Data
buku kumpulan puisi
Judul : Api Bawah Tanah
Penulis
: Raudal Tanjung Banua
Cetakan : I, Oktober 2013
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta
Tebal : xvi + 160 halaman (60 puisi)
ISBN : 979998398-3
Desain cover : Nur Wahida Idris
Foto cover : Rama Surya, “Forest
Fire; Image of Borneo”
Desain isi : Frame-art
Api Bawah Tanahterdiri dari 3 bagian,
yaitu Bait-bait Kepulauan (38 puisi), Bandul Dunia Baru (4 puisi)
dan Taman Rawa Bandar Sepuluh (18 puisi).
Beberapa pilihan puisi Raudal Tanjung Banuadalam Api Bawah Tanah
Teka-teki Riau
-sebuah
variasi teka-teki rakyat
berpayung bukannya raja
bersisik bukannya ikan
dulu kau bilang nenas jawabnya
sekarang raja-ikan-nenasnya hilang
tak ketemu jawabannya!
/Pekanbaru, 2005
Dalam Hutan
(mengenang
ajamuddin tifani)
dalam hutan, paru-paruku bernafas penuh
kepada tuhan. hutan dalam
menyimpan nafas penciptaan
di sini ruh sepasang kera
ditiupkan, sebelum akhirnya mengembara
dari dahan ke dahan: kesepian manusia,
o, kesepianku juga!
/Banjarmasin, 2004- Yogja, 2005
Kabungka, Buton
Berbungkah-bungkah aspal ditambang
digiling, dihaluskan jadi tambah hitam
Menghampar di pelabuhan dan jalan-jalan
tapi tidak membawa siapa pun pergi
karena pelabuhan bukan lagi pintu
bagi onggokan nasib buruk siapa pun!
Dan jalan-jalan buntu, berantakkan
tanpa batu dan aspal
Ironi yang membenam harapan
kembali ke perut bumi
Kusaksikan matahari terbit dan terbenam di sini
Tanpa alasan pasti
anak-anak Kabungka terus melintasi
lumpur dan semak-semak berduri
memasuki sekolah yang tak pernah
memasuki hidup mereka.
Seorang anak menyeringai
menggigit pahit-asam
jambu mete yang berguguran
bagai mengunyah buah derita
berabad-abad kekal di tanah kelahiran
percik getahnya beserta ingus yang meleleh
membuat bintik hitam di baju sekolah
jadi tambah kusam serupa peta jalur tambang
di sepanjang badan masa depan
orang-orang Kabungka
Aku pun menambangnya
Diam-diam, dengan tinta hitam air mata.
/Buton-Yogya, 2010
Moncong Todak
moncong todak! moncong todak! ia
yang menyelam
di kedalaman dan berenang di keheningan; yang berhasrat
merobek jala tapi ingin menyulam layar; yang bisu diharu
samudera tapi liar di palung derita; yang seruncing lembing
setajam galah tapi menyuling asin lautan; yang mengekalkan
bahasa kapal-kapal tapi menikam lambung yang lapar;
di batas pelabuhan, laut jauh dan buritan, ia meloncat
ke atas kertas sajak-sajakku; tegak ia menjadi tanda seru
di ujung kata “TIDAK!”
-bagi yang diburu
/Tanjung Batu-Yogyakarta, 2006-2007
Bandar Sepuluh
bandar sepuluh. sepuluh bandar menghajarku
tanpa talam persembahan, aku gatih setiap daun yang tumbuh
aku kunyah-kunyah gurat-gurat peta silsilah
kuhamburkan sepanjang jalan kepulangan
“puah, balik kau mambang, pergi ke balik bukit barisan
ke pulau awuh ke katang-katang!”
jadilah si tawar-si dingin pengusir orang halus sekalian jin,
pun penguasa bocor halus, menyingkirlah, menyingkir
agar terbaca silsilah, terbuka hijab sejarah
bandar yang sepuluh—sepuluh bandar menghajarku
di tepian hindia di pantai barat sumatera
yang berabad lampus dipadamkan lampu-lampu
pedalaman lampau minangkabaumu!
dengan mantra tarian asyik lukah aku seru
sekalian yang di bukit dan di lurah, di mudik hulu
di koto-koto dan kuala. kecil tak kuingat nama
besar sandang sendiri gelarnya, tak perlu dentang canang
dan tabuh larangan itu! dengar, aku berkabar
mengulang apa yang tak pernah kauulang
menyebut apa yang takut kausebut;
aku lecut angkau si lukah gila
dengan cambuk kalam ekor belutku yang menggelepar liar
dalam bilah-bilah tajam tubuh busukmu.
aku datang dari salido-bungo pasang dari mana emas bukan suasa
datang. ditambang derak kincir siang-malam
matang di talam-talam bukan persembahan
tapi titah rajah pedas liur air raksa—bagai aur mengkhianati
ibu tebingnya
membawanya ke pasar-pasar dan istana, ke bandar-bandar
rebutan segala bangsa. hingga surat dikarang-karang
perjanjian diteken di muka painan. traktat dibuat
buat dilanggar. telah kami ubah andalas jadi emas
tapi raja dan istana membuatnya jadi perca
jadi kiasan kain hiasan.
maka ditanam kapas di satu bandar agak ke selatan,
agar utuh satu saja benang kapas menyulam kain baju
kebesaran. tapi apa yang kami dapat? tak ada, kecuali karat
dan asin garam. maka dari ampalu dan hulu langgai
sebuah pantun dimulai:
bandar surantih lubuknya dalam
batangkapas lubuk tempurung
kapal kami ibarat balam
sauh lepas lambung terkurung
hai, lukah gila! jangan engkau beriba hati sebab hati pengiba
lambat lukanya. pantun sangsai itu sesungguhnya
badai, songsonglah ia di teluk kasai
lepas bilah-bilah tengkulukmu
kibaskan kutuk busukmu
sebuah permainan mesti dimulai (bukan rabab bukan randai)
inilah sandiwara batangkapas penuh taruhan,
sepenuh cemas orang-orang aceh dan voc
terkecoh kawan dan lawan jadi pecundang!
ayo, mengalir ke selatan ke ranah pesisir
menyisir tali rabab tiga helai, menghentak gendang
empat ketukan; tajam geseknya
jadi jerat burung-burung kuau
di lentik punggung bukit jaring punai
gemerincing gemanya menggiring engkau
bagai gajah rusa terluka di bukit sikai. menurun lalu
kutandai lambung kapal besar di muara sungai air haji
dan punggasan. kutemui orang-orang berbaju putih
melepas beban, melepas pelukan, “selamat tinggal.”
tapi mereka akan pulang ke bandar sepuluh
si sungai tunu kita bertemu. apa yang engkau bawa wahai
penakluk semananjung dan jazirah?
mereka bawa pesan nabi
dan petuah orang suci bukan sebagai candu
dan roti. tapi jangan sentuh lukah gilaku, jangan ganggu
asyik lukahku
biarkan kami mabuk menari mengunyah gurat-gurat peta
daun silsilah dan terus menghamburkannya sebelum sampai
perjalanan pulangku: dari hulu lakitan dan pelangai gadang
telah dibangun kampung-kampung dan dibuka teratak
seperti damar rotan yang diturunkan—dilipatgandakan
tangan tuhan
di pantai-pantai putih kambang, surantih dan amping parak
“puah, telah jadi engaku bersuku-suku, sejak dahulu
sejak dari serambi alam sungai pagu
beranak-pinak membangun puak
dalam ranah bandar sepuluh—sepuluh bandar
manampar muka malumu!”
kini guahlah canang, guguhlah tabuh
larangan itu…
/Painan-Yogyakarta, 2010-2011
Asyik Lukah atau lukah gila
adalah pertunjukan/permainan rakyat di bekas wilayah Bandar Sepuluh, kini masuk
Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Menggunakan lukah (alat perangkap
ikan dari bilah bambu yang ditanam di sungai atau rawa, sejenis bubu), diberi
pakaian, didandani, lalu sang pawang mengundang “roh halus” untuk
menggerakkannya secara liar, kuat dan sugestif. Bandar Sepuluh sendiri
merupakan nama kerajaan yang pernah tumbuh di pantai barat Sumatera pada abad
ke-16 bersama Tiku dan Indrapura. Berbeda dengan kerajaan lain, Bandar Sepuluh
berbentuk konfederasi nagari atau sepuluh pelabuhan, seperti Salido,
Batangkapas, Kambang, dan seterusnya.
Ziarah Pohon
Di Wangka, sepanjang Sungailiat dan Belinyu
dari Tanjung Penyusuk ke
Tanjung Ru
Aku berziarah. Bukan ke Gua Maria
Bukit Moh Thian Liang, bukan ke Bakit
makam Hotaman Rasyid, bukan ke Liang San Phak
dan makam keramat Kapitan Bong
di klenteng dan sunyi Benteng Kutopanji.
Aku berziarah ke pohon-pohon masa kecilku
yang berderet mengurung
halaman kampung-kampung halaman
jauh terpencil.
Durian nangka cempedak
hutan
daun-daunnya gugur di angin
santer
langsat manggis duku
pucuk-rantingnya sayup di
awan.
Semak rengsam di pinggir
jalan
rumpun sagu di rawa selokan
cengkeh dan mete rimbun
daun
di pantai ketapang mencumbu
karang
bambu-pimping-paku
bergoyangan di tebing
berpakis haji. Jambu-kweni-ambacang
jatuh berdebum di halaman
klenteng dan surau kampung
bangunan lelap muazin dan
penggerek lonceng.
Kantong semar memerangkap
serangga
dan kupu-kupu, diam-diam,
hingga mumbang jatuh kelapa
jatuh
di pantai itu!
Begitulah kuziarahi
pohon-pohon hayatku
yang menyatu sebagai liat tubuh ibu
bayang-bayangnya melindap
meneduhi bunga dan akar
yang kurawat.
/Belinyu, Agustus 2006
Candi Tikus
terkubur ratusan tahun
di bawah air dan lumpur
ia muncul
seperti gadis habis dimandikan
fajar yang menyelinap
sampai ke tiap lekuk
tak dikenal
ia tak bangkit dari keruntuhan
karena tak pernah runtuh
bersemayam di bawah tanah
ia sesungguhnya kepundan
di tengah kaldera
ia menampung segala makhluk melata
yang memanjat dan mengerat
tubuhnya; dan ia tabah
seperti pertapa
menunggu datangnya
cahaya pertama.
/Trowulan, 2009
Di Makam Imam Bonjol
assalamu’alaikum, ya syarif tua! aku datang menjengukmu
dengan hati iba ibarat anak dagang berkayuh sekeping papan.
jauh sekali tempat engkau berbaring tapi bertahun jarak
yang memisahkan kita tak terasa sedekat jarak kain dan papan
mendekap roh di badan
ingin kuukur jubahmu, dari tumit ke sorban
tidak besar tapi membungkus keberanian
persis buntalan anak dagang yang bersiap pergi
membawa peruntungan, di tiap tikungan
engkau menghadang siapapun
yang bersekutu dengan apa pun yang bisa dipersekutukan
sedang engkau hanya bersekutu dengan tuhan
benarkah ada tanah buangan? bagi mereka yang mengira
dapat menerabas angin dan fajar, memutus air dan api
dapat menerabas angin dan fajar, memutus air dan api
setiap pelosok ujung bumi mereka namai tanah pengasingan
dengan kapal-kapal oleng mereka kirim para pesakitan
terlunta dan kejam. tapi tahu apa mereka tentang fajar?
fajar mengandung angin pagi, air dan lidah api, menyepuh satu
bumi tempat lahir dan mati
maka engkau, syarif peto, tak merasa asing terbuang
dari tanjungbungo ke pinelang, saudara jua yang kaujelang
engkau perantau sebagaimana semua orang perantau
di bumi jalang. maka sebagai sesama perantau
perkenankan kusentuh nisanmu
dan kucium batu sembahyangmu
dengan rida hati si anak dagang, entah kapan akan pulang!
/Manado-Yogyakarta, 2009-2011
Maut Tidak Bertindak Sendiri
-untuk
Frans Nadjira
Benar, maut tidak bertindak sendiri
di tanah ini
semua tangan bahkan setiap jari bisa jadi sekutu
yang akan membelai
atau mematahkan tengkukmu
Tak ada beda. Seperti siang atau malam
bukan soal gelap-terang cahaya
Sudah kau katakan, maut tidak bertindak sendiri
di bagian mana pun tanah ini, dan aku percaya
Sebab bahkan di langit dan di udara
ada yang mati
apalagi di sawah berpagar kawat berduri
peluru menghambur ke pelukan
perempuan hamil dan punggung baju delapan petani
terkoyak, tembus ke dapur dan pohon mahoni
Ya, maut tidak bertindak sendiri
Ia mesti melibatkan masinis kereta
yang abai membaca sinyal tanda bahaya
dan sinyal pun abai membaca mereka
karena sudah tua
Maut melibatkan nakhoda kapal karat
pembuat data statistik
yang menganggap orang melarat
sebagai barang antik pecah-belah
para dokter rumah sakit bedah
yang meninggalkan catut di perut pasiennya
bahkan melibatkan lumpur
dan mesin bor yang patah!
Di tanah ini
Apakah maut yang pengecut
atau para sekutu khianat
yang terkutuk hidup?
Ya, Allah, izinkan aku bermuka-muka
dengan mautku sendiri
kelak bila tiba!
/rumahlebah Yogyakarta, 2009
Taman Rawa
I
selunak insang ikan gabus, setipis daging ikan lasi
sulur-sulur dan akaran bening tumbuh tembus pandang
ke lumpur hitam. teratai dan kiambang mengambang
bagai gaun hijau terawang, sampan birahi bagi pasangan kodok
bergoyangan, buahi telur-telur lendir seperti peta
atau jala kusut anak-nak masa depan,
di gubuk-gubuk rongsok para nelayan
setajam sirip ikan-ikan pepuyu, seruncing patil ikan patin
tunggul-tunggul kayu muncul ke permukaan dari genangan
serupa tangan-tangan gaib memikat kawanan capung
dan belalang
hinggap dengan sayap terbakar, amsal sejati bagi petani
dan peladang yang kehilangan huma dan hutan
II
ini taman rawa, keajaiban alam raya dalam pengembaraan kita
semua kita pandang dari sisi perahu: siput, lumut
kadal dan ular. tanagn ingin menyentuh lumpur pekat
namun tubuhmu yang kudapat
taman ini lunak, tiada tempat berpijak
jika aku meludah karena aroma masam
aku takut kau tak paham: kita disini bersampan
jauh dari daratan, terlalu muak
kita tinggalkan segala yang diangan
telah kita muntahkan serapah di jalan-jalan
dan taman liar ini kita minta sulur langit
mengetok kepala kita
menjadi sepasang kodok
yang jinak waktu bercinta
membuahi telur-telur lendir di atas air, musuh abadi
bagi larva nyamuk belang kaki
yang berdenging pedih di telinga nelayan dan petani
tanpa asap dan api
III
di dalam rawa mengeras fosil gajah purba
ikan-ikan tua ribuan tahun
mengerak pula bebatuan dan batang pohon terendam
tapi bukan itu yang kucari dan hendak kubangkitkan
aku menginginkan dayung patah para nelayan
beserta cangkul majal para petani
buat kusambung dengan likat lumpur
ruas tulang dada sendiri
IV
di air coklat kuning
seekor ikan merah mengecipuk memecah hening
mencipta lingkaran-lingkaran tahun
di kulit air. waktu engkau kukerling,
kecipuk waktu itu berasal dari lubuk matamu
yang perlahan mengembang jadi rawa-rawa
membentang lengang ke arah senja
secercah bunga bakung mekar di antara gelagah
dan semak-semak rendah, secercah senandung kanak pecah
di bibir yang meronta: kita tak bisa kembali
– jangan kembali!
selamanya di sini menjadi bagian
taman raya
di rawa-rawa pembuangan lunak-kekal ini
berbahagia dan menderita bersama nelayan dan petani
membangun sebuah tempat berpijak
di lumpur dan air bumi.
/Kalteng-Yogyakarta, 2010-2011
Api Bawah Tanah
: bagi
mereka yang bergerak dan tetap nyala
Hamparan
diam tanah gambut
padang
tidur belukar perdu
hidup
terbelit cinta dan maut
dekat atau jauh, tersembunyi rinduku
dan
takutmu.
Sebuah titik-api nyala
di akar sebatang pohon duri
duri yang menjaga
akar yang menghidupkan
secuil titik api
jadi api bawah tanah
sabar menanti
yang bakal runtuh
dan musnah.
Jadi padang basah ini berasap
bukan tanpa sebab. langit yang tabah
menerima pengaduan
sudah mencatat: setelah pohon-pohon diupacarai
lalu ditebang, huma digusur kota dibangun
jadi kebun seluas bumi, di manataman bunga
matahari? Lalu siapa yang bisa
membujuk api? Tak ada.
Kecuali pintaku pada dunia:
Jangan beri aku belukar
perdu
menyimpan
onak, ular beludak
beri aku
sebatang pohon duri
melintas
batas padang kerdilmu!
Tapi kau dan sepasukan angin gila
mengepungku dari arah rawa-rawa
dengan tubuh luka dan berdarah
erat kupeluk pohon duri masa kecilku
seperti tubuh ibu yang bergetah
merekat ingatanku sebelum pergi jauh
– bertahan dari runtuh
Lalu angin santer menjala siapa saja
bringas, menggerakkan sepasukan ilalang
mengepungku di lain sisi, bagai penyamun buta
menunggu yang tersekap
jatuh ke bumi.
Ketahuilah wahai dunia
aku tak
takut jatuh
aku
hanya takut nyangkut
lalu
tampak seperti jatuh!
Kemudian datanglah masa itu
masa di mana ibu-pohon-duriku ditebang
seribu titik api dipadamkan
dan seribu berkobar lagi, sendiri
maka aku berkata, selirih gemertak ranting patahan
seperti bisa ular derik musiman:
Kau yang membunuhku
akan
dibunuh oleh waktu
setiap
yang dipadamkan
akan
nyala lebih dalam
Setiap yang dilenyapkan
akan bersekutu dengan akar
jadi api bawah tanah,
jadi puisi tanpa nama
jadi lapar seribu nama!
/Pelaihari – Yogyakarta, 2007
Jalan-jalan di Bumi
:
subagio sastrowardoyo (1924-1995)
jalan-jalan di bumi tidak membawa kita pergi
dari bumi, hanya
menghantar ke dunia
sunyi dan kata-kata, di mana terlantar
mereka yang tak berdaya dan tak pasti makna berita:
bumi atau duniakah yang
kita cinta?
bumi dan dunia apalah beda!
bagai seorang sirkus peniti tali
kita tak tahu, jatuh ke kanan atau ke kiri
lebam di bumi, dan terluka
dunia memintanya kembali
maka ada barangkali: bumi ibu sejati,
menerima segala dengan kasih. dan dunia
adalah sabda yang senantiasa meminta
kita tabu menyerah,
bangkit dan bangkit lagi
dalam adonan sepotong roti tawar
diterbangkan angin sakal waktu malam
tercelup sungai tohor dan kali dangkal.
jalan-jalan melingkar ke pusat dunia
jalan-jalan bercabang mengkhianati dunia
jalan-jalan di bumi kabut di peta
sejak itu, bukan oksigen atau ozon
menyelimuti bumi kita
tapi kata-kata
di mana terlontar firman pertama
dan bangkit ia yang menderita: bumi atau duniakah
yang bakal lebih dulu musnah?
/rumahlebah Yogyakarta, 2007
Gambar Oemboel
Sudut pasar malam. Lapak mainan anak
Pak Tua berambut perak
Seseorang menambatkan ingatan
pada lambang gunung sebuah
tak lupa ia: garis dan warna, kisah dan nama,
bahkan aroma dan angka-angka.
Dan ia sebut, Gunung Kelud,”*
takzim-takjub. Seketika,
gambar-gambar hidup
melayang sepenuh kenang
tersentuh sendu lampu-lampu
pasar malam. Berkilau
seriang kunang-kunang masa silam:
Gambar buah-buahan, segala hewan.
Panji Semirang, Si Buta & Jaka Sembung
di kepalanya terasa
terus bertarung, terus membubung
serupa angka-angka
yang ia pertaruhkan
dengan teman sepermainan
di kusam tikar rumah kelahiran. Pun Sunan Kalijaga,
sesekali kisah nabi dan orang suci
mereka lempar ke udara
di halaman belakang
tersembunyi
(sebab orang tua adalah si suci lain
mengirim mata-mata kepada anak riang bermain)
tapi gambar-gambar terus melayang
telungkup atau telentang
tetap dinanti
dengan degup lunak jantung kanak
yang mesti belajar keberuntungan.
Siapa beruntung? Gemerincing uang logam
senyaring lonceng sekolah
pelerai permainan, begitu pula ingatannya
di ambang usai pasar malam: Pak Tua
menghitung hari-hari
kalah….
Di kusut rambut perak itu
ia saksikan sekali lagi
gambar-gambar timbul tenggelam,
gambar-gambar oemboel kusam,
berkisah tentang ayah, guru sekolah,
guru mengaji: mereka yang
kalah
di angka tinggi!
/rumah lebah Yogyakarta, Agustus 2005
* “Gunung Kelud”(GK) merupakan simbol terbanyak gambar
oemboelyang ada di pasaran, khususnya pada tahun 80-an. Penulisan“oemboel”
dipertahankan demi merujuk suasana masa lalu.
Cembengan
Cembengan. Temanten tebu
pahit-manis hidupmu.
Orang-orang dengan pakaian rombeng
mengarak kalian, sepasang tebu pilihan,
dari kebun segala hama, dari keluh-kesah segala bencana
Atas nama harapan dan nasib baik
kalian pun bernama: Nyai
Manis-Kyai Respati
“O, hari baik yang kami punya, kabar baik bagi semua
Dengar, musim tanam cepat menjadi silam
di lengkung punggung kami yang segera tegak kembali
dimusim giling dan suling ini!”
Mereka buka panggung gembira di arena pasar malam
Mereka buka panggung baju di arena pesta kerja
Mereka elukan sepasang pengantin
yang lewat membelah jalan
desa
Sementara di atas kereta kuda
Nyai Manis dan Kyai Respati
siap menepati janji
bagi pengorbanan diri
lihat, sisa daunnya sehelai-dua
melambai takzim dan gembira
karena sepasang tebu pengantin
akan dikawinkan
sang waktu: nasib yang ditahtakan
di atas mesin pabrik tua
untuk digiling pertama!
Lalu abu hitam dari putih tubuhnya
berhamburan ke angkasa
lalu deru cerobong dan mesin-mesin tua
memulai pesta semusim bagi para buruh
yang selalu percaya upacara temanten tebu
adalah berkah dan derita. Entah berapa musim pengantin lagi
membuahi nasib baik yang mereka pinta.
/rumahlebah Yogyakarta, 2005-2006
Cembengan merupakan ritual tahunan
menyambut musim giling dansuling tebu di pabrik gula Madukismo, Bantul,
Yogyakarta.
Babaranjang
aku melihat legam punggungmu, ayah
atau orang lain seperti ayah, berkelabat
begitu dekat, dengan tulang belakang terentang
serupa rel atau tangga ke langit, menyunggi barang galian
perut bumi—melintasi hamparan bahu
dan bungkuk kudukmu, berpunuk, penuh bungkulan
serupa getah karet baturaja, sehitam batubara bukitasam
terentang jauh dan panjang, o, babaranjang!
segalanya terdedah di atas bak hitam terbuka, tapi siapa
yang bisa menyentuh muatanmu, kecuali si panjang tangan
sumber derita, di kota-kota dan bandarlama atau pelabuhan
hampa, meski segalanya masih terikat pada rel karat itu
—tulang punggung ayahku atau orang lain
yang
sama getas dan kelabu
ya, aku melihat punggungmu ayah, beribu-ribu punggung
berjejer dari gunung ke kota hingga pantai terujung,
di sana, dicambuk gigir roda-roda baja, terkelupas
dan berdarah, di tengah gigil dan deru rindu semesta
kusaksikan pemandangan menakjubkan dari derita:
kereta hitam bak terbuka melaju terbang ke bulan
yang perlahan gerhana!
/Palembang, 2006-Yogyakarta, 2007
Babaranjang, akronim dari Batubara Tarahan Panjang,
sekaligus menjadi sebutan untuk kereta api barang (bak terbuka) yang biasa
mengangkut hasil tambang batubara di daerah Sumatera Selatan dan Lampung.
Bait-bait Kepulauan
Lewat tangan daratan
yang terulur ke laut
Kami memandang tanah seberang
bangsa-bangsa, aneka suku
membayang. Juga benua jauh
dan nasib yang disisihkan. Begitu larut
Kapal-kapal langsir
dalam kabut yang rawan—burung-burung
telah pulang
Tiang-tiang lapuk, patah,
dan kembali didirikan
jadi menara, jadi suar
penunjuk arah di lautan
Telah terbangun jalan air
antara kita
Mengapa tak menyapa?
Padahal hakikat selat bukanlah memisahkan
pulau-pulau
tapi menyatukan.
Begitu juga harkat bahasa
pecahan-pecahan lokan dan
manik-manik
di pantai. Membutuhkan pewadahan lebih dari sekedar
hiasan, sekedar kiasan.
Kami merangkainya
jadi bahasa lautan yang menggarami karang-karang
hingga dengan itu tak perlu senjata
dan meriam ditembakkan
Kami bosan mendengar letusan.
Sudah berabad-abad lengking
kemelaratan ini coba kami tanggalkan
bagi nasib leluhur, cukuplah
kami kini menatap ke depan
Memang, sejarah tak mungkin dihapus
lantaran itu kami selalu tegak membaca:
pantai yang tergerus. Kapal-kapal
mengerat. Satu-persatu pelabuhan tunduk,
pedalaman takluk—remuk-redam
dan terguncang
Demikianlah, sejarah telah tersimpan dan terbaca
Jalan air terbuka dan bahasa mewadah
Tapi letusan tak tercatat, mengapa masih terdengar
dengan wajah disurukkan?
/Yogyakarta, 1999-2002
Pulang Aku ke Pantun Lama
Kelak, awan berarak dalam pantun lama
bukan pertanda air mata.
Dan kau yang membaca
tidak lagi bernama si anak dagang
berdendang malang di kota
malam.
Seorang penyair telah mengembalikannya
kepada hujan, pada hakikat
pengembaraan…
Tak ada air mata. Tak ada dendang
pada lazimnya perpisahan.
Hujan akan turun
dan penyair itu membayangkan basah jalan
dan kebun-kebun, mekar
anggur dan semi daun
Petiklah! Ini daun duniamu juga, bunga, putik dan buah
dadamu juga. Lupakan
kampung-halaman
serta kekasih yang menunggu, agar sempurna
kita pengembara; jauh dari ranah, ibu dan pantun lama:
Awan berarak usah
ditangisi!
Tapi di hari yang murung, di perasaan asing terkurung
mengapa awan terasa lebih bermakna
ketimbang hujan yang menyamarkan air mata?
Lalu, apakah memang tak butuh umpama,
tak perlu dendang dan gurindam
bagi si anak terlanjur
meratap enggan?
Penyair itu, aku, tiba-tiba bimbang kini menimbang
bahasa kasih dari ibu
tak pernah
lekang!
Duh, ibu, bimbang aku, bimbing aku
di jalan-jalan kota jelatang, di kampung-kampung hangus
terbakar, asap yang
membubung
Bukan awan. Bukan pula hujan. Tapi api
yang menantang matahari.
Maka aku tulis buah ratapan
tanpa bunga sampiran agar jerit si sakit malang
menjadi inti sel segala sesal—mekar dalam hujan
Tapi bertahun-tahun sudah kutulis bait sakit ini, Ibu
Bertahun-tahun pula api membakar
Bertahun-tahun pula api membakar
segenap catatan. Kota-kota penuh duri
asap terus menari. Matahari terbit juga
hujan pun turun. Mekar kebun di mana-mana
tapi bukan milik kami. Bukan milik kami
Bahkan jalanan basah menyerap bayangan kami
jadi pengembara kekal, tak pulang lagi. Lalu apa arti puisi ini
jika tak sanggup menampung dendang sedih dinihari?
Maka dengan berlagu dendang kini
aku menulis duri dan bara api dari asap yang menari
terus menari, membubungkan kalimat dan bait-bait sajakku
ke langit tinggi—peraman anggur duka perantauan
Jadilah awan, jadilah hujan. Suburkan, gugurkan:
Buah-buah ratapan, bunga-bunga rindu
kampung-halaman, duri-duri
randu dan tikar pandan
Pun tangisan, kalimat-kalimat tuhan, dalam dendang malang
Si anak dagang—ingin tak
sepi jauh terbuang…
/rumahlebah Yogyakarta, 2003-2004
Payajaras
Aku datangi apa yang layak aku datangi
Jalan berkelok dan
berhenti
dekat lapangan pasar malam aku lalu masuk
sepenuh degup
hati
ke kampung-kampung penuh kilang
tempat saudaraku, perantau tanag seberang,
memeras dan menyuling asin keringat
sekaligus rasa asingnya pada tanah dan langit
yang tak kunjung merendah
bagai menyuling minyak nilam dan air mata
di ladang-ladang yang jauh
di punggung bukit hutan Sumatera.
Aku masuki setiap pintu yang terbuka,
rumah dan kamar seadanya
Betapa bahagia bertemu saudara dan kawan lama
bersalaman dengan tangan keras dan kapalan,
terasa lebih pasti makna berita. Wajah yang tampak tua
saat bertatapan, tiada lain isyarat derita
yang hendak dibagi dan ditanggungkan.
Tiada yang lebih haru ketika seorang ibu berseru
di balik pagar kilang kursi rotan, menyebut nama masa kecilku
yang lama tak terucapkan. Dari gudang tukang las
seorang laki-laki mengulangnya dengan dentang besi
dan percik api. Seorang lain menekan amplas lebih keras
ke kayu kusen, di mana sepasang mata kami jadi kaca
berhadapan, jadi aksen baru pengucapan.
Tak ada yang leleh atau cair,
seperti es krim yang dijajakan
dari Ijok, Rawang, Bukit Rotan sampai Batang Bajuntai
suka-cita kami tak terlerai. Utuh, penuh
Dan kini sebelum berangkulan,
tangan kenangan sudah lebih dulu melingkar di pundak
atau bahu yang dulu lepas dan direnggutkan
jalan tunggang yang kejam.
Kini kami bertemu, dicambuk batang-batang tebu
pagar halaman. Tak ada sepah terbuang, tak ada miang
yang gatal. Dalam diam, dera itu kami tahankan
deru di hati kami simpankan:
Telah aku datangi apa yang layak aku datangi
dan kau jalani apa yang layak kau jalani
Jalan berkelok dan
berhenti
dekat pasar malam, yang perlahan usai,
dekat pasar malam, yang perlahan usai,
saat kampung rantauan itu aku tinggalkan
dengan sisa tawar-menawar
yang membubungkan gema larut kepulangan.
/Selangor, 2008
Bandul Dunia Baru
(dan Bali sebagai
Asumsi dalam Dua Adaptasi)
1.
Tanah-kepulauan atau benua baru
yang dulu hitam, kini kelabu
hidup di antara dua bandul
yang bergerak berayun:
satu berusaha nyaring dan yang lain
bersuara garang
lintasan kenangan dan impian.
Bandul waktu itu bertangan. Ia menggamit
masa silam dan memunculkan layar pucat
yang terguncang-guncang
di balik gelombang, kenangan mendayung
di antara dua karang
“Kita mungkin berperang,” suara itu
nyaring gemanya seirama
bayang-bayang memanjang di laut
–sepanjang lintasan kapal-kapal
dan awan dan koral
Maka laut dan pantai pun dihujani
tembakan, gelegar meriam. Amis darah
dan belerang. Tapi benteng dan parit
teguh memendam
impian akan tahta dunia baru,
barangkali, sorga.
Ribuan gugur di laut menjadi santapan hiu
namanya larut seperti garam yang berkilau
di bawah sinar matahari
Tapi nakhoda dan mualim itu pandai
menghibur diri, sorga itu, katanya
bukanlah pantai yang landai, tapi
sungai, rawa-rawa dan hutan yang purba.
Maka sebagian menyusur hulu sungai
menerobos masuk hutan, membuka huma
mendirikan pondok-ladang dan menugalkan benih kesuburan
sepilihan bijian yang asing mereka dapatkan
dari sekerat paruh burung, di mana terikat seuntai firman:
Tradisi. Tradisi pedalaman!
Barangkali Tuhan mengirim malaikat-Nya, barangkali dewa
turun pada setangkai malai untuk memulai
percintaan baru: kampung-kampung di pedalaman
yang bersusun batu-batu memantulkan warna ungu
waktu malam
Maka tradisi pedalaman lahir dari upacara
kampung halaman, di lumbung-lumbung
di bubung rumah
Buah pujinya keperkasaan dan kesuburan
Kelahiran dan keberangkatan:
Malam-malam duduk melingkar. Seperti ular
memandang rasi bintang
memotong ari-ari dengan sembilu dan kulit kayu,
menggantungnya di akar, di dahan
di pohon-pohon. Setangkup kulit ari,
dupa dan menyan
membubungkan pinta musim: cinta-kasih
buah permohonan
tak putuslah ikatan di bumi berpenghidupan
Di malam-malam lain yang lebih dingin
mereka menabuh tambur
mengenang ruh
gugur di laut. Membikin peti bujur sangkar
sambil mengingat pantai yang tak landai
lalu mereka bakar beramai-ramai
dengan menari di pinggir sungai
semua berlangsung di bawah nyala obor
koor cak-cak-cak
dan gemercik tuak
dalam bumbung. Ada juga seorang tua berkata,
“Ini pertanda baik bagi kita semua.
Padi tak digara, tanah rindu minta digaru. Ketela tumbuh
tanpa diganggu babi dan hama. Beginilah seharusnya
Kanak-kanak yang lahir biar belajar
kesabaran dari leluhur. Keperkasaan menjaga
warna tanah. Ini kasta yang kita warisi buat mereta
Mereka memang masih muda
Dan bila mereka pergi jangan ada yang menangis.”
2.
Begitulah, anak-anak yang berangkat dewasa
Separoh usia kanaknya dihabiskan
menyerap upacara
dan mantram tanah. Malam-malam
sehabis membakar peti
atau mengundang dewi padi
mereka seperti tak diijinkan lelap
hingga menjelang pagi
Cerita dan buah tutur silih-berganti
jadi pitutur, jadi sulur, dalam tidur yang singkat
tiba-tiba mereka merasa cepat dewasa
menjaring ruh
Sebab bila mereka menyentuh gantang tuak pada bambu
tak ada yang bisa mencegah karena larangan,
“Jangan sentuh!”
menambah gelegak pada darah.
Bahkan ketika mereka putuskan
mengusap dupa
di wajah mereka yang penghabisan
lalu turun tangga
dan bersumpah di halaman akan mencari leluhurnya,
tak seorang pun dapat mencegah
“Sampai ujung dunia,” kata mereka.
Bahkan seorang orang tua,
seorang sepuh yang dulu tukang berkata-kata
hanya sanggup mencabut keris kebesarannya
dan berkata dengan kecemasan yang sukar dilukiskan,
“Seperi kataku, jangan ada yang menangis.
Sudah kuduga akan lahir dari sini jurumudi,
menggelegak darahnya merindukan
lautan. Aku tak menangis, karena kita
berasal dari lautan yang sama
ke sana kita akan kembali, ke sana
mereka akan pergi
Tapi, Dewa yang Agung,
adakah di antara mereka
jurupeta? Kami lupa mengajarnya,
tradisi kami
tradisi pedalaman yang penuh percintaan
ketimbang penaklukkan
kami hidup dari lisan, mantra dan upacara,
dan membangun rasi sendiri
di bumi, gugusan masyarakat
wiracarita...”
Ia lalu menikam dadanya yang sebelah kiri
dan darah mengalir seperti mata air
yang baru disapih
memberi warna lain
pada tanah di bumi
Beberapa orang masih sempat menatapnya di pembaringan
dan memejamkan mata dengan khusuk di
sisi ranjang;
Ia juga merindukan laut, maka ke sana ia akan pergi,
kata seorang lain, juga menjelang tua
Di tangannya amis darah dan belerang
Matanya kuda jalang yang memendam impian akan darah
dan kasta biru, tatanan keindahan yang direngkuh,
barangkali dari sorga.
Setelah itu, para perindu itu berangkat juga akhirnya,
hanya separoh dari upacara pembakaran mayat dalam peti
mereka ikuti. Seorang tua telah mati,
tak kuasa mencegah yang pergi
Maka ratapan perempuan kuyup air mata seakan arak lain
yang menggelegakkan keperkasaan di dada mereka
“Begitulah perempuan, selagi muda menjadi tukang goda,
tua sedikit menjadi ibu yang gampang menangis,
tua dan sepuh menjadi tukang cerita!”
“Aduh, anak, cerca kami sepuasmu
demi alasan kembangkan layar
tundukkan lautan sekuasamu
perahumu karapan dalam impian!”
Tapi bumi tak pipih atau panjang seperti tali,
bumi lingkar, berputar, tak berujung, tak berbatas
malam dan siang
Kecuali sepotong tanjung atau pantai karang
yang mempertemukan mereka dengan
laut dan gelombang
selebihnya benar-benar perairan sunyi,
yang tak jinak yang tak mereka ketahui namanya
tanpa tepi. Menjadi begitu sukar ditaklukkan dan diseberangi
bahkan dalam imaji:
“Barangkali kita harus memberi nama
tempat ini tapi sangsi apakah
di sorga masih perlu nama.”
“Barangkali ini ujung dunia yang kita buru,” kata yang lain
yang merasa telah sampai, mencapai, “Tetapi mengapa selalu ada
ujung lain yang mengharu-biru?”
“Kita tak membutuhkan nama tampaknya,” seseorang,
kawan atau lawan, sekutu atau seteru, menggebu,
“Yang kita butuhkan cuma perahu,
sampan atau apa, entah mengapa
imajinasiku bekerja bahwa di seberang sana
masih ada dunia, ya, mungkin sorga yang sebenarnya
tapi tunggu sebentar, biar aku ingat sesuatu, ah, celaka!
Aku lupa cara membuat perahu dan dayungnya, lupa
rancangan benda-benda, bahkan bentuknya!”
“Terkutuklah engkau yang tidak mempunyai nama
tapi butuh benda-benda. Bukankah
benda-benda bersumber dari nama—ilham dan kata-kata
ibu bapak kita?”
“Biarlah keduanya ada dan tumbuh
peduli akhir dan dulu, barangkali kita sama butuhnya!”
sahut yang lain, agak bungsu, tapi pandai menghibur:
Katanya, “Kita pastikan saja, di seberang sana, sorga
Leluhur kita ada di sana. Tapi jangan bertandang
biarkan mereka istirah.”
(Barangkali mereka bukan pengembara
tapi petualang yang mencemaskan sorga—yang purba,
antara ada dan tiada)
Lihat, mereka surut. Tapi ombak tak surut dan pasang
tak susut. Laut yang tenang
diam-diam menyeret tulang-belulang, bangkai kapal,
manik-manik terhantar begitu menakjubkan di pantai
Ada yang mengumpet pasir kemudian. Mengelupas
kulit kerang. Mengikis lumut dan bebatuan
seperti tak percaya pada ketakjubannya sendiri:
“Alangkah indah. Ini seperti sebuah mimpi
Bila terjaga, undanglah tamu-tamu
beritahu siapa saja bahwa ada juga sorga
eksotik, angin dan kersik, aroma tropik
di tanah kita. Tuhan memberi kita dunia baru,
sorga penciptaan. Lupakan ibu
Mumpung terjaga
semuanya harus bernama, harus diberi sebutan.”
Begitulah asal-muasal kelahiran
peta dunia baru. Tetapi bukan itu pangkal kegelisahan
penyair seribu tahun kesunyian ini. Suara itu masih nyaring
gemanya dan dekat pada kematian
Maka bandul waktu harus bergerak berayun dengan garang
agar semua terbangun
dari selubung impian yang tercipta atau diciptakan
Aku bandul. Maka aku bergerak
melintasi waktu, musim-musim membatu, hantu-jisim
siang-malam dan mimpimu
mengelupaskan garis maya
tata dunia baru; yang memberi nama dan sebutan
pada tanah kepulauan, benua,
segenap daratan
Aku bandul kekinian, harus garang
meneriakkn kesadaran baru
bukan impian akan dunia baru!
/Denpasar-Yogyakarta, 1999
Tentang Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua lahir di Lansano, Kenagarian
Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barata, pada 19 Januari 1975.
Pernah merantau ke Denpasar, Bali, dan bergabung dengan Sanggar Minum Kopi. Ia
kemudian hijrah ke Yogyakarta dan masuk jurusan teater, Fakultas Seni
Pertunjukan, ISI, Yogyakarta. Buku kumpulan cerpennya: Pulau Cinta di Peta
Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang tak Berulu
(2005). Kumpulan puisinya: Gugusan Mata Ibu (2005) dan Api Bawah
Tanah (2013).
Catatan Lain
Puisi terpanjang di buku ini adalah Pengakuan Si Malin
Kundang, memakan 18 halaman buku (hlm. 97-114). Saya nyerah untuk
menuliskannya di sini. J Padahal puisi tersebut meraih penghargaan Sih Award 2005
dari Jurnal Puisi.
Seperti
disebutkan di atas, buku ini terdiri dari 3 bagian. Nah, di halaman judul
masing-masing bagian tersebut, muncul petikan puisi Sutan Tsabit Kalam Banua,
sang anak. Di bagian Pertama, Bait-bait Kepulauan, muncul ini:
mulut-mulut berbunga
tokoh-tokoh berbicara
tapi masa depan kita
tidak satu pun terucapkan
Sutan Tsabit Kalam Banua, 2004
Bagian kedua, Bandul Dunia Baru, muncul ini:
kalau kau ingin ke bulan
masuklah ke tv
dan jadilah Doraemon
Sutan Tsabit Kalam Banua, 2004
Bagian ketiga, Taman Rawa Bandar Sepuluh, muncul
ini:
wahai dunia! Kerjakanlah
pekerjaanmu
sampai langit ke-7
Sutan Tsabit Kalam Banua, 2009
Halaman persembahan buku ini hanya berisikan 4 kata:
untuk/tahya dan tsabit.
Tak ada endorsemen. Hanya Pengantar Penyair
sepanjang 6 halaman. Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar