Data buku kumpulan puisi
Judul : Alangkah Tolol Patung Ini
Penulis : Faisal Kamandobat
Cetakan :
I, Agustus 2007
Penerbit :
Olongia, Yogyakarta.
Tebal :
135 halaman (48 judul puisi)
ISBN :
978-979-15622-5-6
Gambar sampul : lukisan karya Nasirun berjudul
“Absurd Journey”
Perancang Sampul : Adi Kamandobat
Ilustrasi isi :
Nasirun
Beberapa pilihan puisi Faisal Kamandobat dalam
Alangkah Tolol Patung Ini
Misterium Tremendum Et
Fascinans
segalanya telah terungkap
walau kita tertahan kebisuan
matamu mengatakan segalanya
lebih dalam dari bayang-bayang
yang menampilkan cahaya
tak perlu darah menjadi luka
tak perlu bunga dibebani makna
kau dan aku sepasang isyarat
yang menjalin ada dan ketiadaan
dalam hasrat penghabisan
waktu kehilangan jejaknya
ruang tak dapat memutuskan
di mana kita berada: pertemuan ini
memusnahkan kau dan aku
dalam pengalaman di seberang dunia
2004
Lelaki di Atas Bukit
Buat Acep Zamzam Noor
aku membayangkanmu
berdiri di atas bukit
dengan telapak terluka
seperti nabi golgota
menuai kudus
dalam ayat yang murung
di sana mukamu kalah
lenganmu pecah
dadamu dihunus sajak-sajak
matamu terbius matahari
mulutmu yang terbuka
seakan menyerap dunia
ke dalam duka
aku ingin menjabatmu
tapi tanganku tak diberkati
aku ingin mati bersamamu
tapi aku tak punya tuhan
yang mewartakan penyelamatan
aku terberai di mana-mana
kesetanan kata-kata
di lindap mataku
sajak-sajak tertimbun
bagai maut
di kakiku bayang-bayang
mencabik-cabik langkahku
aku menyebut namamu
saat darahmu berlayar
menuju taman lambang
di mana kudapati sosokmu
terbaring dalam hening
menunggu tuhan bertindak
untuk memeras lukamu
jadi puisi mengalir
2003
Aku Mencintai Kalian
aku mencintai kalian
yang setia pada kesunyian
aku ingin menjadi bagian
dari malam-malam kalian
yang panjang serupa sungai
menyentuh rasa lapar
bagai ciuman di urat leher
pada kesunyian
kita bersandar hidup
pada kesunyian
kita dipertemukan
seperti urat-urat menyatu
di dasar jantung
seperti laut menerima
limpahan sungai-sungai
aku mencintai kalian
yang setia pada kesunyian
menunggu sebuah nada
jatuh membelah
seperti tetes embun
di punggung batuan
seperti puisi terkata
di rekah mulut yang duka
aku ingin mengembara
dalam kesunyian
mengarungi rasa lapar
dana menatap nanar mata kalian
seperti pulau terkepung lautan
dan tak seorang pun
berlayar di sana
sebab aku telah berada di sana
dengan puisi-puisiku
jauh sebelum kalian datang
membawa rasa lapar
dari lembah atau pantai:
pada kesunyian
kita bersandar hidup
dari kesunyian
setiap tindakan dimulai
2007
Kebun Bulan
inilah kebun
tempatku memimpikanmu
saat malam tiba
bintang-bintang berpijar
bulan di pucuk daun-daun
menggugahku
mengenangmu kembali
lebih halus dari engkau
merias diri sendiri
lebih ikhlas dari ibu
melahirkanmu di bumi
aku berkaca pada matamu
membaca sajak
sambil membuka
kamar-kamar jiwamu
langit terasa lebih rendah
dari yang dulu
tanah terasa lebih basah
dari yang sudah
bunga-bunga gaib tumbuh
di dalam hari
menjelma taman
tempat kita saling berbagi
sebelum angin pasang
mencemaskan
sebelum aku ditegur
satu kenyataan
bahwa kau gadis manis
sederhana
yang telah mati tertanam
2001
Jerussalem
dari bukit zaitun
kuusap kota berdebu
gedung-gedung lempung
seperti keramik tua
dengan anggur dan bedil
aku masuk ke dalamnya
darahku menetes
demi gaib iman
di istana sulaiman
kuat haikal dan kubah padat
bayangan balqis tengkurap
kota segi empat
menebarkan nazar-nazar sunyi
terluka
mengamini para nabi berdoa
di gang-gang gelap
firman tercecer
bagai arak atau mukjizat
saat daud bernyanyi
melunakkan besi
lalu musa membelah pantai
isa menghidupkan orang mati
dan anak quraisy naik ke langit –
nabi-nabi datang
membius batu dan binatang
jurussalem
arakan orang ziarah
raut pilu paras tengadah
dalam sembahyang minta surga
demi iman
saling menista dan menikam
1998
Bayangan
sebelum aku pergi darimu
dan melepaskan lenganmu
dari lenganku
sebelum kita berjarak
dan di antara kita
cinta yang besar tergeletak
seperti mayat memohon ampunan
dengan lengan seputih awan
atau garam
pada saat itu kita tak peduli
peringatan yang ditiupkan angin
atau gelombang atau planet-planet
meski kita telah mendengar
lewat ribuan peristiwa
yang mengalir di darah kita:
bahwa cinta, dan mungkin hanya cinta
membuat manusia tak punya cukup mata
atau telinga atau hati
untuk mempercayai bukti-bukti
kita tak lagi merasakan lapar
yang memekik di jalanan, hutan
atau di dalam diri kita
seperti naga yang bahagia,
kita tak lagi percaya
pohon itu tumbuh dan sungai itu ada:
segalanya khayali,
juga bumi yang dipijak
tak hanya dengan kaki
tetapi juga tangan, jantung, kepala
yang tegak bagai batu
kini, setelah cinta
dibiarkan menanggung sekarat
pada leher dan tulang-tulangnya,
setelah cinta tak ada lagi yang memeluk
dan mempercayai,
segala yang dulu khayali
membuka telinga dan mata kita
yang diliputi kemayaan
segalanya kembali nyata:
matahari melewati almanak
dan hari-hari melintas
bagai kawanan burung
sungai-sungai mengalir di bawahnya
menampung batu yang sekeras bintang:
tapi di mana aku di tengah semua itu,
dan di mana kau dapat kutemukan?
sementara dari balik kehilangan besar
yang kita tanggung
dua lengan putih menggapai-gapai
bagai tangan kematian
mengaduk-aduk dada dan perut kita
seakan tengah mencari surga,
roti, atau apa saja yang tersisa
dari pertemuan panjang yang sia-sia
tak ada banyak pilihan
ketika cinta dan kematian
telah menjelma sepasang lengan:
kita hanya bisa memainkan
satu adegan: kita biarkan mereka
mengambil hidup yang kita kenakan,
sedang dari mereka akan kita curi
sepasang jiwanya yang abadi
2006
Masa Tua
Buat Max Arifin
langit terbuka, malam pun turun
menaruh masa tua di kepalamu
bagai piala pemberian orang suci
sepulang jauh mengembara
bersama matahari dan bayang-bayangnya
demikianlah waktu memahat hidup
menulis nasib di mana saja
waktu adalah pena liar
yang mencatat setiap peristiwa
di urat dagingmu yang lembut
tintanya terbuat dari darah
yang merah oleh luka
suatu kali kau menatapku
seakan tengah mencari masa muda
yang pernah akrab dahulu
namun kau tak menemukan apapun
selain seorang remaja yang takjub
menyaksikan warna maut di rambutmu
aku ingin menyentuh warna itu
tetapi sang waktu mencegahku
dengan tongkat kebesarannya
di bawah bintang redup
kau bacakan sebuah buku
yang berkisah tentang padang pasir:
tuhan menggelar alam ini untuk kita,
katamu, dan kita sepasang musafir
yang meratap, tersenyum, dan bernyanyi
menyaksikan siang dan malam
berguguran di belakang
lalu kau tutup buku itu –
seperti puisi, hidup ini sederhana:
aku tak perlu takjub padamu
dan kau tak perlu gemetar menatapku
2005
Alangkah Tolol Patung ini
alangkah tolol patung ini
membiarkan matahari lewat begitu saja
seandainya ku membuat siang
dari lampu neon
ia tak tahu bahwa itu mustahil
bagaimana menjadi manusia
kalau tak tahu terbuat dari debu?
telah kucipta jasadnya dari tanah
tapi patung ini tak juga
menjelma diriku
sejak itu aku percaya
batu pecah akan berdarah
memancarkan duka
dari takdir keheningannya:
betapa sakitnya menjadi batu!
betapa sakitnya menjadi mayat!
aku tak tahu
yang kutahu darahku merah
dan menghitam saat tubuh ini membatu
menarilah segala yang tak kekal
menarilah aku menerbangkan nyawaku
betapa telah kupanggil mautku sendiri
melalui patung batu ini
kucari-cari bintang pelipur
di sekeliling mataku
tapi bintang adalah batu:
maut menyala di angkasa kosong!
2003
Api
api itu cahaya
yang mencipta bayang-bayang
sosok gelap paling setia
membuntuti sang tuan
bagai maut menciumi
segala yang hidup
segala yang ada
menjadi dambaan ketiadaan
bukan mimpi
aku menulis puisi ini
bukan pula api
2001
Wasiat
kata-kata, aku tak mampu
hidup lebih lama darimu:
teruskan hidupku
gemakan jiwaku yang punah
dalam mati kata-kataku bernyanyi
mengantar darahku yang hilang
kata-kata, aku tak mampu
hidup lebih lama darimu:
tiuplah seruling di hati yang patah
sentuhlah bibir yang rindu bergetar
kata-kataku hanyut di masa depan
meninggalkanku dengan lambung tertidur
jika kau dapati kata-kataku
tergeletak di tepi jalan, tegurlah
maka aku yang telah mengabu
akan berdenyut dalam jantungmu
2003
Tentang Faisal Kamandobat
Faisal Kamandobat lahir di Majenang,
Cilacap, 31 Desember 1980. Menempuh hidup dengan nyantri di pondok pesantren di
beberapa daerah: Magelang, Kediri, Tasikmalaya, dan Yogyakarta. Sejumlah puisi,
esai dan prosanya pernah muncul di Kompas, Suara Merdeka, Koran Tempo, Media
Indonesia, Bali Post, Minggu Pagi, Jurnal Cerpen Indonesia, Horison, dsb. Juga
dimuat dalam antologi bersama al. Hijau Kelon (Kompas).
Catatan
Lain
Kumpulan puisi ini
ditutup dengan catatan penyair, “Pengalaman
dan Tindakan Puitik”. Faisal Kamandobat menulis begini: “Dalam pengalaman
saya, menulis puisi barangkali lebih sebagai pemberian daripada pilihan. Puisi mengunjungi
dunia batin saya jauh di masa kecil..... Ia hadir tanpa saya minta, mungkin
serupa cinta atau iman. Dulu ketika pengetahuan saya masih amat sempit, saya
melihat sosoknya tak lebih hanyalah susunan kata-kata yang begitu lunak, dan
saya pun ragu pada kemampuannya menjadikan hidup lebih baik. Berbagai usaha
saya lakukan untuk menghapus jejak, semangat dan sosoknya, tetapi saya selalu
gagal. Akhirnya saya hanya bisa tunduk dengan menerima kehadirannya dalam diri
saya, merawat semangat dan mengembangkan sosoknya.”
Sajak-sajak dalam kumpulan ini
menurut penuturan penulisnya, lahir lewat proses penuliskan lebih kurang
sepuluh tahun. Terdiri dari Kabar Kebisuan
(15 puisi), Kebun Bulan (16 puisi)
dan Pada Sebuah Senja (17 puisi). Awal
pertama saya menyentuh buku ini barangkali saat kegiatan Aruh Sastra di Amuntai
tahun 2008. Seingat saya, saya dan Hajriansyah datang belakangan, sekitar
Jum’at sore, jadi kami mencari penginapan untuk bermalam. Sandi Firly bergabung
kemudian, jadi di penginapan kami sekamar bertiga. Malam itu, di tengah
perbincangan-perbincangan yang terjadi, saya menyuntuki buku ini. Buku itu
Hajri yang membawa. Sabtu siang, saya dan Hajri sudah cabut dari lokasi acara.
Pulang ke Banjarmasin. Jadi tidak sempat bertemu dengan pembicara utama, Korrie
Layun Rampan, yang dijadwalkan berbicara pada hari Minggunya.
Tahun 2011, saya memutuskan untuk
beli buku itu lewat Indrian Koto, harganya Rp. 20.000,- Sampai dengan selamat
di RS Jiwa Sambang Lihum, tempat saya mangkal, 23 Juni 2011. Jadi sudah sekitar
setahun lalu saya menyimpan buku ini, dan sudah sekitar empat tahun lalu sejak
saya pertama menyentuhnya. Tema puisi Faisal Kamandobat, saya pikir, banyak
berputar di sekitar cinta dan kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar