Satu Buku Dua Kubu:
Kubu Satu : Anak Mencari Tuhan
oleh Nugroho Suksmanto
Kubu Dua : Pertempuran Rahasia
oleh Triyanto Triwikromo
Data buku
kumpulan puisi 1
Judul : Anak Mencari Tuhan
Penulis : Nugroho
Suksmanto
Cetakan : I, Mei 2010
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : vii + 87 halaman (60 judul puisi)
ISBN : 978-979-22-5755-7
Lukisan Sampul : Danarto
Desain sampul : Rully Susanto
Setting : Sukoco
Prolog : Putu Wijaya
Beberapa pilihan puisi Nugroho Suksmanto dalam Anak
Mencari Tuhan
; anak-anak dan kehidupan
Bagi anak-anak
Kehidupan adalah;
Adzan pada waktu subuh
Lonceng di menara teduh
Sesaji di pintu candi
Layang-layang terbang
Dan
Kerlip kunang-kunang
; doa anak Semesta Alam
Wahai Penguasa
Jagad
Yang bersuara di
dalam angin
Yang bernapas
melahirkan kehidupan
Tegakkan langkahku
menapak dalam kehidupan
dan tegarkan mataku
menatap sinar mentari pagi
Jagalah tanganku
menghargai segala ciptaanmu
dan telingaku tajam
mendengar bisikanmu
Tuntunlah aku
menggali makna
yang kausembunyikan
dalam daun dan batu
Kan kuhimpun
kekuatan
tidak untuk
membuatku lebih besar dari saudaraku
tapi untuk
memerangi musuhku terbesar; diriku sendiri
Jadikan aku insan
yang datang kepadamu
dengan tangan yang
bersih dan mata yang tegak
Sehingga saat
kehidupan sirna bagai tenggelamnya senja
arwahku tak malu
mengahadap-Mu
Dikembangkan dari sajak Indian
“With clean hands”
; wajah Sastra terkini
Tak muncul Wiji
Tukul
Tak lahir orasi
Munir
Tak terdengar resah
Marsinah
Yang hadir penyair
langganan
Tampil elite di
Koran Kompas
Menyingkirkan
karya-karya “picisan”
; Sastra kita
Ketika sastra hanya
olahkata
Makna tak berarti
Ketika kata belaka
menghiasi media
Sastra seakan mati
Ketika media
menjadi alat penguasa
Sastrawan mengabdi
… atau dikebiri!
; di China dan di Kita
Di China
Bebas tak beragama
Orang-orangnya
santun
Saat menentang
Agama
Di Kita
Agama sedikitnya
lima
Orang-orangnya
beringas
Saat membela agama
Di China
Pemimpinnya keji
Saat memberantas
korupsi
Tak segan menembak
mati
Di Kita
Para pemimpin baik
hati
Berderma dari hasil
korupsi
Pergi haji
berkali-kali
; Bumi
Di sana aku
berpijak
Sejak tangis
pertama
Setelah ketuban
pecah
Jeritku melepas
siksa
Mengiring air mata
haru
Tersipu dia
menatapku
Sambil bergumam;
Kini aku jadi ibu!
Lalu aku menyusu
Lalu aku berguru
Lalu aku berkarya
Melukis cakrawala
Saat diam aku
bertanya
Kepada siapa
kuharus berbakti
Terbayang Ayah
memberi jawaban
Dan Tuhan mengiakan
Kaulah yang
dimaksudkan, Ibu;
Sebagai pribadi dan
pertiwi!
; Guru bagiku
Guru,
Untuk ilmu
kaubukakan pintu
Dan aku tinggal
memasuki
Tentang agama
kausingkap makna
Dan aku tinggal
menghayati
Budi pekerti
kauteladani
Dilakukan dengan
kesadaran
Kumengerti
Kau tak memberi
kepintaran
Tetapi hanya
; membuka wawasan
; memandu
penghayatan
; menggugah
kesadaran
; duka anak orang kaya
Kusaksikan
keriangan yang tak kudapatkan
Saat banjir
merendam Jakarta
Anak-anak berenang
Bermain air
Tersedak
Berduka pun mereka
tertawa
Sedang aku,
Berenang di kolam …
sendirian
Tetangga
hanya mendengar
debur airnya
Tawaku tersembunyi
Di balik duka
Jadi anak orang
kaya
; Buku
Buku membuatku
bahagia
Dia mengajakku
berkelana
Menguak belantara
kehidupan
Yang hanya dapat
dibayangkan
dengan gambar dan
kata-kata
Sebagai kelana kadang
aku menjadi penakluk
membuat musuh-musuh
bertekuk
Kadang aku menjadi
pemabuk
yang hidupnya
tersuruk-suruk
Kadang kubayangkan
menjadi binatang
yang menginginkan
kasih sayang
Atau sebagai
tanaman
yang membutuhkan
sentuhan tangan
Selesai membaca
Buku-buku kusimpan
berbaris dalam
pustaka
Suatu saat kan
kuperlukan sebagai rujukan
Ketika tanganku
tergerak menorehkan kata;
menggubah karya
merajut tulisan
Itulah yang
kuidamkan
Membagi pengalaman
Berperan
mencerdaskan
Sebagai cendekia
yang kaya akan wawasan
; mencari Tuhan (3)
Tuhan itu ada tapi
tiada,
Kata Filsuf
Karenanya,
pertanyaan-pertanyaan tentang Dia
Terus disampaikan
Tapi tak pernah
terjawab
Tuhan itu tiada
tapi ada,
Kata Ulama dan
Pendeta
Karenanya,
jawaban-jawaban tentang Dia
Terus disampaikan
Tapi tak pernah
dipertanyakan
Bagi perindu jalan
sejati
Para Sufi mengajak
Mencari Tuhan lewat
pintu hati
Tentang Nugroho Suksmanto
Nugroho Suksmanto lahir 12 November 1952 di Semarang. Setelah meraih gelar
insinyur di jurusan arsitektur ITB, melanjutkan studi di University of Southern
California, USA. Kumpulan cerpennya; Petualangan
Celana Dalam dan Impian Perawan.
Menulis antologi cerita, L.A Undercover bersama Budi Darma, Chavchay
Syaifullah, Eka Kurniawan dan Triyanto Triwikromo. Juga menulis Renung Canda Pelawak Bersorban. Saat ini
tinggal di Jakarta.
Catatan Lain
Putu Wijaya menyumbang esai pengantar yang dijudulinya Teror Mencari Tuhan, ditulis di Jakarta 7 Februari 2010. Ia membuka
tulisannya dengan pernyataan bahwa catatannya bukan analisis seorang kritikus.
Ia hanya mencoba membagi kesan! Bagian tulisan Putu Wijaya yang saya sukai
adalah ini: “Saya membaca ratusan sajak
yang dimuat di Koran sejak dua tahun lalu (2008 dan 2009), karena menjadi salah
seorang juri Anugerah Sastra Pena Kencana. Saya lihat kecenderungan puisi
Indonesia menjadi prosa liris. Kian lama kian cerewet. Bertutur panjang seperti
cerita pendek atau esai. Ada yang berpretensi menjadi sangat intelektual.
Seperti orang menyusun disertasi. Kata-katanya berdandan, jumpalitan tapi kadang-kadang
makna yang disampaikan sama sekali tak menarik, karena yang penting adalah
gaya.//’Kostum puisi’ di atas menjadi semacam tren sehingga sajak bukan lagi
ungkapan keharuan terhadap sebuah kebenaran, tetapi hanya pameran ketrampilan
merangkai kata. Ada lagi yang cenderung menjadi ingin terkesan pintar. Tak mau
ketinggalan zaman. Tak pelak pola puisi menjadi tiruan puisi-puisi terkenal
dari mancanegara.//Saya tidak memusuhi atau mencela tren itu, karena banyak
yang memang pas dan bagus. Saya hanya ingin mengatakan, Nugroho menulis sajak
dengan membebaskan diri dari tren tersebut. Ia sama sekali tidak ingin
menontonkan kecerdasannya. Ia lebih tertarik dengan ceplas-ceplos spontan, atau
katakanlah, ia tetap percaya kepada kecerdasan pembaca.”
Data buku
kumpulan puisi 2
Judul : Pertempuran Rahasia
Penulis : Triyanto
Triwikromo
Cetakan : I, Mei 2010
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : vi + 98 halaman (33 judul puisi)
ISBN : 978-979-22-5755-7
Lukisan Sampul : Danarto
Desain sampul : Rully Susanto
Setting : Sukoco
Prolog : Sapardi Djoko Damono
Beberapa pilihan puisi Triyanto Triwikromo dalam Pertempuran Rahasia
Hikayat Togog
Mereka
bilang aku lahir dari kulit telur yang dierami malaikat
berkepala
anjing
Mereka
bilang namaku Tejamantri yang mulutnya senantiasa
sobek
saat gagal menelan gunung runcing dan puncak kuil
menjelang
senja gumpil
Karena itu atas permintaan Dewi Rekatawangi, ibuku, aku di-
usir, dari Surga dan hidup bersama gelandangan dan para
raksasa
Karena itu atas perintah Sang Hyang Tunggal, ayahku, aku
dititahkan hanya untuk hidup bersama kejahatan
dan kecurangan semesta
Ah,
bukankah aku sesungguhnya cahaya yang disembunyikan
Semar
dan Manikmaya
Bukankah
aku kembaran para pemelihara dunia
Bukankah
aku cermin indahmu juga
Jadi jelas aku bukan sekadar kelelawar yang menutup jalan
masukmu ke suwung kencana
Aku bukan lebah buta yang mengganggu tidur abadimu
sebelum pencabut nyawa melengkingkan denting kecapi gila
Apakah
aku hanya azab, Ibu? Apakah aku hanya kutil kesengsaraanmu?
2008
Tangis Aswatama
kau
memang mendengar tangisku serupa ringkik kuda kau
memang
mendengar jejak kakiku serupa ladam beradu dengan
batu
kau memang mendengar ayahku terbunuh
hanya karena
menyangka
aku telah mati dalam Bharatayuda kau memang
mendengar
aku dihajar gada hanya karena lahir dari dewi yang
bercinta
dengan pria bersayap angin di sungai gangga kau memang
mendengar
tak ada ampun bagi anak yang tidak pernah percaya
kepada
kebenaran sang pohon hayat, ayahanda yang diimani
sebagai
anjing hutan yang melolong tak henti-henti hingga fajar
tiba
kau memang mendengar tangis terakhirku sebagai kuda
Tapi kau telah mengiris telingamu, Ibu
kau telah mengiris sejarah cinta
dari silsilah getirmu
2008
Ramalan Durga
Telah
Kaubuang aku ke Setra Gandamayit dalam timbunan bang-
kai
dalam kepungan demit. Kau sendiri yang akan mati setelah
aku
menjelma Uma setelah aku menjelma kata-kata fana yang
rumit.
2009
Perlawanan Lambu Andini
Jika pada suatu hari kau melihat bianglala itu berkepala
sapi
betina itu berarti Batara Guru sedang menghajarku, itu
berarti
aku sedang mereguk air laut agar ikan-ikan, naga hijau,
dan
kemarahan dunia terhisap ke dalam perutku, terhisap ke
dalam
relung-relung usus, ke dalam kesunyian lendir-lendir
nirwanaku.
Sebagai ikan turbah, aku tahu, kau lebih senang berenang
dan bersembunyi di bunga-bunga karang di perutku, kau
lebih
senang bertapa mencari taksu mencari marwah mencari cinta
yang disembunyikan Batara Guru di dalam taring Durga di
dalam kekalahan-kekalahanmu dalam pertempuran tak berguna
itu. Ayolah, Uma, bersekutu dengan aku, Lembu Andinimu.
2009
Tamsil
Ramabargawa
Tak
seorang pun akan mengutukku mengapa aku membunuhmu,
Ibu.
Tak seorang pun akan membiarkan Dewi Renuka bercinta
dengan
Raja Citraratra di telaga penuh ganggang dan sulur-sulur
merah
kesumba, sementara Jamadagni, sang suami, berusaha
menjelma
kupu-kupu di dalam samadi di gua pertapaan penuh
lipan
dan lintah jelita
Tak seorang pun akan membunuh Ramabargawa karena
telah mencekik perempuan yang berkhianat kepada suami
yang
menetaskan kebenaran hanya dengan duduk terpejam di batu
gunung di keheningan telinga waktu
Tak
seorang pun akan mengutuk anakmu: surga
sejatimu
2008
Pembakaran Sinta
1
Aku ingin menjadi abu
dari arang yang kaubakar
dengan amarahmu, Ibu
Aku
ingin jadi ibu
bagi api
Rama
yang menghanguskan
kesetianku
Tapi hujan begitu cepat menghapus gigitan cinta Rahwana
di
leherku. Hujan begitu cepat menenggelamkan kenangan indah
percakapan rahasiaku dengan ular-ular kencana yang
menjulur-julur di pohon angsoka itu
Jadi
bagaimana aku akan moksa sebagai
angsa jelita bagaimana
aku lahir
kembali sebagai ikan bersirip merah di kegaiban telaga
bagaimana
aku menjelma sabda yang menetas di bulir-bulir padi
dari sawah
tanpa lintah tanpa hama
2
Bukankah bagimu aku hanya kayu lapuk, ibu
Bukankah aku bagimu hanya wajah remuk
yang kausembunyikan dalam peti rahasia di ladang kering
itu
Maka jangan harap aku mengenal wajahmu
dalam kabut asap pembakaranku
jangan harap aku mengenalmu sebagai anjing buntung
atau kera bermata biru
Jangan harap aku mengenalmu sebagai surga
sejak raja janaka memungutku
dari rahim semestamu
3
Dan
hujan api itu, Ibu
hujan
api itu tak hendak menjilat bibir ranumku tak hendak
memanaskan
gelegak berahi suciku pada Rama – menantu
pengecut
kesayanganmu
Dan setelah pembakaran itu sembunyikan lagi aku
ke dalam tanah terbelah
surga yang tak pernah dijamah oleh raksasa santun
dan ksatria pengecut yang selalu kaupuja itu
Dan kelak, katakan kepada cucu-cucumu:
kau memang tak pernah mengenal Sinta kau memang tak
pernah mengenal kisah kesetiaan seekor angsa pada
keheningan telaga
Maka
aku ingin menjadi abu
dari arang
yang kaubakar
dengan
amarahmu, Ibu
Aku ingin jadi ibu
bagi api Rama
yang menghanguskan kesetianku. Aku ingin …
2009
Kutukan Rahwana
1
Aku telah
cukup tabah meminta Wararodra memancung
leher Trikala dan Kalaseki hanya agar Sinta menganggap
Rama
dan Laksamana binasa, Paman Prahasta, aku telah cukup
tabah
menyajikan sepasang kepala penuh ceceran darah itu di
nampan
kencana hanya agar Sinta gemetar dan memujaku sebagai
Dewa
Cinta, tetapi mengapa malah kauimpitkan sepasang gunung
runcing di Gunung Suwela yang telah menindihku? Karena
itu
kukutuk kau jadi batu agar lebih mudah kauremukkan
sepuluh
kepala yang senantiasa menghardikmu…
2
Seperti
dalam kisah-kisah pertempuran masa lalu, aku tak
pernah bisa mati, Ibu, aku tetaplah hujan penuh darah
yang
tak pernah mau mendengarkan megatruh rapuhmu aku tetaplah
swara-swara gelap dari gua pertapaan para mambang dan
segala
hantu
Jika pada akhirnya
aku mati oleh panah Rama atau gada dewa
yang tak kelihatan, hanya satu yang akan kukutuk
sepanjang
waktu: engkau, wahai ibuku, ibu yang tak melahirkanku
sebagai
erang gunung atau desau waktu. Jika pada akhirnya aku tak
juga
bisa menyunting Sinta atau dewi paling suci tanpa nama
hanya
satu yang akan kukutuk sepanjang waktu: engkau, wahai
ibuku,
ibu yang tak melahirkanku sebagai ksatria bermata biru
3
Apakah
setiap yang najis hanya boleh bersekutu dengan senja
yang amis, Ibu? “Tidak,
anakku, kau akan jadi raja harum, kau
akan jadi resi
wangi, kau akan jadi kekasih sejati …” tapi kelak aku
akan remuk, Ibu, kelak aku akan terpuruk… “Tidak, anakku, kau
bukan pecundang,
kau dan istana indahmu akan senantiasa dikenang
oleh musuh-musuhmu…”
2008
Pertobatan Kresna
1
Ia masih
ingin mengatur bagaimana menumpas habis Kurawa
ketika tak ada lagi pertempuran di Kurusetra. Ia masih
ingin
mendengar roda kereta kencana menggilas kepala musuh
ketika
tinggal kepulan debu yang tersisa. Ia masih ingin melihat
panah-
panah api melesat di angkasa dan menghunjam di tubuh
rapuh
para prajurit yang telah mengabur dalam ingatan para
pujangga.
Ia masih berharap memenangkan perseteruan yang tidak
pernah
dibayangkan oleh Kunti atau Gendari yang senantiasa
menangis
sesenggukan sebelum genderang Bharatayuda ditabuh
kesetanan
oleh para niyaga. Setelah
itu, aku titisan dewa yang kauberi nama
Kresna, akan
belajar memahami kematian. Aku akan mengenal war-
na muram keranda,
panas api pembakaran, dan keindahan guci yang
bakal kaugunakan
untuk menyimpan abu hangat pembantaian.
2
Pada mulanya aku tidak menyangka Aswatama
akan membunuhku
dalam mimpi-mimpi
terakhirku sebagai raja. Pada mulanya aku juga
tidak percaya
Antarareja berniat memenggal kepala dan memotong
lidahku sebelum
para dewa membetot jantungku. Aku tidak paham
pula mengapa Karna
menusuk punggungku dengan keris berbisa. Apa-
kah tak ada lagi
yang setia pada prabu sakti yang mereka elu-elukan
dari ujung istana
hingga pangkal hutan penuh kera? Bisma yang
telah lebih dulu gugur tertawa dan merasa tak perlu
bertanya
mengapa lesatan panah-panah yang menghunjam ke tubuh ia
rasakan sebagai tebaran melati dari surga. Abimanyu yang
tewas
mengenaskan tersenyum dan tak perlu memprotes mengapa
pem-
bunuhan yang dilakukan kepadanya terjadi pada musim
kemarau
yang tandus dan bukan saat gerimis yang lembut dan jekut.
“Kau
tak akan pernah bisa mati, Tuan. Karena itu kau tidak
akan per-
nah merasakan keindahan. Keindahan kematian,” Krepa men-
desis dan para kawi segara mencatat betapa Kresna menyesal
mengapa ia tak dilahirkan sebagai manusia biasa.
3
Apakah titisan dewa boleh bunuh diri, Ibu?
Maka ia pun mendaki
gunung suwung
dan menggelindingkan tubuh hingga membentur
batu-batu di lembah dan jurang. Berkali-kali.
Berhari-hari. Tak
mati-mati. Maka ia bertikai dengan para mambang dan Dewa
Perang. Berbilang-bilang. Berbulan-bulan. Tak
tumbang-tumbang.
Apakah titisan dewa
tak boleh mati?
4
Baiklah, Gusti, akan kuhabiskan napasku
dengan menulis kitab
tentang kebisuan-Mu hingga kata-kata tak tersisa,
hingga tak perlu
kuburu makna surga atau apa pun yang
mengekalkan kejumawaanku
sebagai Kresna.
5
Maka ia pun
kini sedang mencari cara bagaimana menga-
barkan
kemenangan dalam pertempuran terakhir melawan Yama
--
dewa yang juga tidak mati-mati itu – kepada Arjuna. Inilah
ayat dan firman sejatiku kepadamu, Bunga,
inilah ajaran yang harus
kautebarkan kepada sepi dan waktu yang
celaka.
2008
Rajah Betara
Kala
Aku lahir dari
api yang tak bisa dipadamkan oleh siapa pun
Tapi kau tahu
batara guru menebar muslihat dan bilang, “Engkau
anakku, Kala, engkau adalah waktu yang
kutunggu-tunggu. Kemarilah,
aku akan mengasah calingmu agar kelak
jadi keris Pandawa agar kelak
menjadi senjata yang akan menggugurkan
para ksatria perkasa.”
Aku dilahirkan
di tengah-tengah samudera entah oleh Uma entah
oleh Durga. Aku
pun mengira seekor ikan raksasa telah melahirkan
aku dari benih
dewa gunung dari telur yang menggelinding dari
surga Suralaya.
“Engkau anakku, Kala, engkau adalah putra
yang kuutus
untuk membunuh manusia yang melanggar
pantanganku. Kemarilah,
kelak akan kuberi kau pengantin yang
lahir dari harum kubur dan
wangi bangkai manusia.”
Lalu Batara
Guru memaksaku kawin dengan Durga. Ia ajari aku
bercinta dengan
ibunda bertaring naga.
Kau tahu,
Yamadipati, aku dan Durga selalu mengasah taring bersama
sambil mendenguskan
ayat-ayat purba hanya untuk memuja para
betara. Karena
itu selalu sehabis bercumbu kami lapar dan
senantiasa ingin
memangsa manusia busuk, memangsa segala
yang dikutuk
Batara Guru hanya untuk menjadi keheningan sesaji
dan korban para
raksasa.
“Apakah kau
mencintai Durga?” kau bertanya.
Aku mencintai
taring indahnya.
“Apakah
membenci Batara Guru?”
Aku tak
membenci siapa pun yang akan menghanguskan Tanah
Kuru.
“Apakah kau
tahu siapa yang akan membunuhmu?”
Aku tak tahu
siapa yang akan menyelamatkanku.
“Kau tahu siapa
yang akan membunuhmu?”
Aku tahu siapa
yang menguburku.
“Kau tahu
dengan apa mereka membunuhmu?”
Aku tahu dengan
apa mereka memujaku.
Maka pada suatu
hari pada saat dunia hendak binasa
kudengar juga
seorang pertapa mendesiskan rajah kematianku
yamaraja jaramaya
yamarani rinumaya
yasiraya yarasia
yasirapa parasia
lawagna lawagni
sikutara sikutari
sikutaka sibintaki
sidurbala sidurbali
sirumaya sirumayi
sihudaya sihudayi
sisrimaya gedah maja
sidayudi sidayuda
hadayudi nihudaya
Kaudengar
tangisku mulai menyayat, Yama? Kau tahu segala
kesaktianku
telah rontok hanya karena para petani memuja pertapa
dan menangis
tersedu-sedu saat memainkan Murwakala?
Aku berserah
padamu, Yama. Aku berserah pada yamaraja
jaramaya
yamarani rinumaya
yasiraya yarasia yasirapa parasia lawagna
lawagni sikutara sikutari
sikutaka sibintaki sidurbala sidurbali sirumaya
sirumayi sihudaya sihudayi
sisrimaya gedah maja
Aku berserah
pada sidayudi sidayuda
hadayudi nihudaya
aku berserah
pada keajaiban cinta Durga
“Tak takut
dosa?” engkau bertanya
Aku hanya takut
pada Kala …
Aku hanya takut
pada yamaraja jaramaya yamarani rinumaya
yasiraya yarasia yasirapa parasia lawagna
lawagni sikutara sikutari
sikutaka sibintaki sidurbala sidurbali sirumaya
sirumayi sihudaya
sihudayi sisrimaya gedah maja
Aku hanya takut
pada sidayudi sidayuda
hadayudi nihudaya
Aku hanya takut
pada manusia
yang tak pernah berhasrat membunuh Kala
2009
Bisma Moksa
1
Maaf, tak sanggup aku menunda kematianmu,
Amba, tak
sanggup
kupadamkan amuk unggun yang kaunyalakan dengan
dendam
kesumat, tak sanggup kuhentikan keinginanmu untuk
mati
wangi dalam kobar api yang kaunyalakan sendiri dengan
hikmat
Api
kembali pada api
nyeri kembali pada nyeri
dengki kembali pada dengki
2
Dan pada malam hampir hilang aku tak
berani bercakap
tentang
takhta dan cinta, Amba, aku ragu memilih menjadi raja
atau
resi tanpa taman tanpa kupu-kupu bersayap wangi senja.
Aku
tak berani, sungguh tak berani, menatap kilau mata dan
bebuncah
berahi yang menusuk-nusuk ke ulu hati
Cinta
lepas dari cinta
duka lepas dari duka
jiwa lepas dari jiwa
3
“Kaukira aku tak bisa membunuhmu,” katamu
sambil terbang
mencari
titisan dendam, “kaukira Amba tak bisa membentang
busur,
menghunus keris, dan melayangkan gada ke tubuh rapuh-
mu?”
Hujan
berhenti menjadi hujan
awan berhenti menjadi awan
lautan berhenti menjadi lautan
4
Aku tahu kau akan bisa membunuhku, Amba,
panahmu akan
menancap
di jantungku, dan para dewi akan menyayatkan megatruh
perih
ke lambungku.
Tapi tidak sekarang, Amba, tidak saat
Sungai Jamuna memberimu
wisik
dan wahyu tentang hari kematianku. Tidak sekarang. Tidak
saat
angin memahatkan nama perempuan perkasa pembunuhku di
gunung-gunung
dan kabut yang meratapi kesedihanmu.
Maka
sekuntum melati jatuh dari langit dan terkubur
seekor burung jatuh dari awan dan terkubur
sesosok bayang-bayang jatuh dari gunung dan terkubur
5
Engkaukah, Amba, yang menggerakkan
peristiwa-peristiwa
rahasia
itu?
“Hamba Srikandi, Tuan, hamba hanya utusan,
hanya titisan,”
katamu
meledek kegentaranku, “Apakah tidak sebaiknya
Sampean
meminta maaf atas segala kesalahan?”
Tidak, Amba, kematian ini telah kutunggu,
telah kutunggu
sejak
aku tahu hidup hanyalah kutukan kitab pada seayat
wahyu
pada selarik doa kekecewaanmu.
6
Maka pada akhirnya aku pun moksa dalam hujan panah yang
juga
tak terlihat mata
Aku berharap bisa terbang bersamamu dalam
hujan darah
yang
tumpah di Kurusetra yang sebentar lagi punah dalam suluk
kemenangan
para pemujamu
O, Engkaukah, Amba, yang menggerakkan
peristiwa-peristiwa
rahasia
itu?
“Hamba Srikandi, Tuan, hamba hanya utusan,
hanya titisan,
hanya
penutup riwayat remuk Sampean.”
Maka
yang busuk kembali ke tanah
yang remuk kembali ke tanah
kembali ke tanah
kembali ke tanah
dalam hujan panah
dalam hujan darah
7
Apakah kau akan minum darahku
dari tuwung merah itu, Amba?
“Aku Srikandi. Janganlah Tuan terus
memejamkan sepasang
mata
Sampean.”
8
Mataku tak lamur, Amba
mari kita melesat moksa bersama
“Aku Srikandi, Tuan, akulah gerimis amis
yang menghentikan
cerita
Sampean.”
9
2009
Tentang Triyanto Triwikromo
Triyanto
Triwikromo, menulis puisi dan cerpen. Antologi puisi bersamanya antara lain Panorama Dunia Keranda. Kumpulan
cerpennya: Rezim Seks, Ragaula, Sayap
Anjing, Anak-anak Mengasah Pisau, Malam Sepasang Lampion, dan Ular di Mangkuk Nabi. Kumcer yang
disebut terakhir mendapat penghargaan sastra 2009 dari Pusat Bahasa.
Catatan
lain
Sapardi
Djoko Damono membuka esai pengantarnya dengan kalimat ini: “Dalam buku puisi
ini, Triyanto telah memutuskan untuk menjadi dalang.” Terus bagaimana? Sapardi
menulis di bagian lain “….Triyanto
menghidupkan kembali tokoh-tokoh yang terlibat dalam sejumlah peristiwa yang,
setidak-tidaknya dalam pementasan wayang kulit, lebih banyak menampilkan
tindakan tinimbang renungan. Peristiwa, dengan demikian menjadi lebih penting –
antara lain karena wayang adalah tontonan. Namun, bagi dalang Triyanto yang
penting bukan peristiwa tetapi tokoh, bahkan mungkin bukan si tokoh tetapi apa
yang mendidih dalam benak si tokoh.”
luar biasa, puisi-puisinya bikin merinding ..(Y)
BalasHapusSaya lebih merinding jika puisi-puisimu yang di blog itu, dibukukan... hehe.
Hapusada jalankah buat di bukukan ?, kasih sarannya dong :D
HapusDengan ijinNya, nanti puisi-puisimu sendiri yang akan menuntun jalannya... :D
Hapusamin amin...... suwun njeh :)
Hapus