Data buku kumpulan puisi
Judul : Meditasi, sajak-sajak 1971 - 1975
Penulis : Abdul Hadi W. M.
Cetakan :
I, 1982
Penerbit :
PN. Balai Pustaka
Tebal : 71 halaman (31 judul puisi)
Perancang kulit : Budiono
Beberapa pilihan puisi Abdul Hadi W. M. dalam Meditasi
Sehabis Hujan Kecil
Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau
pada kelopak kembang yang memerah
Antara batu-batu hening merenungi air kolam
angin bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat
dan lepas
1972
Gerimis
I
Seribu gerimis menuliskan kemarau di kaca
jendela
Basah langit yang sampai melepaskan senja
Bersama gemuruh yang dilemparkan jarum jam,
kata-kata
bermimpilah bunga-bunga menyusun kenangannya
dari percakapan terik dan hama
“Kau toreh bibirnya yang merkah,” kata hama
“Dan kuhisap isi jantungnya yang masih merah”
II
Kenapa ia tak terkulai
dan masih bertahan juga
Dan bersenyum pada surya
yang mengunyah-ngunyah air matanya
III
Untukku ingar itu pun senantiasa menyurat
Atau mimpi
Tapi angin masih saja menggigil
mendesakkan pagi
IV
Tuhan, kau hanya kabar dari keluh
V
Burung-burung pun
asing di sana
karena jarak dan bahasa
1971
Siang
Siang ternyata
hanya seorang pejalan jauh
Di atas kepalanya
yang tak pernah teduh
udara kosong. Dan
burung-burung hanya beterbangan
bagai kasih dan
bisik-bisik kita
bagai lembut tangan
dan cinta sia-sia kita
dan kata-kata
mengalir bagai sungai ke lautan birunya
Mengapa maut juga
yang tak terhindar
dan malam? Mustahil
tidur
Gerimis hanya
berangkat ke rumput-rumput
daun-daunan dan
ginggang beracun…
1973
Maut dan Waktu
Kata maut: Sesungguhnya akulah yang memperdayamu pergi
mengembara sampai tak ingat rumah menyusuri gurun-gurun dan lembah keluar masuk
ruang-ruang kosong jagad raya mencari-cari suara merdu nabi Daud yang
kusembunyiskan sejak berabad-abad lamanya
Tidak, jawab waktu, akulah yang justru memperdayamu
sejak hari pertama Qain kusuruh membujukmu memberimu umpan lezat yang tak
pernah mengenyangkan hingga kau pun tergiur ingin lagi ingin lagi dan ingin
lagi sampai gelisah dari jaman ke jaman mencari-cari nyawa-nyawa Abel yang kau
kira fana mengembara ke pelosok-pelosok dunia bagaikan Don Kisot yang malang
1974
Nyanyian
Dalam hutan-hutan yang terik gerimis
bersenandung
pada siang dan malam mimpi burung-burung
Temaram mata langit terpejam karena nyala
sebuah tungku
sewaktu kabut terbakar oleh goncangan angin
dan salju
Dan rindu mengapa seketika pedih seakan
iringan air
berdengung dalam pawai kabung dari ulu jam ke
lautan
Barangkali kau tak tahu si pengirim menunggu
jawaban
atas suratnya yang tak sampai, di jendela
terjatuh cahaya bulan
1974
Bayang-Bayang
Mungkin kau tak harus kabur, sela
bayang-bayangmu
yang menjauh dan menghindar
dari terang lampu
Ia selalu menjauh dan menghindar
dari terang lampu
Ia selalu mondar-mandir
mencari-cari bentuk dan namanya
yang tak pernah ada
1974
Meditasi
I
Kupeluk sinar
bulan. Tubuhku kedinginan.
Di gerbang cahaya yang berkilauan akan segera nampak di depan kita
sebuah gereja tua. Ketika lonceng berbunyi beribu burung terbang ke sana hendak
mensucikan diri. Sebab selalu ditempuhnya jalan yang sama, selalu
dinyanyikannya lagu yang sama dan sesat di sarang yang sama.
Lalu kita dengar paduan suaranya. Seperti deru angin di pantai. “Demi
Jesus, pahala sorga dan kenikmatan, akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya,”
begitu nyanyian mereka. “Tuhan, pujaan Ayub dan Yusuf, gembala Musa dan
Muhammad – bentangkanlah pada kami jalan yang benar dari aroma bintang dan
buah-buahan.”
O, burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar?
Yerussalem dan Mekkah tidak seluas hati dan jiwa ini.
Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu.
Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang sore.
II
Di sini semenjak lama aku aku adalah seorang
rahib yang mengheningkan
cipta dalam sebatang kayu.
Kebenaran kudapat dari embun dan mawar.
Abadi.
Seperti ciuman perempuan dan bintang-bintang.
Tapi perempuan tua ini selalu merayuku dan
minta aku menyusu pula
hingga kering dan mandul teteknya.
Itulah dunia.
III
Akupun sudah letih
naik turun candi, ke luar masuk gereja dan mesjid.
Tuhan makin sempit
rasa kebangsaannya,
“Musa! Musa!
Akulah tuhan orang Israel!” teriaknya
Di mesjid, di
rumah sucinya yang lain ia berkata pula:
“Akulah hadiah
seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab.”
Aku termenung. Apa
kekurangan orang Jawa?
Kunyanyiakn Bach
dalam tembang kinanti dan kupulas Budha jadi
seorang dukun di
Madura.
Aku menemu sinar
di mata kakekku yang sudah mati.
Bila hari menahun
dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri di sebuah
flat karena aku
pun adalah rumah-Nya.
IV
Bercakap-cakap dari pintu ke pintu. Bernyanyi dari pintu ke pintu.
Mengetuknya berkali-kali. Sudah lama aku tak tahu di mana Dia sebenarnya, di
mesjid, di kuil ataukah di gereja.
Pernah aku percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari
kemauanku sendiri. Kata mereka, “Berbaiklah kepada semua orang dan berjalanlah
di jalan suci!” Bagai seekor keledai aku
pun melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah gurun.
Kafilah tidak bisa menunjukkan jalan lagi. Kemi berpisah tengah malam.
Bintang-bintang berloncatan gembira di langit yang tinggi. Tapi di tengah
kelaparan dan panas aku pun menjelma seekor singa. Aku tak mau lagi
mendengarkan khotbah dan nasehat. Sakramenku ialah ketiadaan. Sahabatku
perobahan yang terus-menerus. Dan kota suciku ialah hati. Kalau di menara itu
nanti kuteriakkan azan cacing-cacing akan berkumpul mendatangiku di waktu
magrib bersembahyang berzikir mendoakan ketentraman dunia yang baru.
V
Tidak. Sebaiknya
kau datang saja di sore hari di saat aku bercermin.
Tapi jangan lagi
mewujud atau menjelma.
Tuhan, siapakah
namaMu yang sebenarNya? Dari manakah asalMu?
Apakah
kebangsaanMu? Dan apa pula agamaMu?
Manusia begitu
ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori
tentang Aku dengan
susah payah. Tapi siapa Aku yang sebenarnya
Aku sendiri pun
tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana
dan sedang menuju
ke mana.
1974
Larut Malam, Hamburg Musim
Panas
Laut tidur. Langit basah
Seakan dalam kolam awan berenang
Pada siapakah menyanyi gerimis malam ini
Dan angin masih saja berembus, walau sendiri
Dan kita hampir jauh berjalan:
Kita tak tahu ke mana pulang malam ini
Atau barangkali hanya dua pasang sepatu kita
Bergegas dalam kabut, topiku mengeluh
Lalu jatuh
Atau kata-kata yang tak pernah
sebebas tubuh?
Ketika terbujur cakrawala itu kembali
dan kita serasa sampai, kita lupa
Gerimis terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh
Di kamar kita berpelukan bagai dua rumah yang
mau rubuh.
1974
Untuk Sebuah Catatan Harian
Di bawah seribu mawar
Bulan Juli yang terbakar
Dan langit musim panas
Matahari berganti-ganti
Ada bayangan daun gugur
Pada tingkap musim mencari
Serta kuntum-kuntum kapur
Dan kota yang semakin sunyi
Malam: Berapa jejak sudah di jalan itu
Dan gerimis yang pulang sendiri
Ketika lonceng dari gereja mati
Ketika pelabuhan dari pulau abadi
Kau berkata, tak ada stasiun
Sebelum kereta memencar
Kau berkata, tak ada daun
Sebelum pohon berakar
Di bawah seribu mawar
Bulan Juli yang terbakar
Dan langit musim panas
Matahari menyuling keras sekali
1974
Tentang Abdul Hadi W. M.
Abdul Hadi W. M. lahir di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Pernah
kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, dan kemudian pindah ke
fakultas filsafat universitas yang sama. Kumpulan puisinya Meditasi (Balai Pustaka), kumpulan esainya Gambar Manusia dalam Sastra. Mengasuh ruang kebudayaan Dialog di
harian Berita Buana dan pernah bekerja sebagai redaktur di PN Balai Pustaka.
Abdul Hadi W.M. sering disebut-sebut sebagai salah seorang penyair liris
terkemuka di Indonesia. Meditasi adalah kumpulan puisi yang memperoleh hadiah
sebagai buku puisi terbaik yang terbit pada tahun 1976/1977 dari Dewan Kesenian
Jakarta dan pada tahun 1979 mendapatkan Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI.
Catatan
Lain
Dalam kata
pengantar oleh Penerbit, ditulis pujian Prof. A. Teeuw terhadap puisi-puisi
Abdul Hadi W.M.: “Puisinya adalah puisi
murni. Dia menemukan rahasia bagaimana membiarkan bahasa menggerakkannya.
Tema-tema sajak Abdul Hadi terutama mengenai kesepian, kematian dan waktu.
Sajak-sajaknya banyak yang religius....” Ditambahkan penerbit: “Religiusitas Abdul Hadi dalam sajak-sajaknya
nampaknya bukanlah sesuatu yang persis berada dalam satu agama resmi, tetapi
sesuatu yang berada “di luar jalur” itu dan berusaha lebih menukik ke inti iman
yang menjadi esensi dari berbagai agama besar.”
Lain lagi ungkapan H.B. Jassin,
konon pernah ditulis di harian Berita Buana, 28-2-1977, bahwa estetika puisinya
jelas nampak dalam puisinya. Abdul Hadi dikatakan sebagai salah satu penyair
yang mempunyai pemikiran dan latar belakang estetik tertentu yang jelas. Di
bagian akhir tulisan, oleh penerbit, dikutip ungkapan Abdul Hadi sendiri yang
pernah ditulis dalam Harian Angkatan Bersenjata, 31-10-1978, bahwa puisi adalah bahasa hati. Dan untuk
membacanya diperlukan hati pula. Jadi, kesimpulannya, hati-hatilah jika mendapati sebuah puisi, bisa “meledak”.
Abdul Hadi WM adalah penyair favorit saya...
BalasHapusSulit untuk tidak menyukai puisi bagus...
HapusAbd Hadi WM....sang sastrawan pulau garam.....smg istiqamah spt garam.
BalasHapusMakna puisi sehabis hujan kecil itu apa?
BalasHapusnice post kak
BalasHapussuka puisinyaa :D
sesama penggemar puisi saling mampir donk kak hehe
andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn