Data buku kumpulan puisi
Judul : Cinta Usang,
Sehimpun Puisi Cinta Basi
Penulis : Gus Noy
Cetakan : I, September
2016
Penerbit : Abadi
Karya, Balikpapan.
Tebal : 100 halaman
(70 puisi)
ISBN : 978-602-98452-2-8
Gambar dan rancang sampul
: Agustinus Wahyono
Prolog : Muhammad
Rois Rinaldi
Beberapa pilihan puisi Gus Noy dalam Cinta Usang
Kecupan Nista
Ada sebuah kecupan
Seperti bibir Yudas Iskariot
Di Taman Getsemani
Rinduku Mengalir pada Peta Butamu
Harus kularung ke manakah
Rindu ini
Sedang letak lautmu tak terpeta
Kecuali anak-anak sungaimu
Pasang-surut mengalir mengering
Harus kujawab bagaimana
Lebam ini merajam dalam
Sedang dirimu tergantung gelombang
Muncul tenggelam bernyanyi sembunyi
Andai tak kuhirau serak parau
Ombakmu menyenggol garis peta
Kausangka aku cuma angin
Hembuskan hasrat sekilas lenyap
Hembus lagi lenyap lagi
Perasaan jadi perahu kayu dimainkan
Angin gelombang
Andai terus kutunggu hingga bibir pantai
Menangkap nyata garis petamu
Harus sampai berapa kalender lagi
Terkelupas terhanyut hingga ke buncah
Ombak dalam peta butamu
Cinta Usang
Sebenarnya siang tapi menjadi sore karena
Terlampau jauhnya waktu hendak menjangkau
Sekilau pukau pagi
– Pagi tergesa pergi dari rindang mangga di
depan pintu Babarsari –
Katanya, hendak mencari batu lalu dipecah
Dapatkan cinta di dalamnya
Sebenarnya sore ketika matahari hanyut di
Selokan Mataram yang sedari dulu menjagai
Pepadian hati para pencinta
– Pencinta alam menarik tali tambang di
Pinggang jembatan di atas sungai Tambakbayan –
Katanya, bening sungai sebening hatinya
Lihatlah cinta di dasarnya
Sebenarnya pagi bagi dirinya tetapi siang
Datangnya cinta karena waktu berbeda rasa di
Antara tebing terjal dogma
– Dogma memisahkan waktu cinta rasa
Di simpang tiga Jalan Lingkar Utara –
Katanya, seperti tawarnya Tambakbayan tetapi
Manis madu memadu kenangan
Sebenarnya malam menutup jarak pandang dan
Jangkauan namun kelelawar membawa bulan
Merambati waktu sampai bertemu di gapura mimpi
– Mimpi memeluk cinta usang yang melaju di
Jalan Kledokan—
Katanya, cinta usang ibarat anggur
Semakin usang semakin menyenangkan
Mabuklah asmara dari malam menyalam malam
Rindu yang Menghanguskan
Rinduku adalah api yang membakar hutan dan
gunung; membakar daging dan tulang; membakar
tahta Bosgrod dan Dafen Oreade – kepiluan bagi
Driade. Rinduku selalu menyala pada setiap ratapan
Obrios menggerai rambutmu. Apinya dari hati; jauh
jangkau Aeternitas Kronos. Warnanya biru lampaui
Laut Aegenia lengan Proteus Poseiden dan langit
Kranaea.
Kabut asap yang meredam langkah-langkah adalah
geram dendamku paling dalam padamu. Mata
terbelalak tetapi pejam; api yang menjamah jengkal-
jengkal kulitmu; memilin debu-debu. Rinduku
menjalar-jalar; jembatan jantungku menuju
jantungmu di atas Prifelgeton. Enyahkan saja
Afrodita Anteros dari sel-sel tubuh.
Ini benar rindu membinar seperti nanar pada lekukan
Ionic Order di Kuil Olympieon meski hati terdampar
pada Doric Order di Kuil Aphaia dalam pencarian
asal-muasal pada tiang-tiang kayu sunyi.
Pantunmu
Bersama pelepah-pelepah mengayun resah
Kautenun kata menjadi sekatun pantun
Patung petani disepuh gerhana
Bayangnya lebur di sebelah kiri
Pantunku ini pantun sederhana
Hanya menghibur diri sendiri
Kemudian kaugantung di pagar depan rumah
Menarik-narik mata melirik
Menenung orang-orang lewat
Alunan kaki orangorang terhenti
Tercenung
Seakan terpatuk ular tedung
Kautuntun mereka untuk melantunkannya
Seperti senandung sebuah kidung santun yang
Membendung lenggang kangkung mendung
Merubung halaman cakrawala
Patung petani tak’kan menyanyi
Setiap suara terpantul hampa
Pantunku ini pantun yang sunyi
Ungkapan hati mengharap sapa
Tapi hanya untuk sejenak melantun
Pantunmu basah oleh kuntum matamu
Tenungmu urung mengurung mata
Dilarung ke sebuah kedung yang dalam
Semakin meresahkan pelepah-pelepah
Melupa
Mungkin kau ingin menjadi
Lucy Whitmore *
Melupa kemarin juga cinta kemarin
Melupa kemarin juga cinta kemarin
Hari ini adalah hari ini
Kemarin entah ke mana ingatan pergi
Esok pun akan lupakan hari ini
Pertemuan berulang menjadi
Kebaruan lagi
“Namaku Lucy Whitmore,” di hari ini
“Namaku Lucy Whitmore,” di esok hari
Pada seseorang tiada berganti
Lalu kecupan keduapuluh tiga selalu
Terasa bagai kecupan pertama
“Tiada yang mengalahkan kecupan
Pertama,” katanya hari ini dan besok
Demi besoknya begitu juga
Kau ingin seperti Henry Roth **
Pencinta aneh kendati hanya tokoh ilusi
Dan berkata, “Cinta adalah kata yang berat.”
Lantas memeras gagasan baru saban hari
Demi bincang dengan sang pelupa
Aku teringat kau selalu ingin menjadi
Tokoh utama dalam setiap film yang
Kau saksikan mendadak kau merasa diri
Protagonis tanpa sepengetahuan sutradara,
Produser, penulis naskah
Aku bisa menangkap dari celah air muka
Binar bola matamu
Tapi kali ini kau benar-benar ingin melupa
Jarum jam membeku
Angka almanak mati di situ
“Siapa namaku?” tanya setiap jumpa
Pada satu orang kemarin atau kemarinnya
Seperti Lucy Whitmore
*dan ** adalah tokoh dalam film 50 First Dates.
Kuincar Cintamu
Kuincar cintamu
Di balik rinai ringkih hujan
Menandai benih Juni
Pada pertengahan jalan
Menuju bakal simpangan
Mangkalnya pemain simsalabim
Kuincar cintamu
Yang cukup kuyup dalam lunglai
Baju sekuncup pagi yang gugup
Mengelupas waktu di juntai
Tangkai daun sirsak
Kuincar cintamu
Cinta sesemi musim bunga mekar
Menyemai biji-biji cahaya
Menyemat bidang-bidang kaca
Perdayai jarum-jarum arloji
Seperti jinak kucing mengusap bulu
Pada tungkai seorang penjagal
Sajak Sebongkah Batu
/1/ Ada yang membawa sebongkah batu dari galian
yang tidak pernah digagas igauan dari tanah yang
tak terpetakan pikiran
Sebongkah batu sebongkok waktu sebelumnya tidak
pernah bertamu apalagi terperosok pada kalender-
kalender rongsok
/2/ Ada yang membawa sebongkah batu meminta
diukirkan sebentang peta dengan torehan pena
bertinta merah jambu biru langit
Sebongkah batu sebongkok waktu terperosok di
lubang mata sampai pelosok palung hati
menggerakkan kaki ke lantai dansa porak-
porandalah waktu membiru bulatan kepala merah
jambulah cakrawala
/3/ Ada yang membawa sebongkah batu
menyandungkan kaki-kaki yang tengah berdansa
menderakannya dari senandung dan dekapan
lerailah segala igauan dari peta pikiran terlempar
jauh menjauh
Sebongkah batu sebongkok waktu terpelecoklah
palung hati terseok-seok mengelupas kelopak
kalender tanpa merah jambu biru langit bertamu
pena patah teronggok tanpa tinta
/4/ Ada yang membawa sebongkah batu dalam dada
dalam kepala seberangi laut-laut lompati pulau-pulau
lintasi peta-peta lampaui waktu-waktu
Sebongkah batu sebongkok waktu tidak lagi tergali
oleh igauan dan pikiran karna hitam-putih dipilih oleh
kalender baru meski membara dalam dada
/5/ Ada yang membawa sebongkah batu waktu lewat
sungai yang membagi kota lewat laut yang
membelah pulau sedang warna-warni mengalir
deras lebih deras daripada hujan meluncuri kepala
lebih deras daripada alirannya mengucuri dada
Sebongkah batu sebongkok waktu mempertemukan
goresan pudar tinta menelikung kelopak kalender
koyak tanpa pernah dipetakan igauan dan pikiran
/6/ Ada yang membawa sebongkah batu
menyandingkan kaki dan kaki di dinding dada
menyenandungkan deraan igauan mendansai merah
jambu biru langit sisa dekapan
Sebongkah batu sebongkok waktu membongkar
segenap goresan peta pagar pikiran yang
sebelumnya tidak tertoreh di lembar lontar karna
peta patah teronggok tanpa tinta peta hanya
bercengkerama dengan kepala dan cakrawala
/7/Ada yang membawa sebongkah batu diletakkan
di tengah garis sungai dan tengah goresan laut
menautkan kaki dan kaki, senandung dan dekapan
sebongkah batu sebongkok waktu membongkar
bekas galian bekas igauan mengokohkan merah
jambu biru langit palung hati
Suaramu
Sedepa jalan jarum arloji menjumpa
Sapa dari pancar rekah bibir bungamu
Lebih semerbak daripada sedap malam
Jarum jam arloji terhenti di pinggir
Pertigaan terhadang sekuntum senyum
Ranum terampas roda mesin meraung
Seperti Katamu
Seperti katamu
Kita tak bisa cipta cinta
Kecuali mengolah
Karena cinta itu anugerah
Seperti katamu
Cinta bukan nafsu
Nafsu bukan cinta
Tetapi cinta perlu nafsu
Seperti katamu
Nafsu itu sepucuk sumbu
Menyerap minyak hasrat
Siap menggelorakan berahi
Seperti katamu
Berahi itu api
Entah jilatan neraka
Menyulut sepucuk sumbu
Seperti katamu
Sumbu mudah tersambar
Apinya menyala-nyala
Hanguskan hati
Seperti katamu
Hati meletakkan cinta
Pada tahta puncak jiwa
Di bawah Mahacinta
Seperti katamu
Mahacinta selalu bersabda
Tentang cinta semestinya
Bisa menjadi puisi
Seperti katamu
Puisi bisa kita cipta
Dari jejak-jejak dan jeli
Berbumbu cuilan cinta
Rumah Mungil di Bawah Bayang Bulan
Rumah mungil di sudut dusun menyambut
Sejejak sajak singgah sejenak
Sebinar mentari senja pada
Bebatuan dan permukaan aliran sungai
Menyampaikan kabar debar
Melambai-lambai kerai bambu
Persinggahan sajak adalah percumbuan
Antara senja dan malam larut dalam
Sarung sepasang mata yang setengah
Rekah menerjemah decak sekitar lampu
Minyak ataukah sedikit mengoyak
Tabir yang belum cukup waktu
Bayang-bayang bulan mencoba
Merasuki rongga ruang tamu berisi
Suara serangga menggigil memanggil
Hujan dari sekitar empang ikan nila
Berbilik bambu
Sajak memang sekedar singgah pada
Lintasan lampu minyak
Kau
Kau adalah puisiku yang tak jua
Usai kutulisi sejak kecupan pertama
Pada pipi pena
Disconnectate
Ketika garis tergores pada layar
Di titik koordinat manakah dirimu
Snapku mencari, nihil di ujung garis
Cursor susuri setiap sudur, tiada tanda
Kubuka window, pilih floating palettes
Show dan hide project hingga
Hilang objectku tak mampu temukan
Jejakmu
Di manakah endpoint snapmu
Dengan mengklik all untuk semua titik
Berharap ada tanda diam adamu
Masih saja tak terdeteksi
Jangan-jangan program kita berbeda
Tawanan Cinta
Dia menyerbu di pagi buta
Menduduki hatiku dan bertahta
Diriku tak berdaya
Dia mencipta
: Aku tawanan cinta
Wajah Hujan
1
Hujan memajang seraut wajah
Berambut basah menyisiri jalan
Tanah beratap rambutan kelapa
Kehilangan jejak-jejak robekan
Kertas dari jendela terhapus
Puluhan musim tergerus waktu
Seraut wajah pagi memanggil
Sebersit sinar dari sela pelepah
Kelapa melangkah pelan
Kecuali hujan
2
Hujan menggiring wajah-wajah
Menapakai jalan tanah berbau kandang
– terkadang babi ternak asik melenggang –
Ada jejak surat puber ditulis di belakang
Meja menjawab suratan misteri
Menyisa kenapa tanpa jawab menyapa
Kecuali guyuran hujan
3
Hujan tak berjanji pada siapa-siapa
Meski mendung seakan mengundang
Bukti seperti pula jejak-jejak wajah
Sepercik cinta tak selalu selamanya
Cinta selanjutnya selalu mengada
Meski beda jalan ditapaki
Kecuali hujan sepanjang hari
4
Hujan menjalin linang musim
Satu per satu luruh memiuh tanah
Mengubah wajah-wajah untuk berganti
Arah tak kembali ke muasal
Hujan mana peduli tetap ia berjatuhan
Di bayang-bayang wajah berambut
Basah menyisiri langkah menghafal
Pekerjaan dan ulangan menjulang
Di atas kepala beratap rambutan
Kelapa sampai pada lapang gelisah
5
Hujan menuliskan suatu kisah jauh
Di balik berpuluh lembar musim
Berates halaman waktu menggugurkan
Daun-daun cengkeh
Tentang wajah berambut basah di
Seragam putih biru tua jendela hijau
Membingkai sebuah pohon besar
Stadion sepak bola memudar pada
Helaian rerumputan berwajah hujan
Menghapus jejak aroma sahang
Hujan Menggambar Wajahmu
Hujan merajah jantungku
Bergambar wajahmu
Wajah Puisi
Wajahmu memancarkan puisi yang
Dipanggul kunang-kunang menuju
Telaga sunyi di tikungan malam
Adalah bintang
Terbanting tiba-tiba dari langit yang
Sengit ketika senyummu seakan
Hendak meruntuhkan rembulan bisu
Tentang Gus Noy
Gus Noy atau Agustinus Wahyono lahir-puber di kampung Sri
Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel. Lulus dari Prodi Arsitektur Fak.
Teknik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Puisi-puisinya tersebar di berbagai
media massa dan antologi puisi bersama. Sering berpartisipasi dalam even-even
sastra di Indonesia. Kumpulan puisinya: Cinta Usang dan Napak Tilas. Ia juga
menulis pantun, fiksimini, cerpen, esai, ilustrasi, kartun humor, karikatur.
Sekarang tinggal di Balikpapan, Kaltim.
Catatan Lain
Bunyi halaman persembahannya sbb: “teruntuk sang waktu,/rasa
basi bisa jadi sajak usang”. Di sampul belakang ada biografi singkat Gus
Noy dan pernyataan dari Muhammad Rois Rinaldi, mengutip dua paragraf pertama
dari pengantar buku ini: Kemungkinan-kemungkinan Pemaknaan dalam Kumpulan
Puisi Gus Noy. (hlm. 3-9).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar