Senin, 11 September 2023

Gunawan Maryanto: KEMBANG SEPASANG

 

Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Kembang Sepasang
Penulis: Gunawan Maryanto
Penerbit: Grasindo, Jakarta.
Cetakan: I, Juli 2017
Tebal: 86 halaman (62 puisi)
Penyunting: Septi Ws
Desainer sampul: Studio Broccoli
ISBN: 978-602-452-039-7
 
Kembang Sepasang terdiri atas Beberapa Sajak Perihal Anak (16 puisi), Magical Thought (7 puisi), Yang Berlaku Sepanjang Tahun (12 puisi), Berguru pada Bayang-bayang (19 puisi), dan Yang Terlepas dan Tak Tuntas (8 puisi).
 
Sepilihan puisi Gunawan Maryanto dalam Kembang Sepasang
 
kepada io
 
di ujung tahun yang becek
aku kehabisan cerita
untuk menidurkan argus
seratus matanya menyala
merayapi tubuhmu, io
 
 
kembang sepasang
 
sepasang anak perempuan
adalah sepasang kembang
yang kausembunikan di belakang
agar kala yang datang setiap petang
lewat jalan kecil di sebelah barat rumah itu
tak melihat mereka dan lalu jatuh cinta
 
ya, sepasang kembang
yang kausiram tiap petang
sambil menunggu suamimu pulang
dengan saku kanan penuh daun gundha semanggi
dan beberapa ekor ikan krowokan di saku kiri
 
 
Wedharing Wacana Mulya
 
Maret
 
Kau yang berdiri di ujung musim hujan
Di antara bunga gelagah berguguran
Kupanggil namamu. Kupanggil namamu
Lewat nyanyi tenggoret di pohon randu
 
Lihatlah padi-padi mulai berkembang
Musim hujan akan segera berakhir
Dengarlah sungai-sungai kembali tenang
Mengalirkan kesedihanmu yang sepi
 
Wahai kau yang masih berdiri di ujung musim hujan
Mengabur di antara bunga gelagah gugur
Kucari kamu di sepanjang musim kemarau tahun depan
 
2014
 
 
Instalasi Bunyi
(yang tak pernah ada)
 
galeri ini tak pernah ke mana-mana
ia lahir di sini –disusun batu-batu
; entah dari mana
mungkin dari gunung
mungkin dari sebuah kampung
di pinggir kali
ia ada di sini. dan mati
ia tak akan pernah terbang
sebagaimana burung-burung
 
galeri ini tak pernah ke mana-mana
ia tak pernah berlibur ke pantai yang jauh
atau mencari angin dingin di bukit-bukit
ia tak pernah mendengar gemetar ombak
yang menabrak karang-karang
dan akhirnya
menuntaskan rindunya pada pantai
ia tak pernah mendengar angin berbisik
menyusuri lembah yang begitu rahasia
 
ia tak pernah menghabiskan waktunya
di gedung pertunjukan
mendengar gamelan yang ditalu
memanggil hujan di musim kemarau
atau ukulele yang menyanyikan perkara sepi
yang tak kunjung selesai di sebuah padang
 
galeri ini hanya mengenal suara motormu
yang sesekali melintas di depannya
ia merekam suara langkah kakimu
yang perlahan mendekatinya
mungkin pada suatu malam yang sepi
ia pernah mendengar bibirmu beradu
dengan secangkir kopi di lantai bawah
 
galeri ini hanya mengenal suaramu
– yang membaca puisi ini diam-diam
dalam jeda nafasmu, ia seperti bahagia
 
2012
 
 
Amba
 
Aku kalung teratai yang tergantung di gagang pintu
Menunggumu mengenakanku pada sebuah perang
Separuh diriku yang lain adalah sungai kering berbatu
Yang sesekali saja tergenang jika hujan datang
 
Tapi sebut saja aku hantu,
Kemarahan yang tak padam,
Atau cinta yang gagal
 
Pada seorang lelaki kualamatkan seluruh deritaku
Tak perlu kau sebut namaku. Berdiri saja di tepi gelanggang
Kenakan aku di lehermu. Maka ia akan menerimamu
Seperti sebuah kereta yang menjemputnya pulang
 
2013
 
 
Supraba
 
di mana letak kematianmu
di sanalah aku akan berdiam
menunggu datangnya malam
saat aku mesti kembali
menjadi cahaya
 
waktumu tak lebih panjang dari rambutku
ruangmu tak lebih luas dari tubuhku
bergegaslah. di luar terlalu gaduh
 
aku ingin segera menepi ke sana
di dalam kematianmu yang dingin
dan sebutlah kita pengantin
 
2014
 
 
gotong mayit
 
kami bertiga lahir
mengusung kematian
maut tertanam di jantung kami
– sperma yang kehilangan bapa
 
tak ada laki-laki di antara kami
tak apa. kami kenakan saja kemben putih
dan dodot bintulu untuk melampaui waktu
segenggam daun lontar kering
telah juga kami nyalakan
menghidupkan kembali jantur wa kala mur
di musim ketiga seperti jamur
 
sperma itu mengetuk-ngetuk dada kami
meminta sejumlah nama
di antaranya adalah nama kami sendiri
di pringgitan kami menangis
mengucap sampurnaning puja
– doa terakhir yang bisa kami punya
 
2009
 
 
Pancuran Mas Sumawuring Jagad
 
Oktober-November
 
Di satu pagi laron-larong terbang
dari lubang yang kautinggalkan
Sebab di satu subuh hujan runtuh
menghapus seluruh jejakmu
 
Dan daun-daun memaksa keluar
dari pohon asam jawa
Menjalar seperti anak rambutmu
Dan rontoklah bunga angsana!
 
Mengenangmu pagi ini
: mengenang selokan di pagar rumah
yang mengalir menuju sawah
Mengenangmu pagi ini
: mengenang cemas hujan emas
dari pohon-pohon angsana
 
2014
 
 
hujan pertama
 
: vina agusti
 
ingatan yang keruh:
nama-nama dan
aksara yang gaduh.
adalah jejak masa lalu
– gerak dan retak tak padu
 
ujung tak terbaca
sementara kepala basah
tilas hujan dan
perasaan tak tentu
 
ah, bagaimana memanggilmu
beratus kilometer di seberang kamarmu
aku bahkan tak tahu apakah kau
telah rebah sebagaimana tanah
 
semalam dalam demam
aku mengiggilkan rindu dan
ingatan mengeruh seperti kolam
 
2015
 
 
saramba
 
kami adalah lelaki
melesat ke empat penjuru
ke selatan yang merah
utara yang hitam
barat yang kuning
dan timur yang putih
 
kelak kami menyatu di batas waktu
menjadi rasasinamur
untuk bisa bertemu dengan-Mu
 
2009
 
 
Untuk Gong di Sudut yang Sepi
 
: Yasuhiro Morinaga
 
1
Jadilah punggungku
Aku adalah kura-kura
yang menyusur waktu
 
Jadilah panggungku
Aku adalah penari
yang menunggu waktu
 
2
Getar. Getarkan tubuhku
Ingin kudengar masa lalu
Ingin kudengar masa depan
Ingin kudengar
apa yang tak pernah kudengar
 
Gigil. Gigilkan tubuhku
Tumbuhkan kembali
Bunga-bunga di bahuku
Buah-buah di dadaku
Padi-padi di perutku
 
3
Tutup lubang! Tutup lubang!
Mereka telah datang
Menyeberang kegelapan panjang
 
Kulesakkan sepasang kakiku
ke tanah dalam-dalam
Jadilah akar! Jadilah akar!
 
Kupanjangkan sepasang tanganku
Menyentuh langit jauh-jauh
Jadilah daun! Jadilah daun!
 
Peluhku menetes-netes
Peluh emas dari masa lalu
Di mana segalanya belum ada
Peluh cemas dari masa depan
Menggantung di empat helai rambutku
 
Tutup lubang! Tutup lubang!
Mereka telah datang
Menyeberang kegelapan panjang
 
4
Ribuan tangan berkejaran dengan bayang-bayang
di gua-gua. Di tebing-tebing yang tua
Di punggung-punggung bukit sepi
Ribuan tangan Adam yang mencari Hawa
Mencari tubuhku – yang selalu luput dalam kabut
Keringat emas menetes-netes sepanjang badan
Menyusun jalan setapak menuju rumah-rumah baru
Rumah-rumah yang segera didiami kesedihan
Rumah-rumah yang segera kutinggalkan
 
Tangan-tangan yang baik, selamatkan aku
Selamatkan aku. Selamatkan tubuhku
Tutup. Tutup. Tutup!
 
5
Tidur. Tidurlah
Biarkan malam masuk
Merasuki tubuhmu
Biarkan serangga-serangga
Masuki lubang telingamu
Sebab matamu adalah sepasang kunang-kunang
Sebab kunang-kunang adalah sepasang matamu
Sepasang lubang yang menghubungkan langit dan bumi
Sepasang lubang yang menghubungkan seluruh masa
 
Gong… Gong… Gong…
Tidur. Tidurlah.
Gong… Gong… Gong…
 
6
Gong yang bertalu-talu itu
menyusun tubuh yang kita tinggali
Menysun pulau-pulau yang kita diami
Menyusun akuk
Menyusun kami
Getar suaranya menyimpan
bau perjalanan yang panjang
 
Dalam asap yang pekat ini kembali kita meraba-raba:
apa yang sudah, sedang dan akan terjadi di antara kita
 
Di sebuah waktu gong yang bertalu-talu itu
menyaru suara harimau
Mengaum dari hutan-hutan gelap yang tak bernama
Kali lain gong yang bertalu-talu itu
adalah tanda dari persetubuhan kita
Ia adalah awal sekaligus akhir pertemuan kita
 
Gong yang bertalu-talu itu adalah aku,
adalah kamu, adalah kita, yang saling panggil
Membunyikan tanda bahaya
Membunyikan tanda cinta
Membunyikan waktu
yang terus bergulir dari hari ke hari
Apakah kau mendengar suaraku?
Apakah aku mendengar suaramu?
Gong yang bertalu-talu itu adalah suara kita
yang menembus seluruh batas
menembus seluruh ruang
menyusun jalan panjang
jalan tembaga, yang keemasan disepuh senja
 
2016
 
 
Tentang Gunawan Maryanto
Gunawan Maryanto adalah seorang sutradara, aktor dan penulis kelahiran Yogyakarta, 10 April 1976. Bekerja di Teater Garasi/Garasi Performance Institute sebagai Associate Artistik. Juga mengeloa IDRF (Indonesia Dramatic Reading Festival) sebagai penata program. Bukunya antara lain: Waktu Batu (naskah lakon, bersama Andre Nur Latif dan Ugoran Prasad, 2004), Bon Suwung (cerpen, 2005), Galigi (cerpen, 2007), Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (puisi, 2008), Usaha Menjadi Sakti (cerpen, 2009), Sejumlah Perkutut Buat Bapak (puisi, 2010), The Queen of Pantura (puisi, 2013), Sukra’s Eyes and Other Stories (cerpen, 2015), Pergi ke Toko Wayang (cerpen, 2015). Juga membintangi sejumlah film.
 
 
Catatan Lain
            Tak ada pengantar siapapun di buku ini. Di halaman belakang, setelah profil penyair, ditayangkan iklan sejumlah buku terbitan Grasindo. Ada 6 halaman seluruhnya. Mereka adalah 3 buku Oka Rusmini: Sagra, Tempurung, Kenangan; Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie: Jakarta Sebelum Pagi dan Semua Ikan di Langit; Ramayda Akmal: Jatisaba; Dewi Kharisma Michellia: Elegi; Benny Arnas: Kepunan; dan Seno Gumira Ajidarma: Negeri Kabut. Begitu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar