Data buku kumpulan puisi
Judul
: Pehpeh
Penulis : Chamim
Kohari
Cetakan
: I, Juli 2007
Penerbit
: Lintang Sastra, Yogyakarta.
Tebal
: xiv + 78 halaman (29 puisi)
ISBN
: 979-9758-21-1
Penata
aksara : Saiful Amin Ghofur
Desain
cover : Munjak Miji
Tata
letak : Achmad Mufid A.R.
Opini : Akhudiat
Kata Pengantar : Evi Idawati
Beberapa pilihan puisi Chamim Kohari dalam Pehpeh
Petualang
Ketika kau tinggalkan
Tikar dan halaman
Tanpa pikir tanpa hitungan
Berjalan lesu di antara manusia batu
Berlari di atas duri
Berteduh di bawah plastik lusuh
Tidur di muka bumi
Bekalmu terlalu sedikit
Untuk meniti jalur hidup
Dunia ini tidak sempit
Luas, seluas harapan
Jangan iri dan jangan berhenti
Di kota dan di desa itu sama
Sama-sama keras dan pembunuh
Bagi yang tak berasa dan selalu jenuh
Langkahmu letih tertatih-tatih
Berhenti di bawah kolong
Mata menatap kosong
Harapan beku
Hatimu sendu
Stasiun Blitar, 13 Pebruari 1984
Identitas
Kucari
Hatiku mencari ke tempat yang kucari
Kucari
Hatiku mencari diriku yang kucari
Dalam tong kosong
Dalam gentong kosong
Di balik meja tak ada
Di balik kursi tak ada
Tahunya ada di sini
Sedang bermain sandiwara
Tuhan
Gudo, 2 Pebruari 1984
Kekasih
Kasih
Aku nyatakan ini
Saat jiwa memanggil rindu
Menuntut hasrat membekap kelu
Meski telah mencoba
Aku tak berdaya
Senyummu mengandung magic
Sampai aku tak mampu menangis
Malam menebar bintang
Wajahmu menjerat angan
Hingga tubuhku terkulai
Berselimut mimpi
Betapa cinta menikam dalam
Air mata mengalir duka
Menunggu tak kunjung datang
Aku lara aku nelangsa
Seperti apa yang kurasa, telah
Kepadamu aku mendamba, sudah
Wahai kasih tersayang
Aku menunggu di batas penantian
Kayangan-Jombang, 25 Oktober 1987
Hai Bocah-bocah
Kita rindu pulau abadi
Di seberang kehidupan fana
Dalam setiap kata-kata
Haruslah berwujud nyata
Kita adalah debu yang berdaki
Hari ini kita harus berani
Telanjang mandi bersihkan diri
Sejenak menghadapkan muka ke hadiratNya
Sambil tafakur hati sepenuh jiwa
Kita pergi ke medan laga
Kita adalah kerinduan panjang
Di tengah penderitaan zaman yang terluka
Di pundak kita tergantung cakrawala
Harapan dan cita-cita
Gampang dibilang
Berat dibawa
Hai bocah-bocah
Tidak penting manusiakan gajah
Tidak penting manusiakan Kuda
Tidak penting manusiakan Anjing
Yang penting
Manusiakan manusia
Astaghfirullahal’adhim
Siapakah yang tega slintat slintut menyikut
Menggulingkan periuk dan kompor sesama
Astaghfirullahal’adhim
Siapakah yang sengaja melempar batu di balik kursi
Menimpuk punggung teman sendiri
Astaghfirullahal’adhim
Siapakah yang menyelipkan pisau penghabisan
Siap menikam dari belakang
Hai bocah-bocah
Singsingkan lengan teguhkan hati
Perjuangan harus terus membuncah
Karena musuh bersembunyi dalam diri sendiri
Hai bocah-bocah
Dengan selembar sajadah
Mari arungi langit dan bumi
Bersama sujud abadi
Bila generasi tanpa makna
Habislah harapan
kita
Bila generasi tanpa jiwa
Pupuslah
kebahagiaan kita
Bila keperkasaan tanpa cinta
Brengseklah masa depan kita
Brengsek
Brengsek kita brengsek
Brengsek brengkes
Brengkes brengsek
Breng
sek
kes
sek
kes
sek
Brengkes
Brengsek
Brengsek
Brengkes
Brengsek kita brengkes
Tebuireng, 1 September 1986
Susah
Di depan
Tidak bisa
Di tengah
Ngriwuki
Di belakang
Nendang-nendang
Susah
Mending hidup bersama
Dengan orang
Yang pura-pura goblok
Jerukmacan, 31 Januari 2000
Apa-apaan
Bila saudara bicara
Hendak berkata tidak
Sedang penguasa tak suka
Bau mulut yang tak enak
Maka diam waspada
Lebih bijaksana
Dari pada sengsara
Apaan
Membuka pintu
Muka
Belakang dijaga
Keterbukaan semu
Ayo melangkah
Katamu
Maju
Jalan
Di tempat
Maju
Mundur
Apa-apaan
Tidak perlu resah
Pejabat mesti benar
Kalau pun salah
Mereka sudah siap melempar
Jangan coba-coba bicara
Mulutmu akan disumpal sepatu
Karena ucapan penguasa
Lebih digugu para serdadu
Awas bahaya laten
Kata biasa untuk mereknya
Subversi
Harus dihabisi
Serdadu mengokang senjata
Tanpa bertanya
Benarkah ini
Yang tegap
Diserimpung
Karena tak bisa
Diajak kompromi
Susah
Hidup
Di kandang bebek
Bau tai
Dianggap minyak wangi
Apa-apaan
Sawo, 2 Januari 1995
Awas
Tidakkah terasa
Langkah kita semakin renta
Daun-daun berlambaian
Sampan nelayan ke tepian
Berantinglah waktu
Berantinglah kita
Berantinglah hidup
Berantinglah dunia
Waktu kita hidup dunia
Waktu kita hidup
Waktu kita
Waktu
Kita
Diterkam-terkam
Dikoyak-koyak
Dengan kukunya
Dengan taringnya yang tajam
Berlarilah kita jatuh
Berlarilah kita tersungkur
Jembatan ini rapuh
Sebentar lagi hancur
Jombang, 11 Januari 1986
Detak-detak
Tak tik tuk
Seseorang berjalan
Dengan tongkat di tangan
Meniti jalur Tuhan
Tak tik tuk
Mengetuk pintu
Menyibak malam
Menyayat ratap
Meminta iba
Sebab ia tahu
Cinta telah menjadi biru
Tak tik tuk
Jarum jam mencacah waktu
Memaksa umur menyerbu maju
Mengoyak zaman
Menerobos celah-celah kesempatan
Tak tik tuk
Detak-detak waktu
Mengejar hidup
Melintas batas napas
Merangkak ke masa depan
Menyibak rimba pengetahuan
Tak tik tuk
Tetes-tetes air mata
Menimpa daun-daun tua
Mengingatkan segala makna
Dari luka yang menganga
Tak tik tuk
Titik-titik hujan
Ditiup angin menerpa kaca
Bayang-bayang hilang tak terbaca
Seperti noda-noda hitam
Menerpa hati
Berkarat karena bintik-bintik dosa
Tak tik tuk
Suara kentong berkejaran
Menembus pori-pori malam
Memburu arwah
Melewati gang-gang sepi
Menguak tabir
Membuka hati yang sedang mimpi
Tak tik tuk
Jantung berdetak
Darah menggelegak
Nafas memacu birahi
Hari terus berjalan
Menggandeng Tuhan
Dan berhenti di sini
Ketika diri menimpa mati
Tebuireng, 18 September 1984
Hasutku (Untuk yang Hasut)
aku tidak bisa menerima
kalau-kalau ada anak muda
atau pendatang baru
akan menggeser pengaruhku
aku memeng sakit hati
dengan siapa pun
yang mengincar kelemahanku
karena itu
aku harus menyebar isu
kasak-kusuk busuk
dengan saudara
tetangga
dan handai tolan
agar ia mati pelan-pelan
aku ingin orang lain
hidup tidak tenang
tapi ternyata
aku sendiri malah
yang gelisah
karena hasutku
Jerukmacan, 30 Januari 2000
Culas
Ajarilah aku tatakrama
Biar lebih sopan dan tahu diri
Agar tidak menginjak kepalamu
Yang katanya anti peluru
Aku bosan
Dengan slogan-slogan
Kesejahteraan
Aku tak paham
Dengan permainan kata-kata
Berbau kepentingan
Bukalah paras
Mukamu yang jelas
Biar tampak
Bahwa kau memang culas
Sawo, 2 Januari 1995
Kepada Tuhan
Ya Allah
Ajarilah aku
Agar terus menyebut namaMu
Tapi mengapa
Selalu pisuhan
Yang keluar dari mulutku
Ya Allah
Ajarilah aku
Agar terus mengingat namaMu
Tapi mengapa
Selalu syahwat
Yang ada di kepalaku
Ya Allah
Ajarilah aku
Agar terus membatin namaMu
Tapi mengapa
Selalu nafsu
Yang ada di kalbuku
Ya Allah
Ajarilah aku
Agar terus berusaha dekat
denganMu
Tapi mengapa
Yang aku dapat
Selalu balak enam
Dari jam enam
Sampai jam enam
Ya Allah
Ampunilah aku
Jangan jadikan aku
Kan’an
Atau Abu Thalib
Yang jauh
Dari petunjukMu
Jerukmacan, 6 Pebruari 2000
Sebutan Apa
Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Yang diam
Ketika saudaranya teraniaya
Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Yang pura-pura tuli
Ketika mendengar
Tetangganya merintih kesakitan
Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang punya
Yang tidak reaksi
Ketika ada tetangga
Kelaparan tak punya nasi
Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Yang tak mau tahu
Dengan bau busuk
Di sekelilingnya
Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Yang maunya
Menang sendiri
Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Seperti aku
Seperti kamu
Sawo, 26 Desember 1994
Pehpeh
Dari sebuah gaung yang tiba-tiba datang dengan mata
membelalak
Bagai pedang putih yang tajam menggores
Meninggalkan luka
Mengukir kekecewaan di perjalanan yang panjang
Angin yang datang mengantarkan kemesraan
Mendadak jadi gelombang bencana
Mengancam ketentraman
Padahal rasa kabung kita belum sirna
Karena ada seorang anak memaksa ibunya
Dan seorang bapak ngeces anaknya
Pehpeh
Angin oh angin
Datang tanpa diundang
Hadir silih berganti tanpa permisi
Angin dengan seenaknya memaksa siapa saja
Dari fakir jadi kafir
Dari kawan jadi lawan
Dari manusia jadi hewan
Homo homini lupus
Dalam perjalanan ke akhirat
Iman manusia banyak yang kandas di dunia
Di tengah perjalanan sejarah yang paling brensek
Rumah-rumah ibadah dijadikan lahan-lahan
penghidupan
Mimbar-mimbar agama disulap jadi panggung-
panggung pertunjukan
Ayat-ayat Tuhan dijadikan pelacur
Untuk memuaskan dirinya untuk kepentingannya
Homo homini lupus
Oh Tuhan
Tunjukkan kami jalan yang Engkau ridloi
Sirathal Mustaqim
Tuhan tunjukkan kami pada padang ketenteraman di
hati kami
Sirathal Mustaqim
Tuhan ampunilah dosa-dosa kami
dan dosa-dosa ibu bapak kami
Sirathal Mustaqim
Tuhan pancarkan sinar kasih cahaya keabadian
Kepada hamba-hambaMu yang mengerti arti demi
Sirathal Mustaqim
Ihdinassirathal Mustaqim
Pehpeh
Sementara banyak manusia
yang merasa dirinya mulya
dengan dandanan mlipis ala mubaligh kondang
loh menuding orang jalan sendiri tak karuan
wah paling sulit sudah merubah
dan lebih parah
karena ia punya aji-aji ngeyel
Pehpeh
Ya, banyak manusia yang merasa jadi pahlawan
Protes kepada siapa saja yang dijumpainya
Di terminal, di warung, di pasar, di jalanan
Dimana saja ia tak perdulikan siapa
Orang-orang yang mendengar langsung kaget
Setelah paham mereka tertawa
Tebuireng, 20 Maret 1989
Tentang Chamim Kohari
Chamim Kohari, seorang penyair, aktivis
Komunitas Sastrawan Pesantren, Pembina teater, lahir di Gurah, Kediri, tahun
1965. Waktu belajarnya banyak dihabiskan di pondok pesantren Tebuireng Jombang
(1978-1996), juga pernah nyantri di PP Kiai Syarifuddin Wonorejo Lumajang. Alumni
fakultas Syariah Institut Keislaman Hasyim Asy’ari ini sedang menyelesaikan
Program Pascasarjana di Perguruan Tinggi yang sama (2007). Karyanya dibukukan
al. di Kumpulan Sajak Kertas Kuning
(1984), 13 Penyair Mbureng (1987), Berjamaah di Plaza (2003), Mojokerto dalam Puisi (2006).
Catatan Lain
Di sampul belakang
buku ada tiga nama yang memberi komentar singkat, yaitu Evi Idawati, Akhudiat
dan Choirun Nisa. Kata Akhudiat: “Pehpeh”
merupakan parodi, sindiran tajam, sekaligus ironi dan sinisme.
Penulis di bagian
awal buku menulis “Proses Kreatif Saya”, sebanyak 8 halaman. Di bagian ini ia
ada bercerita bahwa sekira tahun 1986, ketika ingin melanjutkan kuliah ke
Perguruan Tinggi Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia demi menyalurkan
kesukaannya, ia ditanya sang ayah: “Di sekolahan itu ada nggak kiainya?”, yang
dijawab dengan polos “ya jelas tidak ada”. Dan inilah jawaban tegas sang ayah:
“Tidak boleh, yang dekat kiai saja kudu mblarah, apa lagi yang jauh dari kiai,
cari sekolah yang ada kiainya!” Hehe. Mantap!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar