Data buku kumpulan puisi
Judul : Tanah Perjanjian
Penulis : Ajamuddin Tifani
Cetakan :
I, 2005
Penerbit :
Hasta Mitra, Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Bengkel Seni ’78 Jakarta.
Tebal :
xxvii + 286 halaman (169 puisi)
ISBN :
979-8659-38-4
Design sampul sekaligus penyantun : Tariganu
Ilustrasi :
Arifin Hamdi dan Tariganu
Prolog :
Abdul Hadi W.M.
Epilog : H. Syarifuddin R
Beberapa pilihan puisi Ajamuddin Tifani dalam Tanah Perjanjian
Mawar
alangkah kuntum mawar yang berbunga duri
alangkah duri kuntum yang berbunga mawar
di taman, tempat kita bercengkerama ini, teduh
tapi poranda, dan tak sekarang pun ia diam
dalam bengkalai, bahkan ketika kau kujumpa
menjelma mawar
alangkah rekah mata durimu, alangkah angkuh
kelopak
darahmu, tak pantaskah aku cemburui kamu,
setelah
kau duli aku jadi debumu, kau takut aku
menjadi
mainan resah-risaumu, alangkah duri kau
dalam dagingku, alangkah mawar kau
dalam rinai batinku yang menyuling wangimu
untuk sebagian menjadi duri, sebagiannya lagi
menjadi
perih yang mengalunkan ombak di lautanmu yang
lasak
menyentak kelopak agar segera memerah dengan
jerit ngilu
butir-butir darah, mahkotamu darah dari
segenap luka
biarkan aku mengunyah debumu, aku ditambat
dalam beribu
sihir, sehingga tak semakna sihir, atau
rindukah
pesona kepayang, dan aku terpingsan-pingsan
hingga
terbadai di rimbun mawarmu, maka, inilah sakit
yang wangi, jerajak ini adalah jebak bagi
rindu daun
kepada kering, rindu daun kering kepada humus,
tapi
akulah itu yang terperangkap di dalamnya
lantaran
menggebu cemburu yang tak selesai
aku tak ingin pulang dengan beban sangsai
biarkan ia mendendam, hingga igauku menyebut
sirikku
padamu; berhala tak lagi patung, pepohon atau
batu
atau api, tapi hening pun
lapar tak lagi zikir, tapi dendam, sabar tak
lagi emas
dalam diam, tapi api, sebab manusia tidak
hanya menyuap
makanan dari mulutnya, tanpa harus belajar
kepada gunung
atau lautan, ia harus menjadi bintang bagi
pedoman layarnya
sendiri, inilah serbuk mawar yang kau semaikan
antara
sunyimu dan sunyiku, lalu aku datang kepada
duri
bahkan tak ada yang mampu untuk satu luka pun
bagi mawarmu? rekah dan wangilah dalam mawar,
perih
dan lukalah dalam duri, lihat, alangkah
kuntum, mawar
berbunga duri, duri berbunga mawar
tapi akulah kuntum yang menghadang angin
di tengah angin
Sejak Lama
zikir bersama la bastari
sejak lama aku tak percaya kepada ketenteraman
dan sorga hanya bagi si pengharap yang
menunggui
kehidupan dengan gairah pedagang: betapa kecil
upah derita jika untuknya dipersembahkan surga
atau neraka
kuidamkan nyeri hingga ke sumsum
dan pada puncaknya aku mendesahkanmu dengan
gairah
bercumbu, luruh dalam kelenjarmu, dan cukup
puas
hanya dengan cinta
yang melingkupi segala cinta
kuidamkan sesentuh ‘nun’ untuk datang menepati
janji
bagi isyarat dari berbagai isyarat yang kau
lamatkan
di timbunan debu-debu waktu, yang belum sempat
terbaca
seluruhnya, serta menjawab pertanyaan sendiri
ini
pertanyaan sepi ini
sambil menyerahkan kerakapku
yang tumbuh di batu-Mu
Lilin
aku bermimpu surat, lilin
lebur kepada malam
kabar baik apa yang memijar
di kelopak bunga hari, lilin
setelah firasat meleleh ke terang siang
angin lepas ke padang-padang?
aku bermimpi surat, lilin
tulisnya mengilukan denyar
tak pun terbaca gigil cuaca
debu dan burung di kertas hari
apa yang terbakar setelah sumbu
dan kelam
sepi?
Karam
aku ingat kamu, sebab, bukanlah laut namanya
jika kau tak membiarkan perahu berkaraman
pada lenguh-lunglaiku, pada puncak ketinggian
aku kenang biru jubahmu
yang menjelma gelombang laut, tempat kapalku
yang fana
menemukan kekaramannya yang baka
subuh hari kita berjumpa di pantai
kau serahkan itu padaku
“jadilah gelombang, karang, pasir, pantai,
jadilah
jadilah riak, badai, camar, gua-gua di
dasarnya, jadilah
jadilah ikan, cakrawala, jadilah laut,” ucapmu
basah
tapi, adakah kau ingat aku saat ini, sebab,
bukan laut namanya, jika aku tak membiarkan
perahumu
karam di tengahnya
Sajak Memandang Bulan
bagi LF
pandangi bulan saja, anakku
yang sebagian nampak di lobang atap rumah
petak ini
ia tersenyum padamu, dengan salam yang aneh
dan harum segenggam nasi
dan pandangilah bulan saja, anakku
sebab bagi kita sendiri keindahan itu
dan hanya untuk kita ia bersinar
hidup itu indah anakku
pandangilah bulan saja
kemegahan cakrawala
dan pandangilah bulan saja, anakku
malam ini
sebab matahari bukan kita punya
apalagi besok hari
dan pandangilah bulan saja, anakku
kerajaan emas bagi anak-anak lainnya
yang kehilangan matahari dalam hidupnya
pandangilah bulan saja, anakku
yang menyepuh mimpi-mimpi kita
hidupmu emas, hidup kita semesta!
Jika Ia Daun
jika ia daun, berilah gugur, berilah
agar tanah dapat menghimpunkan humusnya
restu bagi luka-riangnya ibu pohonnya
jika ia darah, sempurnakanlah perih lukanya,
sempurnakanlah
liang-lukanya, koyak-kelupasnya
agar kucur-nyerinya menyungaikan aduh padamu
saja
jika ia rahim, suburkanlah indung-telurnya,
suburkanlah
janin apabila ia mengasuhnya, suburkanlah ia
bagai tanah
yang subur, agar menggeliat benih rindunya
menjangkau sang surya
jika ia airmata, puisikanlah asinnya,
puisikanlah
derainya, puisikanlah sedu-sedannya, ratap
raungnya,
gelepar-rentanya, lapar rindunya, hidup
matinya
agar semesta memahami
bahwa ia hanya
sebaris puisi
Rumah Puisi
mengapa masih jua limpas rindu lautmu
setelah kuciptakan surau di puncak karang
setelah kuhiasi langit malammu
dengan tujuhpuluhribu kubah-kubah al fatihah
dan merajuk pasir di seluruh pantaiku untuk
mengaku
pasir zikirku, pasir lautmu
lah kutimang-tandas tikammu, sedarah-sedarah
lah kubuai timpas-simburmu sepasir-sepasir
lah kusudahkan getir khuldimu
setangis-setangis
geramku tak jua memahami rahasia cinta
yang kau tetaskan di sarang-sarang gelisahku
yang senantiasa bergetar, senantiasa amarah
pada jarak dan waktu
mengapa masih jua ratap deram lautmu
padahal di lubuknya sudah kutanam pohon
angsanaku
tempat camarku membangun rumah puisinya
tempat daun keringku menyelesaikan
kepunahannya
Mencari
di terik matahari kota
adakah kau tahu
aku mencarimu
bila sore menyentuh punggung gereja
kuingat baik-baik bahwa
kau di sampingku
menunduk dan setengah bisu
hai, jangan permainkan ujung rokmu
ada angin bersiut membelah senja ungu
di kali malam yang pekat
adakah kau tahu
aku menantimu
di bawah hamparan mimpiku
dan sepotong doaku
Pagi Akhir Tahun
gasan: aminah
sebuah pagi yang bening dan kudus
bagai perak yang dihamparkan
seluas batas bumi ini
dan telah berkenan mengisi baris-baris sajakku
sebuah pagi yang bening dan kudus
menggemerlap di atas kulit pekerja
menggeliat di antara jeriji tirai depan
jendela
mengisi celah ketawakalan kita
mengingatkan perhitungan nasib yang kabur dan
fantastis
sebuah pagi yang bening dan kudus
meluncur dari ufuknya bagai sungai
yang memberikan kehidupan kepada manusia
bagai sebuah rasa syukur yang mengalir
dari setiap hati yang tafakur
sebuah pagi yang bening dan kudus
memandikan kota ini dengan sempurna
seakan sebuah permadani yang terhampar
dengan takjim kita memijakkan kaki ke sana
kitapun menikmatinya dengan santun dan
hati-hati
sebuah pagi yang bening dan kudus
turun sangat perlahan dan hati-hati
bagai kata kata perpisahan
dari seorang sahabatku yang pergi
menjelang 1971
Requiem
Meratus
Bagi Joko Pekik
dan engkau pun saksi
atas terkelupasnya kerak bumi di meratus
dan siapa yang
menjadikan suka
atas kesengsaraan
ini, jeritan yang dikirim angin kemari
ke rimba-rimba yang
terusir
hingga pandang ke
jauh sana, kaki langit membentang
dari jejak riwayat
dedaunan ke kerakusan, bagai mulut gurun
yang tak habis
dahaga, siapa pemilik sungai gila, reguklah
kekuasaan atas airnya
yang darah itu
apa beda antara
tangisan dan burung terakhir dan kau yang lelah
‘ditebas dalam mimpi
yang gundah’?
O, pipit yang
bersarang di reranting awan-awan
jangan meratap, tapi
melawanlah
hidup hanya sejari
dari mati, fahamilah bebijian yang semedi
dalam perjalanan
menuju jadi di bawah waktu
daun kering yang
ikhlas, gugur melepas reranting
luluh dengan roh
tanah, meragi kehidupan baru, dan
engkaulah
pohon garing milik
mulajadi dari hakikatnya burung tingang
yang ditimang musim
itu di kolam-kolam hatatai; ah, ibu
bumi
tempatnya menyusu,
meratus namanya
luasan ‘tanah malai
tanggungan elang’ raja
kemala bagi mamang aruh, sasindin airmata di denting kuriding
istana gading,
ditujah oleh duri langgundi, di gantang emas
di gantang intan, luluh ke hati, alahai...sibiran tulang,
meratus yang
senantiasa menatap langit
dengan gigil yang
sangat kasmaran
dan harapan yang
keterlaluan
ketika kau disongsong
mimpi buruk, lalu merajah waktu-waktumu
hingga kau tak sempat
membaca waktu, lalu kau terlempar
hingga ke jazirah
katulistiwa ini, hingga impian bercendawan
o, ning hatala di langit pitu, meratus:
titian doa dan harapan
tiang langit tuju
mahligai bambang siwara, libas
mereka,
pasung rohnya, kita
tak berseloroh di hadapan kemanusiaan ini
meratus, jenjang alam
atas, tempatku moksa
jandih dan bawuk,
menata takdir semesta, muara sungai suara
dan airmata pahlawan simpai delapan, berjaga di tiap sudut
maka, jangan renggut
meratus dari cinta dan kasih dicurahkan
di siang di malam tak
ada bendera putih dan merah
hanya hitam dan
kuning, tanda perlawanan akan menjadi abadi
Mereguk Magrib
merangkak di atas bukit kenyataan
menatap pedih burung lepas senja
apa yang kau turuni
setelah puncak yang terjejaki darah hatimu ini
di lembah padi menguning, tapi lapar
menggulung tegalan
begitu berahi dendam keputusasaan melibas
kesadaran
menyerahlah sebentar, sebab kita akan
mengepungnya
dengan doa
sesuatu yang tampak naif dan tak begitu
berdaya
karena “Bukankah
tanganNya yang melempar, yang
berarti
bukan tanganmu?”
aku mengingatnya di rumput, di batu, di debu
bahwa tubuh-tubuh kita adalah perlawanan itu
sendiri
ingatlah kami, sebelum doa berubah menjadi
kutukan
merubah impian menjadi perlawanan
Dengan Apa
dengan bahasa apa yang tepat untuk kutulis
riwayat ini
seekor burung perenjak yang gugup terbang,
melintasi
siang
penyaksi arak-arakan suara, dan batu yang
sempat
menyeka airmatanya; inilah peradilan, atas
peralihan
kemuliaan menjadi kehinaan
penjarahan yang kalap, dendam berpuluh tahun
dan atas
nama
lapar yang berbunga merah di mana-mana
menggila di mana-mana
lalu pembunuhan yang mengatasnamakan kezaliman
lalu darah yang menguapkan angin-anyir
tahta pun sudah ditabalkan dengan segenap
dusta yang tak bermalu
ketika kasih, ketika kasih dimakzulkan amarah
lalu apa yang disuarakan hanya oleh burung perenjak?
Perenjak
baik! Untuk itukah cuma burung perenjak yang
tengah
asyik menyanyi segera untuk menyatakan:
“Tidak!”
tapi burung perenjak pun punya hak
katakan itu pada cakrawala
ia menciap sejadi-jadi
katakan itu pada cakrawala
ia menciap berdarah-darah, ketika ia menyanyi
sehabis-habis nyanyi
katakan itu pada cakrawala
ketika ia melihat titik api pertama yang
mencetuskan marak
tapi suaranya sendiri
suaranya sendiri mengandung api
lalu seluruh dirinya sendiri
ia temukan menjadi api
Alif
Alif
tegakkan Alif
tunjukkan cahaya langit
pada Alam
Sebelum Semesta – Sebelum Adam
Sesudah Adam
Alif
Aku dalam Empulur
di tegak Alif
Tegakkan
Ada
jadilah ada
maka
Jadi
!
Tentang Ajamuddin Tifani
Ajamuddin Tifani lahir 23 September
1951 di Banjarmasin. Mulai aktif menulis puisi, cerpen, esai, sejak 1970-an,
tersebar antara lain di Berita Buana, Media Indonesia, Pelita, Suara Karya,
Sinar Harapan, Mimbar, Basis, Budaya Jaya, Panji Masyarakat, Ulumul Qur’an,
Horison. Menerima hadiah seni bidang sastra Gubernur Kalimantan Selatan tahun
1982. Antologi yang memuat puisinya al: Antologi Puisi ASEAN (Denpasar, 1983),
Kilau Zamrud Khatulistiwa (Yogyakarta, 1984), Festival Puisi PPIA XIII
(Surabaya, 1992), Sahayun (Padang, 1994), Dari Negeri Poci 3 (1995), Mimbar
Penyair Abad XXI (DK Jakarta, 1996), Puisi Indonesia 1997 (Bandung, 1997).
Manuskrip kumpulan puisinya al: Kapal
Kertas, Kisah Debu, dan Qasyidah Rindu. Meninggal di
Banjarmasin, 6 Mei 2002.
Catatan
Lain
Sewaktu saya masih
SMP, saya suka menulis puisi-puisi orang di sebuah buku folio bergaris.
Tentunya puisi-puisi dari penyair-penyair terkemuka Indonesia. Sebut saja
Chairil Anwar, Amir Hamzah, Taufik Ismail, Rendra, Goenawan Mohamad, Armyn
Pane, Sanusi Pane, St. Takdir Alisyahbana, Ajib Rosidi, Moh. Yamin, Aoh Kartahadimaja,
J.E. Tatengkeng, Anas Ma’ruf, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri,
Hartojo Andangdjaja, Mansur Samin, Subagio Sastrowardojo, Ramadhan KH, Hamzah
Fansuri, Toto Sudarto Bahtiar, Rustam Effendi, A Hasymi, dll penyair
kontemporer dan terjemahan. Bahkan ada juga puisi-puisi dari orang-orang yang
cukup “langka” menulis puisi seperti Usmar Ismail, Arifin C. Noer, Trisno
Sumardjo. Tak dinyana, sekian lama hilang, saya membuka-buka kembali buku
nostalgia itu. Ternyata saya juga menyimpan satu puisi Ajamuddin Tifani.
Judulnya Hangus. Saya lupa mengambil
sumber dari mana. Hanya ada dua kemungkinan, Koran Banjarmasin Post atau sebuah
antologi bersama koleksi perpustakaan SMP 1 Banjarbaru. Seingatnya saya
antologi itu terbit berisi keprihatinan masalah Bosnia. Saya pun membuka Tanah Perjanjian, dan memang Ajamuddin
Tifani pernah menulis di sebuah Antologi
Bosnia dan Flores, Sebuah antologi puisi belasungkawa (Banjarmasin, 1993).
Di antologi itu saya hanya dapat mengingat puisi Sutardji yang berjudul Rumput
(juga saya tulis tangan di buku folio bergaris saya), tapi tak mengingat ada
puisi Ajamuddin. Penyair Kalsel yang saya ingat ada di antologi itu hanya Hijaz
Yamani.
Oke. Kita abaikan sumber. Sekarang
kita fokus ke puisinya saja. Ternyata puisi Hangus
tak ada dalam Tanah Perjanjian. Saya
malah menemukannya dalam Tragika Sang Pecinta, buku yang diangkat dari skripsi
Jamal T. Suryanata. Namun ternyata redaksinya juga berbeda. Berikut kita
nikmati kedua puisi itu:
Hangus
(versi catatan saya)
Ke mana beribu
burung penyair baca puisi?
ke titik didih
matahari
ia panjati udara
dengan mata tertutup oleh kesadaran
dan sayap terbakar
oleh kerinduan
beberapa kepakan
sayap lagi kita tiba
ke inti cahaya: dan
kita semua menjadi buta
dan kita mendebu
setelah hangus terbakar
dan debu kita
menjadi bagian dari
keindahan cahayanya
yang hilang
Kau dan aku
berpijaran dalam satu api
bagai rama-rama di
lilinmu, aku meleleh
menemu waktu
pelan, kau selimuti
gelisah kami yang kedinginan
dengan hangat
terangmu yang asasi
kami maha satukan,
satumu
di luar dan di
dalam kemakhlukan kami
yang senantiasa
mengidamkan debu
dalam kehangusan di
apimu
Hangus
(versi Tragika Sang Pecinta, Jamal T.
Suryanata)
ke mana lagi
perginya burung penyair baca puisi?
alahai, mereka
berbondong menuju titik didih matahari
ia panjati udara
dengan mata yang tertutup oleh kesadaran
dan sayap terbakar
oleh kerinduan
alahai, berapa
kepakan sayap lagi kita tiba ke inti cahaya
dan kita semua
menjadi buta, dan kita mendebu setelah hangus terbakar
dan debu kita
menjadi bagian dari keindahan cahayanya
memancar,
memperindah taman dan bunga-bunga
serentak menebar
wangiannya
kau dan aku
berpijaran dalam satu api, menggelinjangkan nyalanya
alahai, bagai
rama-rama di lilinmu aku ikut meleleh
menemu waktu setelah
tunai kepedihan terakhir
memberikan nuansa
pada lidah nyala apimu
lalu, pelan
kauselimuti gelisah kami
dengan hangat
terangmu yang asasi
kami mahasatukan
satumu
di luar dan di
dalam kemakhlukan kami
yang senantiasa
mengidamkan debu
dalam kehangatan di
apimu
Dalam pengantarnya, Abdul Hadi W.M.
menyebut sajak-sajak Ajamuddin memiliki “kecenderungan sufistik”. Konon, di
dasawarsa 1980-an, kecenderungan puisi berangkat dari kegerahan penyair
terhadap masalah-masalah sosial, dehumanisasi, hedonisme. Ada amarah dan
kegelisahan, nah Ajamuddin, menurut Abdul Hadi, memilih untuk menyuarakan
kegetiran hatinya saat melihat kehidupan sosial yang berat dan gelap gulita
itu, dengan pergi ke wilayah “kontemplasi” walaupun sering tidak ada sesuatu
pun yang didapat, semacam pencerahan. Juga di antara puisinya, ada yang bernada
religius romantik, disamping ada pula yang berisi cinta tanah air dan
kemanusian. Abdul Hadi juga mencatat bahwa di beberapa sajaknya ada kesan
penyair mengambil sikap diam atau pasrah, namun di sajak lain tidak segan-segan
menjadi garang dan melawan. Abdul Hadi W.M. juga memberi kritik: nampaknya
penyair ini kurang meluangkan waktu untuk memeriksa ulang sajak-sajaknya
sebelum dipublikasikan. Abdul Hadi menulis begini: “Seorang penyair tidak boleh beranggapan bahwa menulis sajak itu sekali
tulis sudah jadi. Ungkapan-ungkapan yang ambigu dan kaku atau kurang puitik,
perlu ditimbang kembali untuk diganti dengan ungkapan lain yang lebih jernih
dan menukik. Licensia poetica atau kebebasan penyair untuk memilih kata-kata
tidaklah berarti seorang penyair bisa seenaknya menerjemahkan gagasan dan
pengalaman estetik ke dalam ungkapan kata-kata apa saja.”
Abdul Hadi W.M. juga bernostalgia
dengan ruang “Dialog” di harian Berita Buana. Dikatakan bahwa selama dasawarsa
1980-an, lembaran budaya ini menjadi pentas atau ajang pertemuan para penyair,
kritikus dan esais muda seluruh penjuru tanah air. Dan Ajamuddin Tifani
termasuk orang yang rajin mengirim sajak-sajak ke redaksi “Dialog”. Itu sekitar
awal 1980an. Baru saling ketemu pada awal tahun 1987 ketika Abdul Hadi W.M. berkunjung
ke Banjarmasin untuk memberi ceramah sastra sekaligus pengumpulan data penyair
yang hendak diikutkan dalam forum puisi Indonesia 87.
Hal ihwal penerbitan buku ini
diceritakan oleh Tariganu dalam Sekapur Sirih dari Penyantun. Diceritakan Micky
Hidayat dan Y.S. Agus Suseno menyerahkan seberkas fotocopy sajak-sajak tifani
yang dihimpun bersama Maman S Tawie, pada suatu kesempatan di Taman Budaya
Banjarmasin: “Terserah abang mau diapakan yang penting kumpulan Tifani dapat
diterbitkan.” Ditambahkan pula, bahwa sajak-sajak ini bisa terberkas berkat
bantuan Noor Aini, Abdussukur MH, Tajuddin Noor Ganie, Eza Thabry Husano,
Arifin Nur Hasby dan M. Rifani Djamhari. Dari berkas fotocopy salinan dan
ketikan sajak-sajak Tifani itu, 12 puisi dikeluarkan oleh penyantun (dan
sekaligus penyunting?) karena pernah dimuat dalam antologi Ritus Warna Ritus Kata (antologi bertiga Tariganu, Adjim Arijadi
dan Ajamuddin Tifani), dan 3 puisi lainnya bernasib serupa karena pernah dimuat
di antologi Tembang Negeri Hijau.
Tahun 1988, Ajamuddin Tifani ada menulis surat kepada Tariganu (yang
dipanggilnya abang itu), mengutarakan keinginan untuk menerbitkan sebuah
antologi:”Hasil simpanan puisiku empat
tahun, sejak ’84, dua ratus buah puisi + 50 ilustrasi. Kiranya memadai untuk
satu antologi. Sekali lagi, yang ini pun cuma ingin..... ,” demikian
tulis Tifani, dengan menggarisbawahi cuma ingin. Demikianlah, Ajamuddin Tifani,
yang oleh Korrie Layun Rampan disebut-sebut menempati puncak gelombang kedua
dari pencapaian estetika sastra di Kalimantan Selatan (puncak gelompang pertama
ditempati Hijaz Yamani, D. Zauhidhie). Saya pribadi belum pernah bertemu langsung dengan penyair
ini. Tapi dari cerita Hajri, yang sejak SMA sudah aktif di Taman Budaya
Banjarmasin, Ajamuddin Tifani memiliki perawakan yang tinggi besar, sehingga
ketika harus memerankan Jin dalam sebuah pementasan teater, sangat cocok dan
pas, tinggi besar dengan suara yang menggelegar. Tentulah sangat bertentangan
jika ada yang menjuluki penyair ini sebagai penyair “burung perenjak”,
setidaknya ada kesan yang bertentangan di benak (imajinasi) saya. Celakanya,
ada 2 sajak Ajamuddin Tifani yang menggiring ke arah sana. Ke burung perenjak
itu, yaitu puisi “dengan apa” dan “perenjak”.
Membaca antologi
“Tanah Perjanjian”, saya juga jadi teringat dengan ujaran Raudal Tanjung Banua,
dalam kesempatan Aruh Sastra di Tanjung, Tabalong. Waktu itu saat ngantri
bensin di POM bensin, kami keluar mobil cari angin. Raudal berkisah tentang
penyair yang selalu gelisah. Meskipun saat itu sedang tidak membincangkan
Tifani, namun penyair lain. Kesannya saat itu saya sedang mewawancarai Raudal.
Hehe. Bertahun lewat, dan ketika saya menyuntuki “Tanah Perjanjian” koleksi
Hajri ini, barulah saya sadar, inilah penyair gelisah itu. Dan inilah pesan
saya jika suatu waktu kau ditakdirkan menginjakkan kaki di “Tanah Perjanjian”: “Gelisah
bisa menular!!!” Hehehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar