Jumat, 06 Januari 2017

Gus Noy : CINTA USANG




Data buku kumpulan puisi

Judul : Cinta Usang, Sehimpun Puisi Cinta Basi
Penulis : Gus Noy
Cetakan : I, September 2016
Penerbit : Abadi Karya, Balikpapan.
Tebal : 100 halaman (70 puisi)
ISBN : 978-602-98452-2-8
Gambar dan rancang sampul : Agustinus Wahyono
Prolog : Muhammad Rois Rinaldi

Beberapa pilihan puisi Gus Noy dalam Cinta Usang

Kecupan Nista

Ada sebuah kecupan
Seperti bibir Yudas Iskariot
Di Taman Getsemani


Rinduku Mengalir pada Peta Butamu

Harus kularung ke manakah
Rindu ini
Sedang letak lautmu tak terpeta
Kecuali anak-anak sungaimu
Pasang-surut mengalir mengering

Harus kujawab bagaimana
Lebam ini merajam dalam
Sedang dirimu tergantung gelombang
Muncul tenggelam bernyanyi sembunyi

Andai tak kuhirau serak parau
Ombakmu menyenggol garis peta
Kausangka aku cuma angin
Hembuskan hasrat sekilas lenyap
Hembus lagi lenyap lagi
Perasaan jadi perahu kayu dimainkan
Angin gelombang

Andai terus kutunggu hingga bibir pantai
Menangkap nyata garis petamu
Harus sampai berapa kalender lagi
Terkelupas terhanyut hingga ke buncah
Ombak dalam peta butamu



Cinta Usang

Sebenarnya siang tapi menjadi sore karena
Terlampau jauhnya waktu hendak menjangkau
Sekilau pukau pagi
– Pagi tergesa pergi dari rindang mangga di
depan pintu Babarsari –

Katanya, hendak mencari batu lalu dipecah
Dapatkan cinta di dalamnya

Sebenarnya sore ketika matahari hanyut di
Selokan Mataram yang sedari dulu menjagai
Pepadian hati para pencinta
– Pencinta alam menarik tali tambang di
Pinggang jembatan di atas sungai Tambakbayan –

Katanya, bening sungai sebening hatinya
Lihatlah cinta di dasarnya

Sebenarnya pagi bagi dirinya tetapi siang
Datangnya cinta karena waktu berbeda rasa di
Antara tebing terjal dogma
– Dogma memisahkan waktu cinta rasa
Di simpang tiga Jalan Lingkar Utara –

Katanya, seperti tawarnya Tambakbayan tetapi
Manis madu memadu kenangan

Sebenarnya malam menutup jarak pandang dan
Jangkauan namun kelelawar membawa bulan
Merambati waktu sampai bertemu di gapura mimpi
– Mimpi memeluk cinta usang yang melaju di
Jalan Kledokan—

Katanya, cinta usang ibarat anggur
Semakin usang semakin menyenangkan

Mabuklah asmara dari malam menyalam malam


Rindu yang Menghanguskan

Rinduku adalah api yang membakar hutan dan
gunung; membakar daging dan tulang; membakar
tahta Bosgrod dan Dafen Oreade – kepiluan bagi
Driade. Rinduku selalu menyala pada setiap ratapan
Obrios menggerai rambutmu. Apinya dari hati; jauh
jangkau Aeternitas Kronos. Warnanya biru lampaui
Laut Aegenia lengan Proteus Poseiden dan langit
Kranaea.

Kabut asap yang meredam langkah-langkah adalah
geram dendamku paling dalam padamu. Mata
terbelalak tetapi pejam; api yang menjamah jengkal-
jengkal kulitmu; memilin debu-debu. Rinduku
menjalar-jalar; jembatan jantungku menuju
jantungmu di atas Prifelgeton. Enyahkan saja
Afrodita Anteros dari sel-sel tubuh.

Ini benar rindu membinar seperti nanar pada lekukan
Ionic Order di Kuil Olympieon meski hati terdampar
pada Doric Order di Kuil Aphaia dalam pencarian
asal-muasal pada tiang-tiang kayu sunyi.


Pantunmu

Bersama pelepah-pelepah mengayun resah
Kautenun kata menjadi sekatun pantun

Patung petani disepuh gerhana
Bayangnya lebur di sebelah kiri
Pantunku ini pantun sederhana
Hanya menghibur diri sendiri

Kemudian kaugantung di pagar depan rumah
Menarik-narik mata melirik
Menenung orang-orang lewat

Alunan kaki orangorang terhenti
Tercenung
Seakan terpatuk ular tedung
Kautuntun mereka untuk melantunkannya
Seperti senandung sebuah kidung santun yang
Membendung lenggang kangkung mendung
Merubung halaman cakrawala

Patung petani tak’kan menyanyi
Setiap suara terpantul hampa
Pantunku ini pantun yang sunyi
Ungkapan hati mengharap sapa

Tapi hanya untuk sejenak melantun
Pantunmu basah oleh kuntum matamu
Tenungmu urung mengurung mata
Dilarung ke sebuah kedung yang dalam
Semakin meresahkan pelepah-pelepah


Melupa

Mungkin kau ingin menjadi
Lucy Whitmore *
Melupa kemarin juga cinta kemarin
Hari ini adalah hari ini
Kemarin entah ke mana ingatan pergi
Esok pun akan lupakan hari ini

Pertemuan berulang menjadi
Kebaruan lagi
“Namaku Lucy Whitmore,” di hari ini
“Namaku Lucy Whitmore,” di esok hari
Pada seseorang tiada berganti
Lalu kecupan keduapuluh tiga selalu
Terasa bagai kecupan pertama

“Tiada yang mengalahkan kecupan
Pertama,” katanya hari ini dan besok
Demi besoknya begitu juga

Kau ingin seperti Henry Roth **
Pencinta aneh kendati hanya tokoh ilusi
Dan berkata, “Cinta adalah kata yang berat.”
Lantas memeras gagasan baru saban hari
Demi bincang dengan sang pelupa

Aku teringat kau selalu ingin menjadi
Tokoh utama dalam setiap film yang
Kau saksikan mendadak kau merasa diri
Protagonis tanpa sepengetahuan sutradara,
Produser, penulis naskah

Aku bisa menangkap dari celah air muka
Binar bola matamu

Tapi kali ini kau benar-benar ingin melupa
Jarum jam membeku
Angka almanak mati di situ

“Siapa namaku?” tanya setiap jumpa
Pada satu orang kemarin atau kemarinnya
Seperti Lucy Whitmore

*dan ** adalah tokoh dalam film 50 First Dates.


Kuincar Cintamu

Kuincar cintamu
Di balik rinai ringkih hujan
Menandai benih Juni
Pada pertengahan jalan
Menuju bakal simpangan
Mangkalnya pemain simsalabim

Kuincar cintamu
Yang cukup kuyup dalam lunglai
Baju sekuncup pagi yang gugup
Mengelupas waktu di juntai
Tangkai daun sirsak

Kuincar cintamu
Cinta sesemi musim bunga mekar
Menyemai biji-biji cahaya
Menyemat bidang-bidang kaca
Perdayai jarum-jarum arloji
Seperti jinak kucing mengusap bulu
Pada tungkai seorang penjagal


Sajak Sebongkah Batu

/1/ Ada yang membawa sebongkah batu dari galian
yang tidak pernah digagas igauan dari tanah yang
tak terpetakan pikiran

Sebongkah batu sebongkok waktu sebelumnya tidak
pernah bertamu apalagi terperosok pada kalender-
kalender rongsok

/2/ Ada yang membawa sebongkah batu meminta
diukirkan sebentang peta dengan torehan pena
bertinta merah jambu biru langit

Sebongkah batu sebongkok waktu terperosok di
lubang mata sampai pelosok palung hati
menggerakkan kaki ke lantai dansa porak-
porandalah waktu membiru bulatan kepala merah
jambulah cakrawala

/3/  Ada yang membawa sebongkah batu
menyandungkan kaki-kaki yang tengah berdansa
menderakannya dari senandung dan dekapan
lerailah segala igauan dari peta pikiran terlempar
jauh menjauh

Sebongkah batu sebongkok waktu terpelecoklah
palung hati terseok-seok mengelupas kelopak
kalender tanpa merah jambu biru langit bertamu
pena patah teronggok tanpa tinta

/4/ Ada yang membawa sebongkah batu dalam dada
dalam kepala seberangi laut-laut lompati pulau-pulau
lintasi peta-peta lampaui waktu-waktu

Sebongkah batu sebongkok waktu tidak lagi tergali
oleh igauan dan pikiran karna hitam-putih dipilih oleh
kalender baru meski membara dalam dada

/5/ Ada yang membawa sebongkah batu waktu lewat
sungai yang membagi kota lewat laut yang
membelah pulau sedang warna-warni mengalir
deras lebih deras daripada hujan meluncuri kepala
lebih deras daripada alirannya mengucuri dada

Sebongkah batu sebongkok waktu mempertemukan
goresan pudar tinta menelikung kelopak kalender
koyak tanpa pernah dipetakan igauan dan pikiran

/6/ Ada yang membawa sebongkah batu
menyandingkan kaki dan kaki di dinding dada
menyenandungkan deraan igauan mendansai merah
jambu biru langit sisa dekapan

Sebongkah batu sebongkok waktu membongkar
segenap goresan peta pagar pikiran yang
sebelumnya tidak tertoreh di lembar lontar karna
peta patah teronggok tanpa tinta peta hanya
bercengkerama dengan kepala dan cakrawala

/7/Ada yang membawa sebongkah batu diletakkan
di tengah garis sungai dan tengah goresan laut
menautkan kaki dan kaki, senandung dan dekapan
sebongkah batu sebongkok waktu membongkar
bekas galian bekas igauan mengokohkan merah
jambu biru langit palung hati


Suaramu

Sedepa jalan jarum arloji menjumpa
Sapa dari pancar rekah bibir bungamu
Lebih semerbak daripada sedap malam

Jarum jam arloji terhenti di pinggir
Pertigaan terhadang sekuntum senyum
Ranum terampas roda mesin meraung


Seperti Katamu

Seperti katamu
Kita tak bisa cipta cinta
Kecuali mengolah
Karena cinta itu anugerah

Seperti katamu
Cinta bukan nafsu
Nafsu bukan cinta
Tetapi cinta perlu nafsu

Seperti katamu
Nafsu itu sepucuk sumbu
Menyerap minyak hasrat
Siap menggelorakan berahi

Seperti katamu
Berahi itu api
Entah jilatan neraka
Menyulut sepucuk sumbu

Seperti katamu
Sumbu mudah tersambar
Apinya menyala-nyala
Hanguskan hati

Seperti katamu
Hati meletakkan cinta
Pada tahta puncak jiwa
Di bawah Mahacinta

Seperti katamu
Mahacinta selalu bersabda
Tentang cinta semestinya
Bisa menjadi puisi

Seperti katamu
Puisi bisa kita cipta
Dari jejak-jejak dan jeli
Berbumbu cuilan cinta


Rumah Mungil di Bawah Bayang Bulan

Rumah mungil di sudut dusun menyambut
Sejejak sajak singgah sejenak

Sebinar mentari senja pada
Bebatuan dan permukaan aliran sungai
Menyampaikan kabar debar
Melambai-lambai kerai bambu

Persinggahan sajak adalah percumbuan
Antara senja dan malam larut dalam
Sarung sepasang mata yang setengah
Rekah menerjemah decak sekitar lampu
Minyak ataukah sedikit mengoyak
Tabir yang belum cukup waktu

Bayang-bayang bulan mencoba
Merasuki rongga ruang tamu berisi
Suara serangga menggigil memanggil
Hujan dari sekitar empang ikan nila
Berbilik bambu

Sajak memang sekedar singgah pada
Lintasan lampu minyak


Kau

Kau adalah puisiku yang tak jua
Usai kutulisi sejak kecupan pertama
Pada pipi pena


Disconnectate

Ketika garis tergores pada layar
Di titik koordinat manakah dirimu

Snapku mencari, nihil di ujung garis
Cursor susuri setiap sudur, tiada tanda
Kubuka window, pilih floating palettes
Show dan hide project hingga
Hilang objectku tak mampu temukan
Jejakmu

Di manakah endpoint snapmu

Dengan mengklik all untuk semua titik
Berharap ada tanda diam adamu
Masih saja tak terdeteksi

Jangan-jangan program kita berbeda


Tawanan Cinta

Dia menyerbu di pagi buta
Menduduki hatiku dan bertahta

Diriku tak berdaya
Dia mencipta
: Aku tawanan cinta


Wajah Hujan

1
Hujan memajang seraut wajah
Berambut basah menyisiri jalan
Tanah beratap rambutan kelapa
Kehilangan jejak-jejak robekan
Kertas dari jendela terhapus
Puluhan musim tergerus waktu

Seraut wajah pagi memanggil
Sebersit sinar dari sela pelepah
Kelapa melangkah pelan
Kecuali hujan

2
Hujan menggiring wajah-wajah
Menapakai jalan tanah berbau kandang
– terkadang babi ternak asik melenggang –

Ada jejak surat puber ditulis di belakang
Meja menjawab suratan misteri
Menyisa kenapa tanpa jawab menyapa
Kecuali guyuran hujan

3
Hujan tak berjanji pada siapa-siapa
Meski mendung seakan mengundang
Bukti seperti pula jejak-jejak wajah

Sepercik cinta tak selalu selamanya
Cinta selanjutnya selalu mengada
Meski beda jalan ditapaki
Kecuali hujan sepanjang hari

4
Hujan menjalin linang musim
Satu per satu luruh memiuh tanah
Mengubah wajah-wajah untuk berganti
Arah tak kembali ke muasal

Hujan mana peduli tetap ia berjatuhan
Di bayang-bayang wajah berambut
Basah menyisiri langkah menghafal
Pekerjaan dan ulangan menjulang
Di atas kepala beratap rambutan
Kelapa sampai pada lapang gelisah

5
Hujan menuliskan suatu kisah jauh
Di balik berpuluh lembar musim
Berates halaman waktu menggugurkan
Daun-daun cengkeh

Tentang wajah berambut basah di
Seragam putih biru tua jendela hijau
Membingkai sebuah pohon besar
Stadion sepak bola memudar pada
Helaian rerumputan berwajah hujan
Menghapus jejak aroma sahang


Hujan Menggambar Wajahmu

Hujan merajah jantungku
Bergambar wajahmu


Wajah Puisi

Wajahmu memancarkan puisi yang
Dipanggul kunang-kunang menuju
Telaga sunyi di tikungan malam

Adalah bintang
Terbanting tiba-tiba dari langit yang
Sengit ketika senyummu seakan
Hendak meruntuhkan rembulan bisu


Tentang Gus Noy
Gus Noy atau Agustinus Wahyono lahir-puber di kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel. Lulus dari Prodi Arsitektur Fak. Teknik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Sering berpartisipasi dalam even-even sastra di Indonesia. Kumpulan puisinya: Cinta Usang dan Napak Tilas. Ia juga menulis pantun, fiksimini, cerpen, esai, ilustrasi, kartun humor, karikatur. Sekarang tinggal di Balikpapan, Kaltim.


Catatan Lain
Bunyi halaman persembahannya sbb: “teruntuk sang waktu,/rasa basi bisa jadi sajak usang”. Di sampul belakang ada biografi singkat Gus Noy dan pernyataan dari Muhammad Rois Rinaldi, mengutip dua paragraf pertama dari pengantar buku ini: Kemungkinan-kemungkinan Pemaknaan dalam Kumpulan Puisi Gus Noy. (hlm. 3-9).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar