Data buku kumpulan puisi
Judul : Meditasi Rindu
Penulis : Micky Hidayat
Cetakan :
I, Desember 2008
Penerbit :
Tahura Media, Banjarmasin
Tebal :
xvi + 200 halaman (108 judul puisi)
ISBN :
978-602-84140-0-5
Pengantar :
Sepi, Luka, Cinta dan Meditasi Rindu Micky Hidayat (Agus R. Sarjono)
Beberapa pilihan puisi Micky Hidayat dalam Meditasi Rindu
Sajak Untukmu
bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah rinduku yang mengharap kehadiranmu
bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku
adalah kesepianku ingin selalu bersamamu
bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu
bila lukaku meneteskan darah di batu
adalah kekerasan hatiku mencintaimu
bila ternyata kau tak mencintaiku
aku tetap menulis sajak-sajak untukmu
1980
aku dan rindu, kita dan cinta
yang terluka dikoyak-koyak waktu.
mimpi dan igau, kenangan purba
tinggal jejak, gerutu sebuah suara
entah suara siapa?
1981
Ekstase Puisi, 1
puisi
lapar
dari segala laparku
dahaga
dari segala dahagaku
hasrat
dari segala hasratku
rasa
dari segala rasaku
diam
dari segala gerakku
gerak
dari segala diamku
gairah
dari segala puncakku
puncak
dari segala gairahku
puisi
dagingku
puisi
tulangku
puisi
denyut urat nadiku
puisi
darahku
puisi
nanahku
puisi
kelaminku
puisi
buah
zakarku
puisi
liang
duburku
puisi
beribu-ribu
kesabaranku
puisi
berjuta-juta
kekuatanku
puisi
bermilyar-milyar
keberanianku
bertarung
melawan
hembusan
angin napasku
gelora
laut nafsuku
getaran
dinding jiwaku
geliat
asap sukmaku
geliat
api syahwatku
geliat
luka jantungku
bertarung
melawan
setan
segala setan di dalam diriku
puisi
sembahyangku
puisi
doaku
puisi
zikirku
puisi
istighfarku
puisi
ngajiku
puisi
i’tikafku
puisi
makrifatku
puisi
rindu
dari segala kerinduanku
puisi
nikmat dari segala kenikmatanku
puisiku
melebur
dalam
genggaman-Mu
seluruh
1982
Kemerdekaan Gelatik
bila kau pernah melihat seekor burung
terbang meninggalkan sangkarnya
menembus langit putih cuaca
itulah aku – si burung gelatik yang terluka
mencari kemerdekaan di jagat semesta
terbang dan terus terbang dalam kepedihan
hanya angin menggerak-gerakkan sayapku
aku tak ingin lagi terperangkap dalam sangkar
kemewahan, yang dipasang beribu tangan
dan disambut dengan upacara sakral dan
kehormatan
aku tak perlu lagi suguhan makanan lezat-lezat
dan minuman nikmat-nikmat
tapi aku ingin memakan dagingku sendiri
dan minum darah keringatku sendiri
aku pun tak perlu lagi janji-janji surga
gemerlap
juga terbuai impian-impian kosong
yang membersitkan kesia-siaan
kalau kau lihat seekor burung terbang
berkicau dan terus berkicau dalam kesendirian
itulah aku, si gelatik berlumur darah
ditikam kekecewaan dan teror tak pernah sudah
lantaran hidup melulu diwarnai kengerian
dan keputusasaan
juga sekian banyak tuntutan
o, akulah si gelatik yang terbang sendiri
akulah si gelatik yang berkicau tak
henti-henti
di kesunyian abadi
1982
Sajak Petualang
untuk
Eko Suryadi WS
kita adalah penyair
petualang
dari kota asing menuju ke kota
asing lain
dari negeri asing
singgah ke negeri asing lain
hanya berbekal
sekeranjang sajak-sajak
berlumur darah,
perih, duka, mimpi,
kenangan,
kekecewaan, dan luka-cinta
kitalah penyair
yang selalu merindukan
pantai dengan
hamparan pasir putihnya
laut dengan deburan
ombaknya
angin dengan
rahasia badainya
batu karang dengan
keangkuhan dan ketegarannya
kita adalah penyair
petualang
yang selalu
merindukan jalan pulang
tapi rintangan
selalu saja berulang menghadang
seperti cakrawala
tak terjangkau ketinggian gelombang
1982
Memandang Langit
Setiap kali
memandang langit
Hidupku menjadi
asing dan sunyi
Keinginan pun
diam-diam tumbuh
Meneduh dalam
kebisuan rahasianya
Setiap kali memandang
langit
Serasa aku tak
berpijak di bumi
Melayang-layang di
ketinggian semesta-Mu
Langit menelan
tubuhku!
1985
Sehabis Percakapan
Sehabis percakapan
Semuanya menjadi
gaib
Langit terbongkar
Matahari terbakar
Menggambarkan
huru-hara
Di bumi yang asing
Kata-kata yang
diucapkan
Berbatu-batu
Semakin kesepianku
membatu
Betapa terasa jauh
jarak antara kita
Terpisah dari satu
negeri asing
Ke lain negeri
asing
Padahal percakapan
masih kubutuhkan
Tapi hanya sepi
yang mengucap
Sehabis percakapan
Segalanya menjadi
gaib dan tersimpan
Di kerahasiaan yang
maha rahasia ini
Aku ingin tenggelam
menyelam
Ke dalam kegelapan
dan ketiadaan
Lewat doa dan
sujudku
Dan abjad-abjad
kesunyianku
Baiklah, sebelum
langit menawarkan kelam
Atau kesia-siaan
Di kediaman batu
diri kusembunyikan
Sendirian,
sendirian
Mengimani sisa-sisa
kehidupan
1986
Akhirnya Kutempuh
Jalan Sunyi
Dengan hati yang jelaga
Akhirnya kutempuh jalan sunyi
Di antara kebisingan dan polusi kota
Di balik tatapan aneh iklan-iklan baja
Gemerlap cahaya lampu elektronika
Dan gedung-gedung kaca berjulangan
Memantulkan bayanganku yang seakan tiada
Rasanya tak ada tempat bagi diriku
Untuk merenungi hakikat hidup ini
Bahkan di dalam tubuhku sendiri
Tak ada sedikit pun celah-celah
Untuk mengenali jiwaku
Yang senantiasa diteror keletihan panjang
Menghadapi hidup yang tegang dan mengambang
Tak habis-habis
menimpukku batu demi batu kepalsuan
Hingga jiwaku yang mawar mabuk dan sempoyongan
Menjelajahi belantara kegelapan
Terperangkap dalam sergapan kecemasan
Akhirnya kutempuh juga jalan sunyi
Dalam getar sujudku, kuseru berulang nama-Mu
Telah kusempurnakan pasrahku yang membatu
Di tengah himpitan peradaban zalim dan jahiliyah ini
Di tengah
cengkeraman materialisme dan hedonisme ini
Di saat terpaan kanker teknologi
Membius akal sehat ini
Hanya kepada-Mu aku mengadu
Menyampaikan ketidakberdayaanku
Akhirnya kutempuh jalan sunyi
Ya Allah Yang Maha
Pengampun dan Maha Bijaksana
Ampuni kelancangan hamba yang dhaif ini
Mencoba
mengumandangkan retorika kebenaran kalam
Mencoba melafadzkan
ayat-ayat kejujuran dan keadilan
Mencoba dengan suara terbata-bata berikrar:
Bukan jabatan atau kedudukan yang kuharapkan
Bukan kekayaan dan kejayaan yang kulaparkan
Bukan sajak-sajak yang kuberhalakan
Bukan kepenyairan yang kuagung-agungkan
Bukan pula
kehebatan dan keunggulan yang kuhauskan
Atas ridho-Mu,
hanya kemenangan Akhirat kudambakan
Subhanallah
Alhamdulillah
Lailaha Illallah
Allahu Akbar
Bismillah
Akhirnya harus
kutempuh jalan sunyi yang paling sunyi
Dengan kesabaran
dan kesadaran
Yang menuntunku
tanpa kata
Aku telah siap
mendaki ketinggian gunung
Tak gentar walau
terjatuh dari puncaknya
Aku siap memasuki
rimba lebat tanpa alamat
Tak perlu takut
kehilangan arah ataupun tersesat
Aku pun siap
menyusuri keriuhan jalan raya
Tanpa matahari,
bulan, dan bintang-bintang
Aku ingin tenggelam
menyelam ke dalam kegelapan
Kureguk darah
kehidupan dengan air mata doa
Kuimani abjad-abjad
kesunyian di puncak keberadaan
Sebelum langit
menawarkan kelam bahkan kesia-siaan
Akhirnya kutempuh
jalan sunyi
Sendirian,
sendirian
Seperti hatiku yang
sunyi
Pasrah di atas
batu, diterjang arus air kali
Tak pernah cemas
menerima duka abadi
1997
Tak Bisa Kucatat
dalam Sajak
begitu
banyak peristiwa
melintas
di mataku
mendengung
di telingaku
mengendap
di benakku
dan
menyayat-nyayat batinku
tak
bisa tercatat dalam sajakku
begitu
banyak kata-kata
menari-nari
di mataku
meloncat-loncat
di telingaku
meliuk-liuk
di benakku
dan
menggelinding di batinku
tak
bisa tercatat dalam sajakku
begitu
banyak peristiwa
dan
kata-kata
lunglai
tak berdaya
ketika
kucoba
membangunkannya
2006
Telah Kuhapus Kata-kata*
telah kuhapus
kata-kata yang pernah kutuliskan
sebab tak ada lagi
yang bisa kutawarkan
selain kesunyian
dan kecemasan
atau kekosongan dan
kekecewaan
hingga langit yang
kutasbihkan
pecah berkeping dan
jatuh di lautan
telah kuhapus
kata-kata yang pernah kuucapkan
sebab laut jiwaku
tak kuasa menerjemahkan
rahasia angin,
badai, dan gelombang
sebab perahu jiwaku
yang retak makin gamang
putar haluan atau
meneruskan saja pelayaran
telah kuhapus
kata-kata
dan biarlah
segalanya kulupakan
sebelum matahari,
bulan, dan bintang-bintang
tak lagi
memancarkan sinarnya
pada diriku yang
tiada
2007
____________
* 100 Puisi Indonesia
Terbaik 2008 – Anugerah Sastra Pena Kencana
(Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta ,
2008)
Tentang Micky Hidayat
MICKY HIDAYAT, lahir di Banjarmasin ,
4 Mei 1959. Setamat Sekolah Teknik Menengah melanjutkan kuliah di
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
(tidak tamat), dan di jurusan Ilmu Komunikasi, program studi Jurnalistik,
Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin . Mulai bergiat menulis sajak sejak tahun 1978.
Di samping sajak ia juga menulis esai sastra, kritik sastra dan teater,
reportase seni, artikel masalah sosial, politik, gerakan mahasiswa, dan
kebudayaan. Karyanya dipublikasikan di berbagai media massa
daerah dan nasional. Sajak-sajaknya juga
diterbitkan dalam antologi bersama di berbagai event/forum dan festival sastra,
Penyair ASEAN (Yayasan Sanggar SEMU, Bali, 1983), Puisi Indonesia ’87
(Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Kul Kul (Sanggar Minum Kopi Bali,
1992), Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (Taman Budaya Jawa
Tengah, 1995), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Masyarakat Sastra Jakarta,
2000), Datang Dari Masa Depan (Sanggar Sastra Tasik, Tasikmalaya, 2000),
Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai
Bahasa Sumatera Utara, Medan, 2005), Perkawinan Batu (Dewan Kesenian
Jakarta, 2005), 142 Penyair Menuju Bulan –
Antologi Puisi Penyair Nusantara (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru,
2006), Cinta Disucikan, Kehidupan Dirayakan
(Komunitas Selakunda, Tabanan, Bali, 2007), Medan Puisi – Antologi
Puisi Pesta Penyair Indonesia (Laboratorium Sastra Medan, 2007),
Antologi Puisi Penyair Kontemporer Indonesia – antologi puisi dalam dwi
bahasa: Indonesia dan
Mandarin (Perhimpunan Penulis Yin-Hua, 2007), Salah satu puisinya berjudul
“Telah Kuhapus Kata-kata” dimuat dalam antologi 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 – Anugerah Sastra
Pena Kencana (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , 2008).
Sebagai aktivis sastra, ia juga
aktif bergiat di berbagai organisasi
kesenian dan komunitas sastra. Tahun 1981, bersama beberapa penyair Banjarmasin
mendirikan Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB), pendiri sekaligus ketua
Bengkel Sastra Banjarmasin (1983-1987).
Bersama para aktivis sastra di Banjarmasin, tahun 2004 mendeklarasikan
berdirinya Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin, dan ia dipercayakan
menjabat sebagai Ketua (periode 2004-2007). Pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia di
Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008, ia terpilih sebagai Ketua III Dewan
Pengurus Pusat Komunitas Sastra Indonesia
periode 2008-2010, dan Koordinator Daerah KSI Kalimantan Selatan.
Tahun 1997, namanya tercatat di Museum
Rekor Indonesia (MURI) karena berhasil menciptakan rekor membaca sajak selama
5,5 jam nonstop. Tahun 1998, atas
reputasi, prestasi, konsistensi, dan dedikasinya di bidang sastra, ia menerima
penghargaan seni dari Gubernur Kalimantan Selatan.
Catatan
Lain
Buku Micky Hidayat,
yang terbit Desember 2008 itu, baru saya dapatkan versi cetaknya tanggal 13
Oktober 2011. Selepas diskusi sastra di Taman Budaya Banjarmasin, yang juga
dihadiri Raudal Tanjung Banua, saya sambangi rumah Hajri di Pal 6 dan langsung
menodongnya untuk pinjam buku Micky. Telah lama saya pengen pinjam dan
mengutarakan maksud saya, baru sekarang kesampaian. Buku Meditasi Rindu pernah
didiskusikan di Taman Budaya pada Festival Sastra Kalimantan Selatan, bulan
Desember 2009. Acara yang waktu itu menjadi tandingan pelaksanaan Aruh Sastra
di Marabahan, Batola. Selain membahas buku Micky oleh Jamal T. Suryanata,
dibahas juga kumcer “Bintang Kecil di Langit yang Kelam” karya Jamal oleh
Zulfaisal Putera. Selain itu, dihadirkan juga pembicara lain yang bicara
tentang tema lain, yaitu Faruk HT dan Taufik Arbain. Acara yang digelar hari
Sabtu itu, seingat saya, juga dihadiri antara lain YS. Agus Suseno, Mahmud
Jauhari Ali, Arsyad Indradi, dll. Hari Minggunya, saya langsung ngacir ke
Marabahan, bersama sepupu saya naik motor. Sempat mengikuti pembicaraan Setia
Budi tentang syair klasik pedalaman Kalimantan dan kangen-kangenan dengan Kai
Janggut Naga (Ibramsyah Amandit).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar