Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Garam-garam Hujan
Penulis : Jamal D.
Rahman
Cetakan : II, April 2004
Penerbit : Hikayat Publishing, Yogyakarta
Tebal : xii + 108 halaman (100 puisi)
Desain Sampul : Herry Dim
Lukisan Sampul : "Di Padang Sembahayang" karya
Herry Dim, berdasarkan puisi Jamal D. Rahman
Pemeriksa aksara : Kholiq Imron
Tata letak : Bambang Suparman
ISBN : 979-98420-5-0
Beberapa pilihan puisi Jamal D. Rahman dalam Garam-garam
Hujan
Di Padang
Sembahyang
mengetuk pintu
demi pintu. jam mendetak
di lantai.
dinding pun terjaga. dan ombak bangkit
dari jendela.
aku tersungkur: lewat pintu-pintu itu,
angin mengusung zikirku
dari alif ke alif, dan asmamu
mengerang di
padang-padang sembahyang
1988
Senja Telah
Menetas
tulang rusukku
hanya akan kurelakan jadi seruling
untuk
suara-suara yang diagungkan angin. bahkan topan.
maka kalau
kupandang remang di ambang petang itu,
aku tahu: senja
telah menetas dari airmata tulang rusukku
2002
Burung Azan
Magrib
seluruh sunyi
telah kita dekap dalam degup rindu, sore itu. tapi
selalu ada gema,
seakan kumandang karang dari perah hatimu.
kubaca jengkal
tanganmu dalam perih doaku, hingga kita paham:
di kamar paling
gaib pun sunyi berpintalan dengan diam. lalu
kita menangis di
helai-helai waktu yang membakar. kita pun
berkobar,
menari, menggali luka sunyi luka diam dalam firman
malam
azan magrib itu
kini jadi burung. mengepak dalam airmatamu
yang tertahan di
doaku. terbang mendekap rindu di antara
reranting
nafasku
adakah yang
lebih dalam dari dekap burung pada rindu?
2002
Sujud Kematian
begitu deras
batu-batu mengalir dari alis matamu
menziarahi
pekuburan yang memanggil-manggil kematianku
dengan sujud
bunga. o jasadku hanyut
dalam
gelombang-gelombang besar mimpimu. ke mana
harus kusalurkan
airmata?
kudengar zikir
batu karang pada dasar gemercik air:
tangis lebih
dingin dari sujudku. o darah
yang dihanyut
batu-batu, berapa kali harus kusyahadatkan
cintaku?
perjalanan mayat yang jauh
menggali dan
menimbuni jurang-jurang. pada
lenganmu,
kuusung mayatku bersama air yang keruh
dan daun-daun yang
menguning. keranda begitu teduh.
untukmu,
kukarangkan doa
dan nisan
kesangsianku. kita karamkan
gunung-gunung
dan kabut yang tebal!
1989
Anak-anak
Tembakau
kepada
petani tembakau di madura
kami
anak-anak tembakau
tumbuh di antara anak-anak batu
nafas kami bau kemarau campur cerutu
tumbuh di antara anak-anak batu
nafas kami bau kemarau campur cerutu
bila
kami saling dekap,
kami berdekapan dengan tangan kemarau
bila kami saling cium,
kami berciuman dengan bau tembakau
kami berdekapan dengan tangan kemarau
bila kami saling cium,
kami berciuman dengan bau tembakau
langit
desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menangis
sebab kulit kami tetap coklat
secoklat tanah
tempat kami menggali airmata sendiri
tapi kami tak pernah menangis
sebab kulit kami tetap coklat
secoklat tanah
tempat kami menggali airmata sendiri
langit
desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menyerah
tapi kami tak pernah menyerah
pada
setiap daun tembakau
kami urai urat hidup kami
pada setiap pohon tembakau
kami rangkai serat doa kami
kami urai urat hidup kami
pada setiap pohon tembakau
kami rangkai serat doa kami
2000
Di Irak, Bahkan
Doa pun Remuk
di irak, di
kilang-kilang minyak, di padang-padang debu, di
gudang-gudang
peluru dan mesiu, bahkan doa pun remuk.
tulang-belulang
kami tak bisa lagi menggali tanah, tempat kami
menyuling hidup
di ladang-ladang minyak, tempat kami
mengilang bom di
padang-padang amuk. semua telah jadi api,
dan kami
berkobar merebus darah sendiri, membakar-bakar
matahari.
kami pungut
pecahan doa di reruntuhan kilang dan gedung,
lalu kami suling
jadi patung api, tempat kami mengenang
tanganmu
meledakkan matahari di padang paling sunyi. kami
coba menata
kembali doa kami yang remuk, tulang-belulang
kami yang
luluh-lantak, lalu kami rakit jadi bom dalam diri
kami. setiap
saat ia meledak tanpa kami merasa pernah mati.
malam-malam kami
dirayapi tank, dicekam rudal, diintai
peluru. diraungi
ledakan-ledakan. langit pun pecah. tanah
terbelah. dan
kaki anak kami patah. dan kaki anak kami patah.
dan hati anak
kami pecah. dia menangis. tapi yang terdengar
dari isak tangis
anak kami adalah bisik tertahan di raung sirine
perang:
orang-orang mati doa di kilang tangisku. orang-orang
mati doa di
kilang tangisku.
ya. kami coba
menata kembali doa kami yang remuk, tulang-
belulang kami
yang luluh-lantak, lalu kami rakit jadi bom jadi
rudal jadi
nuklir dalam diri kami. setiap saat ia meledak tanpa
kami merasa
pernah mati.
2003
Belajar pada
Batu-batu
belajar pada
batu-batu, alif demi alif
di matamu kueja.
dingin alismu menelikung pada
setiap tembok
yang membangun sunyi nafasku. di sana
kau taburkan
bunga dan batu
sambil menciumi
telapak tanganmu yang kosong
belajar pada
batu-batu, tuak di gelas-gelas
kutumpahkan.
meja terluka. kursi bergerak
ke arahku
awan bergerak
memandangmu, mengais-ngais
jasadku dari
rumpun daun yang mengering, padahal
di situ,
batu-batu yang diam masih kurenungkan
1988
Penyair di Pojok
Tikungan
karena setiap
bahasa memiliki tanda kurung dan garis miring,
penyair selau
berdiri di pojok tikungan
penuh bahaya
itu. ia tak mampu lagi
memahami gelora
bahasamu saat kau berusaha menegakkan
menara cahaya,
tapi ia tahu, di balik garis miring,
seribu tanda
kurung masih menunggu
tak terbakar
penyair menggelora di magma bahasa
menyergap
bayang-bayang patah warna. tapi ia tak tahu,
bahwa di pojok
tikungan itu,
ia sedang
mendaki garis miring dalam tanda kurung
yang terbuat
dari airmata ibunya
2001
Bayang-bayang
pada usia
berapakah matahari menciumimu? usia beredar
sepanjang ajal:
perjalanan yang tak sampai-sampai pada hujan
sementara
percakapan dengan dinding tak pernah sampai
ke cakrawala.
berapakah usia matahari, ketika dia turun
memeluk nafasmu
dalam tidur yang menggelisahkan
tak kujemput
bayang-bayangmu pada ufuk matahari
yang jauh sebab
setiap kali berusaha mengenangmu,
aku selalu
melupakanmu
di manakah
jejak-jejak itu menggariskan airmata?
luka tak lagi
memercikkan darah, melainkan nyanyian
yang dipetik
dari gitar kayu: menimbang-nimbang matahari
dan kemudian
menggulirkannya sepanjang darah sembahyang
ingin menurunkan
matahari, aku begitu khusyuk
memeluk
cakrawala ...
1991
Bernafaslah pada
Ombak
bernafaslah pada
ombak. karena danau telanjur
menyimpan buih.
membendung gelombang zaman
dan
menghanyutkan doa. dari bukit sukmamu
batu-batu pun
hanyut ke dalam sujud muara,
memadatkan
tangis benua
dari dasar laut,
ombak membangun gelora malam.
lampu-lampu
nelayan menggeliat, jadi bintang
di keluasan
matamu. mengedipkan mata ikan
pada kail dan
jala yang mulai cemas
menunggu. di
sini, lumpur menghampar,
menenggak air
sembahyang dari cangkir-cangkir kecemasan
1987
Rubaiyat
Matahari
1
dengan
bismilah berdarah di rahim sunyi
kueja namamu di rubaiyat matahari
kau dengar aku menangis sepanjang hari
karena dari november-desember selalu lahir januari
kueja namamu di rubaiyat matahari
kau dengar aku menangis sepanjang hari
karena dari november-desember selalu lahir januari
2
engkaulah
sepi di jemari hujan
kabar semilir dari degup gelombang
engkaulah api di jemari awan
membakar cintaku hingga degup bintang-gemintang
kabar semilir dari degup gelombang
engkaulah api di jemari awan
membakar cintaku hingga degup bintang-gemintang
3
atas
sepi perahuku bercahaya
membawa matahari ke jantung madura
atas bara api cintaku menyala
menantang matahari di lubuk semesta
membawa matahari ke jantung madura
atas bara api cintaku menyala
menantang matahari di lubuk semesta
4
aku
peras laut jadi garam
mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
aku bakar langit temaram
bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api
mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
aku bakar langit temaram
bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api
5
batu
karam perahu karam
tenggelam di rahang lautan
darahku bergaram darahmu bergaram
menyeduh asin doa di cangkir kehidupan
tenggelam di rahang lautan
darahku bergaram darahmu bergaram
menyeduh asin doa di cangkir kehidupan
6
karena
laut menyimpan teka-teki
di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
karena layar hanya selembar sepi
di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang
di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
karena layar hanya selembar sepi
di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang
7
pohon
cemara ikan cemara
menggelombang biru di riak-riak senja
antara pohon dan ikan kita adalah cemara
mendekap cakrawala di dasar samudera
menggelombang biru di riak-riak senja
antara pohon dan ikan kita adalah cemara
mendekap cakrawala di dasar samudera
8
di
rahang rahasia rinduku abadi
sampai runtuh seluruh sepi
rinduku adalah ketabahan matahari
menerima sepi di relung puisi
sampai runtuh seluruh sepi
rinduku adalah ketabahan matahari
menerima sepi di relung puisi
9
di
relung malam lambaianku menua
juga pandanganmu di kaca jendela
alangkah dalam makna senja
menanggung berat perpisahan kita
juga pandanganmu di kaca jendela
alangkah dalam makna senja
menanggung berat perpisahan kita
10
dari
pintu ke pintu ketukanku kembali
tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
dari rindu ke rindu aku pun mengaji
tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi
tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
dari rindu ke rindu aku pun mengaji
tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi
2002-2003
Tentang Jamal D.
Rahman
Jamal D. Rahman
lahir di Lenteng Timur, Sumenep, Madura, 14 Desember 1967. Alumnus Pondok
Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, kemudian IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, dan menamatkan S2 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia. Menulis puisi, esai, kritik sastra, seni dan budaya. Tulisannya
tersebar di berbagai media massa. Kumpulan puisinya: Airmata Diam (1993) dan
Reruntuhan Cahaya (2003). Menjadi redaktur majalah sastra Horison (sejak 1993)
dan pernah menjadi sekretaris di Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006).
Catatan Lain
Dalam Catatan
Penulis, Jamal D. Rahman menuturkan: "Garam-garam Hujan ini berisi
puisi-puisi saya yang terbaru, ditambah dengan beberapa puisi dari Reruntuhan
Cahaya, kumpulan puisi saya yang kedua, dan puisi-puisi dalam Airmata
Diam, kumpulan puisi pertama. Semula, buku ini direncanakan sebagai cetak
ulang Airmata Diam. Setelah mendiskusikannya dengan penerbit Hikayat,
Yogyakarta, dan Agus R. Sarjono, penyair dan sahabat saya, akhirnya saya
putuskan untuk menjadikannya buku tersendiri. Jadilah ia buku ini."
Garam-garam Hujan dibagi menjadi 3
bagian, yaitu Rubaiyat Matahari, puisi yang ditulis pada kurun 2002-2004
(25 puisi), Anak-anak Tembakau, 1988-2002 (25 puisi), dan Airmata
Diam, 1988-1991 (50 puisi).
luar biasa,, terimakasih utk pemilik blog ini... :)
BalasHapus