Senin, 04 April 2016

Satrio Hadi Wicaksono: TENTANG BIJI DAN YANG LAMPAU




Data buku kumpulan puisi

Judul : Tentang Biji dan Yang Lampau
Penulis : Satrio Hadi Wicaksono
Cetakan : I, Mei 2014
Penerbit : Garudhawaca, Yogyakarta.
Tebal : 70 halaman (50 puisi)
ISBN : 978-602-7949-27-0
Lay out, desain sampul : Jalu Sentanu
Sumber gambar sampul : www.all-free-download.com
Pengantar : Narudin

Beberapa pilihan puisi Satrio Hadi Wicaksono dalam Tentang Biji dan Yang Lampau

LAUTAN

Lautan,
air yang mustahil diceraiberaikan.

Tiap-tiap waktu mengikat manusia
dengan kesegarannya
sehingga kehidupan
menjadi kehidupan.

Ia mengingatkan kita
bahwa sebelum tubuh mengakar bebas di dunia,
jiwa ingin pijakan:
penyebab yang tak disebabkan.

Kita tahu: darah takkan pernah dapat dibersihkan
dengan darah—hal yang sia-sia. kemudian,
setelah waktu yang dijanjikan
terjadi, segala tubuh akan menyembulkan kata-kata
kenyataan,

kecuali mulut yang (dulu) bersuara.



TENTANG BIJI DAN YANG LAMPAU

Ada taman yang tak lebih pudar.
di atasnya, di sana,
bulan tua renta—
seperti saat kita menarik kembali garis
khayal yang berkabut—enggan berpendar.
“Marilah bersuka ria bersamaku!”
kata daun-daun ketika capung malam mulai hinggap—
tak ingin menyimak kau untuk sementara waktu.
Dan tahu,
di sisi degung air sungai yang berkelana
ke dalam alam telinga dan batin,
ada suara keheningan di sana
tepatnya di dalam hatiku
yang turut dalam derai-derai dedaun,
di antara desis-desis angin yang hampir tenang.
Kau pun telanjur menegakkan gubuk dan
mengubur biji-bijian—
yang lebih suka kusebut cinta
di bawah lantai tanah merahnya.


DUNIA MENGASINGKANKU

Dunia mengasingkanku bagai nuri
di malam serigala—
tanpa cahaya.

Dunia mengasingkan-
ku dari pohon di dalam taman
yang bunga-bunganya begitu asing bagi hati
yang diriskani.

Dunia hujan kepingan
logam hingga bayang-bayangnya
membercaki cermin kecilku,
nun jauh di sana.

Dunia mengasingkanku seperti
ingatan yang lepas kendali.

Dunia melepaskanku ke segala keinginan—
bagai anjing liar kelaparan.

Dunia mengasingkanku dari Tuhan.


KERETA BANAL

Kereta itu berlari
cepat, laiknya kehidupan yang banal.
Mereka, yang menciptakan seni asap dari
mulut yang terus membicarakan soal
cinta saat fajar, dihidangkan secangkir kopi
dan makanan sehari-hari
yang membungkam deretan perkataan bagai
iblis lapar di dalam jeruji besi.
Kereta itu berguling dari bukit ke lembah, terjun menuju
jurang curam bebatuan, dan tergelincir di samudera
seperti
matahari yang mengisyaratkan waktu.
Lantas mereka berucap,
“Santai saja, Bung, santai saja, Penikmat anggur!”
Namun, ketika hujan lebat pada malam dingin yang
melelapkan mereka,
Pistol itu menodong dari muka,
“Ke mana setelah pemberhentian ini, Jalang?”


TERBANGLAH, HAI MAKHLUK-MAKHLUK

Terbanglah, hai perkutut
hingga dirimu tak tampak lagi oleh pohon
dan ranting-rantingnya
yang akan segera berserakan,
laiknya usia.

Terbanglah, hai jiwaku,
hingga kau benar-benar lolos
dari sebuah penjara kenistaan,
menuju Keutuhan.


HIDUP BAYANG-BAYANG

Bayang-bayang itu
menjauh  dari
api lilin
yang sebesar ruas ibu jarimu

Dia—tak enggan
untuk meninggalkan perempuan
di dalam kaca
riasmu—mencari-cari wujudnya

dalam kegelapan.
Lalu, pada suatu titik,
bayang-bayang itu utuh di dalam kepalamu.


TENTANG MEMANDANG

Percayalah dengan menguliti pepohon rimba raya.
Sesungguhnya, tanah yang berdenai,
angin yang berdesir, dan dedaun yang berderai,
tak longgar dalam mengingat Hal.

Pada lidah-lidah yang demikian,
ada Sesuatu berdenyut: Nama berdetak.
Mata itu memandang, menyaksikan
yang kentara, menunggalkan Satu Tangan.

Maka, lihatlah rimba raya,
seberangilah samudera dan selamilah ia,
tataplah bulan dalam-dalam.

Kau tahu, Cinta Sejati menjaga di sana,
di celah-celah rerumputan taman,
di dalam peti mutiara,
dan di mana-mana.

Apakah dengan demikian
kau akan binasa?
Adakah Seniman
lagi dari yang begitu harmonis, pun nyata?


GAUN SUTERA MERAH

Akankah daku berperang melawan
banyaknya serdadu?

Sedang kelepak kabut tak menggugurkan
bulu-bulunya di pagi yang sendu.

Nyanyian burung pun tak terdengar lagi
di sini (kusentuh mulutku dengan kedua jari
sambil memandang ke luar jendela).

Ah, setidaknya, gaun sutera merahnya
akan kembali dari balik hujan yang berjatuhan.

(aku tertidur dan berharap gaun itu
hadir di kedalaman mataku).

Selamat jalan.       


GERAK RUMPUT

Di permukaan telaga,
kata-kata memulai tapa abadinya.

Disembulkannya suara-auara kesurgawian.

Kadang-kadang,
kicau burung di ranting yang menjuntai
mengosongkan seluruh isi dadaku.

Di sana,
di langit tanpa kerisauan,
ada segala-galanya—
pun mata berbinarnya.

            Pernahkah kau mendapatkan kesunyian menjerit
            melengking
            bagai suling
            gembala yang terjepit?

Dari gerak rumput yang mendesis,
kusimak ia telah berpamitan.

Suara derai-derainya
baru saja tiada.


NOKTAH

Segaris tak berujung dijatuhi noktah-noktah.

Si pandir dari kealpaan datang ke dunia
dengan daging dan istana
akal, yang atapnya lebih tinggi daripada
langit dan lantainya lebih dalam daripada samudera.

Kemudian, sesudah kita sampai di noktah kedua,
noktah ketiga berujar, “Yang mana
yang kaupilih? Dua-duanya sama-sama ada,

sama sama (di)kekal(kan).”


KICAU BURUNG

Indah ialah kicau burung
bagi hati yang menanti.

Kematian ialah tetes hujan
yang tersembunyi antara ruang-ruang renggang
kicau burung
pada jendela basah itu.


DUA JALAN

Seorang musafir bertanya kepada titik air hujan
yang tergelincir di pipi daun basah itu,
“Di mana surga?
Di mana (ada) Tuhan?”

Memang, terkadang, kincir angin meniupkan
sepatah
suara mentah
yang memiliki dua arti berlainan.

Aku,
yang tengah bercumbu
dengan bayang-bayang, jadi
ingin bunuh diri.

            Mati tak berarti hilang sendiri
            dan tak tersisa apa-apa lagi.

Itu sekedar sebuah titik pada garis panjang kehidupan.
Dan, di sana, di atas jurang api,
ada lubang cahaya berbinar-binar.

Sedang,
dia belum juga menemukan Tuhan yang bersembunyi?


TUHAN MEMBAKAR API

Tuhan membakar api dengan api.

Kemudian, percikan itu Dia
selipkan ke dalam ruang-ruang
kosong batin yang sukar kentara.

Optimis melihat sinar memancar
dan memikirkan sesuatu
tanpa kata-kata;
pesimis meniup percikan api itu.


MAUT (ITU) KEHENINGAN

Setelah kamar ini menjadi sarang
bagi dua cenderawasih bersahut-sahutan,
aku tak tahu apa nasib waktu: lolongan
anjing di tengah gurun malam atau badai keheningan
yang menafikan.

Kadangkala, saaat kupandang bulan
yang berpendar—seperti
menyorot sinar redup ke permulaan
garis waktu—batin pun berderai
dalam angin gurun pasir yang nyinyir.

Pikiran laksana debu.

Lalu, suara baru—
nyawa mentah—datang di permukaan.
Tetapi, pernahkah kau tahu barang sekutu,
tahun-tahun baru akan bangkit, yang lama berguguran,

laiknya usia dan suara tua renta?

Duhai keheningan,
lengking jeritmu begitu sukar kusiasatkan.


DUA PANGGILAN

Ketika orang itu memanggil, si tua bangka
malah menoleh ke kanan dan melihat jilatan
cahaya batu mulia
di ujung pohon mungil di puncak bukit malam.

Dia seru dengan pernak-pernik kehidupan
seakan esok itu tangan-tangan-
nya panjang sekali.
Dia asyik sendiri.

Ketika Yang Itu menepuk pundaknya,
dia masih melepaskan ke udara
dan menangkap batu itu berkali-kali.

Dia pun tak sadar
sampai jilatan api membakar habis jantungnya.


MEJA BATU

Kau tahu,
di dalam matamu
ada dua buah meja batu
berlumut.

Kau sadar,
di antara
garis-garis retakannya
ada cinta tersungkur.


Tentang Satrio Hadi Wicaksono
Satrio Hadi Wicaksono lahir di Jakarta, 23 Februari 1996. Siswa Akademi Siswa Bangsa International Bogor. Puisinya pernah dimuat di Jurnal Sajak.


Catatan Lain
Narudin menulis pengantar buku ini sebanyak 8 halaman, dan dijudulinya Pesona Esoterik, Musabab dan Pencarian Tuhan. Di sampul belakang ada pernyataan dari Petrik Matanasi dan May Vitha R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar