
ke kamarnya. Lengang dan laba-laba
lebih dipercaya menetapkan kuburnya nanti
mengatakan sepotong lidi
atau bintang yang nekat masuk atmosfer bumi
1987
EKSEKUSI 1983
Seperti menjerit
ia memberi aba-aba
satu kopi pahit.
Tapi sejam kemudian belum juga disentuhnya,
sibuk berlindung dari bayang-bayang toples
perempuan warung yang kenes, poster dan kalender
dan siang pada gelas es
“Malam nanti, aku mati,” desahnya
dengan nafas amis tembaga
seperti ada jarum, melintang
di tenggorokannya
Lalu ia meremas
selembar uang kertas
membenamkannya ke dalam kopi
Lantas berdiri. “Besok sediakan kopi manis,
ingat, satu kopi manis, di sini
dan hitung hutangku selama ini. Mengerti?!” katanya
sambil menancapkan sangkur telanjang di atas meja
Tiga lelaki berseragam
seperti muncul dari angan-angan
tiba-tiba sudah di pintu
dan berseru: “Jarot, kami diperintahkan menjemputmu!”
1983
BALADA PEREMPUAN-PEREMPUAN TERCINTA
Perempuan-perempuan tercinta memaparkan kasih
tatkala kita berkubang darah
di pangkuannya. Semenjak tarikan nafas pertama
sampai terputusnya ikatan semesta.
Melalui tetak tajamnya kulit bambu
maka jadilah aku, seperti kalian
menangis mendengar suara azan
nyaring dibisikkan pada telinga kanan.
Namun serentak pula terpejam
lantaran setetes madu, puting susu
serta kehangatan selimut beledu
seia-sekata menyatakan ada sorga
di bawah telapak kaki perempuan
yang melahirkan kita
Perempuan-perempuan perkasa, berputar
bagaikan jentera. Liat lenturnya
ibarat benang-benang sutera.
Matahari di kepala, bayi merah di punggungnya
Tangannya menari, menyelinap di antara bulir padi
dengan kinanthi mempersembahkan puji
bagi Sang Hyang Seri. Dengan dhandhanggula
Siap menidurkan para lelaki, menggoyang
dangau bambu menjadi seakan beralaskan permadani.
Demikianlah. Ia adalah permaisuri
penyambung rusuk kita kanan kiri
adalah pundi-pundi tempat menyimpan
sejumlah arti. Menjadi bunga
waktu menerima tamu di beranda
menjadi gerimis
di tengah kemarau lama. Garam
bagi kehidupan
gemercik sungai malam hari. Orang pertama
yang bakal menangis, meratapi
manakala kita kembali ke sisi Illahi
Perempuan-perempuan cendekia, memahami luka
lewat gigitan selendang yang terselempang
di pundaknya, terali besi yang tersembunyi
di balik kain kebaya, berates tahun
menjadikannya perhiasan semata. Sesekali
terpakai ikut menyemarakkan upacara
selesai itu tempatnya kembali ke dasar
kotak kayu cendana. Bercampur bau setanggi
tombak dan keris pusaka. Sampai matahari
menghantarkan pagi, satu persatu mereka pun
bangikit dari mimpi. Satu persatu berkeramas
membersihkan diri. Satu persatu berpencar
mengikuti kelapak sayap merpati
melesat mengungkap rahasia langit dan matahari
agar ilmu Tuhan segera menyentuh bumi
agar kata dan angka saling melengkapi
seperti Bima dan Arimbi
seperti Pergiwa dan Pergiwati
Perempuan-perempuan terpana, menganggap Sinta
telah mati di hutan Dandaka. Menuduh Subadra
biang keladi pemberhalaan
terhadap kejantanan serta kharisma
sehabis malapetaka Anjani melahirkan kera
kemudian menyusul Kunthi harus menimang Basukarna
meski ada yang meniru Banowati
malam-malam melompati jendela
pura-pura tertegun mendengar Drupadi
menjatuhkan punagi keramas menggunakan
darahnya Dursasana. Walau sebenarnya mengerti
semuanya tak pernah ada. Kecuali Kartini
atau Sartika. Atau Maria. Atau Khadijah
atau Aisyah. Hanya satu atau dua yang patut
dan bernilai sejarah.
Selebihnya hanyalah rumput
namun mulia, apabila berpaut
menutup kegersangan jiwa kita yang papa.
Rumah sejati bagi para khalifah
selama cintanya terbukti dan menjadi sedarah
biarkan batinnya menari
sesekali kita merendah. Biarkan pula raganya
mencari bunga yang paling wangi untuk istirah
semacam keheningan lembah. Biar di hatinya
hanya ada seorang lelaki boleh berkemah
1985
TENTANG TRAGEDI ORANG-ORANG YANG MENGGANTUNG DI PEDALAMAN
WONOSARI
Dengan seutas tali ia membuang sisa kata
dari lidahnya. Menyerahkan leher terjerat
pada dahan akasia, teritis rumah
atau pekarangan sunyi tak terjaga.
Tak ada secarik kertas, pesan selintas
mengapa memilih tercekik
terbeliak dan kalah?
“Bumi tak memberikan tempat. Duka pun juga
tak menyiapkan air mata untuk memandikan jazadnya.
Tanggal dan hari hanya mencatat
ketika tetangga kerabat enggan merawat
ketika doa dan upacara seperti numpang lewat,”
kata orang-orang tua menyampaikan fatwa lama.
Tapi, sepanjang hari, bulan, dan tahun
diam-diam mereka malah antri, susul-menyusul
peduli kayu batu mengumpat, mencerca
kutu serangga menonton dan terpana
bersyukur tak memiliki tangan jahat
yang begitu kejam dan merdeka
1996
Tentang Iman Budhi Santosa
Iman Budhi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948.
Pendidikan formalnya S.Pb.M.A (1968) dan Akademi Farming (1983). Pernah bekerja
di perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dan Disbun Prov. Dati I Jateng
(1975-1987). Tahun 1969 bersama Undu Landu Paranggi cs. Mendirikan Persada
Studi Klub (PSK). Esainya: Senandung Rumah Ibu (1983), Profesi Wong
Cilik (1999), Kalakanji (2003), Kisah Polah Tingkah (2001).
Kumpulan puisinya: Tiga Bayangan (1970), Dunia Semata Wayang (1996), Matahari-matahari
Kecil (2004). Novelnya: Barong Kertapati (1976), Ranjang Tiga
Bunga (1975), Dorodasih (2002). Kumpulan cerpen: Kalimantang
(2003). Lainnya: Talipati (features/kisah, 2003).
Catatan Lain
Kata Linus dalam epilog: “Fokus utama pergulatan penyair
ini memang mengolah nasib dari tangan Sang Nasib. Hampir semua tema dalam
kumpulan puisi ini berbicara dan menerjemahkan ragam nasib hidup manusia. Bila
tidak cukup dengan ungkapan langsung dalam aku-lirik penyair ketika menghadapi
nasib hidupnya, ia pun suka melakukan identifikasi terhadap nasib banyak orang.
Sidang pembaca diajak menyelami nasib banyak orang dari berbagai tingkat
sosial, berbagai bidang profesi dan berbagai predikat hidup, berkat kesediaan
penyair ini merasuki nasib dan situasi batin banyak orang itu.” (halaman 145).
Adapun
Emha menulis begini: “Di Persada Studi Klub Umbu ‘menggendam’ kami untuk
berpacu setiap detik, siang dan malam, saat terjaga maupun dalam tidur. Kami
membawa keriuhrendahan dunia puisi, juga kesunyian, sampai ke sudut-sudut mimpi
yang paling abstrak.//Kecintaan dan kemabukan dalam puisi merupakan titik berat
kehidupan kami. Puisi lebih utama dibanding negara, tentara, universitas, atau
segala macam kesibukan dan benda-benda yang berseliweran sedahsyat apapun di
sekitar kami.//Setiap kali nongol dari Jalan Pasarkembang ke ujung utara
Malioboro sekitar jam 21.00 malam, tangan Iman Budhi Santosa selalu menenteng
buku tulis yang berkulit tebal. Sesudah bersapaan dan mengobrol, biasanya ia
lantas menyodorkan buku itu kepada Umbu. Sudah pasti, lembaran-lembaran buku
itu semakin hari semakin dipenuhi oleh karya demi karya sajak Iman Budhi
Santosa. Betapa cemburunya saya. Si Iman baru menengokkan ke arah Umbu saja
saya sudah merasa ditinggalkannya setahun. Ia terus menulis puisi dan menulis
puisi. Ia memeras hari-harinya dengan penghayatan hidup dan kesetiaan poetika.”
(halaman viii-ix).
Awalnya
saya ingin percaya dengan keterangan Linus dalam epilog bahwa buku ini
menyajikan 90 judul puisi. (lihat halaman 141). Namun akhirnya saya hitung juga
daftar isi dan menemukan 127 puisi. Mendapat jawaban ketika dalam biografi
penyair dikatakan bahwa Dunia Semata Wayang memiliki tahun terbit 1996.
Kemungkinannya, buku ini telah mengalami metamorfosis dan terbit kembali dengan
penambahan beberapa puisi baru. Dan kita pun tahu bahwa Linus menandai
tulisannya itu dengan tempat dan tanggal: Kadisobo, 1 Februari 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar