Data
buku kumpulan puisi
Judul : Buku Setengah Tiang
Penulis
: Ali Syamsudin Arsi
Cetakan : I, Juni 2015
Penerbit : Framepublising, Yogyakarta
Tebal : xii + 120 halaman (93 puisi)
ISBN : 978-602071443-2-3
Desain isi : Frame-art
Desain cover : Nur Wahida Idris
Beberapa
pilihan puisi Ali Syamsudin Arsi dalam Buku Setengah Tiang
Diskusi Para Datu
memungut kata-kata berserak
di lantai tanah berpijak
menyusuri jejak
di ketinggian jarak
kita tidak sedang terjaga
sebab di ujung kepedulian
hilang sapa
orang-orang di luar terlalu sibuk
mencari lupa
aku di balik kamar
kehilangan air mata
puah mantra datu-datu
lenyap ke mana
ketika berwujud aksara
/asa, Juni 2004-Januari 2015
Suka-suka Minggu Raya
o ya ya, o ya ya , kita jumpa
o ya ya, o ya ya , kita bicara
o ya ya, oya ya , di mingguraya
bila hatimu sedang duka lara
langkahkan kaki cepat segera
kami tunggu di mingguraya
saling sua saling bicara
mingguraya, titik temu kita semua
mingguraya, jabat erat kita jumpa
buang resahmu buang segera
kita sama saling cengkrama
dendangkan lagu irama suka
angkat jari tanganmu ke udara
mingguraya, o ya ya, semua kita gembira
mingguraya, o ya ya, semua kita suka-suka
/asa, mingguraya 2013
Sebelum Sungai Meradang
alam hanya di antaranya
atas kuasa segala kuasa
penanda
simak dan baca
atas tanda segala tanda
tulis dan bicara
atas rimba raya belantara
sungai yang meradang adalah gemuruh pijar semua tanda
sungai yang meradang adalah arus deras di gelegar
merah mata
sungai yang meradang adalah kepal tangan racun cuaca
“Selayaknya lorong-lorong melepaskan bendung
di buncah-buncah,”
ucap arus dengan sorot mata berpijar
“Selayaknya lepaskan pasak di tebing-tebing patah,”
ucap kepal di atas semua kepala
/asa, banjarbaru, februari 2015
Seseorang Telah Berpulang
pesan ini tertutup oleh warna kertas sedikit buram lusuh
dan berdebu dari seseorang tanpa nama tanpa alamat tanpa
tanda tanpa aksara pembuka isinya hanya mengatakan
bahwa ia telah berpulang sebelum azan subuh dan satu-
satunya sebagai petunjuk adalah pohon
berkabar saja kepada entah setelah menunggu sekian gerak
jarum jam di angka kecil menuju angka membesar
dari yang tak pernah engkau sentuh, sampai
bagian mana yang paling melenakan, tatap matamu
sendiri
sunyi itu mengepung atas riuh langkah-langkah, semakin
sunyi dan sendiri
/asa, banjarbaru, 29 Mei 2015
Kipas
suratmu belum aku baca masih tergeletak di meja kerja
mungkin malam ini saat tubuhku ingin rebah dengan suara
merdu bernyanyi atau senandung dan biasanya engkau
akan menerima kehadiran petugas kantor titipan seperti
yang sering aku lakukan dan engkau menerimanya dengan
tangan terbuka serta senyum rekah
amplop putih aroma bunga
/asa, banjarbaru, Mei 2015
Buku Sedikit Terbuka
di pangkuan ibunda kasih sayang teruslah tercurahkan dalam
bahasa buku sedikit terbuka betapa mata dengan sorot
penuh perhatian, “Kadang terpancar rasa khawatir atas
keselamatan dalam menempuh perjalanan setapak demi
setapak, “ suara dari lubuk hati terdalam seperti bahasa
buku sedikit terbuka setelahnya adalah garis membentang
di hamparan jejak kaki ibunda menatap mencium aroma
perjalanan, “Lambai tangan dari kejauhan jarak, engkau
anakku semakin menapak, catatkan sejarah kehadiranmu
atas hidup dan penghormatan hidupmu sendiri, engkau
anakku, betapa pun itu, engkau anakku,” seperti lembar
demi lembar buku sedikit terbuka sebab yang menemukan
rahasia jelajah demi jelajah adalah bagian dari buku yang
terbuka sedikit demi sedikit tidak harus menumpuk lebih
banyak karena buku sedikit terbuka
/asa, banjarbaru, februari 2015
Menyimak Gerak Udara
-sebagai korban, engkau kembali
selintas udara lepas bertaburan kata-kata
udara semakin terbuka karenanya
adakah rindu atas semua lambai
engkau berpulang dalam ganas laut
sepenuh yang aku tahu bahwa
semua kabar adalah wajahmu di bayang senja
sekian jauh langkah kaki
dan kita benar-benar pernah berjumpa
aku disini
di sudut yang paling menanti
pernah aku baca suratmu
pernah pula engkau baca suratku
sepi di antara kita
udara semakin membuka
menyimak kisah-kisah perjalanan
tak selamanya berbentuk gumpalan awan
saling menerima
menyimak udara yang kita resapkan
engkau seru
sebagai kata-kata rindu
/asa, banjarbaru, januari 2015
Menolak Sepi
-kepada alm. m
rifani djamhari,
hamami
adaby serta sri supeni
(tepat tengah malam
pada sebuah rumah di kamar sempit
cahaya lampu dari neon
orang-orang
dengan tubuh terbaring
tak pernah kusaksikan bahwa anakku bermimpi
seperti juga aku
ia pun tak pernah menonton bahwa ibunya bermimpi
seperti juga saudaranya)
tepat tengah malam
berkali-kali telah kutolak sepi
namun selalu datang seperti belati
tepat tengah malam
kubuka semua pintu; wajahmu wajahmu wajahmu
segala penjuru hanya; wajahmu
banjarbaru
belakang sltp 2
malam-malam tanpa nama
2002-2015
Kecipak di Liuk Bukit
bersama rakit batang bambu
meluncur di atas riak sungai berbatu-batu
dari arah teramat jauh, kadang lelah berpijak
menikmati petualangan, matahari
sesekali pandang terhalang, lalu mencoba menelisik
di celah-celah daun berjuntai
ternyata liukmu bukit
aku terpana dililit pesona, perjalanan menelusuri
liuk-liuk antara anak bukit, dan teringat gadis putih
di arena menari-nari, melingkar mengelilingi
ujung jemarimu melentik gemulai
gadis manis senyummu tulus, menerima kehadiran
gemuruh yang datang dari seberang
air matamu bening turun satu-satu menjadi bias
di kulit daun
embun memantulkan kejujuran yang melengkung;
tari, mari ke mari menari melingkar di asap
dan riuh irama kecipak kaki-kaki telanjang;
mengintari arena, leluhur jadi saksinya
hentak
biarkan menghentak, menggetarkan daun
ke pucuk-pucuk desir
biarkan berdesir, merambas di kecipak air mengalir
/asa, banjarbaru 2005-2015
Sebatang Pohon di Rona Senja
tepi laut tepi pantai tepi angin
senyap memanggil daun telingaku
aku memaksa untuk berpaham di miskin tadahku sendiri
sebatang pohon setiang tegak berdiri
senja melengkung di pijar
sisa bongkahan matahari, kalah perang
padang-padang tandus
ada amuk membuncah di putaran limbubu
engkaukah yang melilit pikir dan rasaku
seonggok puisi
rona senja pecahkan buram hitam awan
di gumpal-gumpal kelam
tepi laut tepi pantai tepi angin
senyap memanggil daun telingaku
/asa, banjarbaru, September 2014
Purnama Terkepung Mendung
tahun-tahun sulit bahkan teramat sulit purnama hadir dalam
pencerahan musim panjang berliku berkelok mendung tak
dapat dipercaya dengan kesombongan gelap di lingkup
selingkup-lingkupnya mendung bicara damai mendung bicara
sejuk tapi nyatanya mendung mengandung gelap, “Cau cau
cua cau,“ dalam kondisi kacau mendung
mengambilnya dalam
situasi kacau mendung meraihnya dalam kondisi kacau
mendung mengepungnya, “Cau cau cua cau,” kini purnama
terkepung mendung
terkepung dari segala sudut ruang keluasan, dan kekuasaan
memelihara mendung adalah gelap yang merajalela karena
kisruh diciptakan untuk menanjak anak tangga cahaya
sedang purnama meniti tangga rapuh di bias pernak-pernik
sumber cahaya harus melewati hari-hari penuh kesabaran
dan ketabahan, bukan kekuasaan, apalagi senjata
sumber cahaya sama halnya sumber suara sebagai rakyat
sangat memahami apa dan bagaimana karena suara-suara
adalah kehendak orang-orang sebagai rakyatnya dan yang
paling suka mendekat bukan untuk disekap, pengepungan
pun merambah ke celah terjauh dari purnama dalam awan-
awan gelap, “Cau cau cua cau,”
purnama tanpa senjata, purnama terkepung mendung
/asa, banjarbaru, februari 2015
Sujud Lubang Kembali
geriap deru
bulu tangan diam embun
episode demi episode
bermekaran di lingkaran retina mata
sedih menjadi sunyi di sini
sedih menjadi ujung hari
derap demi derap lesap perlahan
senja
sudah terbuka bias warna jingga
halaman catatan
suara-suara dalam rekam perjalanan
bila banyak malam terabaikan
semakin malam semakin malam semakin malam semakin
kembali
/asa, banjarbaru, 12 mei 2015
Sajak-sajak Bakar Ban Bekas
menyalalah wahai ban bekas di kepul asap membumbung
ini menjadi doa paling doa dari satu doa melebihi banyak
doa satu saja ban bekas menyala maka kepulnya akan naik
tinggi melewati batas-batas lapisan udara ke kosong waktu
dalam kepompong sebab doa ini akan menjadi lebih tajam
melebihi tajam pedang dan peluru dari senjata terkokang
asap dari ban bekas teruslah membumbung menyeruak
atas lapisan udara menjadi duri menjadi duri menjadi duri-
duri lesaplah ke dalam dada masuklah kedalam otak dan
pikiran masuklah ke dalam kulit masuklah ke dalam tulang
masuklah ke dalam kelopak mata masuklah tanpa kendala
masuklah tanpa pembisik masuklah langsung ke kata hati
sanubari hati nurani asap terus naik terus melesap ini sajak
dari satu sajak berbagai sajak hingga sajak-sajak ban bekas
berkobar api letup-letup derita dari berbagai derita derita
dari suara terkepung derita air mata ban bekas menyalalah
sampai nyalamu membakar keterpurukan membakar
ketidak-berpihakan atas suara bukan untuk satu suara
karena ini suara ban bekas tersisih bahkan disisihkan
dari cerlang pernik-pernik geriap hampa udara berlapis dari
luka sebanyak luka seluka-luka sajak-sajak ban bekas
menyala senyala-nyala
/asa, banjarbaru, april 2015
Orang-orang Pedalaman
“Kami tersingkir dari pucuk daun,” bisiknya dengan suara
hampir tak terdengar namun sangat terasa getir
dan bergetar hebat ketika masuk menusuk melalui daun
telinga merambah ke lorong syaraf dan otak menerimanya
sebagai pengaduan paling memilukan
“Kami kehilangan suara,” lanjutnya pula
hutan bergelombang dari dataran bukit memandang
sapuan tipis di awan-awan angin mengantarkan sejuk
hutan bergelombang bunyi kecipak gerisik air di lumut
batu-batu terasa hanyut dalam suasana purba belum
bersentuh deru mesin penumbang pohon kenangan pun
menyeruak di jejak telapak kaki telanjang meresap rasa
dingin sedingin-dingin embun hutan sedikit berkabut
di puncak daun
lantas mengapa harus ada yang tersingkir dari pucuk
daun sedang pucuk daun selayaknya menikmati dingin
embun lantas mengapa sebuah suara kehilangan
gelombangnya sementara suara selayaknya tetap
menempati keheningan cuaca
“Cuaca alam kami pun telah ditaburi racun,” mereka
semakin sulit harus menapak jejak di bukit yang mana
karena dataran bukit sudah kehilangan pijaknya
orang-orang pedalaman semakin terkepung jauh
ke dalam,” Perampasan pun kian tersusun, tersusun
dalam kepompong waktu,” melantangkan suara
yang sangat kehilangan, kehilangan gema di hutan
bergelombang, hutan kita
/asa, banjarbaru, februari 2015
Tarian Anak Bukit
berputar berputar berputar
sekeliling luka, radang ke puncak nganga
(sampai ke lapis mana ujung lidah yang setiap saat
membenturkan kata
demi kata, sudah lama berkabar namun selalu saja
membentur lagi ke dinding kata
demi kata berbalas kata, ternyata
tetap saja kecurangan itu dipajang
orang-orang asing tanpa wajah, kenal seorang pun tidak
tak saling menyapa karena hilir mudik
dan riuh gembira)
ayo, putarkan raga dan jiwa-jiwa
berputar sampai membumbung asap di dupa-dupa
setinggi denting dan irama sampai gemuruh,
penuhi ruang angkasa raya
(sejauh mata memandang meliuklah tubuh-tubuh telanjang
dari remang di balik rerimbun tulang
sepasang telinga, membuka suara dari kecipak air di muara
mengalir dari sepi yang murni
sampai akhirnya berhenti tak menemui arti;
hening itu menari
menari di atas rumah yang retak
dan riuh semakin menghentak-hentak?
ayo, menarilah anak bukit
jangan lenyap dalam putaran arus kekap
/asa, banjarbaru, desember2005-mei 2015
Membalas Doa
-satu episode Raden
Pangenten
sementara ada suara dari tetangga bila memandang
wajahnya membius sampai nafsu di ubun-ubun
membuncah keluar naik tak tertahan maka awas saja
bersabar adalah jalan paling baik menurut petuah-petuah
melayarkan harapan di tanah-tanah jauh kemudian
kembali dengan kemewahan wajah cantik serasa bidadari
kayangan harta dan kekuasaan selalu mengikuti
di sekitar badan
mama renta menanti
di ujung rambutnya lihatlah apa yang mampu
ditayangkan ke hadapan orang-orang dengan kagum
diagungkan pesonamu menjadi berlebihan
ayo, ciptakan dayung di kiri kanan kapalmu tetapi jangan
patahkan pelayaran menuju keabadian
seperti batu
tiba-tiba saja mengurung dirimu
adalah sejarah nenek moyang kita pada satu bagian
peristiwa dalam renungan lalu ke manakah disedekahkan
jari-jari ini ketika ia mulai belajar menuliskan firman-firman
kesetiaan kepada alam atau kepada orang lain hanya
kepada diri sendiri
maka batu-batu itu
selalu melayarkan biduk di tengah lautan kekuasaan yang
dipaparkan menjadi kitab-kitab dongeng atau kenyataan
tidaklah dijadikan alasan untuk melupa kepada siapa kita
bersimpuh
sebelum menjadi batu
dalam kekakuan sebab perjalanan teramat jauh akan
menjadi sangat melelahkan dan sia-sia patah di tengah
tanpa sempat mencium bau tanah karena batu menjelma
menjadi bisu sebab bius wajah kemewahan dan kata-kata
perintah,
“enyahlah perempuan tua renta dari hadapanku …”
(badai topan gemuruh itu pun ikut menjadi batu)
/asa, banjarbaru, 2005-2015
Politik Kanibal
sejarah angin berhembus di semua arah seperti tajam
anak panah tembus daun reranting patah udara dan
tebing karena luka yang saling memamah luluh-lantakkan
rata dengan dataran bukit gunung semua membusung
lemah di gunduk tanah
tercatat sebagai jelajah tombak jelajah parang jelajah
mandau jelajah badik jelajah rencong jelajah sumpit
jelajah pisau jelajah keris jelajah kujang jelajah panah
jelajah pedang jelajah duri
ke ujung tajam tusuk belati saling menikam; tikam
belakang tikam depan tikam segala tikam setikam luka
sebar suara tikam kawan tikam lawan tikam sembunyi
dalam setikam bara sekam
sebutkan padaku bagian mana dari tubuhmu
yang paling empuk
pengepungan tak akan pernah berhenti selayang hukum
rimba yang kuat dan jatam akan mengepal tangan tanda
mampu menangkap lepas udara dan racun cuaca
dari sengketa ragam sengketa ke tanah sengketa berupa
mata rantai makanan saling tindih selayah-layah setindih-
tindih sengketa leluhur sengketa tanah adat
sengketa tanah kubur sengketa tanah garapan sengketa
tanah jualan sengketa tanah jalan sengketa tanah saling
sikut selayah-layah saling lumat selayah-layah sengketa
berkepanjangan bahkan dibungkus dalam damai, damai
menunggu pijar api sebara-bara sebara api di sekam-sekam
otak isi kepala daging lutut betapa lezatnya telapak tangan
menarilah tajam di luka-luka
menarilah tajam di luka-luka
menarilah tajam di luka-luka
kepung dan jebak sampai lawanmu tak mampu berkata-kata
kepung dan jebak sampai kawanmu tak mampu bersuara
kepung dan jebak sampai sungai udara dan bukitmu
semua rata
mata politik beragam rupa lembut penuh elok melilit
tebaran racun di ruang purba cuaca selayah membelit
membuncah ucap serenyah-renyah mata politik
merambah-rambah melumat memamah-mamah mata
politik membelah-belah
taring politik kembali menghisap darah tak sekedar
berbentuk genangan darah taring politik menguatkan
tajam tombak sejarah dalam catatan jelajah demi jelajah
menarilah tajam di luka-luka, seluka-luka
menarilah tajam di luka-luka, seluka-luka
menarilah tajam di luka-luka, seluka-luka
/asa, banjarbaru, februari 2015
Sejarah, Warna, dan Suara
memperlakukan
betapa ragam sejarah kita
adalah bagian tak terpisahkan pada dasar
kehendak
awal-mula
memperlakukan
betapa ragam jenis warna kita
adalah seperti udara melingkup semua pernik
cahaya
di udara
memperlakukan
betapa ragam simpang suara kita
adalah sama dengan sebuah ikatan besar sebagai
kekuatannya
laut
tanah dan udara seperti yang kita punya tidaklah mudah
dalam
retak-retak dalam pecah-pecah sedikit saja maka
dapat
berpencar berpendar melepaskan jabat eratnya
melentingkan
ke tingkat paling tinggi setiap puncak
masalahnya
bahkan sedikit demi sedikit akan membengkak
seperti
bisul hidup di mata luka, di mata-mata dan di luka-
luka, seluka-luka
serenyah-renyah
laut
tanah dan udara dalam satu ikatan sejarah, warna,
dan
suara
sejarah,
warna, dan suara bukan hanya untuk satu wilayah
pertempuran
saja tetapi sejarah terkini adalah membaca
catatan
dari ujung pelosok paling ujung di pelosok karena
ia
berada memang paling pelosok dari ujung di pelosok
yang
berada di titik terjauh paling ujung di pelosok seujung-
ujung
paling pelosok di paling ujung
sejarah,
warna, dan suara menyimak dan menyerapnya untuk
memperlakukan
awal-mula untuk memperlakukan pernik
cahaya
di udara untuk memperlakukan sebagai kekuatannya,
sebagai
catatan sejarahnya
laut
tanah dan udara adalah rakyat seutuhnya
sejarah, warna, dan suara adalah semangat rakyat
sejarah, warna, dan suara adalah semangat rakyat
sepenuhnya
/asa, banjarbaru, juli 2014
Patah
Tangkai Bulir Padi
seharusnya kita tidak pernah melepaskan
tentang apa yang telah lama sekepak burung
seharusnya kita tidak pernah melepaskan
tentang apa yang telah lama sekepak burung
di telapak tangan
ada di dalam catatan sejarah dan senyum gadis
ada di dalam catatan sejarah dan senyum gadis
turun gunung
seharusnya kita enyahkan kabut di lereng-lereng bukit
sebelum tebal bergumpal dan membadai, hingga akhirnya
seluruh permukaan tanah terkoyak lepaskan tebing ke curam
ke curam warna merah di ketinggian ngarai
sekepak burung
catatan sejarah
senyum gadis turun gunung
warna merah
kini kita kehilangan bulir-bulir padi
bersama sirnanya senyum gadis-gadis di embun pagi
kini kita meraung dalam tangis ke awan-awan tinggi
bersama pekik kepal tangan sepi jantung sepi hati
lantas, adakah yang mampu lepaskan arah jalan
menuju titik jauh ke puncak capaian
sementara gemulai gadis turun titian
selalu saja kita abaikan
/asa, banjarbaru, 10 desember 2014
seharusnya kita enyahkan kabut di lereng-lereng bukit
sebelum tebal bergumpal dan membadai, hingga akhirnya
seluruh permukaan tanah terkoyak lepaskan tebing ke curam
ke curam warna merah di ketinggian ngarai
sekepak burung
catatan sejarah
senyum gadis turun gunung
warna merah
kini kita kehilangan bulir-bulir padi
bersama sirnanya senyum gadis-gadis di embun pagi
kini kita meraung dalam tangis ke awan-awan tinggi
bersama pekik kepal tangan sepi jantung sepi hati
lantas, adakah yang mampu lepaskan arah jalan
menuju titik jauh ke puncak capaian
sementara gemulai gadis turun titian
selalu saja kita abaikan
/asa, banjarbaru, 10 desember 2014
Pulau Patah
Gelombang
di setiap sudut pulau; engkau merisaukan
desing peluru, lantas
pada gerak gelombang kiriman hendak kesekian
adakah
yang berani mengepalkan tinju tangan di udara
lalu bergema
kata, “Wahai tebing tinggi kokoh dan terjal,
sebelum suara
gelombang patah dalam perang ini maka
lawanlah
kesombongan yang kita ciptakan sendiri atas
pulau-pulau,
sebelum semuanya tenggelam, sebelum
semuanya,” itu
bukan sekedar gema memantul di tebing-tebing
curam
gemeretak
pulau-pulau perlahan bergerak meninggalkan
ngarai dan
akar –akar yang sedang bergantung semakin
melilit ke celah
paling dalam, dalam getar pulau patah
gelombang
layar-layar
sobek
semakin
menyeruak
/asa,
banjarbaru, desember 2014
Tentang
Ali Syamsudin Arsi
Ali
Syamsudin Arsi lahir di Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Prov.
Kalimantan Selatan. Kini tinggal di kota Banjarbaru, Prov. Kalsel. Pendiri dan
Ketua Forum Taman Hati, diskusi sastra dan lingkungan, bersama M. Rifani
Djamhari. Pendiri dan Pembina Sanggar Sastra Satu Satu Banjarbaru. Menerbitkan
7 buku ‘Gumam Asa’ yang berjudul: 1. Negeri Benang Pada Sekeping Papan (Tahura
Media, Banjarmasin, Januari 2009). 2. Tubuh di Hutan Hutan (Tahura Media,
Banjarmasin, Desember 2009). 3. Istana Daun Retak (Framepublishing, Yogyakarta,
April 2010). 4. Bungkam Mata Gergaji (Framepublishing, Yogyakarta, Februari
2011). 5. Gumam Desau (Scripta Cendekia, Desember 2013). 6. Cau Cau Cua Cau (2A
Dream Publishing, Juni 2014), 7. Jejak Batu Sebelum Cahaya (Framepublishing,
Yogyakarta, Oktober 2014). Kumpulan puisinya: ASA (1986), Seribu Ranting
Satu Daun (1987), Tafsir Rindu (1989 dan 2005), Anak Bawang
(2004), Bayang-bayang Hilang (2004), Pesan Luka Indonesiaku
(2005), Bukit-bukit Retak (2005), Gemuruh (2014).
Tahun 1999 menerima hadiah sastra dari Bupati Kabupaten
Kotabaru. Tahun 2005 menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur
Kalimantan Selatan. Tahun 2007 menerima hadiah sastra bidang puisi dari Kepala
Balai Bahasa Banjarmasin. Tahun 2012 menerima penghargaan pada acara Tadarus
Puisi & Silaturrahmi Sastra, Pemerintah Kota Banjarbaru melalui Dinas
Pariwisata, Budaya dan Olah Raga. Pada malam Tadarus Puisi dan Silaturrahmi
Sastra tahun 2014 kembali mendapat penghargaan sastra oleh Pembko Banjarbaru
melalui Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, penilaian berdasarkan standar kekaryaan
dan aktifitas bersastra. Tahun 2015 mendapat undangan UWRF di Ubud Bali. Alamat
rumah: Jalan Perak Ujung nomor 16, Loktabat Utara, Banjarbaru, 70712. Hp :
081351696235.
Catatan
Lain
Saya
dalam kondisi terburuk ketika didapuk mengulas buku ini bersama Sainul Hermawan
dan Sumasno Hadi, suatu ketika di sebuah SMP di mana si penyair menjadi Wakil
Kepala Sekolah di sana. Rasa-rasanya saya seperti bersumpah untuk pensiun saja
dari dunia sastra yang saya cintai. Hehehe. Hajri jadi moderator, hadir Bang Micky Hidayat, HE. Benyamine, Randu, Sandi Firly,
Aliansyah Jumbawuya, Ogi Fajar Nuzuli, dan lain-lain yang saya lupa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar