Data buku kumpulan puisi
Judul : Kepada Kamu
yang Ditunggu Salju
Penulis : Yusri Fajar
Cetakan : I, Maret,
2017
Penerbit : Pelangi
Sastra, Malang.
Tebal : xvi + 104
halaman (85 puisi)
ISBN : 978-602-60790-1-5
Perancang sampul dan
tata letak : Alex Subairi
Gambar sampul : foto
koleksi pribadi Yusri Fajar
Beberapa pilihan puisi Yusri Fajar dalam Kepada Kamu yang Ditunggu Salju
Di Negeri Bekas Penjajah
Aku Menemukan Dirimu
Di negeri bekas penjajah aku menemukan dirimu
dalam etalase kaca restoran Indonesia
ditata dalam mangkok, piring dan gelas
dipajang dalam papan warna-warni
orang-orang berambut pirang berhenti
memesan dirimu, menuliskan menu
merasakan gurih dan nikmat
pedas sekaligus cemas
Di negeri bekas penjajah aku menemukan dirimu
meringkuk dalam patung-patung kerajaan nusantara,
terdiam dalam etalase museum, merindukan kampung halaman
yang sulit terbayang dalam ingatan kusam
yang dipenuhi alat-alat perang: tombak, keris, pedang
yang membisikkan perlawanan yang tinggal kenangan.
setiap hari tuan dan puan Belanda berdecak kagum
betapa megah kampung halamanmu
Di negeri bekas penjajah aku menemukan dirimu
terpampang dalam nama-nama jalan
Madura, Sunda, Maluku, Sumatra, Jawa, Borneo,
Sulawesi, Papua, Aceh dilindas jejak kaki
dari jendela bus kota dan kereta
orang-orang Belanda melambaikan tangan
seperti mengucap apa kabar Hindia Belanda
dari mulut mereka tercium bau tembakau
wangi teh melati dan selinting risau
Amsterdam-Leiden, 17-19 Agustus 2010
Kepada Kamu yang Ditunggu Salju
Kepada kamu yang ditunggu salju
aku bertanya dengan bibir terasa beku
bagaimana kamu tumbuh di masa lalu
nenek moyangmu menyemaikan benih
dalam rahim dua benua tanpa peta
Di tengah percampuran musim
bunga bermekaran di pori-pori tubuhmu
daun membesar di ranting-ranting tanganmu
warna memancar di dahan-dahan kepalamu
akar tumbuh dan jiwamu menjalar ke kedalaman
bersentuhan, bergandengan, berdekapan
kamu menyirami akar dan menyiangi pertanyaan
di tanah Eropa dan Indonesia mana kamu berkembang?
kemudian tak bisa pulang ke kampung halaman
tertimbun hamparan salju, terhalang batas
lalu layu dan mati kehilangan akar
terkubur di lubang beku tanpa sinar
Berlin, 2010
Dua Bait Jawaban
Suara Lirih di Luar Gedung Putih
Apakah mendung di matamu
masih menggantung?
Bulir-bulir air matamu
tertahan diatas payung
hendak kau biarkan jatuh
di rerumputan batinmu
yang dikepung dingin sejak pagi
namun jemarimu kaku
Masihkah bulan di matamu
nanti malam berkedip?
hembusan angin kata-katamu
terhempas pagar di tepi trotoar
hendak kau biarkan bersemayam
di pepohonan hatimu
yang dikurung rimbun benalu
tapi bibirmu kelu
Depan White House, Washington DC, Juli 2016
Sebelum Musim Gugur
Kenangan-kenangan tersangkut di pepohonan
terhenti di tepian sungai berair air matamu
kepergian bersenyawa dengan hamparan hijau
kedatangan berpelukan dengan daun-daun
tak lama lagi segala ikatan dan dekapan gugur
dihempas lambaian dan jabat tangan
Ingatan-ingatan melekat di ranting
menggantung diam tanpa senandung
tahun lalu menyatu dengan jalan berbatu
tahun kini beriringan dengan langit biru
tak lama lagi perjalanan berganti
dihempas angin dan debu
Frankfurt, September 2009
Adakah Hati yang Lain di Kapellbrücke?
Rindu pernah terpelanting dari atas Jembatan Kapell
mengapung beberapa waktu. terdiam di kedalaman
lalu terbawa arus tenang, menyeret ingatanku
kita pernah melintasi jembatan dengan dada membara
bertanya sambil memalingkan muka ke permukaan air
apakah jembatan kayu ini menyeberangkan hati yang lain?
Mungkin cinta pernah terjepit kayu-kayu di sisi kanan kiri
menjeritkan kesal dan putus asa ketinggian alpen
lalu terjatuh keluar pagar yang luruh dan rapuh
kita berhenti di tengah jembatan penuh kedinginan
bertatapan dengan bongkahan keraguan dalam kepala
apakah jembatan kayu ini mengantarkan hati yang lain?
Luzern Swiss, 26 Agustus 2009
Senja dan Kenangan Perbudakan
di The Big Four Bridge Louisville
Tubuh budak mengapung di sungai Ohio
menangisi gemerlap daratan
kemudian menyelam hingga dasar
tempat tulang-tulang dan luka
terkubur di bawah jembatan
lalu bangkit menaiki perahu
merapat di tepian ketidakpastian
Sampai perang dingin
budak menyangga kota
dari reruntuhan dan tangisan
kini di atas jembatan berbalut senja
lelaki Kentucky menyanyikan perayaan
gadis keturunan Afrika membawa bunga
dari jauh mereka saling menyapa
Louisville KY, 11 Juni 2016
Penari-penari di Depan
Steigenberger Frankfurter Hof
Kami menghidupkan kembali kematian
kuburan jernih impian di tanah kelahiran
Falun gong: hening semedi kami
nafas ditebas langkah dibelah tatapan dibutakan
syair diusir tembang dibuang doa dipenjara
kami hampir meringkuk busuk di pengasingan
dengan kipas kami berkabar tentang luka memar
di kebisuan Kaiserplatz Steigenberger Frankfurter Hof
adakah mata mengenali kami datang dari mana
sisa luka mahkota di atas kepala
ikat pinggang merah merona
dan suara terlunta
para diaspora
Frankfurt, 21/06/2008
Dalam Ruang Terkenang
Snouck Hurgronje
Jika jari-jari kakimu melewati pintu
menuju negeri yang tersimpan dalam kepalamu
kamar berisi sepi, tak ada jerit sandal dan ranjang
buku-buku berserakan telah dirapikan
bekal perjalanan. Pertahanan harus ditaklukkan
kepercayaan harus dikaburkan.
tugas-tugas rahasiamu, Snouck.
Jika matamu memeriksa huruf-huruf pengisi kitab suci:
kau menggangguk. Mengerti dan berpikir
bagaimana mengenali setiap tindakan.
Meski dari jarak ruang belajar. Meja memanjang
dan dua belas kursi warna merah melingkar
dan dua belas kursi warna merah melingkar
menunggumu tanpa jemu
murid-murid mengganggukkan kepala
kau tak menyentuh bangku taman belakang
Kau terkatung di lautan
menuju pulau-pulau, jalanan tanah
dan hamparan belantara
serta keindahan belum terjamah
tumpah darah kami yang lahir
setelah engkau pulang
kami menyusulmu di Rapenburg 61
meraba langkahmu yang ditindih debu
membuka kitab-kitabmu
huruf-huruf Aceh diam-diam meleleh
masuk dalam celah-celah kamarmu.
kamu kaku, lidahmu kelu
entah dengan rasa bersalah
atau rasa bangga dalam peti sunyi.
Rapenburg 61 Leiden, 19 Agustus 2010
Goethe Menulis Puisi dalam Sepi
Sebagai penyair pendatang yang menyeberang
Ia mengucap salam pada namamu
yang ia kenal di langit nusantara
bertahun-tahun silam
Angin dingin menuangkan getar di Weimar
Ia melihatmu muncul di pinggiran kota
menata bait-bait di pinggiran parit-parit
di sela-sela rerumputan yang berdekapan
menebar baris-baris di ujung gerimis
di jalan setapak yang langka dari segala jejak
Ia melihatmu memandangi jendela
penuh selambu rima-rima tanpa jeda
dalam gelas anggur ia tuangkan alur
tandas seketika tetapi terisi kembali
sesaat ketika dramawan Schiller pergi
Weimar, 19 Mei 2009
Tragedi Para Petarung di Colosium
Reruntuhan menimbun nama
jerit terdengar hingga langit
malam gelap mengubur harap
mengundang riuh dan gaduh
memuja mahkota dan gaun raja
lubang sanubari dikunci rapat
pintu nurani disumbat kesumat
Lingkaran merubuhkan asa
mengincar orang-orang kalah
jantung berdebar kekasih nanar
di bawah sumpah tanpa kesaksian
masih adakah sisa pelukan dan kecupan
di pinggir ruang para pengucap titah
sebelum pedang dan pisau diacungkan
di tanah airmu yang jauh
masih adakah orang-orang saling tikam
saling melukai melenyapkan dendam
hingga nama-nama mereka dikenang
sebagai pahlawan dan pecundang
Roma, 2 Mei 2010
Gadis Pemandu di Perpustakaan
Lilly Bloomington
Kau mungkin bukan mahasiswi Amerika pengunjung Lilly
hingga kudengar ruang-ruang perpustakaan
memenuhi bibir mungilmu
aku tahu jalan
masuk
dalam kitab-kitab tua
yang terlelap di etalase berjajar
terkunci dari percumbuan dan pelukan
mengingatkanku pada zaman ketika tiada
Akhirnya jari-jarimu menjelma beberapa kunci
hingga aku terdiam di depan almari
membaca lembaran-lembaran
kisah para pendongeng
kisah para pendongeng
aku berkelana
masuk
dalam alur dan peristiwa
yang menetas dari kertas-kertas
merentangkan jalan dan pertemuan lampau
ketika orang-orang negerimu memulai merantau
Perpustakaan Lilly, Indiana University
Bloomington, 23 Juni 2016
Replika Menara Eifel
dan Para Lelaki Afrika
Replika menara Eifel bergelantungan di tangan para lelaki
Afrika. Bunyi gemerincingnya mendendangkan kenangan
dan pesan sebelum pulang. Di taman-taman yang terhampar
sepanjang langkah tak jauh dari Musee de Lovre, Notre Dame,
Arc De Triomphe, para lelaki menata Eifel di jari-jari dan
lengan yang disengat matahari musim panas. Menjulang tinggi
mencapai hamparan awan dan kota-kota para wisatawan.
Sampai juga di jantung imperium yang menyebarkan alat-alat
canggih ke tempat menanam benih, mendulang kandungan
alam dan melantunkan syair-syair keyakinan. Kini para lelaki
dari benua jauh itu tak lagi ingin menyeberang lautan untuk
pulang. Karena ke utara adalah jalan nasib mengadu rindu
meskipun harus mengubur asal muasal dan tanah kelahiran.
Paris, Mei 2010
Surat di Depan Nisan Kafka
Batu-batu berbisik
tentang luka menjelang ajal
tulisan-tulisanmu kekal
tak jadi dibakar
tak luruh jadi abu
tak hilang seperti Ottla, Elli
dan Valli dalam camp konsentrasi
kau tenang menyelesaikan kisah
yang tertinggal dan berjejal
di depan batu nisan tajam
berwarna buram
bunga-bunga terbaring kering
surat-surat datang
mengingatmu
tergeletak
terancam badai salju
Praha 3 - Žižkov, Republik Ceko, 7 Agustus 2009
Jam Tua Gereja dan Detak Peristiwa
Angka menunggu
pelukan jarum jam
pengunjung ingin tahu
doa apa kemarin
sepasang mata
bergantian
menatap masa lalu
dalam lingkaran biru
berpadu abu-abu
pusat waktu
menghujam
seluruh kelu
jarum jam
berabad mengantar
doa tersisa
dari wajah berlumur resah
Angka masih menunggu
jarum jam menuju
tapi langkah
tak juga mengarah pintu
Praha, 6 Agustus 2009
Melintasi Malam di Rotterdam
Untuk Noni Van Den Vijk
Di bawah jembatas Erasmus Rotterdam
aku melihat bayangmu berlayar bersama kapal
tenang merenggut segenap denyut hati
yang terpaut di sudut-sudut buritan
para pelancong mencampur anggur
dalam rindu mereka yang gugur
Oh, kampung halaman jauh sekali
menghamparkan keinginan pulang
jiwa tertambat tepian tubuhmu
bau deodoranmu melabukan mimpi
mengapa leluhur perempuan seramah kamu
dulu menjadi penjajah
di tanah tumpah darahku
yang lengah dan gundah
kau memalingkan gairah
melihat lamat-lamat jalan Maastrat
menangkap lengang dijamah malam
mata biru lautmu berpindah
melirik kapal-kapal berbendera kumal:
tak ada sampan-sampan nusantara
yang kau bayangkan
bisa mengantarku pulang
Noni, lihatlah bayang peluru di mataku
tak tahan menuntaskan dendam
teringat leluhurmu memenjarakan harapan
menggali kubur dan mengalirkan telaga pilu
Noni, tataplah pisau dalam nadiku
bergolak seperti hendak bergerak
menusuk lambung kapal negerimu
Noni lipstikmu memerah
semerah warna bendera negeriku
bibirmu basah, bibirku berdarah
berlumur kenangan dan gairah
di Rotterdam aku menagih janjimu
bukan politik etis, hanya pengakuan manis
tanpa negerikku kau bukan gelombang
hanya gerimis
sorot mata kendaraan
menyapa tiang-tiang jembatan
Kapal-kapal masih lalu lalang
kamu dan aku terperangkap lengang
saling memandang masa lalu dan masa depan
Rotterdam, 21 Agustus 2010
Aku Mendengar Mozart
Memainkan Orchestra
Senja di Salzburg Austria
aku mendengarmu memainkan orchestra
dalam nadiku yang mengembara
enam ratus bebunyian ciptaanmu
mengaliri kenangan dan ingatan
memanggil kereta pembawa jejak masa klasik
seribu tujuh ratus silam
Piano sonatamu menidurkanku
dalam gedung-gedung tua
anggur yang memercik dari senar biola
membanjir dari keyboardmu
jari-jari tanganmu mengelus dadaku
yang berdegup tak menentu
Wolfgang Amadeus Mozart
concerto baroque dan romantismu
menerpa rinduku yang melesat ke langit biru
Kau masih mengiringi opera di panggung
sekuntum senyum dan riuh tepuk tangan
kau tak pernah merasa sendiri dalam empat musim.
Senja di Salzburg Austria
aku mendengarmu memainkan orchestra
Kota penuh bunga menyentuh jiwa bergetar dan menari
Kafe-kafe masih menanggap suara sukmamu
jiwaku tertimbun daun-daun gugur menjelang kesedihan
jiwaku menjemput putik-putik bersemi menanti kebahagiaan
begitulah aku menemukan orkestramu
yang merenda air mata dan menyunggingkan masa
Empat musim merapat dalam perjalananmu
di Munich Bavaria, Paris, Praha, Wina, Bologna
ke mana-mana, hingga sakitmu tiba di Praha
ketika Opera La Clemenza di Tito pada 1671 kau iringi
Kau tiada karya-karyamu masih bernyawa
menggema dari balik alam hampa
menjelang malam aku membawa bayangmu
dalam derit kerita pulang ke tanah Jawa
Salzburg, Austria, Juli 2009
Pada Lesung Pipit Gadis Melayu
Untuk Noor Kuan
Pada lesung pipitmu, gadis melayu,
aku termangu dalam pesawat menderu
menembus langit tanpa menggerutu
berbaur udara cemburu merasakan getar
menyaksikan jalanmu di hamparan awan
Pada lesung pipitmu, gadis melayu,
aku bersenandung mengintip hamparan gunung
yang menyimpan rindu pada kampung halaman
angkasa dan daratan sama saja
saling membentangkan rasa
untuk bertemu, bisikmu.
Surabaya-Penang, 13 Juni 2011
Tentang Yusri Fajar
Yusri Fajar lahir di Banyuwangi Jawa Timur. Menyelesaikan
SI jurusan Sastra Inggris di Universitas Jember. Sejak 2003 mengajar di Program
Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Kemudian ia studi
sastra di Universitas Bayreuth Bayern Jerman (2008-2010), Short course di Leeds
University Inggris (2007) dan short course bidang sastra Amereka Kontemporer di
kampus dan beberapa kota di USA (2016). Bergiat di komunitas Pelangi Sastra
Malang. Karyanya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama.
Kumpulan cerpennya: Surat dari Praha (2012). Kumpulan Puisinya: Kepada
Kamu yang Ditunggu Salju (2017).
Catatan Lain
Penyair menulis “Suara Pelintas dan Puisi Penembus Batas” sepanjang 8
halaman (hlm. v-xii), sebagai pembuka. Hanya itu prosa yang ada di buku puisi
ini. Tak ada halaman persembahan, ya, karena jelas, kumpulan puisi ini
ditujukan kepada KAMU, yang ditunggu salju. Hehe. Di sampul belakang ada
petikan begini:
Kepada kamu yang ditunggu salju
aku bertanya dengan bibir terasa beku
bagaimana kamu tumbuh di masa lalu
nenek moyangmu menyemaikan benih
dalam rahim dua benua tanpa peta
Oya, di pembatas buku pun ada kutipan puisi juga, begini bunyinya:
Pada lesung pipitmu, gadis melayu,
aku bersenandung mengintip hamparan gunung
yang menyimpan rindu pada kampung halaman
Pak Yusri Fajar. Pernah bertemu beliau satu kali di Surabaya saat mengisi workshop kepenulisan. Tak disangka beliau juga seorang penyair.
BalasHapusSalam kenal kepada pemilik blog. Hehe...