Data buku kumpulan puisi
Judul
: Catatan Sunyi
Penulis : Monika
N. Arundhati
Cetakan
: I, 2014
Penerbit
: Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tebal
: 118 halaman (63 puisi)
ISBN
: 978-602-9187-88-5
Ilustrasi
sampul dan tata letak : Christopher A. Woodrich
Prolog
: Budi Kleden
Epilog
: Christopher A. Woodrich
Beberapa pilihan puisi Monika N. Arundhati dalam Catatan
Sunyi
Ladang Musim Hujan
Nenek, musim kemarau beranjak pergi akhir bulan lalu.
Hujan
datang dari selatan melewati dusun kecil kita di kaki
gunung.
Batang-batang kemiri dan kopi dihijaui lumut. Pucuk-pucuk
ubi
kuning, merah dan ungu merekah malu-malu.
Nenek, berikan cangkul padaku, mari kita gemohing
di ladang.
Ingin kuratakan ladang yang subur serupa dada montok,
menanam benih padi dan jagung sampai siku penat sambil
nyanyikan bejo hingga bercucuran keringat.
Nenek, aku rindu kehangatan vetak sewaktu senja
tenggelam di
balik malam, aroma kotaklema bakar dihembusi angin
ke puncak
sunyi Labalekang. Ricik mata air di timur ladang
mengantar
pertemuan gaibku dengan Buka Barek. Ia tengah
menyusui ular
sembari mengunyah sirih-pinang.
Nenek, hujan turun lagi malam ini. Aku tergelincir dalam
kenangan masa kecil. Sejak kau pergi ke Bobu dan
tak lagi
pulang, seekor kupu-kupu putih hinggap di kelambuku tiap
malam.
Nenek, sekarang musim hujan. Apakah di duniamu juga
turun hujan?
Jogja, November 2013
Ø Gemohing: Sikap kerja sama atau
gotong royong dalam kesempatan membuka
kebun baru dan panen hasil.
Ø Bejo: Nyanyian saat menanam
padi atau jagung
Ø Vetak: Pondok ilalang di tengah
ladang,
Ø Kotaklema: Daging ikan paus
Ø Buka Barek: Dalam legenda masyarakat
Lamabaka, Kabupaten Lembata, Buka Barek adalah istri ‘wai natan’ (jin penghuni
mata air yang berwujud seekor ular)
Ø Bobu: Sebuah tempat yang indah
dan penuh kedamaian, tempat jiwa-jiwa bersemayam
Ø Kupu-kupu putih: Jelmaan roh
leluhur yang datang mengunjungi keluarganya
Inkarnasi
Waktu kecil, aku senang
mengejar kupu-kupu putih
yang masuk ke rumah.
“Jangan kautangkap.
Kupu-kupu itu mendiang nenek
yang turun dari surga untuk
mengunjungi kita.”
kata Bapak.
Waktu terus berlalu. Aku
terus tua dan menjelma kupu-kupu.
terbang mengitari rumah
tanpa pernah dihiraukan.
Pelabuhan
Matahari tenggelam di teluk
mata-Mu,
di atasnya jiwaku berlayar
tenang
Menggagas tiap riak sebagai
rangkaian doa.
Kutambatkan perahu pada
ranting-ranting sujud.
Menelusuri belantara sunyi
untuk menjumpai-Mu.
Oh, jadilah Kau telaga
tanpa dasar,
Mengganti cintaku yang
dangkal dan berbatu.
Pulang
Kau bentuk aku dari tanah
Teramat ringkih dirapuh
waktu
Satu embusan nafas-Mu
Aku terurai jadi debu
Waktu maut meniup
sangkakala
Aku akan pulang sambil
menari di jalan sunyi
Untuk masuk dalam kobaran
api cinta-Mu.
(22.16)
Isyarat Bulan
Lewat jendela, bulan itu
datang membawa sekeranjang hujan
dan kabut. Mungkin ia
melihat; bercawan-cawan anggur
tak habis-habisnya kureguk
dahaga,
dan aku menggelepar di
tengah gelap.
Bulan masuk dengan
senyuman, seperti menyimpan
ribuan isyarat. Seperti
menggoda dan memancing air mata,
bertanya ia;
“Sudahkah engkau siap?”
Maka seketika menangisku.
Seperti langit menangisi bumi,
menumpahkan duka hari-hari.
Maka menangisku. Nyanyi dan
kutuk mengalir berserakan.
Air mata terus memanjang, berliku-liku,
merambat ke rumpun-rumpun
cemara sebagai tobat.
Kegelapan di mata ikut
mengalir menuju muara damai yang
sudah lama kunanti.
Bergegas kulipat suara, dan
mendirikan rumah doa.
Aku dilahirkan kembali
Dalam sunyi.
Yogja, 13 Desember
2010
Catatan Sunyi
Lewati lorong malam,
membasuh senyap subuh
Dingin
Angin
Sehelai daun jatuh.
Sunyi.
09.09.2011(02.55)
Lelaki Kayu
Ialah lelaki yang terpahat
dari batang jati terkokoh
dengan wangi cendana.
Tubuhnya berukirkan tatapan
teduh, senyum damai
juga hati penuh belas
kasih.
Ia adalah lelaki yang
dipelitur
Dengan campuran tiner cinta
dan sekaleng penuh vernis
ketulusan.
Tangan kanannya menggenggam
palu,
anggrek di tangan kirinya.
Ia menjunjung langit dan
memeluk bumi.
Lelaki itu Bapak.
Bengkel Kayu, Juli
2011
Dua Sajak Tanpa
Judul
1
Hatiku sehelai daun gugur
Biarkan ia sejenak singgah
di pekaranganmu
Jika angin kemarau
berhembus
Dengan ringan kutinggalkan
engkau
Mengembara menuju tanah
yang lain
2
Ada gemerisik guguran
daun-daun
Luruh sunyi dihembus angin
senja
Ia melayang jatuh di
halaman hatiku
Terkapar sepi pada bebatuan
bernama rindu
Mazmur
Padang rumput tempat gembalakan jejak jiwaku adalah Kau
Di situ ada tetes embun, harum rumput liar, dan gemerisik
damai.
Tumbuh pula rumpun perdu yang rantingnya menyimpan teduh
dan kicau burung
Aku menjelma rusa, mencari pancaran air.
Kutemukan telaga bening; sebuah genangan sunyi tanpa riak
Lalu aku tenggelam di situ, di telaga teduh dekapan-Mu.
Di dataran telapak tangan-Mu aku mengembara tanpa henti,
Menyusuri garis-garis sungai sedih bahagia.
Tiap garis adalah makna; menuntunku menuju muara bernama cinta
Pada lengan-Mu kulukis jejak hidup; gurun tandus,
ilalang,
bunga-bunga rindu, semak berduri, hujan dan badai.
Duhh, Kekasih
ruang yang memisahkan kita ini hanya sebuah tanda koma
Sebab matahari akan pergi mempersembahkan malam sunyi
Hanya untuk kita berdua
Narasi Amplop Hitam
aku lahir dari gelap
rahimmu
yang menyimpan cahaya dari
waktu ke waktu.
Wangi madu buah dadamu
merahkan denyut nadi,
menyambung satu demi satu
nafasku yang berlepasan.
Di telaga matamu tergenang
semesta kehidupan berdebu.
Jutaan sakit terkubur di
sungging senyummu.
Luka-luka kau simpan hingga
membangkai di sudut jiwa.
Gelap jalanku menjelma
embun yang gugur dari matamu
sebelum fajar.
Waktu tergesa pergi.
Senja datang mengantar
sehelai amplop hitam darimu.
Di dalamnya ada gemuruh
ombak, jerit sendu dan beberapa tetes
air mata.
Aku pulang dari kota
terjauh, memikul sekeranjang sesal.
Hendak kujamah ampunmu.
Tapi kau telah memilih
kembang merah, lembab tanah,
serta wangi nisan kayu.
Yogyakarta,
Mei 2009
Mimpi Sederhana
Bulan merayap ke langit, tersendat di antara awan pekat,
Sekelompok kelelawar beterbangan luruhkan daun jambu di pekarangan
Di atas dipan bambu, berbaring aku menikmati wangi manis buah
jambu.
“Jangan bermimpi menjadi orang kaya;
banyak harta, tidur tak nyenyak hidup di atas bara”
nasihat bapak sambil memetik sape’.
Sehembus angin datang membawa dentingannya ke
puncak-puncak pepohonan.
“Milikilah hidup sederhana, tenang, dan penuh kasih.”Ibu berpesan.
Mata dan bibirnya bercahaya diterangi pelita yang mulai redup.
Dentingan sape’ mulai samar terdengar.
Aku terlelap dalam mimpi sederhana;
membangun Rumah Panjang di tepian sungai,
meramu hidup dari daun dan buah-buah hutan,
merangkai mahkota dari bunga-bunga liar,
menari bersama burung enggang di atas rumput hijau.
Hutan yang lembut dan teduh akan menyelimutiku dari
kebisingan dan hiruk-pikuk zaman yang datang dan terus melaju
pergi.
(27/4/2-13-1.48)
Sape’: Alat musik petik tradisional kalimantan
Sketsa
1
Jangan pergi membawa
bayanganmu,
tinggalkan saja di sini.
Sesaat lagi lonceng kapel
berdenting
di saat itulah bayangmu aku
sketsa
dalam doaku senja ini
2
Tak letih-letih aku sketsa
bayangmu,
namun tak pernah selesai
menjadi lukisan.
Lalu kubunuh diriku dan
dengan darahku kembali
kusketsa
bayangmu.
Tiba-tiba di atas kanvasku,
Muncul lukisan suci; tarian
penyaliban manusia!
Requiem
Pada sisi lelehan waktu
Hari kian menua
Nafas lelah mengalir
Disela katup mata
Sunyi
Tiada bunyi
Saatnya beristirahat
Di pembaringan
Terakhir
Lilin
Engkau adalah lilin, Mama
Yang membakar sedikit demi
sedikit dirimu
untuk menerangi ruang
gelapku
Kosong
Kita pernah sampai di sana;
tanah lapang yang aman
mencoba sembunyi dari sorot
matahari yang diam di balik awan
Di situ, kita semai rindu,
menanam cinta
tak peduli malam pun siang
Benih tumbuh menjadi pohon,
buah-buah ranum rekah
menggiurkan.
Kita reguk manisnya dan
jadi mabuk.
Oh, apa yang dirasakan
setelahnya?
Manis berubah jadi tawar
Dan kita diam dalam
kekosongan.
Jogja, 19/09/2012
(12:31)
Hidup
Kususun mimpi demi mimpi
Kaulah dasar sekaligus
puncaknya
Segala yang lain adalah
tiada
Ruang Hening,
11/08/2012 (14.10)
Puisi
Sungai makna
Yang mengalir
Dari mata air jiwa
Jogja, 2010
Tentang Monika N. Arundhati
Monika N. Arundhati lahir di
pulau Lembata, 27 Agustus 1990, sebuah pulau kecil di ujung gugusan kepulauan
Timor-Flores, NTT. Ia lahir dari keluarga tukang kayu sederhana. Puisinya
dimuat dalam antologi bersama Sajak Terpagi (2010) dan Isis dan
Musim-musim (2014). Tahun 2014, diundang dalam Makassar International
Writers Festival. Kuliah di jurusan
Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.
Catatan Lain
Puisi
dalam buku Catatan Sunyi, semuanya ditulis dengan huruf indah. Itu lho,
huruf-huruf yang tulisannya dirait atau disambung dan miring itu, mengingatkan
saya dengan pelajaran waktu sekolah dasar dulu. Saya tak tahu apa nama jenis
hurufnya. Tulisan selain puisinya, meskipun bukan tulisan indah lagi, namun
fontnya sepertinya miring juga. Hampir senada dengan huruf puisinya.
Jika Budi Kleden, dalam prolognya yang berjudul Terlahir
dari Sunyi (12 halaman) itu, mengulas persoalan puisi dan refleksi
sunyi, maka di epilog yang dijuduli Empat Sekawan Sunyi (8 halaman),
Christopher A. Woodrich, membandingkan Monika dengan Amir Hamzah, yang lebih
dulu melahirkan Nyanyi Sunyi. Monika sendiri menulis Semacam
Pembukaan, sebanyak 3 halaman. “Menulis puisi bagi saya adalah sebuah
ritual untuk menjelma menjadi manusia seutuhnya, sekaligus memperoleh
kemanusiaan. Melalui ritual sakral ini, saya bisa merenungi hidup,
bercakap-cakap dengannya, lantas insaf bahwa saya sejatinya adalah manusia,”
kata Monika di paragraf awal. Dan ini
penutupnya: “Akhirnya, dengan segala kerendahan hati sambil belajar
menyadari kelemahan untuk memacu diri agar terus berkarya, saya persembahkan
antologi puisi “Catatan Sunyi” ini kepada pembaca di mana pun, terutama kepada
masyarakat puisi yang mencari kearifan lewat kesunyian dan kejernihan kata.”
Begitu kira-kira.
Oya, ini unik juga, jarang saya temui. Pada halaman yang
memuat keterangan buku, ada dicetak lambang Sanata Dharma dan penjelasannya.
Bunyinya seperti ini: Universitas Sanata Dharma berlambangkan daun teratai
coklat bersudut lima dengan sebuah obor hitam yang menyala merah, sebuah buku
terbuka dengan tulisan “Ad Maiorem Dei Gloriam” dan tulisan “Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta” berwarna hitam di dalamnya. Adapun artinya adalah
sebagai berikut. Teratai: kemuliaan dan sudut lima: Pancasila; Obor: hidup
dengan semangat yang menyala-nyala; Buku yang terbuka: ilmu pengetahuan yang
selalu berkembang; Teratai warna coklat: sikap dewasa yang matang; “Ad
Maiorem Dei Gloriam”: demi kemuliaan Allah yang lebih besar.”
Buku ini, walau ada daftar isinya, namun tidak menuntun
kita untuk dapat mengetahui berapa jumlah judul puisinya, jadi saya mesti
menghitung satu-satu dan mendapatkan angka 63 puisi dalam satu kali hitungan.
Saya tidak mengecek atau melakukan hitung ulang lagi.
Ada komentar-komentar kecil juga. Dari Max Nitsae, Freddy
Oky dan Gusty Fahik di halaman 4 buku dan Yoseph Yapi Taum dan Yohanes Manhitu
di sampul belakang.
Puisi-puisinya berisi sekali. Pengen belajar lagi biar bisa nulis kaya gt
BalasHapus#YANGMAHASALAH