Senin, 08 Juli 2013

Tajuddin Bacco: SILIR PULAU DEWATA


Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Silir Pulau Dewata
Penulis : Drs. Akhmad Tajuddin, M.Si (Tajuddin Bacco)
Cetakan : I, Desember 2003
Penerbit : Grafika Indah, Yogyakarta
Tebal : 122 halaman (102 puisi)
Penyunting : Prof. Dr. H. Djantera Kawi, MA
Pengolah Kulit: Nirma Yudi Chandra, SE
Penata letak dan olah grafis : K. Subagyo
ISBN : 979-98204-0-5

Beberapa pilihan puisi Tajuddin Bacco dalam Silir Pulau Dewata

Senandung dari Kintamani

Keras getas rindu
Mengulum malamku
Aku tergeletak di dadamu
Dan kupacukan semangat
Mencium debur jantungmu
Nirmala,
Sesak dan bulat
Menggapai setiap kasihmu
Yang meneriakkan janji
Suci dan tak pernah
Mati!
Danau Batur, Bali.

Kintamani, Bali, 1993



Ketika Kubuka Perjalanan Kedua ke Kota Padang

Kosong
kehampaan
di depan udara meranggas
terlempar jauh ke dalam ngarai yang dalam
bentangan asap memanjang garis gunung
melangkah terbang pada awan

siapakah gerangan hendak masuk di jendelaku
terbuka
ruang kosong yang tersedia
sajak-sajak hari-hariku tergeletak
di atap peti mati

kesenyapan yang menyeruak
lama tak tertahankan
semakin rapuh waktu-waktuku
tak dapat pergi dari sini
karena jadi bagi diriku
karena diri bagi waktu
diam dan sunyi

Syamsuddin Noor Airport, 2002


Dialog Pendek di Atap Kota Solo

Lewat tengah malam
di Solo
Waktu adalah beku
Cahaya bagai bersusulan
ke belakang
Menimpa deretan jalan
yang lengang

Semilir malam
Tempat melaju susuri
Bengawan Solo yang kusam
Dilanda penat
Ingin kembali kepada
Sendiri
Dalam diam dan diam

Di atas bus Solo-Jogja, 1983


Rindu

Telah lama pohon tumbuh dan bercabang
menciptakan daun-daun dan kelopak bunga
Bersemailah keinginan untuk tak pernah
melupakanmu
Tak perduli meski kamu ingkari janji
Sebab cintaku bukan pada fisikmu
Kasihku hanya ruhmu
Ke manapun kau pergi kutak perduli

Hari ini kau menjadi miliknya
Pasti dipertahankannya sampai mati
Kutak peduli kau ingkari janji
Karena cintaku masih untukmu

Yogyakarta, 2000


Di Surabaya dalam Hujan Lebat di Sebuah Bis

Angin dingin menyesak
seperti terhentak diri
dari kepenatan

Tak terukir wajahmu
Surabaya menyambutku

hanya cemberut
menusuk pandangku
bergumul langkah
dalam hujan

Aku tergeletak di kakimu
yang basah

Bus Surabaya-Jogja, 1983


Lautan Berombak, Lautan Airmata

Terbangun. Dibasuh wajah dengan airmata. Terbujur
kaku dikau
Kecintaan pupus dalam lautan lumpur
Isak yang tertahan di dada. Meluncurkan hujan deras
di bola mata.
Harapan yang terkubur jauh di dasar bumi. Tak
sempat kudengar lagi lagu tajwid dan ayat suci yang
dibaca. Semua mengapung dan basah oleh lautan
berombak
Lautan airmata

Sunyi dataran itu. Lelaki kecil aku kini. Menatap
ke depan sendirian. Jalan yang lengang dan nanar
kutatap. Cahaya mata telah menjadi bumiMU
Engkau renggut, wahai buana
Serpihan hati menebar
Terasa sangat mengiris bagai sembilu
Perih menganga dan pedih

Sanggupkah kutahan beban yang sarat ini
Ketika ombak dan badai menepikan sendirian
bidukku
Sementara pengayuh tak satupun kumiliki

Bersandar pada alam yang semakin kecil terlihat
Begitu sangat buram
Begitu sangat kalut

Ah, segera kularikan diriku kencang-kencang
Dan berteriak sekuatnya
Dan menangis sejadinya
Meskipun suaraku hanya angin
Tersekat dan lemah
Tak dapat menerpa gedung-gedung dan kemegahan

Dan tak dapat melumat segalanya:
Kegetiran yang kumiliki
Tak pernah kupikir akan berakhir seperti ini
Langkahku bagai layang yang putus talinya
Entah jatuh ke mana?!

Yogyakarta, 2000
* buat korban bencana longsor Kulonprogo, 12 Desember 2000


Bersepeda di Satu Pagi

Satu pagi yang cerah
Gadis kecil mengayuh sepedanya di pinggir tegalan
Menyanyi kecil
Burung pipit yang terserak di pepadian
Semilir angin berdesir
Membawa harum bunga jagung
Bertanyalah di kelok jalan
Hari libur sekolah minggu

Menuntun anak kecil yang kolokan
Manja
Sang mentari emas
Membasuh embun di daun talas
Mengucurkan keringat
Pada para petani

Gadis kecil dengan lesung pipit di pipinya
Ranum merah delima
Tersungging senyum bagai mutiara
Mengayuh sepeda pagi-pagi di pinggir pematang
sawah
Rambutnya tergerai dimanja hari
“Mas, saya sedang patrol dari burung kecil yang
nakal,
karena pepadian adalah hidupku, “ katanya
suara yang jarang kudengar
mabuklah aku karena kepayang
sering kudengar deru jalanan
nafas kusam kota-kota
baru kini halus suaranya terdambakan

akhirnya ditetapkan: hari-hari indah adalah desaku
suara angin adalah suara cinta
dari sinilah sebenarnya hidupku
bersepeda di satu pagi
berjalan di satu hari
sebenarnya berjalan dari impian yang tidak sia-sia
karena gadis kecil itu kini menjadi aku
bertumbuh dalam diriku

Yogyakarta, 11-9-2000


Pantai Tuban di Satu Pagi

Lelaki tegap menyelam
Ke dasar laut yang biru
Menghidupi anak istrinya
Senandung camar laut
Di atas palkah
Layarnya
Ikut berdoa
Agar ia temukan
Nafas yang lega
Dalam jerat-jerat ini
Di antara ombak yang bergulung
Dan mempersembahkan
Pasir putih di matanya
Adalah rindu
Adalah hikmah

Dan tapak kaki yang:

Semakin mengecil
Di gubuk ladang
Garamnya
Yang kumal

Tapi masih ada matahari
Di hatinya sebagai
Kemala yang tak padam

Surabaya, 1983


Orang Gila di Siang Bolong

Bolak balik di trotoar
Kumandang azan siang hari, meratap ia menangis
Kakinya melepuh dan panas sekali
Pakaian setengah badannya hilang
Rambut gimbal dan dekil
Menyalakan sebuah lilin ia mengitari kota
Saat mentari mengelupaskan ubun-ubunnya

Di perempatan lampu merah mulai jalanan macet
Semua orang memandangnya
Tubuhnya menyala dan naik ke langit
Mobil-mobil bertabrakan kaca berhamburan
Melotot tengadah mengiringi kepergiannya

Orang gila di siang bolong
Sekian pencari kenikmatan hidup
Bukan gila sembarang gila
Gila terhormat di hadapan Pencipta
Bunga tasbih mengharumkan sekelilingnya
Siapa sangka:
Kepunyaan sang pengasih
Dia lupakan dunianya
Tiada nampak jumawanya
Tidak perlu perduli siapa
Orang gila di siang bolong
Orang gila bukan sembarang gila

Seperti halnya orang yang berjalan di depanku
Berpakaian lusuh penuh tambalan
Menggantungi diri dengan tasbih-tasbih
Sungguh tak berani kukatakan gila:
Sebab rahasiaNya tersembunyi
Nyata dan tak terpungkiri

Tanjung, 5 Mei 2003


Pencarian Cahaya dari Maha Cahaya

Sejak lama aku berlindung
Dari kemungkaran
Kemunafikan
Kepalsuan
Kekejian
Kekejaman
Tipu muslihat

Dibedaki wajah menjadi rupawan
Dikumandangkan pesan-pesan kebaikan
Dipancarkan cahaya menerangi
Dinyalakan lampu benderang
Diulurkan tangan kasih
Dipersembahkan perilaku sopan
Didendangkan nyanyian pucuk-pucuk daunan
Dipamerkan kecakapan
Dibeberkan garis-garis kehidupan
Didedahkan jabatan
Dicernakan segenap diri
Dikenakan topeng dengan wajah berseri
Disematkan berjuta bintang
Disebarkan segala-galanya
Hanya karena atas nama kecintaan

Berlumuranlah hitam kopi
Berlepotan nestapa
Berkobarlah semangat kerinduan
Berdenguslah nafas yang deras
Hingga:
Gunung-gunung tumbuh liar
Bukit-bukit terserak
Sungai-sungai mengalir terus
Serpihan debu-debu menyesakkan
Dingin menyungsum tulang

Kini setumpuk kekesalan terjadi
Karena awan yang hitam menurunkan kilat dan
hujan
Seperti membawa hukuman dari langit
Halilintar yang menyengat
Petir api yang menyala membelah cakrawala
Saga yang tertanam di matanya
Tak sempat dibuang jauh-jauh dan menerkam setiap
saat
Sangat kusamlah hari-hari dan bulan-bulan
Melintas batas rasio dan nalar
Terhempas dalam biduk yang karam
Jentera hari yang lemah
Gampang tersuapi dengan segala kecantikan pribadi
Meski ku tahu siapa
Mencinta siapa
Dicinta siapa
Dibenci siapa
Masih tak menjawab secuilpun fatamorgana
Terlalui sudah jalan yang ditempuh
Memang nasib membawa badan berlari
Sarat dengan kealfaan demi kealfaan
Sarat dengan tanggung jawab moral yang tinggi

Terlebih-lebih lagi:
Terlangar rambu-rambu
Dari sisi jalan yang dilalui
Perangkat buaian dinikmati
Sepinya malam
Angin laut selatan
Deru pasir beterbangan
Peluk dan cium kemesraan
Inilah: genggaman yang erat
Dilepas enggan
Dibiarkan: bertobat

Menghangatkan kebebasan
Adalah sengketa hati dan perasaan
Kinilah saatnya tercipta pembalasan
tiang gantungan
Sebab semua orang menyaksikan
Ke mana-mana pergi menawarkan diri

Kepada puncak-puncak bangunan
Kepada gemeretak kemajuan zaman
Sematkan kertas-kertas
Kian hari lusuh dilumat berbagai keinginan
Membaca dan gila
Ke manakah lagi hendak dipersembahkan
Karena sangat naïf membasuh kaki berkubang lumpur
Mengadu kepada siapa

Menghujat kepada kelakuan
Menyusup pada pagar yang selama ini menjadi
cahaya mata
Sang mutiara yang selalu dipelihara dan dirawat
Dikontrol dan selalu dicuci pada sungai-sungai kaki
langit 
Kebersihan iman
Akh, nestapa
Kau gampang menciptakan kegemaran
Lalu menghempaskan yang mabuk dan ngeyel
Lalu menghempaskan batin dan raga
Di belantara misteri yang tak pernah aku mengerti
Seringkali aku segera ingin berpaling dari
Jerat-jerat cintamu
Semakin kujalani
Semakin susah dapat kupahami
Sedalam laut pengertian diberikan
Sangat luas hayati disuguhkan
Sangat benar saranmu yang manis bagai madu
Nikmat bagai anggur

Dari sini setiap saat dipanggil namamu
Diteriakkan dalam diam
Dipasarkan dalam do’a
Dipeluk dalam segenap perasaan dan semuanya

Wahai kasmaran yang didekap erat Satu
Kau bawa ke mana lagi saat-saat peristiwa terjadi
Menggumpal dan terus mengkristal
Perjanjian telah dibuat
Digelar dari mulut ke mulut
Kasih sayang

Betapa tulusnya,
Bumi pun menyambutnya dengan keberanian dan
Kegembiraan
Sebab dirinya sudah muak menampung fakta
Atas nama cinta

Padahal dorongannya:
Menyeruak, menembus apa saja
Batas penghalang sudah kalah
Ia yang bebas bergerak lewat puisi
Ia yang bebas lewat senandung
Membahana
Mengguncang
Meninabobokan semuanya
Susuk yang ditanam di dadaku
Sudah tak laku lagi
Sinarnya yang mulai redup karena tua
Karena rasa yang membuncah dan lupa daratan
Menangis adalah airmata
Menjadikan saksi-saksi
Merasa kasihankah diri?

Bersujud di sajadah
Bertasbih di bibir hati dan jiwa
Berjuang melawan rasa:
Kasih sayang yang kautumpahkan yang
melencengkan perasaan
Penghujung waktu kian mendekat
Pukullah genderang peperangan
Harus diusirkan dari dada
Usirlah semuanya

Berkata pada hari-hari yang berlalu
Terlalu susah melarikan diri sendiri
Sebab sering kata-kata susah menjadi semanis madu
Selalu saja terungkap kekecewaan dan lalu hancur
Maka atas nama pencipta kasih dan sayang dan cinta
Bersandarlah pada lautan luas
Semua ilmu menjadi suluh
Semua harapan menjadi kesaktian

Di sinilah kusodorkan diriku di hadapanmu
Menunggu pengadilan dari hakim
Meski buramnya pandanganku karena airmata yang
turun bagai hujan
Pada latar pengorbanan ini
Hendaknya segeralah lepas
Topeng-topeng kepalsuan
Kuberkata pada bumi: tampunglah batangan jiwa ini
Janganlah kau dera lagi dirinya
Sebab sifana telah lama menghukumnya dengan siksa
batinnya

Wahai aku ingin saja lari ke selimutmu buana
Sebab tak kuat lagi rasanya menyimpan misteri
ciptaNya ini
Sebab tak jembar lagi batangan puisi ini menampung
hari-hariku
Meski bunga tetap harum semerbak
Meski burung-burung tetap bernyanyi riang
Pencarian cahaya maha cahaya
Adalah dari ikhlas ke ikhlas lagi
Tujuan akhir memasuki alam kekinian abadi

Yogyakarta, 10-9-2000


Tentang Drs. Akhmad Tajuddin, M.Si
Drs. Akhmad Tajuddin, M.Si atau di kalangan penyair Kalsel dikenal dengan nama A. Bacco atau Tajuddin Bacco ini lahir di desa Hayup, kecamatan Haruai, Kab. Tabalong, Kalimantan Selatan pada 13 Agustus 1958. S1 jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM (lulus 1992) dan S2 di Magister Ekonomi Pembangunan UGM (lulus 2002). Menulis puisi sejak 1978. Karyanya tersebar di majalah Warta Pertamina, Jakarta, SKH Banjarmasin Post, Dinamika Berita, dan RRI Nusantara III Banjarmasin. Antologi puisi bersama Duri-duri Tataba (1996), Semata Wayang Semata Sayang (1998), Puisi Potret Diri (1999). Kumpulan cerpennya: Nawu Raha ( 2002).   


Catatan Lain
Kumpulan puisi Silir Pulau Dewata diberi pengantar oleh Prof. Dr. H. Djantera Kawi, MA. Dikatakan bahwa pesan kuat yang ingin disampai lewat kumpulan ini ialah kedamaian dan cinta kasih. Disebutkan bahwa kekaguman dan obsesi Tajuddin Bacco terhadap kedamaian dan cinta kasih yang terpatri dalam sanubarinya, senantiasa terusik manakala ia berhadapan dengan sebuah realitas yang lain.
            Yang unik dari buku ini, yang belum pernah saya temui di buku lain adalah soal adanya pernyataan. Bunyi pernyataannya begini: “Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa seluruh isi buku ini adalah asli karya saya, dan tidak pernah menyadur karya siapapun. Karya ini betul-betul orisinil dan asli datangnya dari saya. Demikian untuk menjadi maklum adanya.” Tanjung, Tabalong, 12 November 2003, Drs. Akhmad Tajuddin, M.Si.

            Terbagi atas empat muka, yaitu Bentangan Hari, Bentangan Cahaya (16 puisi), Keindahan Sunyi (37 puisi), Harum Kembang Semusim (31 puisi), dan Sajak Orang-orang Ngomel (18 puisi). Total 102 puisi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar