Data Buku Kumpulan Puisi
Kematian di Suatu Senja
ini hanya soal waktu
hujan, awan, matahari, bunga, ranting
tanaman perdu
semua telah memberi tanda
dalam bahasanya masing-masing.
Di balik punggungmu kulihat teja
“Aku ingin mati ketika senja”
gumamku.
Tidak ada yang lebih indah
selain kematian di suatu senja.
Ketika itu bebek-bebek yang lucu
sudah selesai berenang dan berjemur.
Tak lama kemudian kembang-kembang
menguncup memberi salam penghormatan.
– dan jika saat itu kaujauh
cukup kaukirim setangkai doa.
Untuk Segala Kepahitan yang Aku Terima
dulu aku kira
meninggalkan atau ditinggalkan
tidak akan jauh berbeda
bagi kisah-kisah janggal seperti kita
hingga aku tidak pernah takut
terhadap segala kemungkinan
Lalu hari-hari itu tiba
hari ketika aku:
menyusuri sungai demi sungai;
menenggak bergelas-gelas kopi;
melebur tawa dan tangis dalam bejana sepi;
memaksa kaki tetap tegak berdiri;
menyuruh otak mengalahkan hati;
~ hari ketika aku melawan kenyataan
Terlalu banyak yang belum aku pelajari
bahkan hingga hari ini,
aku hanya mengerti satu hal
meninggalkan atau ditinggalkan;
keduanya patut dirayakan bersama segelas kopi
Merobek Hujan
hapuslah kalimat asing dalam prosa pendek kita
penampakannya hanya membasikan kenangan
kuncup ini takkan pernah jadi bunga
meski di belantaranya hujan bermain
hapuslah seluruh ingatan yang menyandera namaku
di serat-serat catatanmu
karena seperti juga aku
kau terbebas dari semua belenggu
kecuali takdir yang sudah di kumur-Nya
menjadi semburan di kertas kita
robeklah kitab cinta kita
seperti aku merobek hujan hari ini!
Seutas Gelang Merah di Tangan Kananku
selamat petang, Batakan
kupanggil seluruh ombak dan anginmu
dalam perjamuan hati tahun ini
seutas gelang merah
dia simpulkan di tangan kananku
aku tulis mantra di sepanjang pantai
gelang ini simbol belaka
yang mengikatku adalah cinta
cinta yang diisyaratkannya
pada matahari yang sebentar lagi tergelincir;
cinta yang dititipkannya
pada pepasir yang setiap saat ditimpa buih;
cinta yang didustakannya
pada setiap dalih dan alasan
selamat petang, Batakan
seutas gelang merah melingkar di tangan kananku
sebuah jalinan cinta berputar-putar di palung hatiku
Entah Bagaimana, Tetiba Aku Mencintaimu
Siapa kira segala sesuatu menjelma cerita
alurnya seperti gula-gula di mulut anak kecil.
Aku kira Tinkerbell tidak akan pernah jatuh cinta
karena Peter Pan sudah ditakdirkan bersama Wendy.
“Entah bagaimana, tetiba aku mencintaimu.”
Dialog itu menyalahi seluruh skenario
Pementasan seperti benang kusut,
bagian lainnya sulaman jaring laba-laba.
Peri kecil baik hati
Suatu ketika terluka dan tidak bisa terbang lagi
Kamu keliru jika mengira sayapnya yang patah
Ia mematri banyak kebahagiaan untuk dibagi
tapi lupa menyimpan satu untuk dirinya sendiri
“Entah bagaimana, tetiba aku mencintaimu”
Dialog itu menuai puja-puji
padahal kita sama sekali tidak memerlukan pujian.
biarkan piano berdenting sendiri tanpa lirik
lalu malam-malam menyiksamu dengan gelantungan
rindu di setiap lorongnya
selamat malam Tinkerbell,
demi debu peri dalam genggaman
atas segala perih yang kaurasa
mari kita rayakan segenap lara.
Terista
Ada air yang jatuh dari langit
lurus seperti garis
awan masih kelabu
payung-payung terkembang
menaungi gadis-gadis bermantel
pejalan kaki yang bergegas,
deru motor, klakson mobil, lampu jalan,
genangan air, dahan yang bergoyang
serta petrikor
tidakkah semua itu presentasi hujan belaka.
Aku ingat-ingat lagi
bagaimana dahulu
melangkah sendiri tanpa dirimu
di bawah derasnya hujan seperti ini
– agar aku kembali terbiasa.
Anehnya, aku tak mengingat apapun
tahu-tahu ada air mata
di ujung syal coklatku
Aku Tak Pernah Mengkhianatimu
aku tak pernah mengkhianatimu
kecuali kali ini
ketika aku menjelma kupu-kupu
bersayap merah terbakar; mengabu
aku tak pernah mengkhianatimu
kecuali kali ini
ketika aku menjelma pemburu
yang diintai serigala di padang salju
tak nemu jalan pulang; membeku
aku tak pernah mengkhianatimu
kecuali kali ini
ketika aku menjelma puisi
yang kehilangan kata-kata; membisu
Romansa Tanah Basah
Kepada Hulu Sungaiku
berterima kasihlah pada hujan pagi ini
gemericiknya menaruh harapan
pada huruf-huruf di ujung jemari
biarkan sebaris kenangan
menyertai aku yang musafir
Sayang, engkaulah
makna yang tak habis kupahami
api yang tak bisa kupadam-padam
rindu yang tak mampu kubunuh-bunuh
di jalan sunyi tak bernama
engkau melambai-lambai
seperti tangkai mawar ditimpa hujan
akankah kaupanggil aku kekasih hujan
sedang langit sebentar lagi benderang
lalu tinggal tanah basah
Jika dengan Menyakitiku Kaukira Aku
Akan Membencimu,
Kamu Salah Besar.
suatu pagi di dermaga
angin mengirim ulang pesan-pesan lampaumu
tentang benci sebagai satu-satunya kata kunci
kaukira benci dan cinta bisa dirancang
dengan serangkaian kode-kode
belajarlah seimbang memandang kehidupan
adakalanya logikamu memenangkan segalanya
dan barangkali inilah saatnya
kamu mengubah paradigma
percuma kau melakukan banyak hal untuk menyakitiku
benci tidak tumbuh semata dari rasa sakit
sebagaimana cinta tidak bertahan semata karena rasa senang
tidak perlu menjadi pujangga untuk memahami cinta
kamu hanya perlu memandang sesuatu dari sudut pandang
yang lain
cobalah memulainya pagi ini
senyampang hujan masih turun di kota kita
Jalan Terpanjang
Jalan terpanjang yang aku tempuh
adalah melarikan seluruh pikiran
dari semua tentangmu
meremukkan dinding-dinding logika
jalan terpanjang yang aku tempuh
adalah menuju sesuatu selain engkau
dengan tangan dan kaki terbelenggu
serta mata yang dirampas fungsinya
jalan terpanjang yang aku tempuh
adalah menerima kenyataan tentang kita
: kita yang tidak akan pernah bersama
Elegi Sepanjang Jembatan
buat ‘Diy
I
sepanjang jembatan Pasar Lama
kita melukis sungai dan langit
keduanya bercumbu tak habis-habis
kau tambahkan diam sebagai latar
pada kayapu yang mengapung
aku menitip bait-bait kalender tahun depan
Diy, bukan salah kita bila hari ini pahit
pun bila setia hanya ada di kitab suci
besok mungkin diam menjadi jenuh
lemparkan omong kosong kepada langit
sungai terbahak sambil menyeka airmata
II
becak melintasi jembatan
membawa siulanmu bersama angin
berebut jalur dengan motor dan mobil
aku menangisi peluh yang mengucur di tubuhmu
merasai kisahmu yang tak seindah siring kita
membolak-balik lembaran usang kampung halaman
mencari kenangan bernama jukung yang mirip senyummu
kausapukan magenta di langitnya
kusandingkan toska di selatan
puisi tak bisa dimakan, Nai – ucapmu renyah
tak tahukah kau, Diy
puisi mengubah embun menjadi salju; mengubah mawar
menjadi rindu
tapi tak mengubah lapar menjadi kenyang, bantahmu
III
memarkir nasib di bawah jembatan
hujan mengangenkanmu pada segelas kopi hangat
mari memejamkan mata
mungkin dalam tidur bisa terbeli
sampai payung-payung menguncup
dan terkepit
teruslah bermimpi
mana, mana tanganmu; hapuskan elegi ini
Mawar dalam Kaca
Untuk JKF
kacanya pecah
mawarnya utuh
ada yang luruh
bergemuruh
kacanya berceraian
mawarnya bergoyangan
mari kita bereskan
biar wanginya tetap tercium
Perempuan Surga
kaukah perempuan itu
yang tangan kanannya tak pernah mencubit
dan tangan kirinya tak pernah memukul
yang sanggup menghirup air di mataku
dan sudi menjilati nanah di lukaku
kaukah perempuan itu
yang air susunya mengering untuk hidupku
dan darahnya mengalir untuk tumbalku
yang matanya tak pernah dihinggapi kantuk
dan telinganya tak pernah didera senyap
kaukah perempuan itu
yang mengiriskan hatinya untuk senyumku
dan mengeratkan jantungnya untuk tawaku
yang menjual kehormatannya untuk selembar bukuku
dan menukar harga dirinya dengan makan siangku
kaukah perempuan itu
pemilik sepatu kaca dari surga
yang selamanya kupanggil Ibu
Mawar Berkelopak Darah
sudah lama sekali
berlalu musim semi di tanah cintamu tapi
tak pernah kulihat kelopakmu berguguran
kelopak-kelopak darah
kian hari kian merah
tangkainya tak pernah patah
daunnya tak pernah luruh
wangi menyahut anyir darah para lelakimu
mawar-mawar berkelopak darah
memangku kuncup-kuncup yang dipangkas habis oleh zionis
Derukanlah sepatah puisi
agar mereka mengerti
Za, ingin sekali aku ke sana!
Maukah Engkau Menjadi Hujan
Maukah engkau menjadi hujan
sebab hanya rintiknya yang mampu
sembunyikan rinduku
setelah tiba saatnya
kita benar-benar berpisah.
Maukah engkau menjadi hujan
sebab hanya luruhnya yang kuasa
menggubah sedu sedanku menjadi teka-teki
setelah nanti mimpiku menjadi nyata.
Maukah engkau menjadi hujan
yang turun setiap aku sebut
namamu;
menyirami seluruh langkahku saat kelak
tak dapat lagi kubendung sepi.
Hujan, Matahari, dan Sajak Terakhir
jika engkau hujan
di manakah dapat kusentuh rintiknya
jika engkau matahari
di manakah dapat kupandang sinarnya
Jika ini luka – dan sepertinya begitu
Ketika Hujan Reda
hujan sudah reda
sama seperti rindu
datangnya bukan aku yang mengatur
hidup selalu tentang pilihan-pilihan
dan bahagia adalah tentang
menghindari penyesalan
setiap sedih bertandang
entah mengapa namamu muncul
lalu sedih seperti jutaan amoeba
yang membelah diri; memenuhi kolam hati
untukmu
yang namanya tak boleh aku tulis,
sudahkah kausimpan irama hujan
karena di situ aku bersembunyi
bersama sebuah rindu
yang datang dan perginya di luar kuasaku.
Tentang Nailiya Nikmah JKF
Catatan Lain
Sandi Firly menyumbang 8 ilustrasi,
bersama semacam “prosa” menandai pergantian sub judul buku ini. Nai sendiri
menulis pengantar sepanjang (atau sependek) 4 paragraf, katanya: “Menulis
adalah bernafas bagiku dan menulis puisi adalah bernafas dengan cara yang tidak
biasa. Sudah lama aku ingin menerbitkan buku kumpulan puisiku. Motifku cuma
satu, menyimpan semua kenangan orang-orang yang kusayangi dalam formula ajaib
yang bernama puisi. Aku menyayangi semua orang yang hadir dalam hidupku,
bagaimanapun jejak yang mereka tinggalkan dalam ingatanku yang terbatas…”
Entah
Bagaimana, Tetiba Aku Mencintaimu – seandainya diprosakan, ia menjadi seperti
yang tertulis di awal buku ini:
Mantap tulisannya....
BalasHapusbagus puisi nya...
BalasHapushttps://bit.ly/2Epk3q4
puisi
BalasHapusPuisi-puisi yang wooowww maknanya,dalem banget
BalasHapus(https://tulisandenpasar.blogspot.com)