Sabtu, 05 Maret 2016

Chamim Kohari: PEHPEH




Data buku kumpulan puisi

Judul : Pehpeh
Penulis : Chamim Kohari
Cetakan : I, Juli 2007
Penerbit : Lintang Sastra, Yogyakarta.
Tebal : xiv + 78 halaman (29 puisi)
ISBN : 979-9758-21-1
Penata aksara : Saiful Amin Ghofur
Desain cover : Munjak Miji
Tata letak : Achmad Mufid A.R.
Opini : Akhudiat
Kata Pengantar : Evi Idawati

Beberapa pilihan puisi Chamim Kohari dalam Pehpeh

Petualang

Ketika kau tinggalkan
Tikar dan halaman
Tanpa pikir tanpa hitungan
Berjalan lesu di antara manusia batu
Berlari di atas duri
Berteduh di bawah plastik lusuh
Tidur di muka bumi
Bekalmu terlalu sedikit
Untuk meniti jalur hidup
Dunia ini tidak sempit
Luas, seluas harapan
Jangan iri dan jangan berhenti
Di kota dan di desa itu sama
Sama-sama keras dan pembunuh
Bagi yang tak berasa dan selalu jenuh
Langkahmu letih tertatih-tatih
Berhenti di bawah kolong
Mata menatap kosong
Harapan beku
Hatimu sendu

Stasiun Blitar, 13 Pebruari 1984


Identitas

Kucari
Hatiku mencari ke tempat yang kucari
Kucari
Hatiku mencari diriku yang kucari

Dalam tong kosong
Dalam gentong kosong
Di balik meja tak ada
Di balik kursi tak ada

Tahunya ada di sini
Sedang bermain sandiwara
Tuhan

Gudo, 2 Pebruari 1984



Kekasih

Kasih
Aku nyatakan ini
Saat jiwa memanggil rindu
Menuntut hasrat membekap kelu

Meski telah mencoba
Aku tak berdaya
Senyummu mengandung magic
Sampai aku tak mampu menangis

Malam menebar bintang
Wajahmu menjerat angan
Hingga tubuhku terkulai
Berselimut mimpi

Betapa cinta menikam dalam
Air mata mengalir duka
Menunggu tak kunjung datang
Aku lara aku nelangsa

Seperti apa yang kurasa, telah
Kepadamu aku mendamba, sudah
Wahai kasih tersayang
Aku menunggu di batas penantian

Kayangan-Jombang, 25 Oktober 1987


Hai Bocah-bocah

Kita rindu pulau abadi
Di seberang kehidupan fana
Dalam setiap kata-kata
Haruslah berwujud nyata

Kita adalah debu yang berdaki
Hari ini kita harus berani
Telanjang mandi bersihkan diri
Sejenak menghadapkan muka ke hadiratNya
Sambil tafakur hati sepenuh jiwa
Kita pergi ke medan laga

Kita adalah kerinduan panjang
Di tengah penderitaan zaman yang terluka
Di pundak kita tergantung cakrawala
Harapan dan cita-cita
Gampang dibilang
Berat dibawa

Hai bocah-bocah
Tidak penting manusiakan gajah
Tidak penting manusiakan Kuda
Tidak penting manusiakan Anjing
Yang penting
Manusiakan manusia

Astaghfirullahal’adhim
Siapakah yang tega slintat slintut menyikut
Menggulingkan periuk dan kompor sesama

Astaghfirullahal’adhim
Siapakah yang sengaja melempar batu di balik kursi
Menimpuk punggung teman sendiri

Astaghfirullahal’adhim
Siapakah yang menyelipkan pisau penghabisan
Siap menikam dari belakang

Hai bocah-bocah
Singsingkan lengan teguhkan hati
Perjuangan harus terus membuncah
Karena musuh bersembunyi dalam diri sendiri

Hai bocah-bocah
Dengan selembar sajadah
Mari arungi langit dan bumi
Bersama sujud abadi

Bila generasi tanpa makna
   Habislah harapan kita
Bila generasi tanpa jiwa
   Pupuslah kebahagiaan kita
Bila keperkasaan tanpa cinta
Brengseklah masa depan kita

Brengsek
Brengsek kita brengsek
Brengsek brengkes

Brengkes brengsek
Breng
       sek
           kes
               sek
                  kes
                       sek

Brengkes
      Brengsek
Brengsek
      Brengkes

Brengsek kita brengkes

Tebuireng, 1 September 1986


Susah

Di depan
Tidak bisa
Di tengah
Ngriwuki
Di belakang
Nendang-nendang

Susah
Mending hidup bersama
Dengan orang
Yang pura-pura goblok

Jerukmacan, 31 Januari 2000


Apa-apaan

Bila saudara bicara
Hendak berkata tidak
Sedang penguasa tak suka
Bau mulut yang tak enak
Maka diam waspada
Lebih bijaksana
Dari pada sengsara

Apaan
Membuka pintu
                         Muka
Belakang dijaga
Keterbukaan semu
Ayo melangkah
Katamu
   Maju
Jalan
   Di tempat
Maju
   Mundur
Apa-apaan

Tidak perlu resah
Pejabat mesti benar
Kalau pun salah
Mereka sudah siap melempar

Jangan coba-coba bicara
Mulutmu akan disumpal sepatu
Karena ucapan penguasa
Lebih digugu para serdadu

Awas bahaya laten
Kata biasa untuk mereknya
Subversi
Harus dihabisi
Serdadu mengokang senjata
Tanpa bertanya
Benarkah ini

Yang tegap
Diserimpung
Karena tak bisa
Diajak kompromi
Susah
Hidup
Di kandang bebek
Bau tai
Dianggap minyak wangi
Apa-apaan

Sawo, 2 Januari 1995


Awas

Tidakkah terasa
Langkah kita semakin renta
Daun-daun berlambaian
Sampan nelayan ke tepian

Berantinglah waktu
Berantinglah kita
Berantinglah hidup
Berantinglah dunia

Waktu kita hidup dunia
Waktu kita hidup
Waktu kita
Waktu
Kita
Diterkam-terkam
Dikoyak-koyak
Dengan kukunya
Dengan taringnya yang tajam

Berlarilah kita jatuh
Berlarilah kita tersungkur
Jembatan ini rapuh
Sebentar lagi hancur

Jombang, 11 Januari 1986


Detak-detak

Tak tik tuk
Seseorang berjalan
Dengan tongkat di tangan
Meniti jalur Tuhan

Tak tik tuk
Mengetuk pintu
Menyibak malam
Menyayat ratap
Meminta iba
Sebab ia tahu
Cinta telah menjadi biru

Tak tik tuk
Jarum jam mencacah waktu
Memaksa umur menyerbu maju
Mengoyak zaman
Menerobos celah-celah kesempatan

Tak tik tuk
Detak-detak waktu
Mengejar hidup
Melintas batas napas
Merangkak ke masa depan
Menyibak rimba pengetahuan

Tak tik tuk
Tetes-tetes air mata
Menimpa daun-daun tua
Mengingatkan segala makna
Dari luka yang menganga

Tak tik tuk
Titik-titik hujan
Ditiup angin menerpa kaca
Bayang-bayang hilang tak terbaca
Seperti noda-noda hitam
Menerpa hati
Berkarat karena bintik-bintik dosa

Tak tik tuk
Suara kentong berkejaran
Menembus pori-pori malam
Memburu arwah
Melewati gang-gang sepi
Menguak tabir
Membuka hati yang sedang mimpi

Tak tik tuk
Jantung berdetak
Darah menggelegak
Nafas memacu birahi
Hari terus berjalan
Menggandeng Tuhan
Dan berhenti di sini
Ketika diri menimpa mati

Tebuireng, 18 September 1984


Hasutku (Untuk yang Hasut)

aku tidak bisa menerima
kalau-kalau ada anak muda
atau pendatang baru
akan menggeser pengaruhku

aku memeng sakit hati
dengan siapa pun
yang mengincar kelemahanku
karena itu
aku harus menyebar isu
kasak-kusuk busuk
dengan saudara
tetangga
dan handai tolan
agar ia mati pelan-pelan

aku ingin orang lain
hidup tidak tenang
tapi ternyata
aku sendiri malah
yang gelisah
karena hasutku

Jerukmacan, 30 Januari 2000


Culas

Ajarilah aku tatakrama
Biar lebih sopan dan tahu diri
Agar tidak menginjak kepalamu
Yang katanya anti peluru

Aku bosan
Dengan slogan-slogan
Kesejahteraan
Aku tak paham
Dengan permainan kata-kata
Berbau kepentingan

Bukalah paras
Mukamu yang jelas
Biar tampak
Bahwa kau memang culas

Sawo, 2 Januari 1995


Kepada Tuhan

Ya Allah
Ajarilah aku
Agar terus menyebut namaMu
Tapi mengapa
Selalu pisuhan
Yang keluar dari mulutku

Ya Allah
Ajarilah aku
Agar terus mengingat namaMu
Tapi mengapa
Selalu syahwat
Yang ada di kepalaku

Ya Allah
Ajarilah aku
Agar terus membatin namaMu
Tapi mengapa
Selalu nafsu
Yang ada di kalbuku

Ya Allah
Ajarilah aku
Agar terus berusaha dekat  denganMu
Tapi mengapa
Yang aku dapat
Selalu balak enam
Dari jam enam
Sampai jam enam

Ya Allah
Ampunilah aku
Jangan jadikan aku
Kan’an
Atau Abu Thalib
Yang jauh
Dari petunjukMu

Jerukmacan, 6 Pebruari 2000


Sebutan Apa

Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Yang diam
Ketika saudaranya teraniaya

Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Yang pura-pura tuli
Ketika mendengar
Tetangganya merintih kesakitan

Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang punya
Yang tidak reaksi
Ketika ada tetangga
Kelaparan tak punya nasi

Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Yang tak mau tahu
Dengan bau busuk
Di sekelilingnya

Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Yang maunya
Menang sendiri

Sebutan apa
Yang pantas
Bagi orang-orang
Seperti aku
Seperti kamu

Sawo, 26 Desember 1994


Pehpeh

Dari sebuah gaung yang tiba-tiba datang dengan mata
membelalak
Bagai pedang putih yang tajam menggores
Meninggalkan luka
Mengukir kekecewaan di perjalanan yang panjang

Angin yang datang mengantarkan kemesraan
Mendadak jadi gelombang bencana
Mengancam ketentraman
Padahal rasa kabung kita belum sirna
Karena ada seorang anak memaksa ibunya
Dan seorang bapak ngeces anaknya
Pehpeh

Angin oh angin
Datang tanpa diundang
Hadir silih berganti tanpa permisi
Angin dengan seenaknya memaksa siapa saja
Dari fakir jadi kafir
Dari kawan jadi lawan
Dari manusia jadi hewan
Homo homini lupus

Dalam perjalanan ke akhirat
Iman manusia banyak yang kandas di dunia
Di tengah perjalanan sejarah yang paling brensek
Rumah-rumah ibadah dijadikan lahan-lahan
penghidupan

Mimbar-mimbar agama disulap jadi panggung-
panggung pertunjukan
Ayat-ayat Tuhan dijadikan pelacur
Untuk memuaskan dirinya untuk kepentingannya
Homo homini lupus

Oh Tuhan
Tunjukkan kami jalan yang Engkau ridloi
Sirathal Mustaqim
Tuhan tunjukkan kami pada padang ketenteraman di
hati kami
Sirathal Mustaqim
Tuhan ampunilah dosa-dosa kami
dan dosa-dosa ibu bapak kami
Sirathal Mustaqim
Tuhan pancarkan sinar kasih cahaya keabadian
Kepada hamba-hambaMu yang mengerti arti demi
Sirathal Mustaqim
Ihdinassirathal Mustaqim

Pehpeh
Sementara banyak manusia
yang merasa dirinya mulya
dengan dandanan mlipis ala mubaligh kondang
loh menuding orang jalan sendiri tak karuan
wah paling sulit sudah merubah
dan lebih parah
karena ia punya aji-aji ngeyel

Pehpeh
Ya, banyak manusia yang merasa jadi pahlawan
Protes kepada siapa saja yang dijumpainya
Di terminal, di warung, di pasar, di jalanan
Dimana saja ia tak perdulikan siapa
Orang-orang yang mendengar langsung kaget
Setelah paham mereka tertawa

Tebuireng, 20 Maret 1989


Tentang Chamim Kohari
Chamim Kohari, seorang penyair, aktivis Komunitas Sastrawan Pesantren, Pembina teater, lahir di Gurah, Kediri, tahun 1965. Waktu belajarnya banyak dihabiskan di pondok pesantren Tebuireng Jombang (1978-1996), juga pernah nyantri di PP Kiai Syarifuddin Wonorejo Lumajang. Alumni fakultas Syariah Institut Keislaman Hasyim Asy’ari ini sedang menyelesaikan Program Pascasarjana di Perguruan Tinggi yang sama (2007). Karyanya dibukukan al. di Kumpulan Sajak Kertas Kuning (1984), 13 Penyair Mbureng (1987), Berjamaah di Plaza (2003), Mojokerto dalam Puisi (2006).


Catatan Lain
Di sampul belakang buku ada tiga nama yang memberi komentar singkat, yaitu Evi Idawati, Akhudiat dan Choirun Nisa. Kata Akhudiat: “Pehpeh” merupakan parodi, sindiran tajam, sekaligus ironi dan sinisme.
Penulis di bagian awal buku menulis “Proses Kreatif Saya”, sebanyak 8 halaman. Di bagian ini ia ada bercerita bahwa sekira tahun 1986, ketika ingin melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia demi menyalurkan kesukaannya, ia ditanya sang ayah: “Di sekolahan itu ada nggak kiainya?”, yang dijawab dengan polos “ya jelas tidak ada”. Dan inilah jawaban tegas sang ayah: “Tidak boleh, yang dekat kiai saja kudu mblarah, apa lagi yang jauh dari kiai, cari sekolah yang ada kiainya!” Hehe. Mantap!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar