Data buku kumpulan puisi
Judul
: Teriakan Bisu
Penulis : Imam
Budiman, Muhammad Ansyar, Zian Armie Wahyufi
Cetakan
: I, Agustus 2011
Penerbit
: Tahura Media, Banjarmasin.
Tebal
: vi + 74 halaman (60 puisi, @ 20 puisi)
ISBN
: 978-602-8414-08-1
Beberapa pilihan puisi Imam Budiman dalam Teriakan Bisu
Sajak Amtsilati
benarkan letak kopiahmu!
kantuk merayu, bawa ke
belakang dengan seriak lumuran setinta
wudhu
seperti biasanya malam di
sepertiga arah pendek jarum jam separuh
menengadah ke arah kiri
tepat detik terakhir angka
enam terbalik
bersama menuju mushalla
dengan sisa iringan tawa yang belum ter-
tuntaskan semenjak
memijakkan
kaki ke luar asrama
ada yang menyembunyikan
terompah kawannya
ada yang mengomel terkena
jadwal mengambil segalon air panas di
dapur
malam-malam begini!
ada juga yang menyerapah
sendiri dikarena kitab Ta’lim yang tak
kunjung temu
kegaduhan yang menguak;
bercampur menjadi keributan yang
membuatku tersenyum lucu
benarkan letak kopiahmu!
kantuk merayu, bawa ke belakang
dengan seriak lumuran setinta
wudhu
tersandar lelah berpencar
ke pojokpojok sudut rumah Tuhan
saling bertatap hadapan;
tak bercakap, menggerutu, bergurau sia,
apalagi bercerita ria
dengan ceritacerita konyol murahan
kami riuh menyetorkan
hapalan, kawan!
meluapkan segala ingatan
sesuai kesepakatan perjanjian yang per-
nah diikrarkan dulu
sebelum dijamakkan dengan
sebuah ruangan khusus
asrama amtsilati para
santri sering menyebutnya…
harus berapa kali
kukatakan?
benarkan letak kopiahmu,
apa tak sadar sudah sembilan puluh dera-
jat termiring kiri?
maka, lepaskan segera jerat
kantukmu!
kakak pengajar datang kakak
pengajar datang
sebelum beliau mengajari
kita pada bab ke lima sedangkan kau meno-
pang kantukmu
dengan berdiri di tempat
Setengah sadar, 30 April 2011
Pemberian
Mengakui ketidakberdayaanku
menjadi penyair seumpamamu, kawan
Piring melamine orange –
yang biasa kubawa ke ruang makan – kutulis
Kain sasirangan hitam
terbeli di hiruk pikuk Batuah Martapura kutulis
Hadiahmu pun:
Peci hijau berbuntut tipis
kutulis
Kemeja putih yang
kautitipkan kutulis
Gantungan kunci “yaa tariim
wahlahaa” kutulis
Jam beker senandung adzan
kutulis
Peci putih berkilat sinar –
ukuran yang kekecilan kutulis
Dua bungkus gado-gado rasa
cinta (hah?)
Sebungkus kusantap lahap;
sebungkus lainnya kuberikan teman-teman
Kekenyangan!
Surat besar-kecil pengap
kusimpan rapi
Lihatlah! Mereka kini
bersama hangat dalam kitab Assyifa
Ada lagi?
Sudah, jangan kirimi aku
yang macam-macam
Berikan saja dengan kenanga
pinggir sungai
Tentunya nyanyinya kan
getarkan seiisi penghuni raga
Berikan saja padanya
Ya?
18 Juli 2011
Sajak Perpisahan
Banyak yang ingin kupahat
Di dinding batu
Di atas senja yang enggan
menyapa
Tentang serantai kepedihan
hati
Tiada tumpuan punggung
Tak rebah bahu
Tuk saling bersandar
Kita yang memilih untuk
berbeda
Lalu, siapa yang akan kau
tuju?
Tiadakah sadar?
Jika berlabuh pada mimpi
Akan membuatmu mengakui
sesal
Mungkin tidak sekarang
Mungkin esok
Lusa
Besoknya besoknya besoknya
Atau entah kapan
Sampai akhirnya
Kau akan memuja elok
Pada robekan kalimat
usangku
Kekasih…
16 Oktober 2010
(Banjarmasin Post, Minggu, 17 April 2011)
Irama Sempoa Malam
seperti sepi
merdu rembulan senandung
sajakku
tak peduli ramai ocehan
awanawan
bersembunyi dalam pekat
indah manisnya pudar
seperti sunyi juga seperti
malam terhampar
semak tua nan berseri
tawa yang mengantuk
senyum tak mampu goreskan
memanjakan sedih
buat penyesalan semakin
sesak
sudahlah, sudahi saja
detik jarum jam begitu ria
ejek memaki
apa kau tidak malu?
adakah terlewatkan?
tentang sepetak riang yang
terlupakan
tatkala tepinya kita yang
lukiskan
cerah sewarna
kelap hijau rindu dedaunan
pun aroma sedap malam
rona lambainya lincah
menari-nari
di sini, pada sebait syair
malam
Desember 2010
(Media Kalimantan, Sabtu, 2 April 2011)
Serumpun Kerinduan
serumpun padi menuntun
rindu
mengangguk senja pada
ilalang
molek bintang tak
terlampaui
senyum bidadari; sentuhan
jemarinya
tetap tergantung dengan
keindahan
dikarena langit tak lelah
ungkapkan
meski sesekali mengeluh
mengusap peluhnya
membiaskan ke wajah pelangi
namun, setia bertopang di
pundak
keluasaan
serumpun padi menuntun
rindu
menunjuk tanya pada
belalang
adakah yang mampu menjawab?
tak seorang pun!
jika jenuh ikut bernyanyi
sementara rindu kau tumpuk
bersilang
pada balok-balok not yang
kosong
serumpun padi menuntun
rindu
sekalipun hati menyusun
pilu
entahlah…
Naung kesunyian, 11-10-2010
(Media Kalimantan, Minggu, 27 Februari 2011)
Nyanyian Arti
terangkai rongsokan kata
pun terlupa sobekan kalimat
semu hening ketegangan
waktu
namun, terus kata ungkap
berucap
meski tinta tlah lelah
mengalir
sejatilah tutur menemani
tatkala hati rona merajut
semi…
terangkai rongsokan kata
pun terlupa sobekan kalimat
tanya tenggelam mendayung
rindu
bukankah riang dhabit
ceritera?
luapkan suka nan bersilih
dahulu
beralih temu…
terangkai rongsokan kata
pun terlupa sobekan kalimat
hingga kini; mengapa henti?
rangkap meratap rundukkan
sepi
jenuh mulai sigap hinggapi
dan masih diam tanpa arti
hingga surat keraguan
menepi
sudahlah, laguku tak untuk
kau senandungkan…
Malam sunyi, 18 Mei 2010
(Media Kalimantan, Minggu, 2 Januari 2011)
Nb. dhabit = kata yang saya garis bawahi ini mungkin maksudnya habis,
mungkin juga tidak.
SMS
To : 140794231294
– Seperti biasa, malam
berlalu dengan seenaknya –
Sungguh, aku tlah
mencintaimu melebihi purnama yang kusebut
rembulan lima belas
Hanya itu.
Message delivered…
Bapak
Kuyakin air wajah bapak kan
lebih purnama dari semburat cahaya
manapun!
andai petaka batin tak
menimpa
tak terperikan sebelumnya
setahuku, kebahagiaan
takkan terbeli sepeser, setumpuk intan per-
mata yang kau milik
dan ketika ia singgah dalam
jangka waktu relatif singkat, sangat se-
bentar
dirinya pun terengguti
ketidakadilan yang entah dengan siapa ku
harus menuduhnya
lalu biarkan bapak
tersenyum dalam…
meski keinginan diri
menolak keras dengan putusan cara membaha-
giakan bapak
: Ibu baru
huh, entah apa jadinya!
aku diam
keterpaksaan, Juli 2011
(Banjarmasin Post, Minggu, 31 Juli 2011)
Setaman Tasydid
kususunkan di lekuk segulir
pepatah dhommah
terjerembab letih dalam
lingkar peraknya
luruh memangku pertanwin
kita di sana
pada fathah yang renggang
menopang keatasnamaan kita memeluk
keretakan hidup
dikarena rapuh tegaknya
bertahta meraung
sepertinya akan merajuk
sedangkan kau sibuk
menanyakan segala sesuatunya
di tamanku; di taman
tasydidtasydid
kini sebongkah jazam
rintang menghadang
bagaimana dengan kau?
membuat tutur berpikir
semakin sulit menjawab
hanya dalam kemenangan
i’rab
padahal serafa’ kuasa
teruntuh lantakan
menjepit diri; nafas yang
tlah fasalkan
sampai di sini?
esok, sampai hari ini?
mungkin saja
tanpa ada mad yang hapus
terintik berpatah-patah
dua jawab ujung kalimat
umpama kita dalam gurauan
kecil
serobek roti kerinduan
terbagi dua
rombongan teh manis pun
nasyidkan berlagu ria
gemulai lantunkan fa’ilun
mafa’ilun mendayu
tentu kau pun juga
mengerti…
menarilah!
dalam euphoria keindahan
yang mengatapi segala haru
kembali sunyi meremang tepi
gerik fi’ilnya selangkah
mundur menjauh perlahan
jangan peduli!
bukankah tlah riang dzauq
kita saling bercengkrama
hingga tiada yang rela
mendukaNya?
jika tetap inginkan,
baiklah
dan cukup akhiri teruntuk
hari ini
Kabisat dua, 28 Februari 2011
Beberapa pilihan puisi Muhammad Ansyar
dalam Teriakan
Bisu
Sangat Berarti
Cahaya mati
Dalam dimensi
lain
Gemuruh
bersama bagai musim
Sesal ditelan
ranting-ranting sepi
Membuat
hatiku habis
Jejak-jejak
mimpi kita
Semanis
senyummu yang tak bisa pudar
Hatiku sakit
mengenangnya!
Bayangmu tak
ubahnya senja
Tebarkan
beribu nuansa
Tak pernah
habis menawan rasa
Remuk dada
memanja pagi
Meski hujan
telah reda sebelum dingin…
Memang bukan
seperti mentari
Engkau hanya
pelangi
Namun sangat
berarti…
Penjara Suci, 12 April 2010
Berhenti Mencari Rindu
Aku tak
pernah mencari
Dirimu dalam
sudut mataku yang merah
Sebab
kupastikan,
Kau takkan
ada di sini
Untuk
mengantar tidurku
Walau hanya
suara
Aku tak
pernah mencari
Dirimu dalam
malam sunyi
Sebab aku tak
ingin,
tidurmu terusik
Oleh rinduku
yang mungkin tak menyentuh hatimu
Aku tak
pernah mencari
Meski nuansa
semakin pilu
Namun hatiku
tak bisa diam dan terus gelisah
Mungkinkah
kita hanya berdoa
Sedangkan
jiwa telah lemah karena rindu
Penjara Suci, 22-09-2010
Mozaik Biru
Burung-burung
berpencar
di langit
biru rendah…
Takbir
bergema
Darah
berdendang
Diselingi
belaian angin manja
Menghutang
senada doa
Menjadi sayap
malaikat
yang naungi
dunia
yang jinakkan
resah
Sungguh kan
kubawa hati ini menujuMu
Mengadu
kehabisan daya
Sebab dosa yang
terpupuk telah baka
Terukir sesal
lewat masa
Mengikis
mozaik mengharu biru menjadi asa
“Allahu Akbar Wa Lillahilhamdu”
17 November 2010
Suara yang Tersesat
Sebagai ombak
yang mengayun lanting
wujudmu terpencar menjadi riak dan hening
wujudmu terpencar menjadi riak dan hening
lingkup langkah-langkah
yang terkulai
begitu diri
berayun menyepi
terseret
gelombang,
tersesat di
antara buih yang letih
sebagai salah
yang menanti duri
senyumnya
melimpah damai
ulur tangan
lembut di sisi menyambutku yang hempas tersingkir
dan
pontang-panting dihajar badai
“dia yang
menangis,
aku yang
pergi”
dia yang
menanti dalam bunyi danau yang kering
dia yang
menanti di balik dermaga bisu yang berdesing
tegakah aku
merusak senyumnya lagi?
sebagai bilik
yang menampung duri
tak pernah
terkiaskan dalam memori
antara kita
yang bergelut di celah ini
ah, bukan
kita, cuma aku di sini
menyendiri
dalam getir
seperti metafor
yang kau kias dengan sepi
begitulah
mentari yang murung hari ini
seperti elegi
yang ia lukis dengan tangis
begitulah
awan yang kusam hari ini
dan hujan pun
menghapus pagi dengan dingin
mengubah
nuansa hari yang kita jalani
sungguh,
semua tak akan sama lagi
di ruang ini
bukan hanya kita,
ada mereka
yang tak pernah mengerti
10-10-2011
(Media Kalimantan, Sabtu, 14 Mei 2011)
Sakura di Padang Pasir
kutatap pagi
seperti senja semusim
hindari degup
yang terucapkan
meradang
bagai menelan pasir
tak bisa
mengata apa-apa
hanya
mengharap diri kembali
naas pergi
dalam mimpi saja
sedangkan
hati adalah sakura di padang pasir
“ternyata kau
hanya keajaiban yang merayu”
tersesat
terlalu jauh memasuki hidupmu
membuatku
mengerti:
“tak ada
seorang pun yang akan membiarkanmu
menangis”
senyummu yang
damai
serta
pandangan matamu yang teduh
adalah surga
dari semua degup yang kugantung
lukisan
abstrak di wajahmu itulah yang telah menimbun lukaku!
namun engkau
adalah obat
dari luka itu sendiri
bagaimana aku
bisa menjauh
sedangkan
luka ini kian parah
lalu harus
kuapakan ragu yang mendarah daging ini?
kumohon
padaMu ya Rabb
jika rasa ini
salah hapuskanlah
buat aku lupa
karena
perasaan ini sangat menyakitkan
kumohon
padaMu ya Rabb
jika rasa ini
benar mudahkanlah
buat ia
mengerti
karena aku
mencintainya dengan sabar
2 Juni 2011
Jalan
Jalan menuju
kesepian
Jalan menuju
kesedihan
Jalan menuju
kesengsaraan
Selalu
terbentang di sana
Tempat biasa
dirimu belajar berputus asa
Jalan menuju
keramaian
Jalan menuju
kesenangan
Jalan menuju
ketentraman
Selalu
terhalang di sana
Tempat biasa
dirimu belajar berputus asa
Entah siapa
dalang
dan ternyata
kaulah wayang
Bodohnya;
Cepatlah bangun!
menjauh dari
sana
Di depan, di
depan ada nirwana
27-07- 2011
Puisi untuk Orangtuaku
Itulah
ketakutanku Ayah, Ibu…
Yang datang
bak gelombang besar
Yang alpa
karena hasrat begitu nakal
Andai aku
bisa jujur
Air mata
tidak mungkin gugur
Namun di situlah
tubuhku, begadang sepanjang malam
demi
menyisipkan imaji dan rindu
Pada
kebebasan yang tampak jauh
Pada
keramaian yang tampak kabur
Malam ini, di
awal Ramadhan tahun ini
Kutahtakan
lagi nasehat-nasehatmu
Janganlah
marah padaku Ayah, Ibu…
Karena hati
anakmu ini begitu rapuh
31-07-2011
Ambigu
adakah
mengerti bahasa rapuhmu kupu-kupu
walau dua
bunga tak mampu mekar layu
biar saja
bunglon asyik dengan samaran palsu
toh, tetap
tampak beda wujud dengan kayu
adakah sadari
bahasa rapuhmu kupu-kupu
walau menjadi
wujud Ca-Nu
baik sebelum
semua sayu
tetap saja
jejak luka bagiku
kupu-kupu
tetap rapuh
meski terbang
tinggi kan jatuh
menjadi
bunglon antara mata manusia
bagai kesan
tak berguna
tetap saja
bahasa rapuhmu kupu-kupu
tatap
bunga-bunga layu
Binuang, 25 April 2011
(Media Kalimantan, Rabu, 18 Mei 2011)
Kau Memaksaku
kau memaksaku
mengemas ilung
sampaikan
pesan untukku
lewat mawar
di belakang lantingmu
apakah belum
terkena ombak?
kau memaksaku
mengemas ilung
sematkan
mimpi untukku
lewat lubang
di jukungmu
masihkah
karam pabila senja?
kau memaksaku
mengemas ilung
bukan elang
yang menatap pusara
01 Juni 2011
Beberapa pilihan puisi Zian Armie Wahyufi dalam Teriakan Bisu
Banjarbaru-Marabahan
Jalan pulang lebih panjang
Di sini musim tak mau berganti
Kami lahir, lalu mati
Sawah kami terbakar darah
Sawah kami tak juga berbuah
Jagaku tergopoh, ke hutan yang kosong
Ingin hujan lekas bertemu: aku rindu
Sepasang sepatu
Masih mengecap peluhku
Bagaimana dengan tanah dan lumpur yang menuakan kita?
Ada yang bergemeletuk
Ada langkah tersaruk
Lampu kota dinyalakan
Kugilas busuk di lembaran-lembaran koran
Aku keluar rumah
Ada pekat
Ada suara menyalak
Di lazuardi, batas kota semakin samar…
Mandastana, 17 Juli 2011
(Media Kalimantan, Sabtu, 23 Juli 2011)
Seorang Wanita
Ia datang kepadaku
menggebu-gebu
“Terbitkan puisi ini!”
Ia datang lagi kepadaku
menggerutu
“Puisiku telah dirampas!”
Ia terus datang kepadaku
mengacung sebilah mandau
“Puisi berarti darah!”
Ia tak pernah datang lagi
meninggal sepucuk surat
“Aku hanyalah puisi… hanya puisi…”
Mandastana, 31 Juli 2011
(Banjarmasin Post, 7 Agustus 2011)
Tentang Gelombang
Lalu tangis kita pecah
Pada laut, yang tertanam dalam pelarian kita
Sauh yang diangkat
Lengang panjang desir angin
Kita tercerabut, karena jatuh cinta terlalu cepat
Sekejap isapan sebatang rokok di siring sungai
Sungai itu kini bergelombang
Akan kau layari samudraku
Siang malam akan menjadi satu
Mandastana, 22 Mei 2011
(Radar Banjarmasin, Minggu, 10 Juli 2011)
Tentang
Ini tentang keakanan
Pada waktu yang entah kapan
Tentang dongeng kesetiaan
Pada cinta yang kau lupa telah dedahkan
12 Mei 2011
(Banjarmasin Post, 7 Agustus 2011)
Secangkir Teh di Malam yang Berkabung
Biar kupinjam lelah penatmu yang tergulir pada paragraf-paragraf
yang belum selesai
Tua menghitung waktu demi waktu berlumur teh
Karena giliranmu telah sampai di titik kulminasi paling
rindu
Seperti kata dalam benakmu
Seperti bias senja, sebelum hujan satu persatu membasuh
hatimu
Lantas, pertanyaan lama itu bisu kembali
Dan sungai menggiring senja ke muara
Kemudian, diam-diam aku melipat malam!
Mandastana, Februari 2011
(Media Kalimantan, Minggu, 3 April 2011)
Aku Ingin Tidur
Apa yang tertinggal darimu
selain jalan aspal yang semakin berpasir
serta atap kamarku yang bertambah bocor?
Sesudah isya ini
tak ingin lagi kubaca semua
Menghanyutkanmu dari mimpi
Telah membulat dalam dada
Menghentak kata yang merajam
Meski, pagi tadi wajahmu kembali menyeruak
Hingga perih
Belum juga membawa angin
Angin yang menyesak di sekujur tubuh
Angin yang melemparku sebelum aku shalat subuh!
Bernyanyilah…
Aku ingin tidur saja!
Mei 2009
(Literasi edisi II)
Setahun Setamat Pesantren
Memangnya masih penting aku menyimpan peci?
Lalu jas siapa puluhan juta ini?
Dan paha-paha menganga di TV dan jalan, bukan?
Serta pantat yang menyembul itu, kawankukah?
Ohoi… itukah eskapisme?
Sinetron-sinetron itu, iklan-iklan itu, Duta Mall itu?
Di mana aku?
Siapa aku?!
Mandastana, 24 Juli 2011
(Banjarmasin Post, 7 Agustus 2011)
Satu Senja di Tepian Barito
Bayang-bayang telah meregang
Menahan sesak sebelum malam
Ah, boleh aku bertanya?
Kala kulihat kebekuan luka
Masihkah kita mencicil duka?
Sungai Barito yang bisu
Yang menjingga serupa masa lalu
Sesal ditelan kenangan seperti jejak-jejak ilung
Aku menoreh harap, meski hati berwujud sendu
Sesal angin yang kuuntaikan dengan tasbih
Riak sungai merangkul jiwaku yang kecil
Ke mana kau pergi?
Aku menggigil dalam sunyi
19 Nov 09
(Radar Banjarmasin, Minggu, 20 Desember 2009)
Tet Tet Tet
Sejadi siang tanpa hujan
Keranda mayat nan elok melukis mantra
Siapa yang berlari di tengah sawah
Di reruntuhan langit
Rokok mengepul, anak-anak melompat ke sungai
tet tet tet…
oh, sms yang itu lagi
“pagi layu, purnama mati”
Juli 2010
(Media Kalimantan, Minggu, 3 April 2011)
Aku Adalah …
Aku adalah kata-kata yang takkan selesai
Aku adalah deretan kalimat yang bertaburan laksana debu
Aku adalah sebuah cerita, di mana kau bersembunyi di
sana,
di sudut-sudut yang mengantar mimpimu
Aku hanyalah tulisan pada sehelai kertas buram
Aku cuma mencoba membuat jembatan,
dalam pikiran-pikiranmu yang tak pernah kumengerti
Kembang Habang, 13 Mei 2010
(Literasi edisi VI)
Tentang Imam Budiman
Imam Budiman lahir di Samarinda, 23
Desember 1994. Sewaktu kumpulan puisi ini terbit, masih mondok di Pondok
Pesantren Al Falah Banjarbaru. Karya puisinya di muat di Banjarmasin Post,
Radar Banjarmasin dan Media Kalimantan.
Tentang Muhammad Ansyar
Muhammad Ansyar lahir di Binuang, Kab.
Tapin, 15 September 1994. Juga masih mondok di Pondok Pesantren Al Falah
Banjarbaru. Karya puisinya di muat di Koran Media Kalimantan. Cerpennya
turut dibukukan dalam antologi cerpen bersama Tembok Suci (Mingguraya
Press, 2011).
Tentang Zian Armie Wahyufi
Zian Armie Wahyufi lahir di Rantau,
Kab. Tapin, 25 Juni 1991. Sewaktu kumpulan puisi ini terbit, ia telah setahun
meninggalkan Pondok Pesantren Al Falah Banjarbaru. Melanjutkan studi S1
Keperawatan di STIKES Muhammadiyah. Sewaktu mondok, mendirikan Forum Pena
Pesantren bersama rekannya M. Noor. Karyanya pernah dimuat di Banjarmasin Post,
Radar Banjarmasin, Media Kalimantan, Serambi Ummah. Memiliki blog http://zianxfly.wordpress.com
Catatan Lain
Ada “Sedikit
Pengantar” yang ditulis oleh tiga “jomblo”—setidaknya itu istilah terkini dari
pengertian yang positif dari kata jejaka atau bujangan— ini. Di tulisan
sepanjang 1 halaman itu, terungkap bahwa buku ini merupakan kado dari ulang
tahun Forum Pena Pesantren, yang berdiri 20 Agustus 2007. “Kami sadari,
tidak ada yang istimewa dari karya-karya kami ini, namun inilah sudah yang bisa
kami hasilkan sampai saat ini.” Nah lho. Kemudian di bagian akhir buku, muncul
tulisan Zian dengan judul Empat Tahun Perjalananmu, Sebuah Teriakan Bisu.
Tema tulisan itu tentu tentang pasang surut Forum Pena Pesantren. Teriakan
Bisu merupakan buku kedua yang dihasilkan Forum Pena Pesantren, setelah
Kumpulan Cerpen Tembok Suci (April, 2011). Sampul belakang memuat puisi
Zian “Banjarbaru-Marabahan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar