Senin, 22 Oktober 2018

Yahya Andi Saputra: JAMPE SAYUR ASEM



Data buku kumpulan puisi

Judul : Jampe Sayur Asem
Penulis : Yahya Andi Saputra
Cetakan : I, Desember 2017
Penerbit : Kosa Kata Kita, Jakarta.
Tebal : xviii + 108 halaman (86 puisi)
ISBN : 978-602-6447-43-2
Perancang sampul : Rujiyanto
Penata letak : Irman Nugraha
Supervisi penerbitan : Kurniawan Junaedhie
Pengantar : Heryus Saputro Samhudi (Fantasi Puitika Anak Betawi)

Jampe Sayur Asem terdiri atas 2 bagian, yaitu Bagian Pertama, Anak-anak Marunda Pulo (40 puisi) dan Bagian Kedua, Anak-anak yang Kehilangan Rumah (46 puisi)

Sepilihan puisi Yahya Andi Saputra dalam Jampe Sayur Asem

JAMPE SAYUR ASEM
:via alviandra

Emak nyiangin sayuran
Katanya mao nyayur asem
Papaya dikupas diiris wajik
Kacang panjang daon ninjo dirawis
Nangka muda dipotong lonjong
Jagung satu dipotong tiga
Ada lengkuas serta asem jawa
Gula merah disiapkan juga
Emak menyiapkan cobek
Memasukkan cabai merah bawang merah
Bawang putih kemiri terasi dan garam secukupnya
Semua diulek dihaluskan
Panci berisi air sudah mendidih
Emak masukkan bumbu halus
Lalu buah ninjo papaya nagka jagug kacang panjang
Barulah menyusul gula jawa dan asem
Air di panci bergolak mendidih
Emak tiada henti rapal mantra
Aring uwung awang-awang
Daon dadap daon bisoro
Angeng cieung kurang bawang
Nyerodot dipati koro
Arereeeh…
Duh…emak! Ni dia rupanya
Sayur asemmu tiada duanya

Jakarta, 10 Agustus 2017


RAWA BANGKE
: ahmad syaropi

Yang kuceritakan kemarin adalah flamboyan tua
Di musim kemarau ringkih renta

Ribuan perhentian yang kau singgahi
Justeru menyingkirkanmu ke tepi
Berserakan tajam kerikil dan ujung duri

Kolam dan danau bahkan sumur kehabisan air
Dan kau dahaga tanpa akhir
Tetapi yang kuceritakan ini
Diriku sendiri
Taman dan bunga-bunga mati

Jakarta, 9.10.2016

* Saat ini tidak ada lagi Rawa Bangke, diganti namanya jadi Rawa Bunga (Jatinegara, Jakarta Timur). Nama itu muncul pada sama penjajahan Inggris. Menurut cerita rakyat, awal tahun 1811, waktu pasukan Inggris berusaha merebut Batavia dari Belanda, terjadi pertempuran sengit di Jatinegara (waktu itu namanya Meester Cornelis), tidak sedikit prajurit tewas. Mayatnya bergelimpangan di rawa. Dikenallah tempat itu Rawa Bangke.



ONDEL-ONDEL
: haji habiburrahman

Dahulu namaku Barungan lantaran bersama berjalan
tiada pamrih, aku berwajah hitam atau merah atau
putih, beruntun ribuan tahun perih dan rintih,
telikung jaman dalam langkah tertatih, rongrongan
yang menjadikan hidup kian ringkih, sepanjang laluan
dalam pendaran putih, alam yang menghitamkan
putih menjelaga terima kasih.
Kami pasangan siang malam langit bumi gaib nyata,
kekuatan leluhur dan segala yang ada, penjaga
martabat semesta manusia, teronggok telungkup pada
zaman gempita gulita, tiada dinista hanya digembala
hingga tua renta.
Ketika kami bersama bumi memanja menjaga petani,
segala tanaman berbunga penuh buah tiada henti, ubi
umbi terutama padi mempesolek diri, segala binatang
melata berjalan juga yang terbang riang bagai menari,
begitu padu saling memberi melindungi.
Siapa yang menoleh yang menyapa yang merangkul
berhati riang, hanya bocah berjingkrak bergoyang
riang, selebihnya aku tiada henti diterjang dikemplang,
sering dipentang dikhitan atau divermak supaya
tandang, agar diterima semua orang.

Jakarta, 10 oktober 2017


MENGENANG SELENDANG MAYANG
: hj. annisa ds

Aku mengenang kamu berkunang-kunang
saat pendar cahaya mengapung membubung
bagaikan galur melengkung supaya lembayung.
Kamu mengajak melambung dan aku tersanjung
dimanjakan ragam harum bunga gulung-bergulung

Berulang kuyakinkan hati betapa cantiknya kamu
melebihi bidadari yang agung
terutama ketika matahari membakar tempurung.
Aku mendengar riwayatmu
sagu dan hunkwe dilengkapi garam
ditingkah warna putih, hijau, merah

Melintang di loyang
sebentar saja timbul tenggelam di mangkok
bersama sirup gula aren harum daun pandan
senyum sejuk segarmu mengikat tiada lekang
Kini kamu melintas selayang pandang
Kelabu kukenang selendang mayang

Jakarta, 5 Agustus 2017


LUKISAN JAN PIETERZOON COEN
: sarnadi adam

I
Tak ada isyarat cinta
Sesaat saja
Aku laksana berkemeja hitam
Cakrawala amat pekat jadinya

Singkat saja kata-katanya
Tapi jantungku tak kuat
Menahan hunjamannya
Bibirku menggigil biru
Matamu mencocok dua mataku

II
Wajah dinginnya jadi lembab
Menyelimuti hatiku menggigil
Siang malam
Tiada tanda hanya kelam hitam

Aku ingin biaca kepadamu
Matahari, rembulan, gemintang
Agar kau menjadi yakin
Bahwa aku memutuskan pembicaraan

Jakarta, 27.3.2016


NYAI DASIMA

Ada tenda, janur, bunga-bunga
Sepasang merpati terbang mengelana
Lepas ke dunianya yang luang lega
Berpasang mata bersaksi memandang bahagia
Sayap-sayap kecilnya mengembang purnama
Keindahan mulai terpampang di cakrawala
Ada upacara
Rahasia bahagia
Tapi siapa kamu yang sesungguhnya?

Jakarta, 2.2.2016


PECAK GABUS

Banyu-banyu buru-buru
Pating jelepat kuat-kuat
Biar kelebu bawa bubu
Abisnya itu kalangkabut
Sajenan ngelem iketin bangbu
Ujungnya adem pada ngerubut
But… but… but… sirabut
Kut… kut… kut… ngikut
Srut… sret… srut… nyangkut

Seekor gabus menggelepar di ujung kail
Mantera Nabi Sulaiman membuatnya ngintil
Meski ngegoser habis tenaga buat mentil
Perempuan di rumah sudah tau hasil
Sigra bebenah siapin bumbu
Pecak bening pastilah seru
Asah pisau sambil menunggu
Gabus ditenteng terburu-buru
Digoreng boleh dibakar
Bawang merah jahe disangrai saja
Cabe rawit merah garam dan gula
Jeruk nipis pun limo sudahlah tentu
Rebus air masukkan bumbu-bumbu
Biarkan mendidih terlebih dulu
Peras jeruk limo agar bersatu
Rasa jitu nomor satu
Gabus menggelegak menyerap bumbu
Kau mengerti itu untukmu

Jakarta, 3 Agustus 2017


SENJA MUARA ANGKE
: h. alex kamaluddin

Tak kuasa surya membuka jelaga
wajah-wajah mengeriput pucat
bergegas mengejar alamat
sesudah langkah hanya gundah dan resah.
Senja jadi legam
berkelindan angin dan gerimis mengeram
tiada yang bisa digenggam.
Di aspal basah kaki melangkah goyah
luruh menjadi desah.
Aku di senja bersama gerimis di lindap cahaya
tak hanya luka yang menganga

Jakarta, 28.4.2016


ANAK-ANAK MARUNDA PULO
: suaeb mahbub

Jala, kepis, bau amis, pasir dan ombak
Camar dan anak-anak menjilat air laut
Tetapi aku kembali ke pantai
Bersama gerimis dan kelabu angkasa
Geriak ombak hilang nyawa hampa dan sia-sia
Tatkala pantai benar telah gelap
Aku masih bertahan menunggu tak berkesudahan
Menghitung pasir dalam pekat sendirian

Kembali ke Marunda Pulo
Tak ada yang ingin kutulis
Kata-kata sekedar cerita
Yang hilang guna dan makna
Masih inginkah kau bicara
Sudah sejauh ini menduga
Perasaanku kerap bercerita
Dengan angan dan isyarat nestapa
Yang entah dimengerti siapa
Aku menjadi kalimat kusut
Buku yang kau campakkan
Kau lebih banyak menulis di dalamnya

Jakarta, 19.4.2016


MENARA SYAHBANDAR
m. fauzi

Daun menguning diterpa angin luruh
Tanpa daya jatuh membawa keluh
Pengemis tua itu mengais sampah
Sepanjang hari gersang kumuh
Aku mengikutimu ziarah dan pasrah

Jakarta, 7.2.2016


PRASASTI TUGU
: edo quiko

Harus kukenali lagi angka-angka
Menghitung perkalian bilangan murni
Menambah membagi atau mengurangi

Harus kuhafal huruf-huruf
Merangkai kalimat yang dimengerti
Membedakan vocal konsonan dan intonasi

Harus kumulai lagi dan lagi
Menapaki jalan dan anak tanggal
Sementara jarak, alangkah tak terduga

Siapa yang kemudian berpesta
Sapi-sapi disembelih bagi brahmana
Supaya maharaja lelap di singgasana

Jakarta, 26.1.2016


KOTA YANG MENUNGGU
: rusdi saleh

I - Pasar Pagi
aku menunggumu dari waktu ke waktu
jemu dan ragu pun pilu menyerbu
dan kau hanya batu merawat bisu

akulah rumah yang lama terbuka
pintu dan jendelanya kau pandangi saja
ruang berdebu dan sarang laba-laba

akulah kota yang pasrah menerima
ingin kupeluk semua yang ada
tak peduli begaimanapun rasanya

sesungguhnya:
akulah dirimu
kau campakkan dengan seribu pilu

II - Candranaya
Deritamu kusapa jua
yang melukiskan dua dunia
ketika ada dan tiada

betapa lapang cakrawala
kaki langit memfatamorgana
luruh di ambang senja

kau dekap sang waktu
tatkala hari sempit berbatu
di tepi air mata aku berdiri kaku

III - Cikini Gondangdia
Tak pernah lagi kudengar kidungmu
Seluruh gubah madahmu patah
Hening mencekam merambah seisi hati
Dan aku ibarat taman pekuburan dini hari

Sunggu pernah tembangmu sejuk sepoi
Semilir segar simfoni sejati
Rekah merebak aroma bunga warna-warni
Kita pun lebur dalam paduan asri serasi

Tetapi entah musim berbalik arah
Syairmu sumbang membadai gelisah
Ketus lantang garang berlapis amarah
Telingaku berdarah bersimbah-simbah

Jakarta, 25.1.2017


PADRAO

Syairku: haru!
Sejurus bersama awan kelabu
Musim hujan yang bersekutu

Syairku buram aspal basah
Napas riangnya penuh desah
Tumpah dalam desing gelisah

Syairku gumpalan ruwet aorta
Di lingkup bayang mata buta
: biarkan dia bangun sendiri kerajaannya

Aku hanya ingin bersamamu
Mencari muasal haru

Jakarta, 14.1.2016

* Pada 1521 Kerajaan Pajajaran membuat perjanjian dengan Portugis. Perjanjian itu dipahat pada batu yang dinamakan Padrao. Dalam perjanjian itu Portugis diberikan hak untuk membangun loji di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa. Loji adalah perkantoran dan perumahan yang dilengkapi dengan bangunan benteng. Pajajaran mendapat upeti dan bantuan keamanan dari Portugis. Perjanjian itu membuat marah Kesultanan Islam Demak.


PASAR IKAN
: h. eddie m. nalapraya

sedang kau di sini
masih saja mencoba
memecahkan teka-teki
yang muncul senantiasa
setiap detik dan hari
yang satu demi satu
diam-diam melupakanmu
sampai kau rebah sendiri

Jakarta, 15.12.2016


AKAR
: kojek

Nada irama hentak menggertak ritmis
dengungnya melebihi desing peluru
atawa kibas kilat dalam ribut badai.
Aku tidak sekadar hanyut pada arus perkusi
atawa rampak dentum gendang bertalu
bersenyawa dengan melodi elektronika.
Kulihat kamu tenggelam.
Jampe dirapal si rambut gimbal
menguar bebatuan hutan
saat induk satwa memanggil anaknya.
Rombongan pencari kayu bakar atawa pakan ternak
heran mendapati angin puyuh yang tiba-tiba.
Senja disusul malam
Aku mencoba berpegangan pada akar.

Jakarta, 6 Mei 2017


TIGA SAJAK HUJAN

1/
aku membayangkan hujan enggan berkesudahan
sehingga airnya berpencaran ke segenap belahan
lembar demi lembar selimut hujan berlapis-lapisan
bumi aman tenteram dalam bungkusan
biarkan hujan menggenapkan kehidupan

2/
ada yang tiada henti melangakh
meski tertatih letih perih
hanya suara leluhur menghablur lirih
mengikutimu terus mengikutimu
meski belum tentu ketemu titik temu
ujung hanya permulaan baru
jibaku sepanjang ulur waktu
hujan hanya mengisyaratkan kelu
kau aku bukan bisu

3/
tak ada yang memintamu bergegas
sebagaimana biasa aku melintas
pada rintik yang kemudian menderas
hujan bebas tanpa batas
hujan dalam tarikan napas
selalu indah manakala hujan
penuh kejutan berserakan
sore saat hujan sesudah hujan
siapa yang memintamu bertahan

Jakarta, 24 Februari 2017


BELANTARA JAKARTA DARI MENARA
: cd di kota tua

1
Kembali dari aorta belantara
Gunung, gelombang, dan jurang menganga
Aku terperangah di tengah kota
Tersesat dalam jerat fatamorgana
Anatara ada atau mengada-ada
Kepada siapa mesti bertanya
Jika semua orang tergesa-gesa
Laksana singa mengincar mangsa
Di tengah kota dengan aum manusia
Kengerian bersipongah si rajamurka

2
Aku mencoba dewasa
Mengenali rupa demi rupa
Tetapi aku asing di dalamnya
:hari berangkat senja

Aku berusaha mengenalimu
Berhari-hari berwaktu-waktu
Cuma pohon flamboyant gagu
Yang masih menyimpan namamu

Aku tak ingin dewasa
Saat senja segera sirna

3
Tapi aku laksana kura-kura
Betapapun cepat tapi amat lambat
Dan mata peluru yang kukenal
Tak pernah jelas bentuknya
Sebab aku selalu di belakang
Ribuan kilometer jaraknya

Aku melesat bak kilat berkelabat
Tetapi tempat-tempat tak pernah terlewat
Kekosongan membuat tiada mengerti
Di bumikah aku saat ini
Melesat tidak bergeser walau sesenti

4
Dari belantara aku tetap berdiri di sini
Malam gulita menunggu pagi
Matahari hanya cerita penuh intimidasi
Pepohonan luruh daunnya menjadi-jadi

Aku menunggu isyarat surat
Hikayat cerita gitamu
Gubahan mesra syairmu
Setiap hari sepanjang waktu

Hanya kau tinggalkan tanda tanya
Mataku perih memandanginya
Ratusan jarum menusuknya
Tak ada air mata: darah saja

Jakarta, 1.2.2017


Tentang Yahya Andi Saputra
Yahya Andi Saputra lahir di Kampung Gandaria, 5 Desember 1961. Menyelesaikan Magister Susastra FUB UI tahun 2015 dengan tesis “Tradisi Lisan Lakon Bapak Jantuk dan Pewarisannya”. Ketua asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi dan Anggota Dewan Kesenian Jakarta. Kumpulan puisinya Gelembung Imaji (1999). Juga menulis buku: Beksi: Maen Pukulan Khas Betawi (2002), Ragam Budaya Betawi (2002), Upacara Daur Hidup Adat Betawi (2008), Pantun Betawi (2009), Permainan Tradisional Anak Betawi (2011), dll.


Catatan Lain
Buku punya Hajri. Ada 3 puisi beringuh banua, mungkin juga termuat dalam antologi puisi Dari Loksado Untuk Indonesia (2017), yaitu Monolog Perempuan Meratus (:Agustina Thamrin), Umang Balai Meratus, dan Bisik Loksado (:Budhi Borneo). Begitu.

1 komentar: