Minggu, 10 September 2023

Rini Febriani Hauri: NIPAH PANJANG

 

                                                Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Nipah Panjang
Penulis: Rini Febriani Hauri
Penerbit: Basabasi, Bantul, Yogyakarta.
Cetakan: I, Oktober 2019
Tebal: 88 halaman (48 puisi)
Penyunting: Tia Setiadi
Pemeriksa Aksara: Aris Rahman
Tata Sampul: sukutangan
Tata Isi: Aira
Pracetak: Kiki
ISBN: 978-623-6631-43-0 (PDF)
 
Sepilihan puisi Rini Febriani Hauri dalam Nipah Panjang
 
Bayang-Bayang
 
aku ingin merekam kematian di dalam puisi
di saat bayangnya terus memburuku
gagak-gagak beterbangan menuju kepala
mengisap segala ingatan
tentang bahasa
 
aku ingin merekam kematian di dalam puisi
sebab segala kehampaan adalah pertanda yang sepi
seperti buku tua yang ditinggalkan
dan rak-rak yang digerogoti rayap
saksi kekayaan terakhir
para penyair
 
aku ingin merekam kematian di dalam puisi
ketika jemari semakin rapuh dan kering
bahasa tidak menyelamatkan apa pun
termasuk pikiranku
ia adalah mesin yang bekerja
di luar tubuh
 
aku ingin merekam kematian di dalam puisi
di waktu-waktu yang disediakan oleh semesta
di saat ajal sebentar lagi datang
aku ingin mati dan dilupakan jagat raya
 
aku ingin merekam kematian di dalam puisi
: kelak semua yang dibahasakan
akan dibisukan
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Nipah Panjang
 
Nipah Panjang, kutelusuri engkau
angin di antara pucuk-pucuk nibung
mengapung di Sungai Lokan
seribu jembatan tersenyum
menyambut ramah
 
kerikil tanah merah menembus kaki
nyiur dan pohom jambe tertiup angin
berlarian di atas kepala
aroma pelabuhan
melepas kelahiran
kesunyian melengking,
seiring bunyi tongkang
dan gemeretak roda di lubang jalan
betapa perjalanan ini begitu manis
 
kapal-kapal itu membisu
dalam bayang-bayang yang tak terkatakan
kopra dan jambe berlayar ke negeri nun jauh
meninggalkan batang-batang yang rapuh
akankah kita selamanya di sini?
memandang laut yang pura-pura
di antara muara dan bau amis tersisa
 
dengarlah kelakar para cukong
menceritakan sejarah ikan-ikan
dari jala para nelayan
kapal-kapal kosong teronggok di dermaga
tak ada lagi yang perlu diseberangkan
laut telah menghapus maut
daratan memberikan kehidupan
 
tiang-tiang pancang pabrik
menghidupi para pelancong
dari sisik kulit kerang, pinang,
dan tempurung yang matang
cerobong-cerobong menyemburkan harapan
bersitegang dengan rumah-rumah papan
 
oh, terasi dan ikan asin
betapa sesak perjalananmu
sebagaimana diriwayatkan
daun-daun nipah
sepanjang lidah
 
oh, kehidupan yang kelam
bilamana kematian datang
seperti isyarat gelombang pasang
siapa yang akan tinggal di laut
menghuni kesepian?
ataukah semua ini berakhir
tatkala kita diasingkan daratan?
 
bersukacitalah, tanah yang dirindukan
genggam jemariku, bersama jalan berliku
demi berabad-abad pengasingan
akan kutanggalkan luapan duka
demi nyanyian burung malam yang pecah
akan kuredam gejolak amarah
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Sepasang Mata Ikan
 
Di mata ibu, ada sepasang mata ikan
yang disukai ayahku
 
bahasa kesunyian mengeringkan air mata
dari sebuah ironi dan penantian
: sebuah ranjang dingin, tanpa selimut
 
gemerincing anak kunci seperti amsal
sebab kepulangan yang dirindukan
adalah kemurungan yang tak selesai
 
cat-cat tembok mengelupas
menyerupai parutan
serupa wajah ayah yang ditelan laut
 
di dapur ibu, ada sepasang mata ikan
yang tergantung pasrah pada keheningan
 
malam di luar jendela, mengisyaratkan kecemasan
antara kenangan dan kuburan
tak ada pilihan selain dilupakan
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Biji Para
 
Biji para menjatuhkan tubuhnya
ke atap rumahmu
di masa kanak,
kau memungut dan memainkannya
 
tapi masa lalu sudah usai
dan teman bermainmu
menjelma mesin di perkotaan
 
pohon-pohon karet mengeluarkan
kental putih darah
mengalirkan kesunyian ke jantungmu
 
di antara biji-bijian dan dedaunan
yang berguguran
mata ibumu yang asing
menangkap matamu di jendela
 
lalu, kau bergegas ingin pulang
: menuju kesendirian dan kuburan
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Air Hitam
 
kuserahkan diriku; sebuah tanah yang diam
mencengkeram kesunyian
di dermaga, daun-daun berguguran
suara kematian jauh
dari kapal-kapal yang berlabuh
 
aroma kopra dan dendang melayu
menyapa kehampaan yang berdenging di telinga
hujan turun begitu cepat
sampah tergenang di tinggi kaki rumah
pasang air sungai tertinggal di matamu
kesedihan merayap ke tubuhmu
 
ini bulan safar
langit membuka ruang bagi burung-burung camar
segala yang berjarak melebur kerinduan
airmu menjadi payau
disesap rumpun-rumpun bakau
mantra dan doa serupa perjamuan
yang tak habis bagi pasasir
sedandang lepat ditanak;
segala yang dipanjatkan lekas berpijak
sepucuk nipah serumpun nibung
selamatlah dunia!
selamatlah jiwa-jiwa!
 
oh, bulan safar
bintang di ufuk bersinar terang
betapa pasang dan surut
tak lebih dari pulang
kepada maut
 
Jerambah Bolong, 2017
 
 
Dongeng Bukit Duabelas
 
Kami hanyalah sisa-sisa belantara
di antara gempita eskavator dan chainsaw
yang memberadabkan negeri dari tradisi
 
di antara setapak yang jauh masuk ke tengah rimba
para dewa bersemayam menanam biji dan kesuburan
hingga tumbuhlah moyang dan inang kami
seperti bersatunya lumut pada tumpukan batu
dan kayu
 
sejak peradaban datang,
siang semakin lama menjelang
dan hati terasa pengap diterpa kabut asap
 
babi hutan sulit ditemukan
pohon-pohon sawit mengisap kehidupan
sepanjang sungai pergi dan terlupakan
 
pokok-pokok kayu menganga
seperti mengisahkan dongeng cenayang
yang tak lagi singgah memberi isyarat
pada tumenggung yang letih menerka masa depan
 
kau lihat? beras telah melahirkan kaum eksodus
yang rela keluar rimba tanpa kepastian
dan juga restu nenek moyang
kecuali mereka menjadi kuli dari lahan sawit
sekadar mengobati rasa takut dari perut yang buncit
 
di sudung yang murung, beras tinggal dua gelas
betapa nahas hidup terkatung di tengah rimba
pelahan-lahan dihancurkan pendatang
 
lihatlah, jalan-jalan terbuka lebar dan matang
semakin ke dalam, semakin lapang;
hanya deru angin menyapu hamparan belukar
 
Muaro Jambi, 2018
 
 
Di Sialang
 
Di Sialang,
hutan tinggal bayang
tak ada jalan menuju pulang
pada bayangan sendiri
tersisa gelap yang menyakitkan
 
di Sialang,
kampung-kampung terasa hampa
sebab udara bernubuat dengan kesepian
kami serupa manekin
yang menunggu talkin dibisikkan
 
di Sialang
maut seperti lahan gambut
yang menelan pohon-pohon
mambang pergi jauh
meninggalkan mastodon
 
di Sialang,
rumah-rumah seperti batu
tidak mampu menahan rindu
dan pelan-pelan,
kami terbakar zaman
 
Muaro Jambi, 2018
 
 
Amsal
 
Bilamana aku bukanlah gadis rimba
aku ingin menjadi pemimpin yang setia
dari segala perjalanan
hingga para dewa datang
dan wajah semesta menghujatku
 
wahai mimpi-mimpi dalam tubuhku
wahai pohon-pohon gersang dalam jiwaku
di mana akan kujumpai
segala yang bersembunyi?
 
Muaro Jambi, 2018
 
 
Induk Bejajo
 
ci la’ be’ be’
ci la’ be’ be’
 
di jalan setapak belantara
induk bejajo tak henti merapal mantra
ambung penuh singkong menjangkau kesunyian
langit telah terang dan air matanya tak hendak turun
sebab petunjuk dewa bukanlah dusta
dan muasal perjalanan menyisakan kehampaan
 
ci la’ be’ be’
ci la’ be’ be’
 
di tepi gubuk tanpa dinding
tuhan mengiriminya cinta
dan orang berperut besar
menjadikannya nestapa
 
nasib adalah sepasang buah dada
yang keriput dimakan usia
 
“cara kami melawan
adalah dengan menanam.”
 
Muaro Jambi, 2018
 
 
Seloko
 
bahwa akulah pinang yang diriwayatkan
dari remang seberang yang tak dibayangkan
 
dan engkaulah sirih yang letih
mencecap segala getir yang perih
 
di tepak cerano, adat adalah pesako
kato dituang menjadi lembago
 
 
/i/ Beghusik Sighih Begughau Pinang
 
sudah kuduga kau akan bertandang
dari pulau nun jauh di seberang
 
kau bujang dan aku gadis
kito besuo di hadapan majelis
 
oh sirihku, akulah pinang yang beruntung
menahan getir di ujung lidah
 
kepada bujang pemilik rindu
yang bersampan dari seberang hulu
 
dan aku yang bertahan di hilir
menunggu dalam cemas tiada akhir
 
kupasrahkan hidup pada adat
sebab setiap napas akan pampat
 
/ii/ Tegak Batuik Duduk Batanyo
 
wahai Mak Inang,
akulah bujang dari seberang
dengan peluh keberanian
aku datang bertandang
 
cerano ini adalah isyarat
bahwa cinta takkan berkhianat
kau yang menyediakan tempat
aku yang akan bermufakat
 
/iii/ Serah Terimo Adat Lembago
 
telah kami panggil kau dari jauh
menjadi saksi cerano yang utuh
 
wahai ninik mamak,
bujang dan gadis ini tak lagi kanak
 
kami datang dari jauh
menempuh jajuh meniti larik,
bukit yang tinggi lah kami daki
lurah nan dalam lah kami turuni
 
“anak pungguk mengindukan bulan
akan tetapi, ndak kami apokan, ninik mamak,
hatinyo lah samo bakutuk
mato lah samo besetan”1
 
wahai ninik mamak,
terimalah bujang kami
yang sederhana ini
 
/iv/ Adat Diisi Lembago Dituang
 
sekapur sirih dipersembahkan
cincin belah rotan disematkan
 
kapada adat, martabat diangkat
kepala lumbago, dapur dijago
 
selemak semanis, seasam segaram
pendiangan telah dinyalakan
dan ikrar tidak boleh padam
 
/v/ Cuci Kaki Santan Bermanis
 
santan ini akan menuba segala dosamu
sebab air saja tidak cukup menanggungkannya
 
di altar suci, inilah kita
sepasang muda yang hina
di antara kegilaan dan kesenangan
segalanya bermula dari sini
 
maka kubasuh kakimu
sebelum memasuki
dosa-dosa selanjutnya
 
/vi/ Nasi Sapat
 
oh, nikmatnya dunia
dari lidah hingga ke dada
cecap dan kunyahlah
lemak nan gurih ini
 
“sudah tidak ada lagi
gulai di dapur.
tidak lagi datang kerabat
barangkali inilah nasi sapat
yang terakhir.”
 
manusio berpingkat turun
meninggalkan laku dengan perangai
perangai bujang tinggallah di bujang
perangai gadis tinggallah di gadis
jangan leko di ujung tanjung
melihat ayek sedang hilir2
 
Muaro Jambi, 2018
1) 2) dikutip dari buku Prosesi Pernikahan Adat Melayu Kota Jambi (2012)
 
 
Tentang Rini Febriani Hauri
Rini Febriani Hauri lahir di Jambi, 28 Juli. Bukunya antara lain Suatu Sore Bersama Jassin (puisi, 2016), Perempuan dalam Dua Kisah (cerpen, 2017), Bececakop (esai, 2018), Lubuk Bumbun (buku anak, 2017), Hikayat Depati Parbo (2017), Kuliner Khas Jambi, Sedap Nian Oi (2018), Sultan Thaha Saifuddin (2018). Menetap di Jambi.
 
 
Catatan Lain
            Pengantar Penyair ada di halaman 5 dan 6. Tulisnya: “Puisi-puisi yang saya tulis di buku ini bukan merupakan catatan perjalan hidup saya, namun lebih kepada rekam jejak kehidupan lingkungan sekitar yang saya amati, baik hal yang menyangkut tentang alam, mitos, tradisi, rahasia, teka teki, maupun masalah kehidupan di tanah kelahiran.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar