Data buku kumpulan puisi
Judul
: Membelah Dada Banjarbaru
Penulis : Agustina
Thamrin
Cetakan
: I, Januari 2016
Penerbit
: LeutikaPrio, Yogyakarta.
Tebal
: vi + 66 halaman (57 puisi)
ISBN
: 978-602-371-154-3
Pemerhati
aksara : Mash
Desain
sampul : Cynthia
Tata
letak : Adjie
Prolog
: Heru Mugiarso
Beberapa
pilihan puisi Agustina Thamrin dalam
Membelah Dada Banjarbaru
Bukit Cinta
Aku ingin kembali menjadi
bayi menyusu rindu pada
puting abadi
seperti angin lalu pada
setiap musim
kukirimkan serumpun cengkeh
cinta ke dalam rahimmu
Wahai kekasih abadiku
sepenuh waktu aku berdoa
dan
mengaji di celah-celah
malam paling sunyi
Kubiarkan bintang-bintang
berlayar
mendayung perahu menuju
muara tak bertepi
kulintasi api dan cahaya
mendaki rindu di bukit cinta.
Martapura, 13 Nov 2015
Perjalanan
Perjalanan bersamamu
melintasi keluasan pandang
meniti titian air mata
menempuh bergurun daratan
sampai harapan menggelepar
dalam kata-kata
Akulah titian air mata, Ibu
membendung jelaga di ujung
tidurmu
sampai aku mengigau,
sampai rindu terpukau pada
kasih sayangmu
yang meneteskan cahaya
Bagi kita, Ibu
usia tak pernah tua
meski waktu menggergaji
perjalanan ini
tangan kita tak pernah
surut menyatukan semangat
membentuk sebuah kekuatan
Perjalanan ini semakin jauh
semakin hening diiringi
gemericik biji tasbih
di tangan ayat-ayat sunyi
kubuat jadi suci bagimu Ibu,
jiwa bagi seluruh tubuhku.
Bjb, 2015
Senja
Senja mengajakku bermain
api
Dengan cahaya matahari
Yang malu-malu kucing
Lalu sosokmu datang
Membawa sekeranjang rindu
Dan mengguyurkan langsung
ke tubuhku.
Bjb, 2015
Beranda Rumahku
(bagi Helwatin Najwa)
Kau menyimpan kelembutan
pada tatapanmu yang dingin
kau adalah beranda
yang penuh wangi bunga
Candamu sering menutup
lukaku
aku kadang rindu oleh
sapaanmu
yang selalu membangkitkan
keterpurukanku
mendongakkan wajahku ketika
aku tertunduk
Wajahmu penyemangat. Aku
rindu
kau mutiara dalam gerimis
tak ada orang tahu kalau
cahaya itu
adalah percikan dari
senyummu yang mawar
Kau di mana, Hel?
beranda rumahku cuma
tinggal jejakmu
berkunjunglah di dalam
kesepianku.
Bjb, Mei 2015
Agustine Menulis untuk Dirinya Sendiri
Gustine, engkau burung
camar yang rajin menghitung
tiang layar melarung di
atas gelombang dengan rambut
gerimis menari ritmis
Gustine, menarilah
sepanjang pantai ramaikan debur
ombak dengan kepak sayapmu
dunia ini akan terbenam
ke dalam jarum waktu di
tanganmu
Gustine, usiamu lapisan
mawar suaramu dengung tujuh
sayap bidadari
berbahagialah berlayar dengannya laskar
surga yang diturunkan Allah
Jangan berhenti
mengepak jangan berhenti menyalak anak
laut berdayung gelombang
Gustine, tubuh kita satu
berjantung satu tapi lihat tangan
kita adalah dahan bagi
matahari rambut kita adalah
malam tempat bersemayam
rembulan
Gustine, jiwa kita sejarah
kata-kata.
Bjb, 28 Agustus 2015 (Ultahku)
Diam
Senja menukik
pelangi seperti alismu
melengkung melingkari
bayangan kita
yang gemetar dalam lingkar
asmara
Senja menajam
kegelapan muncul di wajah
kita
Kita diam
diam seperti angin
tertahan di rimbun daun.
Bjb, 2015
Benang Air Mata
Kukatakan kepadamu
bahwa angin adalah benang
air mata langit
luruh bersama doa yang kau
benihkan
Musim tak setia menjamu
bumi
kita tetap bersulang kata
di beranda
Di musim panas debu
beterjunan
di daun-daun merancu dalam
cuaca yang membara
Kita bicara atas nama rindu
yang tersisa di denyut
malam
air mata adalah mendung
yang disandera angin
menetes dari laut
sedang kerlip bintang
merajam
diam-diam.
Bjb, 2015
Mengukir Wajahmu
Sudah kuukir wajahmu
di antara dua kutub, cerah
dan mendung
Biar dalam segala cuaca
wajahmu hadir menjelma
Sudah kutulis namamu
di antara dua waktu, malam
dan siang
dan kulantunkan
mantra-mantra pusaka
lewat lidah dupa harapan
Sudah kularungkan hati ini
bersamamu melalui rangkaian
bayu,
dengan bunga tujuh rupa
ke nirwana terindah sebagai
perjamuan menuju
kebahagiaan
Begitulah getar sukmaku
padamu
segala menghantui, rupa
menjejal lelap
hingga lelah merangkul rasa
sampai pada akhirnya
aku diam di garis pasrah.
Bjb, April 2015
Kesaksian Malam
Malam larut ketenangan
terjaga
gejolak menggemericik, lalu
merajam dalam selupa
ingatan
Tiada henti berkabar
tentang hidupku
padamu merindu malam
terang merindu siang
cerlang cemerlang
Yaa Rabb
Setelah menapak bukit
menuju arah selatan
kutemukan sawah ladang
pematang nenek moyang
dalam rimbun bahagia
berumah di dangau
Yaa Rabb
sampai juga tangan ini
memetik bunga di taman-Mu
sekian waktu
serasa memanas kini aku
sejuk dalam hening-Mu.
Banjarmasin, 2012
Mencari Ibu
Mencari ibu dalam remang
cuaca
Sampai pagi kembali pagi
Sampai matahari berganti
rembulan
Sampai padi menguning dan
bersemi
Tafakur di taman kasih
abadi
Ibu, aku mencarimu
Sampai memanjat warna
pelangi
Menerobos sunyi waktu
Yang paling sepi.
Bjb, Mei 2015
Bukit Suara
Tangga bumi menuju langit
itu
sudah kutempuh
dan kini aku berada di atas
awan
Lihatlah, telah kulewati
semak berduri
kerikil sunyi, tebing
runcing
sekadar meletakkan getar
ini
di jiwamu yang mawar
Lihatlah, sudah kutancapkan
akar puisi
di ubun-ubun bukit, di
gunung
yang menyeruak ke langit
sekadar menyembunyikan nada
jiwa padamu
Aku bersuara dalam rimbun
pohon
bergumam di antara gema
batu di sungai
Lihat, lihatlah wahai pesan
jiwa
aku telah sampai di ujung
penantian dan bukalah
cakrawala itu.
Bjb, April 2015
Pada Sekilas Bayang
Terdetak tentang engkau
Pada lirik jingga
Biasanya ada secarik
pesan di antara cahaya
Petang ini sunyi dan hanya
Gemerisik dedaunan
Berhamburan di pinggir
jalan,
Di jejak tangga masjid
kutunggui
Sekilas bayang
Bayanganmu bergayut pada
Lorong pikir
Dan engkau sedang
Menyeruput air kelapa
Membasahi buyarkan dahaga
Malam engkau hadir dalam
Selembar mimpi
Namun hanya diam bersungut
Kecil lalu pergi.
Bjb, Juni 2015
Hakikat Kehidupan
Dalam rahim kasih sayang
terlahir nuansa kehidupan
perjanjian batin
Di perjalanan musim yang
mengiringi perjuangan jiwa
makin teruji dalam
kesendirian
Aku harus seperti matahari
berani menjunjung panas
bumi dalam hidup,
dalam perjuangan sekalipun
tertatih menyusur bumi
Aku tegar dalam tawakal,
dalam doa dan pasrah dalam
skenario Tuhan paling indah
Dalam sisa detik di nadiku
Aku tafakur
Aku bermunajat.
Banjarmasin, 2012
Sepuluh Tahun Lalu
Kaki rumah ini terasa
lengkap
tegap tak doyong ke kiri
atau ke kanan
Namun di sepuluh tahun ke
sini
jangankan rumah, diriku pun
terasa timpang
Kepergianmu ke rumah abadi
telah meninggalkan serbuk
kenangan pasir pantai
yang dulu dipijak terasa
lembut
kini di kakiku terasa
berduri
Kini engkau adalah angin
yang menyentuhku
aku selalu merasa dingin
dan sendu.
Bjb, 2015
Jantung Gelombang
Aku turunkan sebuah perahu
dari dalam hatiku yang
bergelombang
naik dan dayunglah ke seluas
samudra
Jika di tengah lautan kau
bimbang
menepilah kembali ke pantai
lebih tenang mana gelombang
di dalam jiwaku dengan
gelombang di tengah lautan?
Aku adalah gelombang yang
tak berpasir
lihatlah jejakku di tepi
laut ini
selalu kuhadirkan agar
mudah engkau temukan
meski telah berkali kali
ombak menghapusnya
Lelakiku, kita anak laut
yang menyimpan rindu di
dalam lokan
sudah kusimpan rindu di
dalam napasku
di dalam jantung gelombang
jiwaku
Laut, rumah segala
gelombang
namun berpalinglah pada
lautku
yang kerap menuntun
perahumu berlayar tenang.
Bjb, Sept 2015
Entah Siapa Dirimu
Entah siapa dirimu datang
sebagai tembang yang
kusadap dari seberang
Dirimu seperti percikan
bintang tersebar dari langit
pikiranku seperti napasmu
mengalir di nadiku
Entah siapa dirimu tapi
izinkan aku menyimpul benang
rinduku pada manik matamu
biar aku tak sukar
merindumu
Entah siapa dirimu
menyenandungkan denting jiwa di
tengah malam mengirim
seribu kunang-kunang yang
dipenuhi kalimat syahdu
pada sayap-sayapnya
Sehingga seraya saat sepi
engkau hadir, saat sunyi engkau
memanggil, memberi jembatan
agar aku tak tersesat
mengunjungimu
Bjb, April 2015
Ketika Rimba Menggugat
Betapa garangnya api
melahap hutanku
menampar kenyamanan
peradaban
menampar mukaku dan
menampar harga diri
Bumi menggugat pada
pucuk-pucuk huma yang terbakar
dendang anak-anak rimba
yang menggelantung di pucuk-
pucuk pohon kerontang
ketika tanah bersatu dengan
api dan melebur dengan
jasad
Hutan-hutan Borneo yang
gagah dan jantan
kini tertunduk layu
menyimpan segala kedukaannya pada
batang ulin yang kokoh
dan tegar
Aku tersedu di bawah pohon
randu
memunguti debu dari otak aitak
dunia yang durjana
biarkan aku menangkap
isyarat kukang yang saling
mendekap
sebagai tanda setianya pada
hutan hutan borneo
Apakah kita-kita selalu
mengunyah duka kemanusiaan
pada jejak-jejak yang
terbakar?
Daun-daun bercermin pada
cahaya kehidupan yang tak
pernah selesai untuk
melindungi hutan hutan kita
Apakah anak-anak rimba
harus meminum air dari buah
kelapa yang hangus??
Tak terasa air mata ini
sampai berbuih karena mendidih
Bantulah aku melindungi
hutan-hutanku.
Bjb, Okt 2015
(catatan: saya mencoba-coba menerka makna kata yang saya
birukan itu “aitak” tapi tak ketemu juga, jadi saya biarkan apa adanya)
Sungai yang Menangis
Sederet armada, berhias
umbul-umbul wanara sakti,
melintas di kemegahan
Sungai Martapura yang meliuk
melingkari kota Banjarmasin
Pangeran Suriansyah dan
Patih Masih setiap pagi
menginfeksi, menyapa rakyat
di kota seribu sungai
iring-iringan Sang Raja
Banjar seolah sebuah wewangian
yang ditiup angin terendus
oleh para penduduk yang
berniaga di samping sungai
Sungai Martapura adalah
urat nadi kehidupan di mana
di sekitarnya berdiri pasar
rakyat, masjid, bangunan
bersejarah yang
menggambarkan keseimbangan duniawi
ukhrowi warga Banua Banjar
Tapi itu dulu, sekian tahun
lalu kini sungai itu merintih
sedih karena ruang geraknya
dipersempit oleh bangunan-
bangunan megah yang
memperlihatkan kepongahan
sebuah kota
Keserakahan badani telah
menikam jantung sungai,
menggugurkan harkat kota
seribu sungai
Akankah filosof budaya
sungai akan tenggelam oleh
modernisasi. Sehingga lebih
menampakkan arogansinya
sebuah keserakahan duniawi
semata
Jika itu yang terjadi,
semoga sungai-sungai yang
dikerdilkan, sungai-sungai
yang dianaktirikan, tidak
memamah bahkan melahap
bangunan-bangunan megah
dan menghanyutkan banua
yang semena-mena pada
yang bernama sungai
Oh, Martapura, sungaiku
yang berabad-abad
mengantarkan generasi
Banjar menjadi pemimpin
terkemuka di berbagai
bidang kehidupan
Kini aku hanya bisa
meratapi nasibmu dari atas jukung
tiung yang merayapi ragamu
dengan hati pilu meratapi
keelokanmu yang sirna.
Bjb, Sept 2015
Tentang Agustina Thamrin
Agustina Thamrin adalah nama pena dari
Gustine Bujanadi, lahir di Banjarbaru, 28 Agustus 1967. Dibimbing sang ayah,
H.A. Thamrin, menggeluti dunia seni suara sejak umur 5 tahun. Pernah beberapa
kali juara bintang radio televisi remaja dan dewasa untuk jenis seriosa wanita
tingkat provinsi Kalimantan Selatan. Aktivitasnya kini adalah instruktur paduan
suara. Puisinya termuat di beberapa media massa dan antologi puisi bersama.
Catatan lain
Heru Mugiarso menulis prolog sebanyak 4
halaman. Saya suka dengan pembukanya, ia mengutip Seno Gumira Ajidarma,
kira-kira begini: “Kita harus merayakan
setiap kali muncul penulis puisi yang baru karena kalaupun dia tidak mampu
menyelamatkan orang lain, dia telah menyelematkan dirinya dari kematian budaya.” (hlm. 1). Begitu.
Oya, kalo ditanyakan, adakah puisi yang berjudul
“Membelah Dada Banjarbaru”? Kujawab, tak ada.
Sehingga agak heran juga, ketika mendapati sampul buku memiliki tema
dengan lanskap laut. Banjarbaru tidak identik dengan laut, tidak juga dengan
sungai. Ia lebih identik dengan ke-heterogen-an, pendidikan, pemerintahan, atau
sejenis itu. Bukan dengan hal-hal terkait bentang alam. Meskipun banyak sajak
menyinggung pantai, laut atawa gelombang. Tapi tak apalah, itu hak
penyair dan penerbit.
Puisi adalah nyanyian jiwa. Harapan baru. VisiEdiMaszudi.blogspot.com
BalasHapus