Data Kumpulan Buku Puisi
Judul: Kota Cahaya
Penulis: Isbedy Stiawan ZS
Penerbit: PT Grasindo,
Jakarta
Cetakan: I, 2005
Tebal: xiv + 154 halaman
(100 puisi)
Penyunting penyelia:
Pamusuk Eneste
Penata isi: Suwarto
ISBN: 979-759-315-0
Kata penutup: Suminto A.
Sayuti
Kota Cahaya terdiri atas Nyanyi Sunyi (21 puisi), Menandai
Tahilalat (25 puisi), dan Dari Cerita
yang Lain (54 puisi)
Sepilihan puisi Isbedy
Stiawan ZS dalam Kota Cahaya
MALAM-MALAM MENGAJI
hayat ngembara padang kelam
lentera di tangan mercukan jalan setapak
kaki-kaki basah oleh keringat
persis ketika harap pun sampai
dan tak kembali-kembali lagi
1984
LAUT MEMBAWA JASADKU
laut membawa jasadku
ke malam-malam pekat. ke makam-makam sunyi
ditanamkan, menyimpan riuh jam
tanah pun basah, melumpurkan langkah
yang berhenti pada gerbang-Mu
kau pun tersedu. hujan turun
mengabarkan ketajaman pisau padaku, dan
laut tak henti membawa jasadku
ke makam-makam sunyi-Mu untuk ditanamkan!
o aku sendiri dalam kematian ini
di semesta sempurna ketiadaanku
1987
ADA DAUN GUGUR
ada daun gugur
dekat pintu rumahku
dan warna kuningnya
mengabarkan dunia yang pecah
lewat tanah-tanah
hatiku gemetar
memandang namaku
yang mencari-cari rumah
akhirku
ada daun gugur
dekat jendela kamarku
dan warna terbakarnya
memandangku dingin
Surabaya, 1994
MEMBACA BAHASA SUNYI
Seperti kayu aku ikhlas dibakar
dari waktu ke waktu. Tubuhku hitam
menjadi arang. Lebur dalam bara dan abu
di dasar tungku kehidupan-Mu
Aku membaca bahasa sunyi
Dari waktu ke waktu kuhikmati bara dan abu
Pada setiap sujud kusebut ketiadaan
melengkapkan arti gerimis yang gugur
di taman-taman atas nama kedamaian
Aku membaca bahasa sunyi
sehabis bara menggenapkan tubuhku
menjadi arang. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku lebur dalam zikir panjang
mengaji rahasia tangan-Mu
Seperti kayu
aku pun ikhlas dibakar. Lebur dalam bara
dan abu. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku terus-terusan sujud menciumi tanah
O telah kubaca bahasa sunyi
di tengah-tengah pikuk bumi yang tidak
pernah menawarkan istirahat atau kedamaian
ke dalam sujud dan zikir
ke dalam sujud dan zikir
1989
SESABIT BULAN
sesabit bulan
lesat ke rimbun bambu
tiang-tiang bagan
bagi perangkap ikan
rumah nelayan
melayar ke pantai-pantai
menggusur rumah liliput
yang ada sejak tahun-tahun suram
kini menyisakan kenangan
ditinggal cangkang
para nelayan
mengunyah mimpi
dari laut sepi
di bawah sesabit bulan
yang merajam ranjang
seekor elang menancap
melarikan ikan
ke dekat bulan
dan membuang tulang
ke hati para nelayan
mengecup malam
sesabit bulan
meneteskan darah
ke pantai-pantai
mana kampung
kenapa lengang?
BATAS BAYANG DAN DIRI
batas apa antara bayang dan diri? Langkah yang saling kejar
tapi tak pernah tahu di mana akhir. Rumah cuma angan-angan
yang sepi menanti. Ahasveros masih juga berkelana
ke dalam benak
atau sisiyphus yang selalu gagal mencapai puncak
menggotong ada-Mu. Jalanan belukar. Bayang dan diri
siapa yang dulu yang mesti sampai. Tapi, rindu makin mengental
membangun terjal. Sisyphus yang dungu! Tak kautolak juga
titah itu, sebelum uban menyemai di usiamu
batas apa antara matahari dan diri? Usia memburu langkah
dan menyalib bayang. Jalan menciut. Rumah cuma didatangi
bila rindu. Selebihnya sunyi,
tertutup. Pintu dan jendela terbakar oleh
pengembaraan bayang-bayang. Di sini matahari
telah berlalu!
2002
PERJALANAN PELAUT
karena laut mengajarkan rahasia badai
aku pun setia berlayar. dari pulau asing
ke pulau asing aku tebarkan benih pelaut
dan lalu meninggalkan ratusan rumah
yang memendam kesepian
rumah hanya istirah bagi kejenuhan kapal. oh,
laut yang terapit oleh pulau-pulau
di mana tubuhku sesekali dibaringkan?
dari pulau asing ke pulau asing
aku pahami rahasia badai, aku tebarkan
benih pelaut. sementara pada kedalaman laut
kubur mengajarkan rahasia paling akhir
1987
REQUIEM
baru saja gerimis reda, ketika iringan panjang itu melewati
jalan ini. mungkin kau tak pernah rasakan pedihnya kehilangan
cinta dan segala yang dicinta
namun matahari yang redup tetap merekam segala langkah
dan gumam. wajah-wajah yang menantang jalan itu kian
tampak pasi, menatap masa depan yang juga legam. baru saja
gerimis menghapus segala kenangan yang dibangun
di antara keringat dan semangat hidup abadi!
jika matahari tak juga menyala, kau boleh mencatatnya
sebagai requiem. namun sejarah akan terus terulang. terus
berulang. sebagaimana tangis dan tawa yang pertama ditanamkan
lalu rumah akan kembali sunyi. namun percayalah, matahari akan
ini, memberikan segala kesetiaan. layaknya jarum jam yang tak pernah
mungkin setelah gerimis ini benar-benar reda, baru kau rasakan
hidup dan kematian akan berulang. sampai jalan-jalan sungguh-
sungguh patah
27 Juli 2001
MENJAUHI AMBANG
“jangan datang
selagi aku belum
berbenah.”
aku terpana lalu
melupakan jalan
menuju rumahmu
kertas alamat
kubuang di parit
tak jauh dari rumahmu
tiada lagi kalam
aku telah lupa
membaca harapan
wajahmu memburam
bergoyang di daunan
seperti perjaka
yang lupa merias
rambutku kusut
dipenuhi uban
: hilang cahaya…
“jangan datang
sebelum aku berbenah
dan meninggalkan
kamar pengantin ini.”
aku bimbang
menjauhi ambang….
05 Maret 2005
AKU TANDAI
aku tandai tahilalatmu dari dunia kanak-kanak
yang tak akan pernah terhapus bilangan. sampai hafal benar
aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku sendiri
sari akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores tanda di tubuhmu – tahilalat itu – yang
senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau
tahilalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu
akan selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiap kali aku tertidur
meski tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan
gerakmu dalam gerakku pula. lalu aku menari di antara
tanah yang subur bagi mekarnya perjalanan ini
ya. aku tandai tahilalatmu yang masih kukenang dari
dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana kita menyatu dalam rumah tangga
besar. lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam hidangan di piring saat pagi dan petang
2001
HUJAN:
DARI CERITA YANG LAIN
/satu/
langkahmu menjauh
ingin menanam hujan
di dalam akar pepohon
lalu menulis dingin di dahan
“kau tahu hari sudah
amat jauh dari rembulan, tapi
warna perak rambutmu
masih melambai…”
aduhai, jangan lupakan
ciuman sebelum pagi datang
ketika kau merapat di bantal
ketiak pagi meruap amis
dari keringat waktu
saat hujan bercampur garam
dan tenggelam di bawah pohon
tapi, beri aku parit
untuk mengalirkan bau tubuhmu,
ketiak yang dipenuhi keringat
saat siang pekat
dan usah ulangi perjalanan
hujan telah menanam usiamu
si akar, di batang, di dahan
yang akan tumbuh esok
sebelum terbit matahari
kini diamlah
selagi hujan menanam waktu
dari cerita lain
rahasia
/dua/
demikianlah. hujan berwarna putih
pagi ini ke pelukku; di matamu cuaca
berkabut, dan jalan menyusut
kususuri lorong yang terasa jauh
– alangkah jauh –
di pipimu kulihat bentangan hujan
seperti sayap-sayap burung
yang menanti pemurung
meluruh sebagai sepi…
ah! aku tenggelam
24 April-15 Mei 2005; 23.25
DULU AKU MINTA MATI DI LAUT
aku ingin lari dari laut
sejak ia tak lagi
memberi kehangatan
dulu aku minta mati di laut
dalam gemuruh gelombang
dilempar ke pulau tak bernama
tapi kini aku berharap di ranjang
kuhabiskan hidupku
dikubur dengan namaku di nisan
aku bukan perenang ulung
sebab itu aku menolak
sewaktu kau mengajakku,
suatu sore kelabu,
dengan penuh rayu
di ranjang aku mau berenang,
kataku dengan rayuan pula,
biar matiku menyediakan
sejengkal tanah untuk nisan
yang menulis nama dan kenangan
lalu ilalang membuat cantik istanaku
juga wangi bunga yang selalu meruap
kau tertawa. di laut pun kita mati
ada nisan yang mengekalkan
nama, katamu, sebab karang
sudah lama pula rindu
pada nama-nama
maka marilah ke laut
berenang hingga ke lumut
aku akan menepis maut
jika datang memagut,
lanjutmu sambil melambai
tapi sayang, kumau
ranjang jadi lautan
aku berenang dan terkubur
di bawah nisan
mengekalkan ihwalku
23 November 2004
EPITAPH
ada yang tak sempat terucap; getar ari-ari
yang terputus dari pusat-Ku ketika tanah ditimbunkan
ketika palka dikuakkan dan payung hitam menguncup
lalu sebongkah kayu ditancapkan di atas kepalanya
menyilang langkah
18.11.1986
SEPERTI KEMATIAN
aku dapati kematian
tiap gali rahasia perempuan
serupa mendung
di wajahmu
aroma peluhmu
lalu mata,
bibir yang anggur
sebagai kanal dingin:
sesunyi pelataran ini
buatku mendesah
kugotong berwaktu-waktu
mencapai pendakian
dan membongkarnya
di kanal ini
tapi, sudah berapa jauh
aku ngembara,
berapa lubang kugali
mencari temu rahasia?
engkau, perempuan, rahasia
yang sulit diselami
seperti kematian
yang kurasakan
setiap petang…
2004
KOTA CAHAYA
(tanjungkarang-telukbetung)
(satu)
sebuah kota cahaya lahir di wajahmu
aku pun singgah. jika diperkenankan aku
hendak mendirikan rumah di sini
dengan pintu atau jendela menghadap
pantai. dan tanganmu jadi sampan,
rambutmu layar. sesekali merapat
di kaca kamarku. seperti tetesan embun
yang mencair: mutiara dalam mimpiku
pecahan-pecahan bintang yang merantau
sepanjang malam akan rebah di kota ini
juga sisa perjalananku penuh luka
sekejap lelap di pelukanmu. dalam mimpiku
segalanya jadi mutiara,
sampan yang kembali
menetap abadi
sebuah kota cahaya di wajahmu
aku pun singgah. jika kauperkenankan
aku akan menjaganya dari pecahan sodom
dan gomora yang kacau
aku bangun rumah di sana
jendela dan pintunya menatap pantai.
tanganmu menjelma sampan
dari senyummu layar membentang
di dalam reruntuhan waktu
kota jadi semerah-dadu
melelapkan hasrat
mengawinkan kota
untuk aku singgah
dan menetap abadi
Lampung, 12-24 Juli 2003
(dua)
aku ingin kota yang lahir di wajahmu
bercahaya. di dadamu kupahat
rumah yang baru. jendela dan
pintunya menatap matahari yang terbit
dan lelap. seperti keluh akan sampai
ke dalam getarmu
begitulah, sayang, akan kupangkas
segala bernama rumput
yang menyimpan maut
dari wajahmu kusisir kota cahaya
dalam getar si remaja
mencabuti uban:
kota yang tua dan kacau
tinggal igau
dan aku merantau ke dalam
kota cahaya ini
menggali senyum abadi
amboi, jangan pula kaubalikkan
– izinkan aku di sini
menetap-tatap! –
Lampung, 25 Juli 2003
(tiga)
gairah apa yang memilih kota cahaya ini
bagian pengembaraanku
segala tempat telah kurantau
tak juga memukau
kini aku kembali ke kota kelahiran
sejarah purba yang tersimpan
perjalanan adam mencari cinta
di segala semesta
gairah apa yang melahirkan kota cahaya ini
ketika siang yang rusuh?
aku tatap parasmu
membayang kota terbuka
aku pun menyusuri
liku-sungaimu
amboi, gairah apa
yang menggetarkan hasrat ini?
Lampung, 25 Juli 2003
INGIN KUSUARAKAN
ingin kusuarakan apa saja di sini, tapi angin punya
telinga dan kata. bahkan lampu-lampu taman ini
akan merekam dan menyuarakan kembali dengan bahasa
lain. lalu dinding memagar tubuhku,
kesepian yang mendekam!
ingin kumerdekakan apa saja di sini, tapi burung
tak punya lagi sarang yang tenteram. pohon-pohon telah
memburu kota demi kota, mengubah ketenteraman jadi
kegaduhan, dan asap yang dimuntahkan beribu
cerobong pabrik adalah oksigenku setiap detik. aku
merokok limbah serta mengunyah beton!
ingin kutulis apa saja di sini, tapi koran tak lagi
punya suara. seribu iklan memadati halaman
demi halamannya, seperti gula-gula yang dikunyah
anak-anakku. aku hanya membaca bahasa angin di sana
kemudian meliuk di balik bendera setengah tiang.
kemudian hening…
ingin kusuarakan kembali kemerdekaan di sini, tanpa
granat dan senapan. ingin kuteriakkan penderitaan
burung yang kehilangan kebebasan terbang. hingga
di udara yang terbuka tak akan ada lagi kecemasan-kecamasan.
1994
Tentang Isbedy Stiawan ZS
Isbedy Stiawan ZS lahir di
Tanjungkarang (Lampung), 5 Juni 1958. Menulis puisi, cerpen dan esai. Kumpulan
puisinya: Kembali Ziarah, Daun-daun
Tadarus, Roman Siti dan Aku Selalu Mengabarkan (2001), Aku Tandai Tahi Lalatmu (2003),
dan Menampar Angin (2003).
Kumpulan cerpennya: Ziarah Ayah
(2003), Bulan Rebah di Meja Diggers
(2004), Dawai Kembali Berdenting
(2004), Perempuan Sunyi (2004), Selembut Angin Setajam Ranting (2005), Seandainya Kau Jadi Ikan (2005) dan Hanya untuk Satu Nama (2005).
Catatan Lain
Tulis Isbedy di “Kata Penyair”, hlm ix-x: Puisi pembuka yang saya buat tahun 1984 berjudul “Tubuh Tanpa Ruh” adalah persembahan bagi almarhum D. Zauhidhie (penyair Banjarmasin), dan telah dimuat oleh media daerah di Mataram, NTB. Sebenarnya, sebelum tahun 1984 saya sudah menulis puisi. Cukup banyak puisi saya yang telah dipublikasikan. Namun, kesulitan saya mendapatkan dokumentasi atau kliping, kumpulan pilihan puisi ini akhirnya saya buka dengan puisi bertitimangsa tahun 1984 (saya hanya menemukan satu puisi bertitimangsa tahun 1982).
Jadi, begini puisinya (hlm. 3):
TUBUH TANPA RUH
Bagi almarhum D.Z.
tubuh itu
tanpa ruh. nyebarkan duka
melayat bunga dari seluruh kampung
(dari sini perjalanan masih panjang
bagi tubuh tanpa ruh
yang ditandu; bergegaslah peluit dibunyikan
biar sampai di stasiun sebelum senja merengkuh)
tubuh itu
tanpa ruh
bekukan hujan di awan
sepanjang hari
sementara dari kamar
netes kenang; siapa bisa
menghapus gambar tangan
di dada?
12/7/1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar