Data buku kumpulan puisi
Judul : Surat Bunga dari Ubud, edisi dua
bahasa.
Penulis : Putu Oka Sukanta
Cetakan :
I, Mei 2008
Penerbit :
Penerbit Koekoesan, Depok, bekerjasama dengan Galeri Publik dan Institute for
Global Justice
Tebal :
xxiii + 152 halaman (71 puisi)
ISBN :
978-979-1442-14-5
Disain Sampul :
MN. Jihad
Pengantar :
Keith Foulcher (diterjemahkan Maymunir Munir)
Penerjemah puisi ke dalam Bahasa Inggris : Keith
Foulcher, Vern Cork, Sylvia Tiwon dan Kaja McGowan
Beberapa pilihan puisi Putu Oka Sukanta dalam Surat Bunga dari Ubud
Surat
Bunga dari Ubud
Tak ada perangko buat
mengirim
kutempel bunga di
pojok amplop
Yang terhormat Dunia
aku tumbuh
warna-warni
dari darah pelukis
yang dibantai
harumku seharum
namanya
Ubud, 13 Oktober
2004
Tolong
Pak Presiden Baru
tolong hati-hati
membawa pantat
jangan sampai basah
kebanyakan dijilat
tolong hati-hati
membeli kacamata
jangan salah pilih
kacamata kuda
tolong sering-sering
memeriksakan gigi
jangan sampai taring
memanjang sendiri
tolong buatkan
instruksi khusus
agar wajib memasang
perangkap tikus
di tempat kerja dan
di dalam dada
tolong wajibkan
setiap pagi senam kepala
menengok ke kiri
kanan, ke belakang ke muka
ke atas dan ke bawah,
bagi orang kaya
tidak terkecuali polisi,
politikus dan tentara
tolong pak
presiden-baru ingatkan para lelaki
jangan lupa diri
agar ingat neneknya
perempuan
agar ingat ibunya
perempuan
agar ingat istrinya
perempuan
agar ingat pacarnya
perempuan
agar ingat punya anak
perempuan
(maaf temanku yang
gay, dan yang lesbian
ini simbol, bukan
hanya perkelaminan)
kan kita tak akan ada
kalau mereka binasa
ah belum apa-apa
terlalu banyak aku minta tolong
maksudku baik, agar
jangan melupakan orang minta tolong
atau hanya dianggap
anjing melolong
sekali lagi, aku
minta tolong
jangan banyak berucap
lho
masih banyak aturan
diskriminatif lho
menjadikan aku tetap
tahanan lho
tolong jangan tinggal
lho
palagi hanya berucap
lho
tabik pak
presiden-baru
aku akan sering kirim
puisi
tolong jangan dibalas
dengan mengirim polisi
Jakarta, September
2004
Masa Lalu
bukanlah duka, ia juga bukan getir yang keruh
bukan rindu, sesekali ya, rumah jauh yang kian
menjauh
bukan hanya album mengusang tapi tulang
belakang
masa lalu
pohon yang merontokkan daun-daun dendam
menguning, kering diserap serabut bumi
jika engkau bertanya: siapakah aku?
kujawab singkat, tetapi kuharap engkau tidak
kecewa
: harapan
aku bukan Gautama yang membuang rakit setelah
tak terpakai
aku adalah Gautama yang membangun nirbana
sambil mencari
RM, November 2003
Zhouzhuang Cinta Membelit
Kota
Di sini sungai membelit kota
seperti cinta membelitku
tapi begitu jauh, jauh
tukang sampan mengayuh dayung
menghanyutkanku yang sedang mencari
mencari, di sini aku mencari, di tanah air aku
mencari
aku ingin berguru jadi sungai
berabad-abad mengalirkan cintanya
memeluk kota, menghanyutkan kesendirian
air kelabu, langit menyatu warna
lampiun di tepi kali mulai berbinar-binar
memberi arah denyut manusia
Jika aku pulang, di mana tempat berlabuh?
Zhouzhuang, 29.11.04
Stockholm
buat sofyan waluyo dan z.
afif
jelas ini bukan di pendopo taman siswa
orang-orangnya bermantel tebal berbahasa jawa
di sebuah gedung di huddingen swedia
tapak kaki di langit hujan bertanya
ada dosenku, ada kawanku, ada wajah haru
yang mana pilihan
yang mana tempat buangan
yang mana tanah air
kangen embun meneteskan air
anak-anak kehilangan kampung
internasionale mengapung
rinduku rindumu
penjelajah demam dalam bertemu
Huddingen-Amsterdam,
November 2000
Patung Liberty
Kutatap patung Liberty
Teringat puisi tinggal di bui
New York, 2000
Bung Agam
engkau tidak pernah pergi
di manapun engkau kini
tertinggal puisi
tumbuh menggedor tirani
mencatat latini, bandar betsi, reformasi
kembaramu memahatkan puisi
hingga batas keampuhan insani
engkau tidak pernah pergi
tiba-tiba aku merasa sendiri
Jakarta, 2003
Bulan di Atas Teras
Bulat tembikar
bercahaya
relung sutra biru
dari teras beradu pandang
kedamaian rasa melintas sepintas
sebelum teringat kawan di pengungsian
Bulan di atas teras, bulan tembikar
lampu alami di atas penampungan
RM, 2007
Semakin Sering
Semakin sering kita bertanya
tidak hanya di mana kita sekarang
kabut knalpot menutup pandang
bukankah masih di rumah kita berdua
Ragu, keraguan, gamang, kegamangan
Siapa engkau istriku?
siapa aku suamimu?
Pacu kuda, kuda dilecut berpacu
mengusung ide-ide, juga amanat Tuhan
telah menjadi mantel atau degup jantung
Ah, sudah waktunya mencari terminal
sejenak, setidaknya mengenang cinta
dalam kerinduan yang tak berwajah
Jakarta, 2006
Dingin Vancouver
kuintip dingin Vancouver dari celah tirai
dan kutempelkan tangan memberi salam pagi
ternyata lebih dingin rusuk penjara Tangerang
yang menggigit sampai ke sumsum, penghinaan
kemanusiaan lebih tajam dari salju
suara gagak menyambut remang pagi bersahutan
bukan isyarat kematian
walau di Bangladesh, Sri Langka, melantunkan
kemiskinan
gagak Vancouver mengundang mata terbuka
jendela lalu lintas wacana
membiarkan dingin dilukis beragam nuansa
lantas, di mana temanku aborigin itu
buldozer putih meratakan peradabannya
di dompetku, kusimpan sebuah pusaka:
mengapa?
Vancouver, Oktober 2000
Kemiskinan
Di kamar 210
engkau mengusik tak hentinya
Ah, aku risih, beri waktu aku sejenak
melepaskan diri
beri aku waktu sejenak mengaca diri
dalam kemewahan aku ingin melupakan kemiskinan,
tau?
Ubud, 11 Oktober 2004
Tentang Putu Oka Sukanta
Putu Oka Sukanta lahir
di Singaraja, 29 Juli 1939. menulis sejak usia 16 tahun. Menerima hadiah Nemis
dari Chili untuk cerita pendeknya Luh
Galuh. Pernah dipenjara selama 10 tahun di zaman Orde baru tanpa diadili
karena menjadi anggota Lekra (1966-1976). Kumpulan puisinya al: Selat Bali (1982), Tembang Jalak Bali (1986), Salam
(1986), Tembok-Matahari Berlin;
diterjemahkan ke dalam Bahasa jerman; Die
Mauwer-Die Sonne Berlin (1990), Perjalanan
Penyair (1999). Novelnya al: Merajut
Harkat (1999), Di Atas Siang di Bawah
Malam (2004), Kerlap Kerlip Mozaik
(2001). Kumpulan cerpennya, al: Keringat
Mutiara (1990), Rindu Terluka
(2005), Bukan Kematian (2006).
Catatan
Lain
Dalam pengantar
disebutkan bahwa kumpulan puisi Surat
Bunga dari Ubud untuk menandai 70 tahun usia penyair, menghimpun 71 sajak
yang ditulis antara 1999 hingga 2007. Dikatakan bahwa nada kumpulan puisi ini
bervariasi. Adakalanya suasana hatinya gelap dan putus asa, penuh berisi
kepedihan akibat rasa kehilangan, namun saat yang lain optimis, bahkan kadang
bermain-main dan menyindir. Buku yang saya beli dari TB Karisma Banjarbaru pada
Sabtu, 28 April 2012 ini berharga Rp. 32.800,- Refleksi mendalam tentang
penyair ini dapat saya rasakan lewat puisi yang berjudul Masa Lalu. Saya suka puisi ini dan ingin mengulangnya kembali:
Sederhana dan sangat manusiawi. Satu-satunya kepusingan saya saat membaca puisi
ini adalah kata nirbana. Apa salah
cetak, atau kata itu memang ada, sebagai varian kata nirwana? Yang jelas, dalam
terjemahan Inggrisnya, kata yang muncul adalah nirvana. Sampai tulisan ini dipublish, saya belum ingin membuka
kamus (sebab tidak punya ;-p) atau pun berselancar di dunia maya (sebab lagi
malas; Parah!!!).
bukanlah
duka, ia juga bukan getir yang keruh
bukan
rindu, sesekali ya, rumah jauh yang kian menjauh
bukan
hanya album mengusang tapi tulang belakang
masa
lalu
pohon
yang merontokkan daun-daun dendam
menguning,
kering diserap serabut bumi
jika
engkau bertanya: siapakah aku?
kujawab
singkat, tetapi kuharap engkau tidak kecewa
:
harapan
aku
bukan Gautama yang membuang rakit setelah tak terpakai
aku
adalah Gautama yang membangun nirbana sambil mencari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar