Data Buku
Kumpulan Puisi
Judul : Silir
Pulau Dewata
Penulis : Drs.
Akhmad Tajuddin, M.Si (Tajuddin Bacco)
Cetakan :
I, Desember 2003
Penerbit :
Grafika Indah, Yogyakarta
Tebal : 122
halaman (102 puisi)
Penyunting
: Prof. Dr. H. Djantera Kawi, MA
Pengolah
Kulit: Nirma Yudi Chandra, SE
Penata
letak dan olah grafis : K. Subagyo
ISBN : 979-98204-0-5
Beberapa
pilihan puisi Tajuddin Bacco dalam Silir Pulau Dewata
Senandung dari
Kintamani
Keras
getas rindu
Mengulum
malamku
Aku
tergeletak di dadamu
Dan
kupacukan semangat
Mencium
debur jantungmu
Nirmala,
Sesak dan
bulat
Menggapai
setiap kasihmu
Yang
meneriakkan janji
Suci dan
tak pernah
Mati!
Danau
Batur, Bali.
Kintamani, Bali,
1993
Ketika Kubuka
Perjalanan Kedua ke Kota Padang
Kosong
kehampaan
di depan
udara meranggas
terlempar
jauh ke dalam ngarai yang dalam
bentangan
asap memanjang garis gunung
melangkah
terbang pada awan
siapakah
gerangan hendak masuk di jendelaku
terbuka
ruang
kosong yang tersedia
sajak-sajak
hari-hariku tergeletak
di atap
peti mati
kesenyapan
yang menyeruak
lama tak
tertahankan
semakin
rapuh waktu-waktuku
tak dapat
pergi dari sini
karena
jadi bagi diriku
karena
diri bagi waktu
diam dan
sunyi
Syamsuddin Noor
Airport, 2002
Dialog
Pendek di Atap Kota Solo
Lewat
tengah malam
di Solo
Waktu
adalah beku
Cahaya
bagai bersusulan
ke
belakang
Menimpa
deretan jalan
yang
lengang
Semilir
malam
Tempat
melaju susuri
Bengawan
Solo yang kusam
Dilanda
penat
Ingin
kembali kepada
Sendiri
Dalam diam
dan diam
Di atas bus
Solo-Jogja, 1983
Rindu
Telah lama
pohon tumbuh dan bercabang
menciptakan
daun-daun dan kelopak bunga
Bersemailah
keinginan untuk tak pernah
melupakanmu
Tak
perduli meski kamu ingkari janji
Sebab
cintaku bukan pada fisikmu
Kasihku
hanya ruhmu
Ke manapun
kau pergi kutak perduli
Hari ini
kau menjadi miliknya
Pasti
dipertahankannya sampai mati
Kutak
peduli kau ingkari janji
Karena
cintaku masih untukmu
Yogyakarta, 2000
Di Surabaya dalam
Hujan Lebat di Sebuah Bis
Angin
dingin menyesak
seperti
terhentak diri
dari
kepenatan
Tak
terukir wajahmu
Surabaya
menyambutku
hanya
cemberut
menusuk
pandangku
bergumul
langkah
dalam
hujan
Aku
tergeletak di kakimu
yang basah
Bus Surabaya-Jogja,
1983
Lautan Berombak,
Lautan Airmata
Terbangun.
Dibasuh wajah dengan airmata. Terbujur
kaku dikau
Kecintaan
pupus dalam lautan lumpur
Isak yang
tertahan di dada. Meluncurkan hujan deras
di bola
mata.
Harapan
yang terkubur jauh di dasar bumi. Tak
sempat kudengar
lagi lagu tajwid dan ayat suci yang
dibaca.
Semua mengapung dan basah oleh lautan
berombak
Lautan
airmata
Sunyi
dataran itu. Lelaki kecil aku kini. Menatap
ke depan
sendirian. Jalan yang lengang dan nanar
kutatap. Cahaya
mata telah menjadi bumiMU
Engkau
renggut, wahai buana
Serpihan
hati menebar
Terasa
sangat mengiris bagai sembilu
Perih
menganga dan pedih
Sanggupkah
kutahan beban yang sarat ini
Ketika
ombak dan badai menepikan sendirian
bidukku
Sementara
pengayuh tak satupun kumiliki
Bersandar
pada alam yang semakin kecil terlihat
Begitu
sangat buram
Begitu
sangat kalut
Ah, segera
kularikan diriku kencang-kencang
Dan
berteriak sekuatnya
Dan
menangis sejadinya
Meskipun
suaraku hanya angin
Tersekat
dan lemah
Tak dapat
menerpa gedung-gedung dan kemegahan
Dan tak
dapat melumat segalanya:
Kegetiran
yang kumiliki
Tak pernah
kupikir akan berakhir seperti ini
Langkahku
bagai layang yang putus talinya
Entah
jatuh ke mana?!
Yogyakarta, 2000
* buat korban
bencana longsor Kulonprogo, 12 Desember 2000
Bersepeda di Satu
Pagi
Satu pagi
yang cerah
Gadis
kecil mengayuh sepedanya di pinggir tegalan
Menyanyi
kecil
Burung
pipit yang terserak di pepadian
Semilir
angin berdesir
Membawa
harum bunga jagung
Bertanyalah
di kelok jalan
Hari libur
sekolah minggu
Menuntun
anak kecil yang kolokan
Manja
Sang
mentari emas
Membasuh
embun di daun talas
Mengucurkan
keringat
Pada para
petani
Gadis
kecil dengan lesung pipit di pipinya
Ranum
merah delima
Tersungging
senyum bagai mutiara
Mengayuh
sepeda pagi-pagi di pinggir pematang
sawah
Rambutnya
tergerai dimanja hari
“Mas, saya
sedang patrol dari burung kecil yang
nakal,
karena
pepadian adalah hidupku, “ katanya
suara yang
jarang kudengar
mabuklah
aku karena kepayang
sering
kudengar deru jalanan
nafas
kusam kota-kota
baru kini
halus suaranya terdambakan
akhirnya
ditetapkan: hari-hari indah adalah desaku
suara
angin adalah suara cinta
dari
sinilah sebenarnya hidupku
bersepeda
di satu pagi
berjalan
di satu hari
sebenarnya
berjalan dari impian yang tidak sia-sia
karena
gadis kecil itu kini menjadi aku
bertumbuh
dalam diriku
Yogyakarta,
11-9-2000
Pantai Tuban di
Satu Pagi
Lelaki
tegap menyelam
Ke dasar
laut yang biru
Menghidupi
anak istrinya
Senandung
camar laut
Di atas
palkah
Layarnya
Ikut
berdoa
Agar ia
temukan
Nafas yang
lega
Dalam
jerat-jerat ini
Di antara
ombak yang bergulung
Dan
mempersembahkan
Pasir
putih di matanya
Adalah
rindu
Adalah
hikmah
Dan tapak
kaki yang:
Semakin
mengecil
Di gubuk
ladang
Garamnya
Yang kumal
Tapi masih
ada matahari
Di hatinya
sebagai
Kemala
yang tak padam
Surabaya, 1983
Orang Gila di Siang
Bolong
Bolak
balik di trotoar
Kumandang
azan siang hari, meratap ia menangis
Kakinya
melepuh dan panas sekali
Pakaian
setengah badannya hilang
Rambut
gimbal dan dekil
Menyalakan
sebuah lilin ia mengitari kota
Saat
mentari mengelupaskan ubun-ubunnya
Di
perempatan lampu merah mulai jalanan macet
Semua
orang memandangnya
Tubuhnya
menyala dan naik ke langit
Mobil-mobil
bertabrakan kaca berhamburan
Melotot
tengadah mengiringi kepergiannya
Orang gila
di siang bolong
Sekian
pencari kenikmatan hidup
Bukan gila
sembarang gila
Gila
terhormat di hadapan Pencipta
Bunga
tasbih mengharumkan sekelilingnya
Siapa
sangka:
Kepunyaan
sang pengasih
Dia
lupakan dunianya
Tiada
nampak jumawanya
Tidak
perlu perduli siapa
Orang gila
di siang bolong
Orang gila
bukan sembarang gila
Seperti
halnya orang yang berjalan di depanku
Berpakaian
lusuh penuh tambalan
Menggantungi
diri dengan tasbih-tasbih
Sungguh
tak berani kukatakan gila:
Sebab
rahasiaNya tersembunyi
Nyata dan
tak terpungkiri
Tanjung, 5 Mei 2003
Pencarian Cahaya
dari Maha Cahaya
Sejak lama
aku berlindung
Dari
kemungkaran
Kemunafikan
Kepalsuan
Kekejian
Kekejaman
Tipu
muslihat
Dibedaki
wajah menjadi rupawan
Dikumandangkan
pesan-pesan kebaikan
Dipancarkan
cahaya menerangi
Dinyalakan
lampu benderang
Diulurkan
tangan kasih
Dipersembahkan
perilaku sopan
Didendangkan
nyanyian pucuk-pucuk daunan
Dipamerkan
kecakapan
Dibeberkan
garis-garis kehidupan
Didedahkan
jabatan
Dicernakan
segenap diri
Dikenakan
topeng dengan wajah berseri
Disematkan
berjuta bintang
Disebarkan
segala-galanya
Hanya
karena atas nama kecintaan
Berlumuranlah
hitam kopi
Berlepotan
nestapa
Berkobarlah
semangat kerinduan
Berdenguslah
nafas yang deras
Hingga:
Gunung-gunung
tumbuh liar
Bukit-bukit
terserak
Sungai-sungai
mengalir terus
Serpihan
debu-debu menyesakkan
Dingin
menyungsum tulang
Kini
setumpuk kekesalan terjadi
Karena
awan yang hitam menurunkan kilat dan
hujan
Seperti
membawa hukuman dari langit
Halilintar
yang menyengat
Petir api
yang menyala membelah cakrawala
Saga yang
tertanam di matanya
Tak sempat
dibuang jauh-jauh dan menerkam setiap
saat
Sangat
kusamlah hari-hari dan bulan-bulan
Melintas
batas rasio dan nalar
Terhempas
dalam biduk yang karam
Jentera
hari yang lemah
Gampang
tersuapi dengan segala kecantikan pribadi
Meski ku
tahu siapa
Mencinta
siapa
Dicinta
siapa
Dibenci
siapa
Masih tak
menjawab secuilpun fatamorgana
Terlalui sudah
jalan yang ditempuh
Memang
nasib membawa badan berlari
Sarat
dengan kealfaan demi kealfaan
Sarat
dengan tanggung jawab moral yang tinggi
Terlebih-lebih
lagi:
Terlangar
rambu-rambu
Dari sisi
jalan yang dilalui
Perangkat
buaian dinikmati
Sepinya
malam
Angin laut
selatan
Deru pasir
beterbangan
Peluk dan
cium kemesraan
Inilah:
genggaman yang erat
Dilepas
enggan
Dibiarkan:
bertobat
Menghangatkan
kebebasan
Adalah
sengketa hati dan perasaan
Kinilah
saatnya tercipta pembalasan
tiang
gantungan
Sebab
semua orang menyaksikan
Ke
mana-mana pergi menawarkan diri
Kepada
puncak-puncak bangunan
Kepada
gemeretak kemajuan zaman
Sematkan
kertas-kertas
Kian hari
lusuh dilumat berbagai keinginan
Membaca
dan gila
Ke manakah
lagi hendak dipersembahkan
Karena
sangat naïf membasuh kaki berkubang lumpur
Mengadu
kepada siapa
Menghujat
kepada kelakuan
Menyusup
pada pagar yang selama ini menjadi
cahaya
mata
Sang
mutiara yang selalu dipelihara dan dirawat
Dikontrol
dan selalu dicuci pada sungai-sungai kaki
langit
Kebersihan
iman
Akh,
nestapa
Kau
gampang menciptakan kegemaran
Lalu
menghempaskan yang mabuk dan ngeyel
Lalu
menghempaskan batin dan raga
Di
belantara misteri yang tak pernah aku mengerti
Seringkali
aku segera ingin berpaling dari
Jerat-jerat
cintamu
Semakin
kujalani
Semakin
susah dapat kupahami
Sedalam
laut pengertian diberikan
Sangat
luas hayati disuguhkan
Sangat
benar saranmu yang manis bagai madu
Nikmat
bagai anggur
Dari sini
setiap saat dipanggil namamu
Diteriakkan
dalam diam
Dipasarkan
dalam do’a
Dipeluk dalam
segenap perasaan dan semuanya
Wahai
kasmaran yang didekap erat Satu
Kau bawa
ke mana lagi saat-saat peristiwa terjadi
Menggumpal
dan terus mengkristal
Perjanjian
telah dibuat
Digelar
dari mulut ke mulut
Kasih
sayang
Betapa
tulusnya,
Bumi pun
menyambutnya dengan keberanian dan
Kegembiraan
Sebab
dirinya sudah muak menampung fakta
Atas nama
cinta
Padahal
dorongannya:
Menyeruak,
menembus apa saja
Batas
penghalang sudah kalah
Ia yang
bebas bergerak lewat puisi
Ia yang
bebas lewat senandung
Membahana
Mengguncang
Meninabobokan
semuanya
Susuk yang
ditanam di dadaku
Sudah tak
laku lagi
Sinarnya
yang mulai redup karena tua
Karena
rasa yang membuncah dan lupa daratan
Menangis
adalah airmata
Menjadikan
saksi-saksi
Merasa
kasihankah diri?
Bersujud
di sajadah
Bertasbih
di bibir hati dan jiwa
Berjuang
melawan rasa:
Kasih
sayang yang kautumpahkan yang
melencengkan
perasaan
Penghujung
waktu kian mendekat
Pukullah
genderang peperangan
Harus
diusirkan dari dada
Usirlah
semuanya
Berkata
pada hari-hari yang berlalu
Terlalu
susah melarikan diri sendiri
Sebab
sering kata-kata susah menjadi semanis madu
Selalu
saja terungkap kekecewaan dan lalu hancur
Maka atas
nama pencipta kasih dan sayang dan cinta
Bersandarlah
pada lautan luas
Semua ilmu
menjadi suluh
Semua
harapan menjadi kesaktian
Di sinilah
kusodorkan diriku di hadapanmu
Menunggu
pengadilan dari hakim
Meski
buramnya pandanganku karena airmata yang
turun
bagai hujan
Pada latar
pengorbanan ini
Hendaknya
segeralah lepas
Topeng-topeng
kepalsuan
Kuberkata pada
bumi: tampunglah batangan jiwa ini
Janganlah
kau dera lagi dirinya
Sebab
sifana telah lama menghukumnya dengan siksa
batinnya
Wahai aku
ingin saja lari ke selimutmu buana
Sebab tak
kuat lagi rasanya menyimpan misteri
ciptaNya
ini
Sebab tak
jembar lagi batangan puisi ini menampung
hari-hariku
Meski
bunga tetap harum semerbak
Meski
burung-burung tetap bernyanyi riang
Pencarian
cahaya maha cahaya
Adalah
dari ikhlas ke ikhlas lagi
Tujuan
akhir memasuki alam kekinian abadi
Yogyakarta,
10-9-2000
Tentang Drs. Akhmad
Tajuddin, M.Si
Drs. Akhmad Tajuddin,
M.Si atau di kalangan penyair Kalsel dikenal dengan nama A. Bacco atau Tajuddin
Bacco ini lahir di desa Hayup, kecamatan Haruai, Kab. Tabalong, Kalimantan
Selatan pada 13 Agustus 1958. S1 jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM (lulus
1992) dan S2 di Magister Ekonomi Pembangunan UGM (lulus 2002). Menulis puisi
sejak 1978. Karyanya tersebar di majalah Warta Pertamina, Jakarta, SKH
Banjarmasin Post, Dinamika Berita, dan RRI Nusantara III Banjarmasin. Antologi
puisi bersama Duri-duri Tataba (1996), Semata Wayang Semata Sayang (1998),
Puisi Potret Diri (1999). Kumpulan cerpennya: Nawu Raha ( 2002).
Catatan
Lain
Kumpulan puisi Silir Pulau Dewata diberi pengantar oleh
Prof. Dr. H. Djantera Kawi, MA. Dikatakan bahwa pesan kuat yang ingin disampai
lewat kumpulan ini ialah kedamaian dan cinta kasih. Disebutkan bahwa kekaguman
dan obsesi Tajuddin Bacco terhadap kedamaian dan cinta kasih yang terpatri dalam
sanubarinya, senantiasa terusik manakala ia berhadapan dengan sebuah realitas
yang lain.
Yang unik dari buku ini, yang belum
pernah saya temui di buku lain adalah soal adanya pernyataan. Bunyi pernyataannya begini: “Saya yang bertanda tangan
di bawah ini menyatakan bahwa seluruh isi buku ini adalah asli karya saya, dan
tidak pernah menyadur karya siapapun. Karya ini betul-betul orisinil dan asli
datangnya dari saya. Demikian untuk menjadi maklum adanya.” Tanjung, Tabalong,
12 November 2003, Drs. Akhmad Tajuddin, M.Si.
Terbagi atas empat muka, yaitu Bentangan Hari, Bentangan Cahaya (16
puisi), Keindahan Sunyi (37 puisi), Harum Kembang Semusim (31 puisi), dan Sajak Orang-orang Ngomel (18 puisi).
Total 102 puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar