Rabu, 01 Agustus 2012

Marah Rusli: SITTI NURBAYA


Data buku

Judul : Sitti Nurbaya, Kasih tak Sampai (novel)
Penulis : Marah Rusli
Cetakan : 38, 2003 (Cet. 1. 1922)
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta
Tebal : 271 halaman
ISBN : 979-407-167-6
Desain sampul : Tim Desain Balai Pustaka
Gambar isi : Nasrun A.S.

Beberapa gubahan puisi (pantun dan syair) karya Marah Rusli dalam novel Sitti Nurbaya

Pantun Pulau Pandan Jauh di Tengah

Pulau Pandan jauh di tengah
di balik pulau angsa Dua
Hancur badanku di kandung tanah
cahaya matamu kuingat jua

Padang Panjang dilingkar bukit
bukit dilingkar kayu jati
Kasih sayang bukan sedikit
dari mulut sampai ke hati

(dalam Bab. III: Berjalan-jalan ke Gunung Padang)


Pantun Bulan Terang Bulan Purnama (pantun berbalas)

+ Bulan terang bulan purnama
   nagasari disangka daun
   Jangan dikata bercerai lama
   bercerai sehari rasa setahun

   Seragi kain dengan benang
   biar terlipat jangan tergulung
   Serasi adik dengan abang
   sejak di rahim bunda kandung

- Dari Medang ke pulau Banda
   belajar lalu ke Bintuhan
   Tiga bulan di kandung Bunda
   jodoh ‘lah ada pada Tuan

+ Anak Cina duduk menyurat
   menyurat di atas meja batu
   Dari dunia sampai akhirat
   tubuh yang dua jadi satu

   Berlubur negeri berdesa
   ditaruh pinang dalam puan
   Biar hancur biar binasa
   asal bersama dengan Tuan.


-  Pulau Pinang kersik berderai
   tempat burung bersangkar dua
   Jangan bimbang kasih ‘kan cerai
   jika untung bertemu jua

   Jika ada sumur di ladang
   tentulah boleh menumpang mandi
   Jika ada umur yang panjang
   tentulah dapat bertemu lagi

   Ke rimba ke padang jangan
   bunga cempaka kembang biru
Tercinta terbimbang jangan
adat muda menanggung rindu

Ke rimba orang Kinanti
bersuluh api batang pisang
Jika tercinta tahankan hati
kirimkan rindu ke burung terbang      

(dalam bab V. Samsul Bahri berangkat ke Jakarta)


Pantun Mempelam Tumbuh di Pulau (pantun berbalas)

+ Mempelam tumbuh di pulau
patah sedahan dijatuhkan
Semalam ini kita bergurau
esok Adik kutinggalkan

-  Berlayarlah ke pulau bekal
nakhoda makan bertudung saji
Sambutlah salam adik yang tinggal
selamat Kakanda pulang pergi

   Ribu-ribu di pinggir jalan
   tanam di ladang kunyit temu
   Jika rindu pandanglah bulan
   di situ cinta dapat bertemu     

+ Kapal kembali dari Jawa
masuk kuala Inderagiri
Tinggallah Adik tinggallah nyawa
besok kakanda akan pergi

-  Berbunyi gendang di Pauh
orang menari di halaman
Sungguh Kakanda berjalan jaun
hilang di mata di hati jangan        

Meletus gunung dekat Bantan
terbenam pulau dekat Jawa
Cinta jangan diubahkan
jika putus, sambungkan nyawa

+ Jika hari, hari Jumat
haji memakai baju jubah
Walaupun hari akan kiamat
cinta di hati jangan berubah

   Jika Perak kerani Keling
berlayar tentang Tapak Tuan
Putih gagak hitamlah gading
tidak putus cintakan Tuan

(dalam bab V. Samsul Bahri berangkat ke Jakarta)


Pantun Anak Cina Bermain Wayang
(Pantun Rindu Sitti Nurbaya)

Anak Cina bermain wayang
anak Keling bermain api
Jika siang terbayang-bayang
jika malam menjadi mimpi

Terbang melayang kunang-kunang
anak balam mati tergugur
Jatuh ke tanah ke atas kembang
kembang kuning kembang cempaka

Jika siang tak dapat senang
jika malam tak dapat tidur
Pikiran kusut hati pun bimbang
teringat kakanda Samsu juga

Lurus jalan ke Payakumbuh
bersimpang lalu ke Kinali
Jika hati sama sungguh
kering lautan dapat dinanti

Encik Amat mengaji tamat
mengaji Quran di waktu fajar
Biar lambat asal selamat
tidak lari gunung dikejar

(dalam bab VII. Surat Samsul Bahri kepada Nurbaya)


Syair Surat Rindu Samsul Bahri kepada Sitti Nurbaya
(Sepucuk surat, Jakarta, 10 Agustus 1896)

Awal bermula berjejak kalam
Pukul sebelas suatu malam
Bulan bercaya mengedar alam
Bintang bersinar laksana nilam

Langit jernih cuaca terang
Kota bersinar terang benderang
Angin bertiup serang-menyerang
Ombak memecah di atas karang

Awan berarak berganti-ganti
Cepat melayang tiada berhenti
Menuju selatan tempat yang pasti
Sampai ke gunung lalu berhenti

Udara tenang hari pun terang
Sunyi senyap bukan sebarang
Murai berkicau di kayu arang
Merayu hati dagang seorang

Guntur menderu mendayu-dayu
Pungguk merindu di atas kayu
Hati yang riang menjadi sayu
Pikiran melayang ke tanah Melayu

Angin bertiup bertalu-talu
Kalbu yang rawan bertambah pilu
Hati dan jantung berasa ngilu
Bagai diiris dengan sembilu

Tatkala angin berembus tenang
Adik yang jauh terkenang-kenang
Air mata jatuh berlinang
Lautan Hindia hendak direnang

Jika dipikir diingat-ingat
Arwah melayang terbang semangat
Tubuh gemetar terlalu sangat
Kepala yang sejuk berasa angat

Betapa tidak jadi begini
Ayam berkokok di sana-sini
Disangka jiwa permata seni
Datang menjelang kakanda ini

Disangka adik datang melayang
Mengobat kakanda mabuk kepayang
Hati yang sedih berasa riang
Kalbu yang tetap rasa bergoyang

Lipur segala susah di hati
Melihat adikku emas sekati
Datang menjelang abang menanti
Dagang merindu bagaikan mati

Silakan gusti emas tempawan
Sila mengobat dagang yang rawan
Penyakit hebat tidak berlawan
Sebagai kayu penuh cendawan

Silalah adik, silalah gusti
Sila mengobat luka di hati
Jika lambat adik obati
Tentulah abang fana dan mati

Tatkala sadar hilang ketawa
Dagang seorang di tanah Jawa
Rasakan hancur badan dan nyawa
Nasib rupanya berbuat kecewa

Di sana teringat badan seorang
Jauh di rantau di tanah seberang
Sedih hati bukan sebarang
Sebagai manik putus pengarang

Tunduk menangis tercita-cita
Jatuh mencucur air mata
Lemah segala sendi anggota
Rindukan adik emas juita

Teringat adik emas sekati
Kanda mengeluh tidak berhenti
Rindu menyesak ke hulu hati
Rasa mencabut nyawa yang sakti

Terkenang kepada masa dahulu
Tiga bulan yang telah lalu
Bergurau senda dapat selalu
Dengan adikku yang banyak malu

Sekarang kakanda seorang diri
Jauh kampung halaman negeri
Duduk bercinta sehari-hari
Kerja lain tidak dipikiri

Tetapi apa hendak dikata
Sudah takdir Tuhan semesta
Sebilang waktu duduk bercinta
Kepada adikku emas juita

Setelah jauh sudahlah malam
Kakanda tertidur di atas tilam
Bermimpi adik permata nilam
Datang melipur gundah di dalam

Datanglah itu seorang diri
Tidur berbaring di sebelah kiri
Kakanda memeluk intan baiduri
Dicium pipi kanan dan kiri

Tiada berapa lama antara
Dilihat badan sebatang kara
Abang terbangun dengan segera
Hati yang rindu bertambah lara

Guling kiranya berbuat olah
Lalu mengucap astagfirullah
Begitulah takdir kehendak Allah
Badan yang sakit bertambah lelah

Memang apa hendak dibilang
Sudahlah nasib untung yang malang
Petang dan pagi berhati walang
Menanggung rindu beremuk tulang

Walaupun sudah nasib begitu
Tiada kanda berhati mutu
Gerak takdir Tuhan yang satu
Duduk bercinta sebilang waktu

Jauh malam hampirkan siang
Mataku tidak hendak melayang
Di ruang mata adik terbayang
Hati dan jantung rasa bergoyang

Ayam berkokok bersahut-sahutan
Di sebelah barat, timur, selatan
Hatiku rindu bukan buatan
Kepada adikku permata intan

Di situ terkenang ibu dan bapa
Adik dan kakak segala rupa
Handai dan tolan kaya dan papa
Timbul di kalbu tiada lupa

Begitulah nasib di rantau orang
Susah ditanggung badan seorang
Sakit bertenggang bukan sebarang
Sebagai terpijak duri di karang

Setelah siang sudahlah hari
Berjalan kakanda kian kemari
Tak tahu apa akan dicari
Bertemu tidak kehendak diri

Diambil kertas ditulis surat
Ganti tubuh badan yang larat
Kesan nasib untung melarat
Kepada adikku di Sumatra Barat

Dawat dan kalam dipilih jari
Dikarang surat di dinihari
Ganti kakanda datang sendiri
Ke pangkuan adik wajah berseri

Wahai adikku indra bangsawan
Salam kakanda dagang yang rawan
Sepucuk surat jadi haluan
Ke atas ribaan emas tempawan

Mendapatkan adik paduka suri
Cantik manis intai baiduri
Di padang konon namanya negeri
Duduk berdiam di rumah sendiri

Jika kakanda peri dan mambang
Tentulah segera melayang terbang
Menyeberang lautan menyongsong gelombang
Mendapatkan adik kekasih abang

Menyerahkan diri kepada adinda
Tulus dan ikhlas di dalam dada
Harapan kakanda jangan tiada
Mati di pangkuan bangsawan muda

Adikku Nurbaya permata delima
Dengan berahi sudahlah lama
Hasrat di hati hendak bersama
Dengan adikku mahkota lima

Hendak bersama rasanya cita
Dengan adikku emas juita
Jika ditolong sang dewata
Di dadalah jadi tajuk mahkota

Tajuk mahkota jadilah tuan
Putih kuning sangat cumbuan
Menjadikan abang rindu dan rawan
Laksana orang mabuk cendawan

Karena menurut cinta di hati
Asyik berahi punya pekerti
Sungguhpun hidup rasakan mati
Baru sekarang kanda mengerti

Dendam berahi sudahlah pasti
Tuhan yang tahu rahasia hati
Kakanda bercinta rasakan mati
Tidak mengindahkan raksasa sakti

Siang dan malam duduk bercinta
Kepada adikku emas juita
Tiada hilang di hati beta
Adik selalu di dalam cipta

Jiwaku manis Nurbaya Sitti
Putih kuning emas sekati
Tempat melipur gundah di hati
Ingin berdua sampaikan mati

Tidaklah belas dewa kencana
Memandang kanda dagang yang hina
Makan tak kenyang tidur tak lena
Bercintakan adik muda teruna

Rindukan adik paras yang gombang
Siang dan malam berhati bimbang
Cinta di hati selalu mengembang
Laksana perahu diayun gelombang

Setiap hari berdukacita
Terkenang adinda emas juita
Sakit tak dapat lagi dikata
Sebagai bisul tidak bermata

Tiada dapat kakanda katakan
Asyik berahi tak terperikan
Adik seorang kakanda idamkan
Tiada putus kakanda rindukan

Rusaklah hati kanda seorang
Rindukan paras intan di karang
Dari dahulu sampai sekarang
Sebarang kerja rasa terlarang

Pekerjaan lain tidak dipikiri
Karena rindu sehari-hari
Tiada lain keinginan diri
Hendak bersama intan baiduri

Ayuhai adik Sitti Nurani
Teruslah baca suratku ini
Ilmu mengarang sudahlah fani
Disambung syair surat begini

(dalam bab VII. Surat Samsul Bahri kepada Nurbaya)


Pantun Di Sawah Jangan Memukat Ikan
(Pantun larahati Sitti Nurbaya)

1

Di sawah jangan memukat ikan
ikan bersarang dalam padi
Susah tak dapat dikatakan
ditanggung saja dalam hati

Gantungan dua tergantung
tergantung di atas peti
Ditanggung tidak tertanggung
sakit memutus rangkai hati

Buah pinang di dalam puan
tumpul kacip asah di batu
Tidakkah iba gerangan tuan
kepada adik yatim piatu?

Lubuk baik kuala dalam
pasir sepanjang muaranya
Buruk baik minta digenggam
badanlah banyak sengsaranya

Ikatkan mati pisang berjantung
hunus keris letakkan dia
Niat hati hendak bergantung
putus tali apakan daya

2

Dari Perak ke negeri Rum
berlayar lalu ke kuala
Jangan diharap untung yang belum
sudah tergenggam terlepas pula

Orang Pagai mencari lokan
kembanglah bunga serikaya
Aku sebagai anak ikan
kering pasang apakan daya

Singapura kersik berderai
tempat ketam lari berlari
Air mata jatuh berderai
sedihkan untung badan sendiri

Berbunyi kerbau Rangkas Betung
berbunyi memanggil kawan
Menangis aku menyadar untung
untungku jauh dari awan

Berlayar dari Teluk Betung
anak Bogor mencari tiram
Apa kuharap kepada untung
perahu bocor menanti karam

Tikar pandan dua berlapis
dilipat digulung anak Bangka
Sesal di badan tidak habis
karena untung yang celaka

(dalam bab IX. Samsul Bahri pulang ke Padang)


Pantun Jangan Disesal pada Tudung
(Pantun penghibur Samsul Bahri pada kekasihnya)

Jangan disesal pada tudung
tudung saji teredak Bantan
Jangan disesal kepada untung
sudah nasib permintaan badan

Ke rimba berburu kera
dapatlah anak kambing jantan
Sudah nasib apakan daya
demikian sudah permintaan badan

Sudah begitu tarah papan
bersudut empat persegi
Sudah begitu permintaan badan
sudah tersurat pada dahi

Dikerat rotan belah tiga
nakhoda berlayar dekat Jawa
Jangan diturut hati yang luka
binasa badan dengan nyawa

(dalam bab IX. Samsul Bahri pulang ke Padang)


Pantun Janji Setia (Pantun berbalas)

-  Berkota kampung Padang besi
   tempat orang duduk berjaga
   Cintamu jangan dihabisi
   sehelai rambut tinggalkan juga

+ Jika menjahit duduk di pintu
jarumnya jangan dipatahkan
Cintaku suci sudahlah tentu
sedikit belum diubahkan
               
Bang dahulu maka kamat
takbir baru orang sembahyang
Bercerai Allah dengan Muhammad
baru bercerai kasih sayang

Berbunyi meriam Tanah Jawa
orang Belanda mati berperang
Haram kakanda berhati dua
cinta kepada Adik seorang

(dalam bab IX. Samsul Bahri pulang ke Padang)


Pantun Kasih tak Sampai

1
Bergetah tangan kena cempedak
digosok dengan bunga karang
Entah berbalik entah tidak
entah hilang di rantau orang

Jarang berbunga tapak leman
orang Padang mandi ke pulau
Orang berkampung bersalaman
dagang membilang teluk rantau

2
Putih berkembang bunga kecubung
mati tiram di tepi pantai
Maksud hendak memeluk gunung
ada daya tangan tak sampai

3
Jika begini condongnya padi
tentu ke barat jatuh buahnya
Jika begini bimbangnya hati
tentu melarat badan akhirnya

Jika begini naga-naganya
kayu hidup dimakan api
Jika begini rasa-rasanya
badan hidup rasakan mati

Lurus jalan ke Payakumbuh
kayu jati bertimbal jalan
Hati siapa tidakkan rusuh
ayah mati kekasih berjalan

Anak Judah duduk mengarang
syair dikarang petang pagi
Alangkah sudah hidup seorang
bagi menentang langit tinggi

Jika ‘ndak tahu di Tanjung Raja
bermalam semalam di kampung Pulai
mudik berkayuh ke Merangin
Cerana Nanggung di Supayang

Jika ‘ndak tahu diuntung saya
lihat kelopak bunga bulai
kalau pecah ditimpa angin
entah ke mana terbang melayang

(dalam bab X. Kenang-kenangan kepada Samsul Bahri)


Syair Sakit Mengandung Duri
(Syair duka nestapa Sitti Nurbaya)

Ya Allah, ya Rabbana
Tiadakah kasih hamba yang hina?
Menanggung siksa apalah guna
Biarlah hanyut ke mana-mana

Tiada sanggup menahan sengsara
Seilang waktu mendapat cedera
Dari bencana tiadak terpiara
Seorang pun tiada berhati mesra

Mengapakah untung jadi melarat?
Bagai dipukul gelombang barat
Suara tak sampai cinta dan hasrat
Kekasih ke mana hilang mengirat?

Apakah dosa salahku ini?
Maka mendapat siksa begini
Badan yang hidup berasa fani
Seorang pun tiada mengasihani

Semenjak ayahku telah berpulang
Godaan datang berulang-ulang
Sebilang waktu berhati walang
Untung yang mujur menjadi malang

Ditinggal ibu ditinggal bapa
Kekasih berjalan bagaikan lupa
Sudahlah malang menjadi papa
Penuh segala duka nestapa

Mengapa nasib hamba begini?
Azab siksaan tidak tertahani
Jika tak sampai hayatku ini
Biarlah badan hancur dan fani

Aduhai bunda, aduh ayahda!
Mengapa pergi tinggalkan ananda?
Tiada kasihan di dalam dada
Melihat yatim berhati gunda

Mengapa ditinggalkan anak sendiri?
Biasa dijaga sehari-hari
Sakit sebagai mengandung duri
Ke mana obat hendak dicari?

(dalam bab X. Kenang-kenangan kepada Samsul Bahri)


Pantun dari mana hendak ke mana

Dari mana hendak ke mana
dari Jepun ke bandar Cina
Jangan marah saya bertanya
bunga yang kembang siapa punya?

Bajang-bajang tertali sutera
tulang dibakar baunya sangit
Dilihat gampang dipegang susah
sebagai bulan di atas langit

Dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta
dari mata jatuh ke hati

Laju-laju perahu laju
kapal berlayar ke Surabaya
Biar lupa kain dan baju
jangan lupa kepada saya

(dalam bab XI. Nurbaya lari ke Jakarta)


Pantun Pertemuan Sesaat (Pantun berbalas)

- Dari jauh kapalmu datang
   pasang bendera atas kemudi
Dari jauh adikmu datang
melihat Kakanda yang baik budi

+ Selasih di kampung Batak
   perawan luka tentang kaki
Terima kasih banyak-banyak
sudi datang melihati

- Sultan Iskandar raja Sikilang
   raja Barus pegang tongkatnya
   Tidak disesal badanku hilang
   sudah harus pada tempatnya

+ Sukar membilang buah kelapa
burung pipit terbang sekawan
Biar hilang tidak mengapa
asal bersama dengan Tuan

(dalam bab XI. Nurbaya lari ke Jakarta)


Tentang Marah Rusli
Marah Rusli, atau lengkapnya Marah Halim bin Sutan Abubakar, lahir 7 Agustus 1889 di Padang, Sumatra Barat. Tamat sekolah rakyat tahun 1904 di Padang. Tamat Sekolah Raja di Bukittingi tahun 1909. dan tamat Sekolah Dokter Hewan di Bogor tahun 1915. Menjadi dokter hewan di berbagai tempat di Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Sala, Klaten, Semarang, Bogor. Pensiun tahun 1951. Marah Rusli meninggal 17 Januari 1968 di Bogor. Merupakan kakek dari seniman (musikus) Harry Rusli. Buku karya Marah Rusli yang lain: Anak dan Kemenakan, La Hami, Memang Jodoh, dan Gadis yang Malang (terjemahan novel Charles Dicken).


Catatan Lain
Baru sekarang membuka-buka novel Sitti Nurbaya, dulu hanya tahu film/sinetronnya di TVRI, di mana aktornya waktu itu adalah Gusti Randa (sebagai Samsul Bahri), Novia Kolopaking (sebagai Sitti Nurbaya) dan Him Damsyik (sebagai Datu Meringgih). Di buku pelajaran sekolah, cuma ketemu sinopsisnya. Ternyata di novel itu banyak puisinya, dari jenis pantun dan syair. Dilukiskan bahwa tokoh cerita kerap membuat pantun dan syair untuk meluapkan perasaan hatinya, entah itu perasaan cinta, rindu, duka, kesal, keluh kesah. Kebanyakan pantun dan syair itu dibikin Samsul Bahri dan Siti Nurbaya, namun ada juga hasil kutipan orang berbalas pantun saat keramaian di pekan. Namun, tentu saja, judul semua itu saya yang kasih. Aslinya tak satu pun yang pakai judul. Hehe. Saya menemukan buku ini di perpustarda prov. Kalsel, kondisi sampulnya sudah lecek. Berusaha menemukan buku serupa yang lebih baik, tapi tak ketemu juga. Kayaknya buku ini cuma satu-satunya. 

3 komentar:

  1. Ternyata, penyair Amir Hamzah pernah memerankan tokoh di novel ini: berikut petikan dari http://www.lenteratimur.com/sang-pangeran-yang-selalu-berada-di-tengah-100-tahun-tengku-amir-hamzah/ .. "Tiba-tiba, tanpa Amir ketahui sebabnya, mendadak datang kiriman uang dari Langkat untuk ongkos pulang secukupnya. Seperti sudah mendapat firasat sebelumnya, Amir segera menelegram kekasihnya. Kekasih Amir adalah Ilik Sundari, orang Solo pemeran Siti Nurbaya yang menjadi lawan mainnya sewaktu mementaskan teater di Solo. Selama menjalin kasih dengan Amir, Ilik sempat diperingatkan ayahnya untuk tidak menjadi pungguk merindukan bulan mengingat Amir adalah Pangeran Melayu."

    BalasHapus
  2. Baca juga "Sayap Patah Amir hamzah" di http://www.facebook.com/note.php?note_id=193503035564

    BalasHapus
  3. kata-kata yang sangat bermakna

    BalasHapus