Senin, 04 April 2016

Irwan Bajang: KEPULANGAN KELIMA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Kepulangan Kelima
Penulis : Irwan Bajang
Cetakan : I, April 2013
Penerbit : Indie Book Corner, Yogyakarta.
Tebal : 81 halaman (29 puisi)
ISBN : 978-602-7673-84-7
Editor : Anindra Saraswati
Ilustrasi isi : Octora Guna Nugraha
Lay out : Irwan Bajang
Musik : Ari KPIN
Desain cover : Octora Guna Nugraha, Ahmad Sauki

Beberapa pilihan puisi Irwan Bajang dalam Kepulangan Kelima

Histeria: Sebuah Sajak untuk Edvard Munch

aku bertanya, kenapa kau berteriak?
tapi kau tak menjawab, kau berlari, menangis, dan tak berhenti menjerit

katamu kau melihat bayangan serigala di angkasa
pada senja yang merah saga

kapal-kapal terbakar
tenggelam bersama kematian awak dan hantu penjaganya

Edvard Munch, Edvard Munch,
jangan menangis, meskipun hujan menderas dalam kepalamu
jangan takut, meski ada dua hantu menguntit ingin membunuhmu

di jembatan yang tua dan renta, aku masih menyalakan sebatang rokok
sisanya kau isap sendiri sambil gemetar tersedu


O

Kerap kali harus kutunggu
malam datang
mengirimkan kabut dan sepoi angin ke halaman rumahku
juga bisik-bisik ganjil yang kadang  tak pernah bisa aku pahami
sebelum kutuliskan sebuah puisi padamu, ibu

Malam ini,
Jendelaku menggigil berangin-angin

Tiba-tiba
kuingat kampung halaman
aku rindu tembakau, sungai, padang rumput, pancuran,
serta aroma pepohonan,
juga pagi serta malam-malam masa kecilku

Kuingat satu per satu nama sahabat
kubuka dan baca satu per satu kenangan

O, tanah sejauh ini
tanah sejauh ini

aku rindu kampung halaman

Jogjakarta, Mei 2010



Antologi Pertanyaan

Apa yang akan kita kemas dan bawa pergi?
Ingatan, ataukah sebuah sajak rindu dan dingin pagi?

Pagi turun perlahan, bersama angin dan dingin menulang

“Mereka baru saja bangun
Mengemasi malas juga lelah
Mengayuh sepeda untuk bekerja
Sementara aku yang mabuk, mendongak langit timur bercahaya,
dengan mata yang luka”

Jogjakarta, Desember 2009


Reinkarnasi

telah ribuan tahun aku mencari
menelusuri sembari memburu lewat reinkarnasi
sejak kakek buyutku berkali-kali menjelma puisi
menjadi laut, batu, pohon
juga kelelawar
betapa rindu aku pada perjamuan suci kita

kucari kau sembari menulis jutaan kitab suci

aku menjelma batu, kau menjelma ilalang
aku jadi rimba, kau meraung jadi harimau
aku berubah laut, kau merupa pasir
aku menjelma kabut, kau membumbung bukit
aku tumbuh berpohon, kau menitis awan
betapa serasi hidup kita
yang tak pernah berdekatan,
meski sangat mungkin untuk berpelukan

ooh…
kau yang aku buru beribu-ribu tahun
pada bangkai malam
juga panas yang merayap di kulit berkeringatku
ratusan bahkan ribuan kali reinkarnasi
kuburu kamu
meski pertemuan kadang tak berani aku resapi
aku lahir di tigris
tumbuh di andalusia
mengalir di jawa
menetas di bali
bergulung di antartika
menggigil di eropa
mampus aku di gaza
bangkit lagi aku di kutub utara

aku telah melebur menjadi api, memanjat gunung menjadi angin
menapaki sungai dengan menjelma air

oh, tuhan…betapa rindu ini
rindu semesta jauh sebelum masehi
semenjak kita berjanji untuk berpisah setelah aku makan khuldi

Jogjakarta, 23 Maret 2009


Tak Ada Jalan Menuju Rumah
: Pramoedya Ananta Toer

“Tidak, Bapak, aku tak akan kembali ke kampung. Aku mau pergi yang
jauh” (Gadis Pantai. hal. 269)

Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah
Pulang ke teduh matamu
Berenang di kolam yang kau beri nama rindu

Aku, ingin kembali
Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman
Memetik tomat di belakang rumah nenek.
Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku,
Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur
Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi

Aku ingin kembali ke rumah, Ayah
Tapi nasib memanggilku
Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi
Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata

Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolaknya
Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah
Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah
ada

Maka aku menungganginya
Maka aku menungganginya

Menyusuri hutan-hutan jati
Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya
Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa
Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota,
Mencipta banjir dari genangan air mata

Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata,
mata mereka menyeret banjir
Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi
dan bangun pagi
Hujan ingin bercerai dengan banjir
Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia

Aku tak bisa pulang lagi, Ayah,
kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya

Orang-orang datang ke pasar malam, satu per satu, seperti katamu
Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya
Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia,
sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia

Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di
pelananya

Jogjakarta, 6 Februari 2012


Bocah Pencuri Buah

1
Bocah kecil,
susah payah ia tebak
apa sebab mulutnya tiba-tiba aneh dan bengkok ke kiri saat bicara
“kau kena sempengot!*” neneknya marah dan menjewer.
“Dasar anak nakal, kau pasti mencuri buah di kebun orang.
Rasakan sekarang, sihir itu kena ke mulutmu. Pengot kamu!”

Maka bocah kecil itu menangis sejadi-jadinya
Dibayangkannya kelak sampai jadi bapak-bapak
Mulutnya tetap saja bengkok
dan ia tak bisa menghilangkan
kutukan kenakalan masa kecilnya

2
Dua puluh tahun setelah itu
Kini ia mematut-matut diri di depan cermin
Sebab nenekda dan mempelai wanita
telah menunggu untuk menikah sore ini
Dilihatnya bayangan wajah dan mulutnya di seberang sana
Lalu ia tersenyum
Sembari dikenangnya seorang kiai buta
menyemprot mulutnya dengan air bekas kumur
Sebagai penolak bala
sihir sempengot yang ia terima

Mei, 2010
* Sempengot (bahasa Sasak: pemiring/pembengkok). Sebuah sihir kuno di Lombok, biasa dipakai petani untuk melindungi tanamannya dari pencuri usil. Mulut orang yang memakan buah dari tanaman yang telah dijampi akan miring dengan sendirinya, terutama saat berbicara.


Rinjani: Perawan Bersungai Susu, Juga Bertelaga Segara

Menapak jejak-jejak para pembuka jalan
adalah sebuah petualangan
yang sungguh sangat menyenangkan
untuk seorang pemuda sedang jatuh cinta sepertiku

Menyimak dendang patukan pelatuk pada pohon-pohon cemara
bagiku adalah serupa gubahan lagu semesta luar biasa

Dan mengendus wewangian alam raya yang perawan adalah mimpi
masa kecilku yang lugu

Rinjani, di benakku adalah nama perawan
Perawan bersungai susu,
juga bertelaga segara
Edelweismu kembang Andarnyawa
Tak pernah ada perawan semanis ia

Berjalan pagi di pundaknya adalah serupa mengembara
jauh di tanah tak bertuan

Di bawah gerimis bulan Februari,
di punggungmu kutulis sebuah sajak untuk Dewi Anjani
perempuan yang nun jauh menantiku pulang
bersama kembang Andarnyawamu

Mei, 2009


Impresi

Duduk di bawah jam dinding yang berdetak
ada suara yang masuk melesat
kemudian menabuh gendang-gendang telingaku semaunya
Ia kukuh membawaku pada masa silam
Tanpa peringatan,
menerobos dan mengintimidasi
Dipaksanya aku percaya, bahwa ia dan akulah pemilik suara itu

Di luar, hujan gerimis menderai halus pada daun dan cabang pohon
merembes lewat kaca jendela
bersama sisa semilir dan dingin angin
Sementara bulan yang merah muda
menyinar ke dalam kamar, membias gerimis
mencipta melankolia yang durhaka

Aku tak bisa menyaksikan apa-apa
setelah luka yang lama
dalam perjalanan rantau yang juga lama
Setelah batu yang beku
tak lagi bisa kutafsirkan sebagai obat waktu

Aku menutup luka yang ngalir
meraba dada yang bata
panas terbakar api berlama-lama

Ketika jam dinding mulai terdengar berdetak
menepikan sepi, dingin, gerimis, dan angin malam-malamku
Tiba-tiba kutemukan lagi suara itu
kini mengalir lunglai perlahan
meminggirkan aku, menepikan bisu
suara yang semakin tabuh dan makin riak meliat dalam telinga
yang belakangan aku tahu
: suara ibu dan masa kecilku

Jogjakarta, Juli 2010


Merah Padam Wajahmu

Merah padam wajahmu,
kusaksikan tak ada jejak
apa pun tertinggal

Kenapa, sayang?
Apakah sebab
kau memang tak pernah paham pada dirimu
atau aku yang tak ingat sejarahku?

Hei, lihatlah
kota-kota sudah tidur dan mengabur
Malam-malam berlarian di kepala kita

Merah padam wajahmu
biar kuselami dan kucari
jejak jejak perjalanan yang tak bisa terlupakan

Malam malam begini
o, malam-malam begini
Merah padam wajahmu

Jogjakarta, April 2010


Rumah yang Terbakar
: jigsaw

rumah kami habis telah terbakar
sementar kalian hanya tertawa

orang-orang berduyun
melintas di halaman
tak melambai, tak tersenyum dan tak pula bicara
mereka pergi
mereka pergi

tak ada lagi yang tersisa
bahkan mimpi pun mereka bawa serta

lihatlah
serigala-serigala hutan dan serigala-serigala kota segera datang
memangsa kami
ke mana lagi kami harus pergi?
kampung kami terbakar
tanah kami ditembok,
mengepullah asap dari cerobong
sementara kapal telah jauh berlayar, telah lama pergi

ke mana lagi kami pergi?
kami tak pernah punya tanah di seberang
inilah surga kami yang terbakar
inilah tanah kami yang hilang

hey nenek moyang, inikah contoh kepergian memilukan yang kalian
dongengkan dulu?
kami belum siap, sungguh belum siap
bangunlah dari kuburmu
turunlah dari gunung-gunung
keluarlah dari batu, dari pohon
dongengkan lagi pada kami
dongeng tentang kapal, tentang pantai, tentang rimba juga sawah
ladang kami

tak ada lagi yang tersisa
bahkan mimpi pun mereka bawa serta

Jogjakarta, Desember 2010


Berputar dalam Mimpi

Pada siang yang panas dan terik, bersama matahari
kucari namamu
di sela-sela keringatku

Juga pada malam yang hening
bersama suara jangkrik
dan desah angin sepoi-sepoi
aku berputar dalam mimpi
mencari namamu

Lalu, di pagi yang dingin
masih dengan selimut dan gigil tubuhku,
aku temukan kau telah berlari lewat mimpi di kepalaku

Jogjakarta, Oktober 2009


Mari Jabat Tangan dan Berbaikan Lagi

di rimba raya puisiku
lambang cinta berwarna senja
telah menjadi matahari

tetap saja kupaksa diriku untuk mengejarmu
kudatangi kau di terminal-terminal, sepi
di stasiun-stasiun, lengang

perjalanan ini seperti perburuan
aku mengejarmu
mataku tak banyak menangkap

tetap saja aku berlari
sembari mengeja peta-peta suci
sembari memanggil, namamu, namamu, namamu

o, mari jabat tangan dan berbaikan lagi, tuhan
sebab di rimba raya puisiku ini
namamu tak urung selalu aku eja

2009


Kepulangan Kelima

1
Melewati depan rumahmu,
lampu desa yang remang mengejekku
halimun turun perlahan
menjadi selimut sepi yang menakutkan
membawa lari
rinduku pada perjumpaan

Seperti jalan protokol
pukul 10 pagi di Kuala Lumpur
Kau berkejaran, ingar bingar di kepalaku

Ini adalah kepulangan kelima
sejak tumbuh jakunku dan mulai bersemi kumisku
sejak takdir remaja desa
mewajibkan kami yang belia, merantau
mencari makan di tanah orang

2
Di tanah kelahiran
kepulangan dari rantau, hanya mengajakku terheran-heran
Masjid-masjid yang besar, kebun tebu tetangga yang kian kering
rumah-rumah penduduk dengan listrik yang selalu padam
pukul enam petang

Tapi ketahuilah
tak ada yang berbeda dari setiap kepulangan
meski kepulangan melahirkan pengalaman baru yang menyesakkan
rindu inilah
rindu inilah yang tak pernah padam, Aria

Kau menikah dan telah beranak pinak
sementara aku,
lihatlah wajah adik dan sepupuku
wajah yang makin asing, bahkan bagi lelaki pergi seperti aku

3
Malam makin deras
tanah basah
pada Februari yang suka sekali mandi

Aku datang kembali, Aria
rombonganku telah melewati semuanya
: jalan-jalan gelap, listrik-listrik yang padam
Juga jalan aspal yang bolong di depan rumahmu

Seperti usia remaja dulu, aku ingin datang lagi
kujemput kau dalam malam pertama mimpi basahku
usai kita berciuman di kebun tebu milik tetangga
sebelum akhirnya
gerombolanku gagal menculikmu sebagai istriku

4
Tapi, rantau? Tak ada lelaki satu pun di desa kita yang bisa menolak
rantau
hijrah ke Malaysia, Korea atau Saudi Arabia
sekadar jadi kuli hotel dan rumah tangga
atau buruh kelapa sawit dan menggantung nyawa

Masih kuingat kiriman surat terakhirmu
“kau selalu boleh berharap, tapi harapan dan kenyataan,
memang sungguh bukan rumus matematika”
Lalu kukirimkan balasan terakhir untukmu
“tak ada yang bisa mengkhianati kenangan
meski kita telah gagal menyelamatkan perasaan masing-masing”

5
Baiklah,
memang tak ada yang bisa kujanjikan
tak pernah ada kata pasti juga kepulangan yang punya jadwal
tapi jangan risaukan aku, Aria
di kepulangan kelima ini aku telah belajar tabah
belajar tulus dari banyak perjalanan

Hiduplah yang tenang
pergilah dan pergilah
mari kita pasang lambaian-lambaian
waktu adalah saudara kembar kenangan
padanya, telah kususun rapi segala rahasia dan ingatan

6
Tanah ini kelak akan selalu melarikan kita pada ingatan
: ciuman-ciuman rahasia
serta pengkhianatan api muda kita yang selalu jadi rahasia

Dan inilah kehilangan itu, Aria

7
Di album lama ini
masih tersisa wajah berahi kita yang remaja
menantang masa tua
yang akhirnya akan kualami sendiri

Lombok-Jogjakarta 2011


Tentang Irwan Bajang
Irwan Bajang lahir di Aik-Anyar, Lombok Timur, 22 Februari 1987. Setamat SMA 1 Selong, ia merantau ke Jogja dan menamatkan pendidikan Ilmu Hubungan Internasional di UPN “Veteran” Yogyakarta. Bukunya: Sketsa Senja (puisi, 2006) dan Rumah Merah Kita (novel, 2008). Karya-karyanya juga termuat di beberapa antologi bersama dan dipublikasikan di situs media online. Saat ini masih tinggal di Jogjakarta dan merintis sebuah taman bacaan rakyat di kampung halamannya di Lombok Timur. Pemimpin redaksi Indie Book Corner.


Catatan Lain
“Saya sempat ingin membatalkan penerbitan buku ini, dengan alasan keraguan pada puisi-puisi saya. Namun demi mengingat beberapa orang yang sudah sangat membantu, niat itu saya urungkan,” tulis Irwan di Catatan Penutup. Saya kira, tak banyak yang diungkapkan di tulisan itu selain ucapan terima kasih, permintaan maaf atas keterlambatan dan sedikit kemalasan menerbitkan buku ini dan pengakuan. Ya, pengakuan. Seperti terbersit di kalimat berikut: “Saya tidak rajin, saya malas, dan saya selalu gagal menjadi seorang penyair yang mengabdikan diri penuh pada puisi...(hlm. 72). Hehe. Kira-kira begitu.
Oya, jika kita beli buku ini, maka kita akan mendapatkan audio CD yang disimpan di sampul belakang buku bagian dalam. Playlistnya, secara berurut, Kepulangan Kelima, Berputar dalam Mimpi, Bangun Tengah Malam, Kamar, Pagi Insomnia…, Sajak O, Rinjani, Mari Jabat Tangan dan Berbaikan Lagi, Merah Padam Wajahmu, dan Reinkarnasi 2. Total ada 10. Menurut informasi di buku, album kepulangan kelima direkam di Sanggar Ari KPIN di jl. Lembah Sariwangi no.5 Bandung.  
            Para pendukung Ari Kpin (pelantun vokal utama, komposer seluruh karya), Irwan Bajang (deklamator, penulis lirik), Egi Rachmadi (bass), Krisdianto Pangestu (gitar elektrik), Firman Yoes M (harmonika), Deri S. Hamzah (perkusi) dan Rizqi Aji P (gitar akustik).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar