Data buku
Judul : Sitti Nurbaya, Kasih tak Sampai
(novel)
Penulis : Marah Rusli
Cetakan :
38, 2003 (Cet. 1. 1922)
Penerbit :
Balai Pustaka, Jakarta
Tebal :
271 halaman
ISBN :
979-407-167-6
Desain sampul :
Tim Desain Balai Pustaka
Gambar isi :
Nasrun A.S.
Beberapa gubahan puisi (pantun dan syair)
karya Marah Rusli dalam novel Sitti
Nurbaya
Pantun Pulau Pandan Jauh di
Tengah
Pulau Pandan jauh di tengah
di balik pulau angsa Dua
Hancur badanku di kandung tanah
cahaya matamu kuingat jua
Padang Panjang dilingkar bukit
bukit dilingkar kayu jati
Kasih sayang bukan sedikit
dari mulut sampai ke hati
(dalam Bab. III:
Berjalan-jalan ke Gunung Padang)
Pantun Bulan Terang Bulan
Purnama (pantun berbalas)
+ Bulan terang bulan
purnama
nagasari disangka daun
Jangan dikata bercerai lama
bercerai sehari rasa setahun
Seragi kain dengan benang
biar terlipat jangan tergulung
Serasi adik dengan abang
sejak di rahim bunda kandung
- Dari Medang ke pulau
Banda
belajar lalu ke Bintuhan
Tiga bulan di kandung Bunda
jodoh ‘lah ada pada Tuan
+ Anak Cina duduk
menyurat
menyurat di atas meja batu
Dari dunia sampai akhirat
tubuh yang dua jadi satu
Berlubur negeri berdesa
ditaruh pinang dalam puan
Biar hancur biar binasa
asal bersama dengan Tuan.
- Pulau Pinang kersik berderai
tempat burung bersangkar dua
Jangan bimbang kasih ‘kan cerai
jika untung bertemu jua
Jika ada sumur di ladang
tentulah boleh menumpang mandi
Jika ada umur yang panjang
tentulah dapat bertemu lagi
Ke rimba ke padang jangan
bunga cempaka kembang biru
Tercinta
terbimbang jangan
adat
muda menanggung rindu
Ke
rimba orang Kinanti
bersuluh
api batang pisang
Jika
tercinta tahankan hati
kirimkan
rindu ke burung terbang
(dalam bab V. Samsul
Bahri berangkat ke Jakarta)
Pantun Mempelam Tumbuh di
Pulau (pantun berbalas)
+ Mempelam tumbuh di
pulau
patah
sedahan dijatuhkan
Semalam
ini kita bergurau
esok
Adik kutinggalkan
- Berlayarlah ke pulau bekal
nakhoda
makan bertudung saji
Sambutlah
salam adik yang tinggal
selamat
Kakanda pulang pergi
Ribu-ribu di pinggir jalan
tanam di ladang kunyit temu
Jika rindu pandanglah bulan
di situ cinta dapat bertemu
+ Kapal kembali dari
Jawa
masuk
kuala Inderagiri
Tinggallah
Adik tinggallah nyawa
besok
kakanda akan pergi
- Berbunyi gendang di Pauh
orang
menari di halaman
Sungguh
Kakanda berjalan jaun
hilang di mata di hati jangan
Meletus
gunung dekat Bantan
terbenam
pulau dekat Jawa
Cinta
jangan diubahkan
jika
putus, sambungkan nyawa
+ Jika hari, hari
Jumat
haji
memakai baju jubah
Walaupun
hari akan kiamat
cinta
di hati jangan berubah
Jika Perak kerani Keling
berlayar
tentang Tapak Tuan
Putih
gagak hitamlah gading
tidak
putus cintakan Tuan
(dalam bab V. Samsul
Bahri berangkat ke Jakarta)
Pantun Anak Cina
Bermain Wayang
(Pantun Rindu Sitti
Nurbaya)
Anak Cina bermain
wayang
anak Keling bermain
api
Jika siang
terbayang-bayang
jika malam menjadi
mimpi
Terbang melayang
kunang-kunang
anak balam mati
tergugur
Jatuh ke tanah ke atas
kembang
kembang kuning kembang
cempaka
Jika siang tak dapat
senang
jika malam tak dapat
tidur
Pikiran kusut hati pun
bimbang
teringat kakanda Samsu
juga
Lurus jalan ke
Payakumbuh
bersimpang lalu ke
Kinali
Jika hati sama sungguh
kering lautan dapat
dinanti
Encik Amat mengaji
tamat
mengaji Quran di waktu
fajar
Biar lambat asal
selamat
tidak lari gunung
dikejar
(dalam bab VII. Surat
Samsul Bahri kepada Nurbaya)
Syair Surat Rindu
Samsul Bahri kepada Sitti Nurbaya
(Sepucuk surat,
Jakarta, 10 Agustus 1896)
Awal bermula berjejak
kalam
Pukul sebelas suatu
malam
Bulan bercaya mengedar
alam
Bintang bersinar
laksana nilam
Langit jernih cuaca
terang
Kota bersinar terang
benderang
Angin bertiup
serang-menyerang
Ombak memecah di atas
karang
Awan berarak
berganti-ganti
Cepat melayang tiada
berhenti
Menuju selatan tempat
yang pasti
Sampai ke gunung lalu
berhenti
Udara tenang hari pun
terang
Sunyi senyap bukan
sebarang
Murai berkicau di kayu
arang
Merayu hati dagang
seorang
Guntur menderu
mendayu-dayu
Pungguk merindu di
atas kayu
Hati yang riang
menjadi sayu
Pikiran melayang ke
tanah Melayu
Angin bertiup
bertalu-talu
Kalbu yang rawan
bertambah pilu
Hati dan jantung
berasa ngilu
Bagai diiris dengan
sembilu
Tatkala angin berembus
tenang
Adik yang jauh
terkenang-kenang
Air mata jatuh
berlinang
Lautan Hindia hendak
direnang
Jika dipikir
diingat-ingat
Arwah melayang terbang
semangat
Tubuh gemetar terlalu
sangat
Kepala yang sejuk
berasa angat
Betapa tidak jadi
begini
Ayam berkokok di
sana-sini
Disangka jiwa permata
seni
Datang menjelang
kakanda ini
Disangka adik datang
melayang
Mengobat kakanda mabuk
kepayang
Hati yang sedih berasa
riang
Kalbu yang tetap rasa
bergoyang
Lipur segala susah di
hati
Melihat adikku emas
sekati
Datang menjelang abang
menanti
Dagang merindu
bagaikan mati
Silakan gusti emas
tempawan
Sila mengobat dagang
yang rawan
Penyakit hebat tidak
berlawan
Sebagai kayu penuh
cendawan
Silalah adik, silalah
gusti
Sila mengobat luka di
hati
Jika lambat adik obati
Tentulah abang fana
dan mati
Tatkala sadar hilang
ketawa
Dagang seorang di
tanah Jawa
Rasakan hancur badan
dan nyawa
Nasib rupanya berbuat
kecewa
Di sana teringat badan
seorang
Jauh di rantau di
tanah seberang
Sedih hati bukan
sebarang
Sebagai manik putus
pengarang
Tunduk menangis
tercita-cita
Jatuh mencucur air
mata
Lemah segala sendi
anggota
Rindukan adik emas
juita
Teringat adik emas
sekati
Kanda mengeluh tidak
berhenti
Rindu menyesak ke hulu
hati
Rasa mencabut nyawa
yang sakti
Terkenang kepada masa
dahulu
Tiga bulan yang telah
lalu
Bergurau senda dapat
selalu
Dengan adikku yang
banyak malu
Sekarang kakanda
seorang diri
Jauh kampung halaman
negeri
Duduk bercinta
sehari-hari
Kerja lain tidak
dipikiri
Tetapi apa hendak
dikata
Sudah takdir Tuhan
semesta
Sebilang waktu duduk
bercinta
Kepada adikku emas
juita
Setelah jauh sudahlah
malam
Kakanda tertidur di
atas tilam
Bermimpi adik permata
nilam
Datang melipur gundah
di dalam
Datanglah itu seorang
diri
Tidur berbaring di
sebelah kiri
Kakanda memeluk intan
baiduri
Dicium pipi kanan dan
kiri
Tiada berapa lama
antara
Dilihat badan sebatang
kara
Abang terbangun dengan
segera
Hati yang rindu
bertambah lara
Guling kiranya berbuat
olah
Lalu mengucap
astagfirullah
Begitulah takdir
kehendak Allah
Badan yang sakit
bertambah lelah
Memang apa hendak
dibilang
Sudahlah nasib untung
yang malang
Petang dan pagi
berhati walang
Menanggung rindu
beremuk tulang
Walaupun sudah nasib
begitu
Tiada kanda berhati
mutu
Gerak takdir Tuhan
yang satu
Duduk bercinta
sebilang waktu
Jauh malam hampirkan
siang
Mataku tidak hendak
melayang
Di ruang mata adik
terbayang
Hati dan jantung rasa
bergoyang
Ayam berkokok
bersahut-sahutan
Di sebelah barat,
timur, selatan
Hatiku rindu bukan
buatan
Kepada adikku permata
intan
Di situ terkenang ibu
dan bapa
Adik dan kakak segala
rupa
Handai dan tolan kaya
dan papa
Timbul di kalbu tiada
lupa
Begitulah nasib di
rantau orang
Susah ditanggung badan
seorang
Sakit bertenggang
bukan sebarang
Sebagai terpijak duri
di karang
Setelah siang sudahlah
hari
Berjalan kakanda kian
kemari
Tak tahu apa akan
dicari
Bertemu tidak kehendak
diri
Diambil kertas ditulis
surat
Ganti tubuh badan yang
larat
Kesan nasib untung
melarat
Kepada adikku di
Sumatra Barat
Dawat dan kalam
dipilih jari
Dikarang surat di
dinihari
Ganti kakanda datang
sendiri
Ke pangkuan adik wajah
berseri
Wahai adikku indra
bangsawan
Salam kakanda dagang
yang rawan
Sepucuk surat jadi
haluan
Ke atas ribaan emas
tempawan
Mendapatkan adik
paduka suri
Cantik manis intai
baiduri
Di padang konon
namanya negeri
Duduk berdiam di rumah
sendiri
Jika kakanda peri dan
mambang
Tentulah segera melayang
terbang
Menyeberang lautan
menyongsong gelombang
Mendapatkan adik
kekasih abang
Menyerahkan diri
kepada adinda
Tulus dan ikhlas di
dalam dada
Harapan kakanda jangan
tiada
Mati di pangkuan
bangsawan muda
Adikku Nurbaya permata
delima
Dengan berahi sudahlah
lama
Hasrat di hati hendak
bersama
Dengan adikku mahkota
lima
Hendak bersama rasanya
cita
Dengan adikku emas
juita
Jika ditolong sang
dewata
Di dadalah jadi tajuk
mahkota
Tajuk mahkota jadilah
tuan
Putih kuning sangat
cumbuan
Menjadikan abang rindu
dan rawan
Laksana orang mabuk
cendawan
Karena menurut cinta
di hati
Asyik berahi punya
pekerti
Sungguhpun hidup
rasakan mati
Baru sekarang kanda
mengerti
Dendam berahi sudahlah
pasti
Tuhan yang tahu
rahasia hati
Kakanda bercinta
rasakan mati
Tidak mengindahkan
raksasa sakti
Siang dan malam duduk
bercinta
Kepada adikku emas
juita
Tiada hilang di hati
beta
Adik selalu di dalam
cipta
Jiwaku manis Nurbaya
Sitti
Putih kuning emas
sekati
Tempat melipur gundah
di hati
Ingin berdua sampaikan
mati
Tidaklah belas dewa
kencana
Memandang kanda dagang
yang hina
Makan tak kenyang
tidur tak lena
Bercintakan adik muda
teruna
Rindukan adik paras
yang gombang
Siang dan malam
berhati bimbang
Cinta di hati selalu
mengembang
Laksana perahu diayun
gelombang
Setiap hari berdukacita
Terkenang adinda emas
juita
Sakit tak dapat lagi
dikata
Sebagai bisul tidak
bermata
Tiada dapat kakanda
katakan
Asyik berahi tak
terperikan
Adik seorang kakanda
idamkan
Tiada putus kakanda
rindukan
Rusaklah hati kanda
seorang
Rindukan paras intan
di karang
Dari dahulu sampai
sekarang
Sebarang kerja rasa
terlarang
Pekerjaan lain tidak
dipikiri
Karena rindu
sehari-hari
Tiada lain keinginan
diri
Hendak bersama intan
baiduri
Ayuhai adik Sitti
Nurani
Teruslah baca suratku
ini
Ilmu mengarang sudahlah
fani
Disambung syair surat
begini
(dalam bab VII. Surat
Samsul Bahri kepada Nurbaya)
Pantun Di Sawah
Jangan Memukat Ikan
(Pantun larahati Sitti
Nurbaya)
1
Di sawah jangan
memukat ikan
ikan bersarang dalam
padi
Susah tak dapat
dikatakan
ditanggung saja dalam
hati
Gantungan dua
tergantung
tergantung di atas
peti
Ditanggung tidak
tertanggung
sakit memutus rangkai
hati
Buah pinang di dalam
puan
tumpul kacip asah di
batu
Tidakkah iba gerangan
tuan
kepada adik yatim
piatu?
Lubuk baik kuala dalam
pasir sepanjang
muaranya
Buruk baik minta
digenggam
badanlah banyak
sengsaranya
Ikatkan mati pisang
berjantung
hunus keris letakkan
dia
Niat hati hendak
bergantung
putus tali apakan daya
2
Dari Perak ke negeri
Rum
berlayar lalu ke kuala
Jangan diharap untung
yang belum
sudah tergenggam
terlepas pula
Orang Pagai mencari
lokan
kembanglah bunga
serikaya
Aku sebagai anak ikan
kering pasang apakan
daya
Singapura kersik
berderai
tempat ketam lari
berlari
Air mata jatuh
berderai
sedihkan untung badan
sendiri
Berbunyi kerbau
Rangkas Betung
berbunyi memanggil
kawan
Menangis aku menyadar
untung
untungku jauh dari
awan
Berlayar dari Teluk
Betung
anak Bogor mencari
tiram
Apa kuharap kepada
untung
perahu bocor menanti
karam
Tikar pandan dua
berlapis
dilipat digulung anak
Bangka
Sesal di badan tidak
habis
karena untung yang
celaka
(dalam bab IX.
Samsul Bahri pulang ke Padang)
Pantun Jangan
Disesal pada Tudung
(Pantun penghibur
Samsul Bahri pada kekasihnya)
Jangan disesal pada
tudung
tudung saji teredak
Bantan
Jangan disesal kepada
untung
sudah nasib permintaan
badan
Ke rimba berburu kera
dapatlah anak kambing
jantan
Sudah nasib apakan
daya
demikian sudah
permintaan badan
Sudah begitu tarah
papan
bersudut empat persegi
Sudah begitu
permintaan badan
sudah tersurat pada
dahi
Dikerat rotan belah
tiga
nakhoda berlayar dekat
Jawa
Jangan diturut hati
yang luka
binasa badan dengan
nyawa
(dalam bab IX.
Samsul Bahri pulang ke Padang)
Pantun Janji Setia (Pantun berbalas)
- Berkota kampung Padang besi
tempat orang duduk berjaga
Cintamu jangan dihabisi
sehelai rambut tinggalkan juga
+ Jika menjahit duduk di pintu
jarumnya
jangan dipatahkan
Cintaku
suci sudahlah tentu
sedikit
belum diubahkan
Bang
dahulu maka kamat
takbir
baru orang sembahyang
Bercerai
Allah dengan Muhammad
baru
bercerai kasih sayang
Berbunyi
meriam Tanah Jawa
orang
Belanda mati berperang
Haram
kakanda berhati dua
cinta
kepada Adik seorang
(dalam bab IX.
Samsul Bahri pulang ke Padang)
Pantun Kasih tak
Sampai
1
Bergetah tangan kena
cempedak
digosok dengan bunga
karang
Entah berbalik entah
tidak
entah hilang di rantau
orang
Jarang berbunga tapak
leman
orang Padang mandi ke
pulau
Orang berkampung
bersalaman
dagang membilang teluk
rantau
2
Putih berkembang bunga
kecubung
mati tiram di tepi
pantai
Maksud hendak memeluk
gunung
ada daya tangan tak
sampai
3
Jika begini condongnya
padi
tentu ke barat jatuh
buahnya
Jika begini bimbangnya
hati
tentu melarat badan
akhirnya
Jika begini
naga-naganya
kayu hidup dimakan api
Jika begini
rasa-rasanya
badan hidup rasakan
mati
Lurus jalan ke
Payakumbuh
kayu jati bertimbal
jalan
Hati siapa tidakkan
rusuh
ayah mati kekasih
berjalan
Anak Judah duduk
mengarang
syair dikarang petang
pagi
Alangkah sudah hidup
seorang
bagi menentang langit
tinggi
Jika ‘ndak tahu di
Tanjung Raja
bermalam semalam di
kampung Pulai
mudik berkayuh ke
Merangin
Cerana Nanggung di
Supayang
Jika ‘ndak tahu
diuntung saya
lihat kelopak bunga
bulai
kalau pecah ditimpa
angin
entah ke mana terbang
melayang
(dalam bab X.
Kenang-kenangan kepada Samsul Bahri)
Syair Sakit
Mengandung Duri
(Syair duka nestapa
Sitti Nurbaya)
Ya Allah, ya Rabbana
Tiadakah kasih hamba
yang hina?
Menanggung siksa
apalah guna
Biarlah hanyut ke
mana-mana
Tiada sanggup menahan
sengsara
Seilang waktu mendapat
cedera
Dari bencana tiadak
terpiara
Seorang pun tiada
berhati mesra
Mengapakah untung jadi
melarat?
Bagai dipukul
gelombang barat
Suara tak sampai cinta
dan hasrat
Kekasih ke mana hilang
mengirat?
Apakah dosa salahku
ini?
Maka mendapat siksa
begini
Badan yang hidup berasa
fani
Seorang pun tiada
mengasihani
Semenjak ayahku telah
berpulang
Godaan datang
berulang-ulang
Sebilang waktu berhati
walang
Untung yang mujur
menjadi malang
Ditinggal ibu
ditinggal bapa
Kekasih berjalan
bagaikan lupa
Sudahlah malang
menjadi papa
Penuh segala duka
nestapa
Mengapa nasib hamba
begini?
Azab siksaan tidak
tertahani
Jika tak sampai
hayatku ini
Biarlah badan hancur
dan fani
Aduhai bunda, aduh
ayahda!
Mengapa pergi
tinggalkan ananda?
Tiada kasihan di dalam
dada
Melihat yatim berhati
gunda
Mengapa ditinggalkan
anak sendiri?
Biasa dijaga
sehari-hari
Sakit sebagai
mengandung duri
Ke mana obat hendak
dicari?
(dalam bab X.
Kenang-kenangan kepada Samsul Bahri)
Pantun dari mana
hendak ke mana
Dari mana hendak ke
mana
dari Jepun ke bandar
Cina
Jangan marah saya
bertanya
bunga yang kembang
siapa punya?
Bajang-bajang tertali
sutera
tulang dibakar baunya
sangit
Dilihat gampang
dipegang susah
sebagai bulan di atas
langit
Dari mana datangnya
lintah
dari sawah turun ke
kali
Dari mana datangnya
cinta
dari mata jatuh ke
hati
Laju-laju perahu laju
kapal berlayar ke
Surabaya
Biar lupa kain dan
baju
jangan lupa kepada
saya
(dalam bab XI. Nurbaya
lari ke Jakarta)
Pantun Pertemuan
Sesaat (Pantun berbalas)
- Dari jauh kapalmu
datang
pasang bendera atas kemudi
Dari
jauh adikmu datang
melihat
Kakanda yang baik budi
+ Selasih di kampung
Batak
perawan luka tentang kaki
Terima
kasih banyak-banyak
sudi
datang melihati
- Sultan Iskandar raja
Sikilang
raja Barus pegang tongkatnya
Tidak disesal badanku hilang
sudah harus pada tempatnya
+ Sukar membilang buah
kelapa
burung
pipit terbang sekawan
Biar
hilang tidak mengapa
asal
bersama dengan Tuan
(dalam bab XI.
Nurbaya lari ke Jakarta)
Tentang Marah Rusli
Marah Rusli, atau
lengkapnya Marah Halim bin Sutan Abubakar, lahir 7 Agustus 1889 di Padang,
Sumatra Barat. Tamat sekolah rakyat tahun 1904 di Padang. Tamat Sekolah Raja di
Bukittingi tahun 1909. dan tamat Sekolah Dokter Hewan di Bogor tahun 1915.
Menjadi dokter hewan di berbagai tempat di Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat,
Sala, Klaten, Semarang, Bogor. Pensiun tahun 1951. Marah Rusli meninggal 17
Januari 1968 di Bogor. Merupakan kakek dari seniman (musikus) Harry Rusli. Buku
karya Marah Rusli yang lain: Anak dan
Kemenakan, La Hami, Memang Jodoh,
dan Gadis yang Malang (terjemahan
novel Charles Dicken).
Catatan
Lain
Baru sekarang
membuka-buka novel Sitti Nurbaya, dulu hanya tahu film/sinetronnya di TVRI, di
mana aktornya waktu itu adalah Gusti Randa (sebagai Samsul Bahri), Novia
Kolopaking (sebagai Sitti Nurbaya) dan Him Damsyik (sebagai Datu Meringgih). Di
buku pelajaran sekolah, cuma ketemu sinopsisnya. Ternyata di novel itu banyak
puisinya, dari jenis pantun dan syair. Dilukiskan bahwa tokoh cerita kerap
membuat pantun dan syair untuk meluapkan perasaan hatinya, entah itu perasaan
cinta, rindu, duka, kesal, keluh kesah. Kebanyakan pantun dan syair itu dibikin
Samsul Bahri dan Siti Nurbaya, namun ada juga hasil kutipan orang berbalas
pantun saat keramaian di pekan. Namun, tentu saja, judul semua itu saya yang
kasih. Aslinya tak satu pun yang pakai judul. Hehe. Saya menemukan buku ini di
perpustarda prov. Kalsel, kondisi sampulnya sudah lecek. Berusaha menemukan
buku serupa yang lebih baik, tapi tak ketemu juga. Kayaknya buku ini cuma
satu-satunya.
Ternyata, penyair Amir Hamzah pernah memerankan tokoh di novel ini: berikut petikan dari http://www.lenteratimur.com/sang-pangeran-yang-selalu-berada-di-tengah-100-tahun-tengku-amir-hamzah/ .. "Tiba-tiba, tanpa Amir ketahui sebabnya, mendadak datang kiriman uang dari Langkat untuk ongkos pulang secukupnya. Seperti sudah mendapat firasat sebelumnya, Amir segera menelegram kekasihnya. Kekasih Amir adalah Ilik Sundari, orang Solo pemeran Siti Nurbaya yang menjadi lawan mainnya sewaktu mementaskan teater di Solo. Selama menjalin kasih dengan Amir, Ilik sempat diperingatkan ayahnya untuk tidak menjadi pungguk merindukan bulan mengingat Amir adalah Pangeran Melayu."
BalasHapusBaca juga "Sayap Patah Amir hamzah" di http://www.facebook.com/note.php?note_id=193503035564
BalasHapuskata-kata yang sangat bermakna
BalasHapus