Data buku kumpulan puisi
Judul
: Mencari Pura
Penulis : I Gusti
Ayu Agung Mas Triadnyani
Cetakan
: I, Juni 2011
Penerbit
: Koekoesan, Depok.
Tebal
: xiv + 78 halaman (66 puisi)
ISBN
: 978-979-1442-50-3
Penyelaras
akhir dan foto profil : Damhuri Muhammad
Perancang
sampul : Munawar
Tata
letak : Hari Ambari
Pengantar
: Putu Fajar Arcana
Beberapa pilihan puisi I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani dalam Mencari Pura
Puisi
Puisi adalah putaran baling-baling kipas
di atas kepala dengan tenaga penuh
pada terik siang hari di dalam sebuah kelas;
Erangan daun pintu yang kekurangan minyak
setiap dibuka dan ditutup;
Retak kaca jendela sisa lembaran batu kemarin
antara mahasiswa semester 4 dan 6 yang berebut
kursi senat;
Tembok kelas yang penuh pesan singkat
lalu diakhiri cap sepatu merk impor;
Aroma tip ex bercampur wangi permen karet
menempel pada bangku-bangku kayu
Adat Bali
tumpukan songket
lengket pada almari jati
bau apek kain endek
warna-warni kebaya brokat
berjejer rapi menunggu giliran
perak berderak emas berkemas
menurut undangan
ngotonin, metatah,
pawiwahan, ngaben
adat Bali adalah menghitung kulkul di banjar
Antara Pasar dan Altar
bukan karena pasar
ia bergegas dari pintu ke pintu
dengan napas memburu menjinjing laptop
tertimbun tumpukan paper
mengeja malam celaka dengan lafal Perancis
bukan karena altar
ia bersimpuh dengan lutut gemetar
aduhai gagah berjubah putih
menabur remah-remah doa untuk dimamah
menumpahkan yang kudus pada yang haus
ditimbang pasar dan altar
di tangan kanan dan tangan kirinya
memutar laku hening
melemparnya pada plot rahasia
riuh air terjun
merah kembang sepatu
bau keringat anak-anak
hangat pagi
pahit teh hijau
adalah cakrawala indrawi
diam yang panjang
yang purba
mengintip dari kejauhan
Ratu jegeg dan wang jero
berjalan melenggang di muka
perempuan bangsawan berkebaya merah cemerlang
putih tangan mencincing kain sutra jepang
angin menunduk memberi salam
Berjalan di belakang menjunjung bokor perak
berisi beras, gula, dan kopi
wang jero tergopoh
kain asal melilit pinggang
angin menyilet-nyilet mukanya yang hitam
Yang Agung
tembok bata merah puri berderak
genderang perang ditabuh
pangeran belia menepuk dadanya yang bidang
lalu berkata pada sang nenek:
“aku berdarah biru.”
Ia memang lahir dari rahim agung
dan pejantan maha
agung
“dua puluh empat karat secara genetis”
sang nenek mengelus dada:
“aku barangkali berdarah biru, tapi
bagi orang Bali, aku adalah
rumput yang diinjak orang
oleh sebab itu aku dipanggil jero”
langit ditoreh dadanya
mengejang lalu
tembok puri pun roboh
Calon Arang
Janda dari dusun Girah
sorot mata setajam elang
menatap lurus orang-orang
terlalu awas lakunya
Ratna Menggali turut di belakang
menebar senyum pada tiap orang
lakunya halus bagai dewi kayangan
melepas umpan tak kunjung peroleh
Dua perempuan sedarah
diikat tali sejarah
bagai langit dan bumi?
Wasiat
Kata-kata yang meluncur dari lidah seorang
perempuan tua
ibarat derit kereta yang akan berhenti
di sebuah stasiun
dengan nafas terputus-putus,
diselingi batuk-batuk yang dalam
ia sampaikan takdir yang telah menunggunya
di depan pintu
Sesekali diusapnya air mata yang telah mengering
Dirabanya pula kasur yang telah melapuk dimakan
air kencing
“Waktuku tak lama lagi.”
Keempat anaknya dengan serius
mengelilingi ranjang tua itu.
Dengan seksama mereka memperhatikan raut muka
perempuan yang telah melahirkan mereka, menandai
setiap kerut pada wajahnya, rambut uban yang
menghiasi bantal kempes itu.
menghiasi bantal kempes itu.
Dari bibir yang bergetar terlontar: “Haruskah aku
menyampaikan sesuatu pada kalian?”
Mencari Pura
ke mana mencari pura?
paling kaja
paling kangin
pulau beribu pura
melempar senyum pada wisatawan
mencangklong kamera untuk diabadikan
berbaju putih selendang pengikat raga
bija menempel tepat di dahi
kamboja terselip di telinga
seperti gambar pada sehelai kartupos
ke mana mencari pura
puramu ada di dalam dirimu
Melasti
Dewa-dewa titahkan kami berjalan
dengan seribu kaki
(jangan sekali-kali berpaling)
hanyut rasa mati foya-foya
tenggelam dalam ekstase
tak berwarna
tak berbentuk
tak bernama
mengalir, menggulung
tak terbendung
memundut Ida Betara
menuju mata air yang bukan biasa
mata air yang bukan tawar
yang ada di ujung-ujung pulau
peluh berkucuran
yang basah bukan hanya baju
kemenangan awal dalam genggaman
engahan menanjak cepat
memanggang kaki
perjalanan ditusuki tombak
dikuliti bara
perjalanan sejati
mengiring Ida
berkenan menyucikan
mata air pelukat batin
*memundut = menjunjung di kepala
**pelukat = pembersih segala kotoran
Kami Berlari
Kami berlari di antara tembok-tembok,
paving luas yang mengeras,
meraba aspal padat,
pasang mata siaga agar tak terjerembab
dan lutut menjadi memar.
Kami berlari menghirup pengap,
asap knalpot dan debu jalanan,
berpacu dengan deru motor asing
meraung menyapa orang-orang.
Kami berlari mengintari kompleks
Kami berlari di antara dinding-dinding
Tanah sudah lama menjelma beton
Pohon-pohon entah di mana sembunyi
Dan rumput-rumput enggan hidup.
Kami terus berlari sampai
pak guru olahraga
menyuruh kami berhenti di halaman
sempit sebuah sekolah negeri.
Soul
Di mana batas jiwa dan badan
di jari kakimu ada perih merintih
membiru sehabis terantuk kursi
tangan dengan setia mengusapnya
agar reda segala ngilu
awan menggulung, cahaya menepi
angin tak singgah ingin
di ujung rambutmu ada getar
kepala berdenyut sebentar
badan menguapkan lengking
entah di mana jiwa bersembunyi
pada saat itu
Leluhur
dalam tubuh tertinggal jejak
tak hanya bening bagai bulir embun
melenyap dalam hitungan detik
tapi juga dalam, meresap ke lubang pori-pori
lengket dalam keringat dan kental darah
denyut yang tajam menggurat-gurat sosok
bayangan mengabur dan menampak
timbul tenggelam bergantian
Konser dan Kursus
Aku mendengar riuh konser di seberang jalan
gaungnya melekat kuat di telinga
lagu demi lagu bagai dimuntahkan dari corong langit
menghapus lara orang-orang barang dua-tiga jam
Di bawah siraman lampu mereka kepanasan:
berteriak-teriak, melompat-lompat
di atas hamparan rumput
lapangan bola seketika berubah jadi
panggung pertunjukan
Wajah-wajah sumringah mengunyah asa
segemerlap bintang di langit
adakah terpancar sampai ke lubuk hati?
Di sini, kami mendengar sayup-sayup guru mengajar
filsafat yadnya
kata demi kata mengepak sayap, mengembara
membentur dinding sekolah
yang catnya mulai terkelupas
atap yang bocor jika hujan gerimis saja
telinga ini tak mampu membendung arus deras
dari dunia sana
Kami adalah sekawanan murid yang patuh
mencium tangan orang-orang suci
dan mencakup tangan di dada
Sungguh sulit menyatu rasa
dunia bawah bersilang dunia atas
masih tersediakah tempat untuk bertemu pada diri?
Langit dan Katak
Keluasan langit telah menggoda katak
untuk keluar dari tempurungnya.
Ia takjub melihat birunya.
Ia mendengar Foucault berkata-kata
kagum melihat Bourdieu berceloteh.
Dan akhirnya memilih Ricoeur untuk dijadikan
tempat berlabuh.
Mencuci batin. Pernah ia tersesat
dalam labirin pikiran
langit. Karena tiada mampu menggapainya.
Terlalu tinggi, bahkan untuk dirinya sendiri.
Antara Jakarta-Denpasar
(1)
Pada Jakarta yang sumpek aku titip kemacetan ini
untuk anak cucu.
Sumpah serapah tak cukup,
selalu berujung pening.
Sesak napas oleh pengap dan bau hangus
ruang dan waktu
“Jangan pernah mengeluh,”
pesan rekan-rekan yang tabah.
Jalan sudah melingkar-lingkar
melayang-layang
memotong urat arteri
menembus jantung terowongan
Jalan sudah kemana-mana: sudah tol, sudah pol.
Gedung sudah mencakar-cakar langit.
menara dan apartemen berebutan
mencium kening awan.
Seloroh apa lagi yang kautawarkan?
Tanah sudah digali
buat mal-mal
dan kubur-kubur mereka.
(2)
Bali seperti permen manis
Siapa suka manisan?
meski mal merajalela,
gedung-gedung enggan menyentuh langit
takut kutukan dewa-dewa.
Meski tertular penyakit macet,
tak separah seniornya
masih stadium 1 (ada obatnya).
Meski sawah berganti kelamin
beton dan polesan
tak bisa dicegah
Ia perlu dandan, meski tak menor.
Pulau bertabur pura
pada pantai
pada pohon
pada setra
pasar dan hotel
di mana pun engkau menginjakkan kaki
tanah dipenuhi mantra
(3)
antara Jakarta-Denpasar
rohku melayang-layang
Meretas Masa Kecil
mengenang jalan setapak menuju sekolah
yang bersalin menjadi maha jalanan
kanan kiri mentereng ruko dan mal
lewati makam suram disulap jadi taman
bermain
merekam warna warni kekinian
yang semakin jauh dari kenangan
kubur dalam-dalam mungkinkah?
Manusa Yadnya
Apa yang kaupikirkan di balik balutan
brokat kuning pekat melekat ketat?
Kamen songketmukah yang mempersulit
langkah gesit?
atau telinga, leher, dan tanganmu yang berat
dibebani batu-batu itu?
Dadamu sesak sejenak oleh detak. Aliran darah
sedikit menguat pada tengkuk,
lantas lari ke ubun-ubun. Apalagi kalau bukan udara
kepuasan yang kauhirup.
Dengan cepat kaukembangkan senyum, mengangkat
dagu seperti seorang selebritis.
Pedanda dari Griya seberang baru beberapa
menit
melantunkan puja mantra.
Namun, perbincangan telah pecah di beberapa sudut
bale. Kleneng genta barangkali
cuma jadi latar musik ulasan sinetron tadi malam.
Lantas perbicaraan beralih ke model baju, sepatu,
serta aksesoris trendi. Dalang asyik memainkan
wayang untuk dirinya sendiri. Tangis bayi kedinginan
terkena cipratan tirta
mengiringi upacara ngotonin
Ditambah pekik anak-anak berlari minta ini dan itu
pada ibunya
Selang beberapa menit di udara terdengar keluhan:
suami-suami yang pura-pura pasif,
asyik dengan dunianya sendiri (nomor buntut,
goyang inul dan tajen). Sesekali pula, kacang atau
brownies menyusup ke mulut-mulut
yang mencolok oleh gincu.
Hmm, kehangatan khas kaum hawa.
Tanpa terasa mulut-mulut itu terus terbuka,
membuka dan dibuka
seperti ikan mas koki di dalam cawan kaca. Tiba-tiba
kautersedot ke dalam ruang hampa yang berputar-
putar, bagai anak panah melesat tepat menghujam di
tengah-tengah lingkarannya. Kekosongan pelan-pelan
menembus kulit mulusmu yang bak pualam
lalu membentur mata-mata usil.
Nyepi (2)
malam menyergap lebih awal
menyerbu dengan seruan: tamat sudah!
ruang kehabisan kata-kata
kami hanya terbaring, entah
terduduk?
gerak tak bermakna
suara-suara bising bawah sadar menggerogoti
tak dikenali tanpa wujud yang jelas
sekali lagi, kami terombang-ambing, entah
menjejak?
Tentang I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani
I Gusti Ayu Agung
Mas Triadnyani lahir di Jakarta, 2 Desember 1967. Menamatkan studi di Jurusan
Sastra Indonesia, Universitas Indonesia. Sempat mengabdi 8 tahun di almamater,
sebelum kemudian pindah ke Bali. Sekarang mengajar di jurusan sastra Indonesia,
fakultas Sastra, Universitas Udayana. Mencari
Pura adalah kumpulan puisinya yang pertama.
Catatan Lain
Dalam satu paragraf Pengantarnya, Putu Fajar Arcana menulis: “Pertanyaannya,
apa yang mendorong seseorang menulis puisi? Apakah karena seseorang merasa
gagah berani ketika ia meneriakkan puisi untuk mempertahankan ideologi atau
didorong semacam keisengan, siapa tahu dimuat di koran, populer, dan menjadi
idola? Di dalam dua pilihan itu, ada orang-orang yang menulis puisi atas dasar
kebutuhan ekspresi. Mereka menulis tidak peduli apakah nanti jadi buku,
terkenal, atau memperjuangkan ideologi tertentu. Dan, generasi inilah yang
lahir belakangan, setidaknya setelah era tahun 2000-an.”
Setelah
bla bla bla lainnya, Fajar Arcana kemudian menyimpulkan bahwa Mas Triadnyani
menulis puisi sebagai kebutuhan berekspresi. (lihat hlm. viii). Lalu ia berujar
lagi: “Teori-teori tentang puisi dengan aturan yang rigid, mungkin bukan soal
lagi bagi orang-orang yang membutuhkan sekadar ekspresi. Karena di situ
ekspresi telah berlaku sebagai wahana pembebasan terhadap banyak hal yang
menekan dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah pada hakikatnya puisi,
sebagaimana dalam Dead Poets Society,
adalah medium pembebasan untuk merengkuh originalitas berpikir dan
berimajinasi?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar