Data buku kumpulan puisi
Judul : Suara Tanah
Asal
Penulis : Muhammad
Daffa
Cetakan : I, Juni
2018
Penerbit : Teras
Budaya, Jakarta Selatan.
Tebal : viii + 76
halaman (70 puisi)
ISBN : 978-602-5780-07-3
Desain cover : Teras
Budaya Art
Pengantar : Remmy
Novaris DM
Sepilihan puisi Muhammad Daffa dalam Suara Tanah Asal
CERITA DAUN
“daun-daun tak pernah membosankan untuk sekadar bercerita”
“seperti dua kuntum mawar di sebuah pagi, mekar atas dunia”
2017
DELAPAN SAJAK YANG ENGGAN MENYATUKAN
“Akulah sajak, yang tak gampang disatukan. Seseorang akan
menulisku lagi dalam halaman lain
Dua hari dari sekarang.”
“Tapi aku penyair, dan delapan pijak majas sudah kudapatkan demi
mengubahmu jadi sajak.”
“Akulah sajak, yang menantikan halaman lain membuka diri. Bukan
padamu tempatku menjadi.”
“Tapi aku melankolia, yang mudah memutuskan rindu dan sekelumit
cinta masa muda.”
“Sajak-sajakku yang tak pernah bisa selesai, dengarlah niatanku
menyelesaikanmu.”
2017
DOA PERGI KE KOTA
“Jalan ke kotamu sangat berbahaya karena surga tidak pernah terbit
di langitnya”
Papan peringatan di sebuah tepi jalan raya memanduku untuk
membaca sekilas aturan
Pejalan kaki bermata setengah rabun ikut membacanya meski mereka
hanya paham sedikit
Dari apa yang tertera di tiap-tiap bagian aturan.
Surga pernah ada dan terbit di kotamu yang berbahaya, tetapi lenyap
sebelum dosa berkembang
Menjadi pedoman kaum yang durhaka pada kepulangan akhir.
Surga tidak pernah ada di kota, nyalanya diciptakan dari doa
orang-orang patuh
Orang-orang yang pandai merayu tuhan dalam senyap dinihari
Ketika seruan terbit dari langit
Dan kebisuan malam jadi alasan untuk bercakap dengan pecah sunyi
Surga tidak pernah tergambar dalam jejak dosa
Nyalanya bermula dari doa orang-orang patuh
2017
BERTANYA KABAR BUNGA
Di atas kata-kata, sepasang kekasih bisa saling bertukar nama
Pada matamu: riak ombak tenang bermalam
Sebelum tuhan datang dengan sengaja, mengucilkannya dari sana
Atau malah membiarkannya tetap setia pada bola mata
Apa kabarmu, bunga-bunga? Kita saling bertanya pada dua mawar
di halaman
Gerimis turun melapangkan langit dari kemurungan
Tak ada jawab, selain selembar daun yang jatuh ke tanah.
Mungkin bunga-bunga lupa menjawab salam
Ucapan takzim sejoli muda, tergoda menjalin rasa.
Kita tak seharusnya mempertanyakan kabar pada bunga-bunga, kelak
mereka bisa cemburu
Mengutuk dengan doa yang tak kunjung bisa dipahami manusia
2017
DALAM PUISI
Dalam puisi, aku mencari ruang paling akrab merangkum sunyi
Melapangkan jalan yang terkurung keramaian
Dalam puisi, aku menyusuri cinta yang masih sendiri
Melapangkan hatinya yang bermuram
Dengan puisi, aku menemukan halaman lain tentang cinta yang hidup.
2017
CINTA YANG SABAR
Cinta yang sabar, demikian seorang penyair pernah berkata, di suatu
hari yang tak tersentuh duka cita.
“Yang tak kukenal dari kesabaran mencintai adalah kerinduan yang
dalam.”
Adakah kau tahu jika rindu tak selamanya dalam, dan cinta tak
selamanya mampu bersabar menunggu jawaban?
2017
SEPASANG KEKASIH
Hari itu minggu, hari terbaik memulai bicara. Sebelum kau
menghapus namaku dengan tega. Tapi pagi tak mengantar kita
bertemu, maka kuputuskan menemuimu di pertengahan senja. Senja
yang manis, yang tak membiarkan kegugupanmu mengganggu.
Kita saling menduga pertanyaan paling mula, begitu kata-katamu
terucap, lirih, menyerupai bisik, “pada pelukmu, seluruh kegugupan sirna.”
Siapa yang lebih dulu datang sebelum kita bertemu? Hari hanya
bayang. Dan cinta bukan sesuatu yang mudah digambarkan.
Lusa akan datang sebagai awal baru dari cerita. Kita tak berhak
memberinya nama.
2017
IA MENANAM DOA, PENGHUJUNG MALAM ITU
Ia menanam doa, penghujung malam itu. Sebelum lusa yang perih
datang sebagai awal perang.
Ia berharap doa melayang-layang jauh ke angkasa, agar Tuhan
mendengarnya dalam pilu yang setengah erang
Sobekan semangat yang semalam telanjur rapuh kembali
ditautkannya, bersama doa
Ia ingin jadi penghapus segala dendam yang diawetkan tuan-tuan
terhadap kaum jelata.
2017
MUASAL DAUN JATUH
Daun yang jatuh kala pagi telah sempurna terjaga
Berawal dari gesek angin di dahan-dahan
Lalu ia membiarkan dirinya sendiri terombang-ambing pedestrian
dan banyak pejalan kaki
Daun yang jatuh kala pagi tengah sempurna terjaga
Bermula dari angin yang hinggap di dahan-dahan
Lalu ia membiarkan dirinya sendiri terombang-ambing pejalan kaki
2017
MENJEMPUT HUJAN
Ia ingin tidur di dalam hujan yang tenang
Membaringkan tubuhnya pada sisi dingin yang selalu dinantikan
Lalu mencari sisa ingatan yang kemarin hilang dari pikirannya,
pertengahan malam.
Tapi hujan tak selalu menyimpan kenang-kenangan
Juga sisi dingin yang dinantikan
Suatu hari, hujan turun dengan lebatnya, membawa ingatan dalam
derai tak sudah
Seorang pria tua bergegas berlari ke arah lapangan yang kosong dari
pemain bola
Lalu menyanyi dengan suara yang parau, katanya, “hujan, hujanku
yang dingin
Bawa aku ke dalam sisi dingin yang lain selain ini.”
Hujan tak mendengarnya
Sisi dingin yang lain bukanlah tujuan hujan datang ke lapangan petang itu.
Pria tua yang bergegas menjemput hujan hanya untuk mencari dingin
yang lain itu pun kecewa
Memaki angin sejadi-jadinya, membuang bekas puntung rokoknya ke
rerumputan, lalu maut menyambarnya—karena pulang adalah jalan
terbaik bagi seorang pencaci
Ia menantikan hujan turun dengan lebatnya
Membawa ingatan dan cerita ajal seorang pria tua
Pemaki paling berani yang pernah ada
2017
WARUNG KOPI TENGAH KOTA
(1)
Apa yang kau ketahui tentang warkop, cintaku yang manja?
Mungkin lelucon dan kabar burung tentang politik, juga
perselingkuhan seorang pejabat Negara
(2)
Bagaimana kau bisa mengatakan itu, sedangkan kau sendiri tak
pernah hadir di warung itu?
Di warung ini, setiap minggunya hanya diisi sekumpulan tawa yang
berderau-derau
Lalu maghrib membubarkan mereka seperti aparat yang bertugas
(3)
Memang, warung kopi tak selalu menawarkan faedah, cintaku yang
manja
Tapi setidaknya kau bisa tahu lelucon apa yang sedang hangat
Menjadi bincang-bincang di negeri ini
(4)
Apa yang kau ketahui tentang warkop, cintaku yang manja?
Tempat semayamnya sekumpulan pembual, dan beberapa kartu yang
tergeletak pasi
Di tengah papan catur yang selalu berdiam diri.
(5)
Bagaimana kau bisa mengatakan itu, sedangkan dirimu pun hanya
bermalam dalam kenangan bertambal sulam?
Cintaku yang manja, yang bisa kau bayangkan dari warung kopi
hanyalah ceritaku kerap datang di kuburmu, di suatu libur yang
mengasyikkan para pekerja.
2017
AGUSTUS HUJAN
Agustus tak pernah membeda-bedakan
Mana tangis bocah yang lapar
Dan tangis seorang ibu dalam berdoa
Agustus tak juga membedakan
Mana musim yang mencintai hujan
Dan musim yang menjual rindu
Agustus bagimu penuh dengan hujan
Semalaman merayap di pekarangan rumahmu, membuat kabel putus
Dan gangguan koneksi di udara
Agustus dalam hujan kali ini membuatmu sadar jika yang jatuh dari
langit tak selamanya berarti kemurungan
2017
HIKAYAT DI TULANG BAWANG
Si putri jelita mendengar buaya itu berkata, di tepi senja menguning
dan tua,
“kita adalah penunggu yang menanti-nanti daratan menyungai pada
akhirnya.”
Apa yang terlepas dari semesta rambutmu, ketika buaya itu berbisik,
dengan suara
Parau sekaligus penuh gema. Memantul di tebing-tebing sungai.
Ia mendengar air tumpah ke atas, setelah buaya yang lata mengeja
kata-kata dengan terbata.
kata-kata dengan terbata.
“ini rindu, kuciptakan dengan hati sendiri yang jeram atas pikat.”
Si putri jelita mendengar kata terakhir pada lakon, sebelum segalanya
berakhir
Layaknya tragedi yang mengiring dengan pasrah.
“Sesungai hati yang bimbang lagi penuh rindu,
Di benakmu akan bermalam segala cerita yang pernah ada.”
Buaya yang raja segera menyingkir ke tepian senja yang tua,
Sementara Puan yang jelita berbalik meninggalkan sungai yang jelata.
“ahai, cinta yang tak bisa bersama, kapan lagi dapat kita berjumpa?”
Si putri jelita terus menunggu, tapi buaya yang menginginkannya jadi pujaan
Tak pernah bisa tiba. Demikianlah cerita ini mesti bertapa ke dalam
seribu rahasia.
2017
MATAMU MATA AIR
Matamu adalah mata air yang sanggup menampung air mata seorang
perempuan yang senantiasa terjaga pada kesedihannya
Matamu adalah mata air yang membuka diri bagi siapa saja yang
merasa dirinya mengembara
Dan lelah di simpang menuju rindu lain
Matamu: mata air
Yang sabar menampung air mata seorang perempuan yang kemarin
malam rapuh atas jalan nasibnya
Kelak waktu jika ada yang bertanya mengapa matamu mata air yang
tak pernah mau dahaga,
Kujawab dengan teguh, sebab mata air di matamu adalah kejernihan
yang tak bisa nestapa
2017
MENDENGAR LAUT
Laut itu terlalu rahasia menyimpan riaknya
Matahari turun mengikuti bayang malam yang mendarat pelan ketika
magrib jatuh
Seorang mencoba berbisik, di tepi yang menepis hujan turun, berkata
pada ombak,
“di pesisir ini, tak ada gemuruh yang lebih tenang selain laut yang kita
bayangkan murung”
Sesekali, kilat lepas, dan menyambar tengah pantai yang muram dari
pendatang
Di laut ini, keramaian jadi sesuatu yang sangat asing. Dan satu mimpi
yang mengganggumu
Hampir membuat sepasang mata dan ingatan pejam terhadap ihwal
baru di luar kita.
2017
MATA YANG TERJAGA
Tengah malam aku terjaga dan yang kuingat darimu hanya sepasang
mata dan jemari dingin menggenggam telapak tanganku.
Ketika terjaga, yang kubayangkan darimu adalah kemurungan kerap
mengalir pada pipi dan liku dunia tergambar di bola mata
2017
DZIKIR LAUT
Tuhanku yang dekat, jika doaku adalah suatu upaya memikat
kemarau bertamu
Beri aku karunia untuk memanggilnya datang.
Aku tak ingin selamanya sabar,
Sepasang manusia yang lupa diri telah mengerukku hingga ke dasar.
Kedalamanku tak lagi rumah bagi ikan-ikan yang mencari ruang istirah
Dan cahaya pagi yang biasa menembusku tak lagi mampu
menghujam dasar
Tuhanku yang dekat, jika hatiku telanjur padamu semata pikat
Beri aku karunia untuk mengeringkan diri sementara waktu
Manusia banyak yang lupa diri dan terlalu mengharap pada titah penguasa
2017
Tentang
Muhammad Daffa
Muhammad Daffa lahir di Banjarbaru, 25 Februari 1999. Saat ini menjadi
mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Surabaya. Puisinya
tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Tahun 2012-2013
mengikuti kelas menulis di Bangku Panjang Minggu Raya, Banjarbaru, melalui
metode “tulisan berpindah tangan” dengan mentor Ali Syamsudin Arsi. Juara 1
cipta puisi FLS2N tingkat kota Banjarbaru dan Provinsi Kalimantan Selatan
(2016). Kumpulan puisinya yang pertama: Talkin (Teras Budaya, Jakarta,
2016).
Catatan lain
Dalam pengantar sependek 2 halaman, Remmy Novaris DM, ada menyinggung
pengaruh geografis dalam cara pandang seorang penulis pada kerja kreatifnya.
“Dengan pergeseran geografis ini, membuat penulis mendapatkan kekayaan tematik
pada puisi-puisinya. Meskipun pada sisi yang lain, sedikit menggoyahkan
konsistensi kreatifnya yang sudah dimiliki sebelumnya” (hlm. iv).
Awalnya
saya merasa terlalu banyak menemukan kata “murung” atau “muram” dalam
puisi-puisi Daffa. Dan iseng menggunakan fasilitas pencarian kata (search, Ctrl
+ F) dan menemukan bahwa kata “murung” hanya ditulis 4 kali dan “muram” cuma 2
kali dalam puisi Daffa yang saya pilih. Artinya tak cukup banyak. Tapi secara
subyektif pilihan kata tersebut bagi saya cukup menekan dan menimbulkan kecurigaan.
Sebagai strategi adaptasi pergeseran geografis, tentu saja, seperti kebanyakan
orang rantauan yang tercebur dalam sisi melankolik. Mungkin seperti yang dulu
pernah saya alami. Mungkin. Tapi tak tahu saya seperti apa sebenarnya. Hanya
dugaan.
The originality of this work does not end only with the title, since you have a lot of surprising things in the work itself.
BalasHapusقیمت کابل فیبر نوری
BalasHapusTunggu buku puisi ketiga ulun, pak. Insya Allah terbit tahun ini("Catatan Dari Pekarangan Acak")😁
BalasHapus