Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Tarian Mabuk Allah, Kumpulan Puisi Tasawuf
Penulis : Kuswaidi
Syafi’ie
Cetakan : III, Februari 2003 (Cet. I. September 1999)
Penerbit : Pustaka Sufi, Yogyakarta
Tebal : xx + 120 halaman (3 puisi beranak pinak @ 33
puisi)
Desain Sampul : A. Sobirin
Tata Letak : Razin
ISBN : 979-95978-14-4
Prolog : DR. Faruk
Beberapa pilihan puisi Kuswaidi Syafi’ie dalam Tarian Mabuk Allah
Tarian
Mabuk Allah terbagi tiga yang merupakan satu kesatuan utuh, yaitu Dermaga (33 puisi), Samudera (33 puisi) dan Pulau
Impian (33 puisi)
Beberapa
pilihan puisi Kuswaidi Syafi’ie dalam Dermaga
1
Kekasih duhai Kekasih!
Ketika itu sendiri Engkau mengandungku
Saat waktu beku di telapakMu
Menggenggam “sejarah” dan “masa depan”
Tak ada air api tanah dan udara
Bahkan sunyi pun tak menjelma
Karena segalanya belum bermula
Hanya Kau bersemayam di atas ‘arsy sendirian
Mendendangkan lagu-lagu kasmaran
2
Tapi benarkah Engkau sendirian duhai Kekasih?
Sedangkah al-Khaliq
yang Kau sandang
Tak akan pernah bisa ditelusuri awalnya
O di manakah letak semesta kala itu?
Bagai burung bangau yang bertapa di angkasa
Aku tak pernah sanggup memahami
Keluasan cakrawalaMu yang tak bertepi
3
Tapi baiklah duhai Kekasih!
Sembari merangkak di belantara rahasia
Aku coba mengapai-gapai dawuhMu:
“Di antara kaf
dan nun
Kuciptakan rahaim bagi segalanya”
KuasaMu menggegar tak tertabiri apa pun
Tapi aku tak mungkin bertanya: “kapan?”
Karena engkau pasti menjawab:
“Tak ada “kapan” bagi af’alKu
Sebab Aku berada jauh
Di luar himpitan ruang-waktumu”
7
“Aku rindu wajahKu sendiri”
FirmanMu mempesona
“Karena itu Kuletakkan secuil jiwaKu
Persis di hadapanKu
Sebagai cermin agar tak pilu”
11
Ombak lautMu menderu-deru
Tak terbilang tahun tak terbilang abad
Ngungun dalam kemabukan cinta
Yang teramat indah sekaligus mengerikan
Kekasih duhai Kekasih!
Cintaku di situ menjelma kegilaan tak terkira
Hingga tak sanggup sadarkan diri
Karena asalku memang tiada
16
Sebagai setetes air
Aku juga ikut melambung
Menuju kebiruan dan kebeningan langit
O di manakah langitku duhai Kekasih
Jika tidak bertapa dalam diriMu?
Sejak semula mulutku suling firmanMu
Membelai lembah-lembah dan bebukitan
Dengan rinai syahdu suara Daud
Maka lembah menumbuhkan aneka bunga
Mengantar harumnya hingga ke Sidratil Muntaha
Sedang bukit senantiasa berdiri
Sebagai perlambangMu yang selalu tajalli
19
“Di dalam diriKu tak ada perbedaan
Api menyatu dengan air
Atas menggumpal dengan bawah
Dan merah sama dengan hijau”
Tak ada yang sepenuhnya mampu
Mengerti dawai firmanMu
Sebab sebelum sampai pada hakekat mengerti
Siapa pun akan hancur
Oleh limitnya sendiri
21
Kekasih duhai Kekasih!
Shalatku daim
adanya
Jiwaku mekar tak pernah layu
Seluruh langkahku munajat
semata
O siapakah yang mendalanginya
Jika bukan Engkau Kekasihku?
Sebagaimana matahari bulan dan bintang
Yang tak pernah punya sinar sendiri
Semuanya adalah tetenger
nurMu semata
26
“Muhammad itu berarti terpuji
Maknanya shalat abadi
Dan madlulnya
adalah gemaKu sendiri
Yang sejenak pun tak bakal mati!”
firmanMu esa duhai Kekasih!
Mengajariku agar tak beku
Beberapa
pilihan puisi Kuswaidi Syafi’ie dalam Samudera
1
Kekasih duhai Kekasih!
Kini aku terlahir lagi
Entah yang ke berapa kalinya
Bermata buta
Bertelinga tuli
Bermulut bisu
Bernafas dungu
Tercampak di rimba hutan yang ultrahetrogen
Tak mampu lagi mengeja huruf dan sandi
Yang Kau tebarkan di 1000 penjuru mata angin
16
Kekasih duhai Kekasih!
Lalu kubangun suatu kepercayaan
Kepada konsepsi “jika maka”
Karena kukira kaidah hidup ini
Merupakan matematika murahan
Sebagai konsekuensi getirnya
Kumasuki gang-gang buntu
Kutabrak bongkahan batu dan kejenuhan
Hingga berkali-kali
Sampai kepalaku pecah
Dan sukma menunjukkan jalan yang lain
23
Oleh karena itu duhai Kekasih!
Kuundang topan yang menghantam perahu Nuh
Kupanggil kobaran api yang menjilat Ibrahim
Kuseru 20 tahun derita Ayyub
Kuingin selaksa kepedihan Ya’kub
Kudamba seluruh genangan airmata Isa
Karena telah kujelmakan hati sebagai padang rumput
Tempat segala hayawan digembalakan
Tempat segala telur kegetiran menetas
Menjadi untaian kalung-kalung rindu
24
Kekasih
duhai Kekasih!
Telah
Kau perlihatkan dunia tanpa jarak
Di
mana sangsi berubah menjadi pembenaran
Dan
segala petaka tegak sebagai taman bunga
O
siapa masih menyimpan ruang gulita?
Segalanya
adalah purnama
Dan
langit merupakan payung kesejukan abadi
Bagi
kafilah salik di lorong nurani
30
Kekasih
duhai Kekasih!
Dalam
keadaan berjubah gila
Kulebur
kebahagiaan dengan dukana
Hingga
ketiadaan dan kekosongan menganga
Mengisyaratkan
adaMu semata
(Telanjang
raga telanjang jiwa
Tercengang
pada hakekat Mahanyata)
32
Agar erat
dengan Kenyataan duhai Kekasih!
Kusebut
kematian beribu kali
Sebagaimana
al-Hallaj yang merindukannya
Karena
kutahu ia adalah gerbang keramat
Bagi
tergapainya kesempurnaan ma’rifat
Maka
kutunggu kedatangan maut yang amat indah
Seperti
sinar rembulan yang menyelusup
Di
antara gesekan daun-daun bambu
Menjelang
sang fajar tiba
Beberapa
pilihan puisi Kuswaidi Syafi’ie dalam Pulau Impian
1
Kekasih
duhai Kekasih!
Seluruh
sembah puji kusampaikan kepadaMu
Yang
telah sudi mengundangku
Ke
keteduhan pulau impian
Di
mana kupu-kupu dan bunga abadi
Dalam
persandingan hakiki
Seluruh
diam dan gerakku
Kujelmakan
sebagai sujud syukur
Karena
setitik debu pun
Tidaklah
layak rasa kufur
4
Kekasih
duhai Kekasih!
Di
kesunyian jiwaku
Ada getar
rindu yang tak mungkin berakhir
Ada
mekar senyum yang tak mungkin beku
Ada
gerlap cahaya yang tak mungkin redup
Ada
taman kenangan yang tak mungkin sirna
Ada
hutan cemara yang tak mungkin ranggas
Ada
danau kelezatan yang tak mungkin surut
Aduhai
amat merdu nyanyianMu!
9
Dalam
demikian duhai Kekasih!
Aku
bersujud pada absolusitasMu
Yang
telah menetapkan batasan dan peta
Antara
ruang yang satu dengan lainnya
Maka
dengan kesabaran yang wangi za’faron
Kudaki
jenjang-jenjang ke singgasanaMu
Meski
betapa nyata pukauan jamaliyyahMu
Membuatkau
seperti terlunta-lunta
20
Kekasih
duhai Kekasih!
Walau
begitu banyak kafilah pencintaMu
Kutahu
cintaMu kepadaku
Tidak
akan pernah terbagi
Karena
hakekat keutuhanMu
Tak
akan pernah terkurangi oleh apa pun
Maka hatiku
selalu riang menari
Menikmati
kesempurnaan tawajjuhMu
31
Dengan
demikian duhai Kekasih!
Berarti
seluruh hutangku kepadaMu
Telah
kulunasi sepenuhnya
Kini
aku tak lagi berdebar memandangMu
Kini
aku tak lagi butuh mendekatMu
Inilah
totalitas tawakkalku
Inilah
totalitas keislamanku
33
Kekasih
duhai Kekasih!
Setelah
aku kembali ke persemedian semula
Tinggallah
Engkau sendiri
Seperti
halnya sejarah belum beranjak
Mungkin
Engkau sedang kesepian
Mungkin
Engkau sedang menyongsong
Episode
drama yang baru
Atau
entahlah sesuai kehendakMu
Tentang Kuswaidi Syafi’ie
Kuswaidi
Syafi’ie lahir di Sumenep Madura di ujung 1971. Selama 13 tahun nyantri di
Pesantren Nurul Islam karangcempaka, Sumenenp. Tahun 1992 menetap di Jogja,
ngambil studi jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan
Kalijaga. Saat buku ini disusun, melanjutkan studi di Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga Program Studi Filsafat Islam. Juga menjadi staf editor di Penerbit
Pustaka Pelajar Yogyakarta. Bukunya yang telah terbit: Munajat Bukit Cahaya (kumcer, 2000), Pohon Sidrah (puisi, 2002), Tafakkur
di Ujung Cinta (esai-esai sufistik), Berjumpa
Tuhan di Mustawan (karya ilmiah tentang konsepsi insan kamil al-Jili) dan Menggenggam
Batu jadi Permata: Relasi Allah dan Manusia dalam Puisi-puisi Muhammad Iqbal
(karya ilmiah).
Catatan Lain
Dalam Catatan
Penulis, yang
dijuduli dengan Mimpi Seorang Salik,
Kuswaidi Syafi’ie menulis begini: “Oleh karena itu, dalam buku ini saya coba
mengajukan kembali suatu jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan krusial dan
esensial dalam Islam. Yakni, dari mana sesungguhnya hidup manusia, juga makhluk
yang lain, bersumber? Apa tugas pokok manusia dalam menjalani pengembaraan
hidup di duni ini? Dan kalau suatu saat manusia disongsong oleh nasib
kematiannya, ke manakah ia akan bermuara?//Sebagai jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan di atas, bagian pertama dari buku ini yang saya beri
subjudul Dermaga menggambarkan
tentang asal-usul manusia dan ke-kaffah-an
“spiritualitasnya” ketika masih merupakan roh, sebelum menjadi makhluk jasadi,
sebelum semesta ini menjadi kenyataan yang bendawi. Bagian kedua dengan
subjudul Samudera melukiskan tentang
estetika pengabdian manusia yang total kepada Allah hingga pada akhirnya
bersatu denganNya dalam suatu istana keagungan. Pulau Impian yang merupakan subjudul bagian terakhir mengungkapkan
tentang persandingan mesra antara manusia dengan Allah: suatu kesenangan,
kebahagiaan, keindahan, dan kemabukan tak bertepi yang tidak dapat diuraikan
dengan bahasa verbal.//Ketiga bagian itu merupakan suatu kesatuan, merupakan
puisi utuh yang saya tulis saat kesunyian jiwa saya menganga mereguk alunan
firman-firmanNya. Saya menulisnya baik di tengah keramaian maupun di belantara
sepi….”
Dalam prolog, yang dijuduli Kesendirian dan Kebersamaan, Dr. Faruk
tidak terlalu menggubris puisi yang ditulis penyair, ia malah menyorot posisi
penyairnya. “Bayangkanlah kehidupan petani, ujar Faruk memulai tulisannya.
Dikatakan bahwa pertanyaan mengenai persoalan-persoalan abstrak tak akan lahir
dari mereka yang kehidupan sehari-harinya harus berurusan dengan usaha
penyediaan bahan makanan dan tempat berlindung. “Bagi para petani, sawah
bukanlah keindahan seperti digambarkan oleh lukisan ‘Negeri Hindia yang elok’,
laut tak memuat symbol apa-apa selain membayangkan berapa banyak ikan yang akan
diperoleh, mesin-mesin tak menyimbolkan kekuatan kekuasaan peradaban modern
selain keharusan untuk mengikuti ritmenya, bertahan untuk tidak sakit, agar
upah yang diterima pada akhir minggu atau bulan dapat utuh,” tutur Faruk. Kata
Faruk lagi: “Pertanyaan mengenai soal-soal abstrak itu mungkin hanya muncul
pada anak-anak para tuan tanah di desa, anak-anak pedagang kaya di lingkungan
pasar, anak-anak kiai di pesantren, para pelajar dan mahasiswa yang tergolong
pengangguran terselubung” Hehehe… Lalu Faruk pun membuat metafora bahwa
Kuswaidi tergolong Pangeran yang mengikuti jalan Sidharta. Oya, saya
mendapatkan buku ini baru saja, sekitar bulan Juni 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar