Data Kumpulan Puisi
Judul buku: Karena Cinta Kuat
Seperti Maut
Penulis: Adimas Immanuel
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Cetakan: I, 2018
Tebal: 104 halaman (40 puisi)
Penyunting: Siska Yuanita
Foto-foto: M. Aan Mansyur
ISBN: 978-602-06-1822-7 (digital)
Sepilihan puisi Adimas Immanuel dalam Karena Cinta Kuat Seperti Maut
PEMANCING
Keduanya saling menatap tanpa berkejap
mata pancing menghadap sepasang mata ikan
tiada gerak-gerik, sunyi menembus sisik.
Nelayan itu terus mengulur dan menarik
liar membayangkan makan malam terbaik
untuk keluarga kecilnya, tanpa tahu
ikan itu menyimpan dendam di matanya.
Malam ini: sebilah duri akan menembus
tenggorokan, membuatnya megap-megap
dalam keabadian.
PEMBACA
Kupasrahkan diriku antara kata dan umpama
agar kau bisa membaca: kau seru hidupku
angin bagi wajahku, cahaya bagi mataku
bukit bagi pundakku, lembah bagi lenganku
guruh bagi jantungku, mata air bagi hatiku
api bagi pinggangku, padang bagi kakiku
Tiada yang tersembunyi darimu karena
cinta mesti bebas menari dan bernyanyi
seperti maut. seperti maut. seperti maut.
PEDAGANG
Pagi melemparkan diri kita ke atas mobil bak terbuka
di antara sayur-mayur, buah-buahan, rempah-rempah, dan
kacang-kacangan. Wajah kita memucat – memudar gejolak,
membayangkan semarak masa kanak-kanak tersisa sedikit
bahagia: dada penuh warna.
Kendaraan ini menuju sebuah pasar, hiruk-pikuk pesona kita
remuk, habis dimangsanya. Kepada mereka kita serahkan:
sawah-sawah, ladang buah, padang bunga bukit, air hujan,
sungai, wewangian hutan, hati yang menyala dan kerinduan
yang tak kunjung sirna.
Mereka akan menukar kita dengan anggur, gandum,
sutra, linen dan permata. Kita diberi sepasang sayap
tapi tak semata burung, kita terima kebebasan tapi
tak diajar bersuara, bahasa menjadi gaung
yang mengejar kita. Setelah jalan menikung,
Kendaraan ini terus melaju tanpa peduli hari-hari,
nilai tukar, maupun tangkapan yang berguncangan.
Kita tak akan bisa saling menggoda, mencuri
pandang, meningkahi ragu di kebun sendiri.
Tidak akan.
PENGUNGSI
Aku ingin mencintaimu dan tinggal lebih lama
tapi dendam, kesedihan dan keterasingan adalah
badai yang tak bisa kuredakan. Wangi anggur,
harum roti, hangat perapian dan liar percintaan
tak sekali pun menenangkan.
Aku ingin mencintaimu dan tinggal lebih lama
tapi matahari di negerimu terlalu terik dan pikiranku
mudah meranggas. Aku tak akan membiarkanmu
melihat cabang-cabangku terulur ke langit seperti
tangan seorang pendosa yang putus asa.
Aku ingin mencintamu dan tinggal lebih lama
tapi aku hanya punya sebuah koper untuk mengepak
diriku jika sewaktu-waktu harus pergi. Tidak ada
ruang untuk melarikanmu, tidak ada ruang
untuk lari darimu.
Kelak aku pun harus pergi karena kebahagiaan
seperti wabah dan tubuhku tidak mungkin tabah
menampungnya. Aku hanyalah pengungsi abadi
dari negeri yang selamanya bertikai:
diriku sendiri.
PENGETUK
Jika nanti aku mengetuk pintumu
apakah kau akan menghentikan pekerjaan
dan bergegas ke ruang depan rumahmu?
Jika nanti aku mengetuk pintumu
apakah jantungmu akan berdebar-debar
dan hati kecilmu berseru memanggilku?
Jika nanti aku mengetuk pintumu
apakah kaubayangkan dalam pejam
bagaimana wajah dan sapaan pertamaku?
Jika nanti aku mengetuk pintumu
apakah kau akan jatuh cinta lagi?
akukah masa mudamu yang kembali?
PENYELINAP
Di malam tertentu, aku menyelinap ke ladang buahmu
mengairi yang ada dan melihat semua baik adanya
pilihlah yang masak, sesap manis buahnya, katamu
kuingin wangimu sebab hari depan masam untukku
kusayat daging buahmu, segar dan merah berpadu
tanpa pernah tahu mengapa kata-kata getir semata
dan hanya buah-buah terbaikmulah penawarnya.
Kelak para penjagamu akan mengejar bagai anjing
dan mengadiliku seperti pencuri jika kau gagal panen
mereka lupa kau yang membiarkanku berpesta atas
buah-buah yang masak di tubuhmu, atas buah-buah
yang sengaja kuselamatkan sebelum menggelinding
ke jalan raya seperti bayi-bayi yang lahir ke dunia.
PENGKHIANAT
Cintaku keras kepala. Tidak hanya diam
dan mengawasi semua dari kejauhan
Cintaku adalah kegilaan, menembus aturan
terbang lintas ruang menuju keabadian.
Cintaku licik tiada terkira. Tak hanya memejam
mendoakan tiap-tiap diri demi kebaikan
Cintaku juga ketamakan, menebus penggenapan
menjemput sendiri maut dan kejatuhan.
Kupandang langit dari ujung tebing ini
sedikit di atas batu-batu bergerigi: tengadah
bersiap menerima tubuh di tanah darah.
Kubayangkan nun jauh di sana
aku bebas menciummu berkali-kali
tanpa dihakimi, tanpa disalahpahami.
Tapi tak bisa kubayangkan: sebentar sepi
menghujani. Kata-kata akan habis lagi
aku terpencil di kekal api.
PEZIARAH
Jangan kausisakan kata-kata di balik lidahmu.
Ombak di sini akan tetap menggulung seluruh
yang tak terkatakan. Mengapa kau berdiam di situ?
Masuklah, tidak ada semak yang terbakar dan kau tak
perlu melepas kasutmu. Tak perlu melepas petualangan
yang tak pernah terikat padamu. Bialah lakon sehari
cukup untuk ingatan satu abad. Sebentar malam
merendam seluruh pengetahuan termasuk bahasa ibumu.
Pandanglah aku, daki bukit itu dengan ketetapan yang
kupatri di kedua kakinya. Kau tak akan tergelincir.
Tak ada kerikil yang mendendam mata kakimu.
Aku batu penjuru: ke mana arah mataku
ke situ ziarah kakimu.
PENGGAMBAR
Dalam buku gambar anakku, matahari tidak muncul
dari sepasang gunung, tiada petani menggarap sawah
tiada sungai membelah deretan pohon-pohon.
Dalam buku gambar anakku, matahari tertutup gedung
berimpit rumah-rumah, jalanan disesaki mobil mewah
begitu ramai, penuh jalan layang dinding beton.
Hingga tanpa sepengetahuan anakku, dalam tidurku
kubongkar mimpi-mimpi, kucari buku gambarku sendiri
agar aku bisa menggambar ulang duniaku
agar anakku punya gambaran tentang diriku
Anakku, anakku, mengapa engkau
tak meninggalkanku?
PERUPA
Tuhan memahat tubuh perupa
Perupa-perupa memahat batu
Batuan memahat kulit peradaban
Peradaban perlahan tapi pasti
memahat rupa tahun-tahun
hantu-hantu, tu-
PENYERU
Ketika aku bersamamu, butir-butir darahku
menjelma anak-anak kijang yang berlarian
mengejar induknya dari hutan ke telaga.
Ketika aku bersamamu, urat-urat nadiku
menegang bagai tali pedati yang ditarik
puluhan kuda ke sebuah bukit di utara.
Ketika aku bersamamu, inti sukmaku
memendar ribuan warna cahaya yang
tertangkap mata; tak tersingkap aksara.
Ketika aku bersamamu, ganjil tubuhku
ingin menyatu dengan segenap tubuhmu
bagai ruang dan waktu, raung dalam seru.
Tentang Adimas Immanuel
Adimas Immanuel Gunawan lahir di Solo, 8 Juli 1991. Buku puisinya antara lain: Pelesir Mimpi, Di Hadapan Rahasia, Suaramu Jalan Pulang yang Kukenali. Bekerja sebagai konsultan komunikasi pemasaran.
Catatan Lain
Buku puisi ini terbagi
dalam 6 bagian, yang hanya ditandai angka I s.d. VI. Paling sedikit bagian I,
dengan 3 puisi dan terbanyak bagian V dengan 9 puisi. Ada 7 foto dari M. Aan
Masyur. Diletakkan membuka bab baru dan sebelum biodata. Semua judul puisi
berawalan Pe-, yang menunjukkan seseorang, seperti Pejalan, Perantau,
Pengungsi, Pencari, Petualang, Penumpang, Penyendiri, Pembisik, Penggenggam,
Pemangsa, Pesolek, dll. Setiap judul itu diletakkan di halaman sendiri,
terpisah dari puisinya. Oya, di halaman belakang buku ada endorse dari Joko
Pinurbo: “Membaca sajak-sajak Adimas Immanuel ibarat mendengarkan seseorang
yang sedang bersenandika tentang cinta sehabis membaca berbagai narasi dalam
Kitab Suci yang penuh tamsil. Alih-alih mau menjadi pencari makna dan pendedah
tamsil, si “aku” malah beralih rupa menjadi tamsil bagi dirinya sendiri. Cinta
dalam permenungan Dimas adalah cinta yang gelisah.” Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar